Gedung Swarha, di lokasi yang sama Sukarno pernah berkantor di biro arsitek yang didirikannya bersama Ir. Anwari. (Adhie Fahmi/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
TOKO Indra kini tak seramai dulu lagi. Etalase toko busana itu dihimpit pagar Masjid Agung Bandung yang merangsek masuk hingga menyisakan jarak kurang dari dua meter di depan toko. Dua pegawai tampak berdiri termangu menanti pelanggan yang tak jua mampir ke toko yang berada di bawah gedung Swarha yang terletak di Jalan Asia-Afrika itu.
“Kalau dulu waktu jalan di depan toko belum ditutup, banyak orang datang ke sini. Sesudah perluasan masjid, jalan ditutup, nggak banyak lagi orang datang,” kata Merry, pemilik toko.
Jalan yang dimaksud Merry adalah Jalan Dewi Sartika, dulu Regentsweg, yang melintang melewati gedung Swarha sampai ke arah Jalan Dalem Kaum hingga ke Tegalega. Sejak 2000, jalan ditutup demi perluasan masjid. Merry harus merelakan bagian depan toko yang menghadap ke Jalan Dewi Sartika ditutup.
TOKO Indra kini tak seramai dulu lagi. Etalase toko busana itu dihimpit pagar Masjid Agung Bandung yang merangsek masuk hingga menyisakan jarak kurang dari dua meter di depan toko. Dua pegawai tampak berdiri termangu menanti pelanggan yang tak jua mampir ke toko yang berada di bawah gedung Swarha yang terletak di Jalan Asia-Afrika itu.
“Kalau dulu waktu jalan di depan toko belum ditutup, banyak orang datang ke sini. Sesudah perluasan masjid, jalan ditutup, nggak banyak lagi orang datang,” kata Merry, pemilik toko.
Jalan yang dimaksud Merry adalah Jalan Dewi Sartika, dulu Regentsweg, yang melintang melewati gedung Swarha sampai ke arah Jalan Dalem Kaum hingga ke Tegalega. Sejak 2000, jalan ditutup demi perluasan masjid. Merry harus merelakan bagian depan toko yang menghadap ke Jalan Dewi Sartika ditutup.
“Omset saya turun sampai 50 persen. Dulu banyak orang lewat, turun dari angkot langsung ke toko. Sekarang sudah sepi,” kata dia dibenarkan salah seorang karyawannya.
Kendati demikian, Merry tetap mempertahankan usahanya sekaligus merawat gedung kuno karya arsitek Wolff Schoemaker yang dibelinya sejak 1980 itu. Hotel Swarha yang dibangun sejak 1930 itu kini tak lagi berfungsi sepenuhnya. Ruangan bagian atas bekas hotel dibiarkan kosong. Hanya toko Indra dan toko pakaian lain yang menempati sewa di sebelah toko milik Merry.
Bagunan Swarha itu memiliki kaitan dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kisah Sukarno semasa berada di Bandung. Schoemaker perancang gedung itu adalah guru besar Sukarno semasa kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandoeng, kini ITB). Schoemaker juga yang menasihati Sukarno agar tak lagi terjun ke politik dan menyelesaikan studinya, tetapi Sukarno keras kepala untuk meneruskan kegiatan politiknya.
Menurut Soenario, kelak di masa kemerdekaan menjadi menteri luar negeri kabinet Ali Sastroamidjojo, sebelum Hotel Swarha dibangun pada lokasi yang sama pernah berdiri kantor biro teknik Ir. Sukarno dan Ir. Anwari bersamaan dengan kantor pengacara Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Mr. Soenario dan kantor konsul perdagangan Dr. Samsi Sastrowidagdo. Mereka menempati satu gedung dua lantai yang disewa dari seorang kaya di Bandung yang terletak di Regentsweg No. 8.
“Biro insinyur dan arsitek dari Ir. Sukarno dan Ir. Anwari di bawah dan kantor advokat, dan untuk Dr. Samsi tersebut di atas,” kenang Soenario dalam pengantarnya di buku Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng.
Merujuk kepada keterangan Soenario, Iskaq, dan Sukarno, rumah di Jalan Dewi Sartika No. 22 itu adalah tempat didirikannya PNI pada 4 Juli 1927.
Keputusan untuk membuka kantor pengacara, konsultan dagang dan biro arsitek berdasarkan kesepakatan mereka untuk menjalankan politik non-kooperasi, anti-bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Di gedung yang dibangun dari batu dan sebagian bilik bambu itulah mereka mendiskusikan pembentukan partai yang bercorak nasionalis.
Tidak ada keterangan berapa lama mereka menyewa bangunan di lokasi tersebut. Menurut keterangan Soenario dalam bukunya Banteng Segitiga, tak lama menyewa di sana, Sukarno dan Anwari pindah ke Regentsweg No. 22 (kini, Jalan Dewi Sartika No. 22).
Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengenang alamat di Jalan Dewi Sartika No. 22 itu sebagai rumah kontrakan di mana dia tinggal bersama Inggit, istrinya. Menurutnya, kendati telah dikenal sebagai pemimpin PNI, dia hidup dalam keadaan melarat yang seringkali mengandalkan penghasilan Inggit dari berjualan bedak dan bahan kosmetik buatannya sendiri.
“Selain itu kami menerima bayar makan (indekos dengan fasilitas makan di dalam, red.), sekalipun rumah kami di Jalan Dewi Sartika 22 kecil saja. Orang yang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi yang memakai beranda muka sebagai kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari. Kamar tengah menjadi biro arsitek kami,” kata Sukarno.
Bukan hanya Sukarno dan Inggit yang tinggal di sana, Iskaq dan istrinya, seorang perempuan berkebangsaan Belanda, pun tinggal pada rumah yang sama. Setelah tak lagi berkantor di Regentsweg 8, Iskaq berkantor di paviliun rumah yang disewanya bersama dengan Sukarno dan kawan-kawan lainnya.
Merujuk kepada keterangan Soenario, Iskaq dan Sukarno, rumah di Jalan Dewi Sartika No. 22 itu adalah tempat didirikannya PNI pada 4 Juli 1927. Tak ada keterangan lengkap baik berupa foto atau memoar yang bisa memberikan informasi detail mengenai rumah tersebut.
Situasi terkini dari alamat yang disebut oleh para pendiri PNI tersebut tampaknya telah berubah. Kini, pada bagian depan rumah nomor 22 itu telah berdiri sederet toko pakaian yang menghadap ke Jalan Dewi Sartika. Sebuah plang nomor rumah terpasang pada tembok sisi kanan bangunan toko, yang mengapit jalan kecil menuju ke rumah nomor 22 yang terletak di belakangnya.
Bentuk lahan lokasi tersebut berbentuk persegi panjang dengan luas kira-kira 400 meter persegi. Rumah asli sudah tak tampak lagi. Hanya ada satu rumah utama dengan tambahan bangunan yang kini digunakan sebagai studio musik. Bentuk bangunan memanjang hingga mencapai batas lahan paling belakang.
Irman Firmansyah, anak si empunya rumah mengaku tak mengetahui riwayat kepemilikan rumah yang telah ditempatinya sejak kecil itu. Dia juga tak pernah mendengar kalau di lokasi rumah yang dihuninya itu adalah lokasi yang sama dengan kediaman Sukarno dan para tokoh pendiri PNI lainnya.
“Saya sejak kecil sudah tinggal di situ, orangtua saya juga, turun temurun dari kakek memang sudah di situ, tapi saya tidak tahu bagaimana sejarahnya,” ujar Irman yang bekerja di sebuah toko alat musik yang tak jauh dari rumahnya.
Namun, Irman masih ingat beberapa bentuk asli bangunan sebelum rumah itu dipugar dan dibangun menjadi bentuk yang baru. “Bentuk kusen dan struktur bangunannya memang sepertinya bangunan lama,” kata dia.
Satya Graha, mantan pemimpin redaksi Suluh Indonesia, koran yang berafiliasi dengan PNI, mengisahkan bahwa pernah ada rencana dari PNI untuk membeli rumah bersejarah itu. “Soenario pernah mengusulkan agar rumah di alamat itu dibeli saja oleh partai, namun entah mengapa tidak jadi dibeli,” ujar pria berusia 81 tahun itu kepada Historia.
Sepintas lalu, kini lokasi bersejarah itu hanya tampak sebagai deretan toko baju di tengah-tengah keramaian sepanjang Jalan Dewi Sartika. Tak dinyana, di lokasi yang sama, puluhan tahun lalu sekelompok anak muda dengan elan nasionalisme menyemai benih kemerdekaan bangsanya.*