Berawal dari tempat tinggal para pengawal gubernur jenderal, bangunan ini lalu dijadikan tempat latihan perwira Peta pada masa pendudukan Jepang, dan berakhir sebagai museum.
Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang pernah menjadi Daidancho Peta, di Museum Peta di Bogor, Jawa Barat. (Rully Kustiwa/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
DARI kejahuan, bangunan cokelat muda itu sekilas mirip stasiun kereta. Tembok tinggi memagari hampir semua sisi bangunan. Pintu masuknya, berukuran besar dan membentuk lorong sepanjang sekira 10 meter, seperti tempat tunggu penumpang kereta.
Siang itu, di halamannya, tiga pekerja sibuk di halaman. Ada yang mengecat dinding, merapikan rumput halaman, ada pula yang membersihkan selokan. Mereka seolah berkejaran dengan waktu. Rencananya, pada 14 Februari tahun ini, akan ada acara untuk mengenang pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar 68 tahun silam.
“Makanya kita di sini korve (kerja bakti) terus,” ujar Lettu Caj Soeroso, perwira seksi Museum Peta, yang mengawasi pembenahan itu dan sesekali ikut membantu.
DARI kejahuan, bangunan cokelat muda itu sekilas mirip stasiun kereta. Tembok tinggi memagari hampir semua sisi bangunan. Pintu masuknya, berukuran besar dan membentuk lorong sepanjang sekira 10 meter, seperti tempat tunggu penumpang kereta.
Siang itu, di halamannya, tiga pekerja sibuk di halaman. Ada yang mengecat dinding, merapikan rumput halaman, ada pula yang membersihkan selokan. Mereka seolah berkejaran dengan waktu. Rencananya, pada 14 Februari tahun ini, akan ada acara untuk mengenang pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar 68 tahun silam.
“Makanya kita di sini korve (kerja bakti) terus,” ujar Lettu Caj Soeroso, perwira seksi Museum Peta, yang mengawasi pembenahan itu dan sesekali ikut membantu.
Di dalam museum, puluhan pelajar SMU Kesatuan Bogor serius mengamati satu per satu koleksi, termasuk senjata-senjata era Perang Dunia II. “Ngeri juga ngelihatnya, habis senjata. Sekarang mah udah nggak biasa kali ya,” ujar Dmitri, salah seorang pelajar, kepada Historia.
Dmitri dan teman-temannya sedang tugas kunjungan mata pelajaran sejarah. Dia mengatakan baru kali pertama berkunjung Museum Peta. “Ini kebetulan aja, lagi ada tugas aja,” lanjutnya. Dia tak menyangka bagian dalam museum bagus. “Kalau dari luar sih kayaknya nggak serapi di dalamnya.”
Warisan Kolonial
Terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 35 Bogor, bangunan yang kini jadi Museum Peta ini merupakan tempat tinggal para pengawal dan pegawai gubernur jenderal di masa kolonial. Ia satu dari sekian bangunan di lahan seluas 13 hektar yang terletak sekira 700 meter utara Pesanggrahan Buitenzorg atau rumah peristirahatan (landhuis) milik Gubernur Jenderal Gustav Willhelm van Imhoff (1705–1750), yang kini menjadi Istana Bogor.
Van Imhoff hanyalah satu dari sekian banyak pembesar dan orang kaya Belanda yang membangun landhuis di sana. Buitenzorg (kini Bogor) kala itu jadi pilihan untuk tempat beristirahat. Hawa dan pemandangannya sangat memukau. Selain itu, kebijakan ekonomi VOC yang menekankan tanaman budi daya seperti kopi dan teh makin menarik orang-orang kaya Belanda mengunjunginya. “Para gubernur jenderal secara berkala melakukan perjalanan ke Buitenzorg (sekarang Bogor),” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Van Imhoff membangun landhuis-nya setahun setelah dia mendapatkan lahan luas di Kampoeng Baroe pada Agustus 1744. “Nah, berbarengan dengan membangun sebuah pesanggrahan itu, tempat para pengawalnya di sini dibangun pula,” kata Suroso.
Bangunan tempat para pengawal dan pegawai gubernur jenderal itu memanjang seperti benteng. Pintu masuknya berupa lorong tinggi; di kiri-kanannya terdapat ruangan dengan jendela yang tinggi. Letaknya paling depan di antara bangunan-bangunan lain.
Setelah VOC bubar, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kompleks itu sebagai asrama bekas tentara batalyon ke-19 KNIL. Pada masa Jepang, bangunan itu –dan beberapa bangunan lain di kompleks yang sama– dijadikan tempat pendidikan tentara Peta, tentara sukarela bentukan Jepang.
Peta dan Pemberontakan
Seperti di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang lain, Jepang membentuk pasukan pribumi di Jawa –dan Sumatra dikenal dengan Giyu Gun– untuk mengatasi kekurangan pasukan dalam Perang Pasifik.
Untuk menyamarkannya, Jepang membuat skenario seolah-olah pendirian pasukan pribumi itu merupakan permintaan rakyat Indonesia sendiri. Gatot Mangkupradja, mengirim surat pembaca yang dimuat harian Tjahaja pada pertengahan 1943 berisi permintaan pembentukan pasukan sukarela pribumi. Namun, Sukarno punya pendapat lain. “Aku sendirilah yang pada akhir tahun 1943 mengusulkan orang-orang yang nantinya menjadi kolonel dan jenderal dalam Tentara Nasional Indonesia itu,” ujarnya dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Menurut Sukarno, ketika Komando Tertinggi Jepang meminta bantuan untuk membuat pasukan sukarela pribumi, dia langsung mengajukan gagasannya. Pasukan itu bukan semata harus ditanamkan rasa benci terhadap Sekutu tapi juga rasa cinta tanah air. Jepang menyetujuinya, dan Sukarno memilihkan orang-orangnya.
Betapapun, Tentara ke-16 AD Jepang akhirnya mendirikan Pembela Tanah Air pada 3 Oktober 1943 dengan berbekal Osamu Sirei (Undang-Undang) No. 44. Tentara ke-16 mempercayakan tugas itu kepada Beppan (badan intelijen Tentara ke-16), yang lalu mendirikan Jawa Boei Giyugun Kanbu Rensentai (Pusat Latihan calon Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) di Bogor. Tempat resentai menempati bekas kompleks prajurit batalyon 19 KNIL. “Dipergunakannya pada tanggal 15 Oktober 1943,” terang Soeroso.
Dalam pendidikan di Bogor, Jepang lebih menekankan seishin (semangat) kepada para calon perwira, yang datang dari beragam kalangan dan daerah di Jawa. Olah fisik porsinya lebih banyak ketimbang teknik dan pengetahuan militer. “Pendidikan itu dirancang untuk menghasilkan keberanian dan ketahanan fisik,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.
Latihannya dilakukan tiap hari dan sangat keras. Mantan perwira Peta yang kemudian jadi presiden Indonesia, Soeharto, pernah menggambarkan betapa kerasnya latihan di sana. Pelatihan di Peta, ujarnya, di luar imajinasinya. “Kami terus-menerus melakukan latihan militer, teori dan latihan semangat dari jam 5.30 pagi sampai tengah malam. Latihan yang diberikan kepada komandan peleton yang akan memimpin pasukan di garis depan benar-benar sangat keras,” ujarnya sebagaimana dikutip David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba.
Jepang membagi tiga pangkat untuk perwira Peta. Daidancho untuk komandan batalyon, Chudanco untuk komandan kompi, dan Shodanco untuk komandan peleton. Calon Daidancho diambil dari tokoh-tokoh daerah, bisa politisi, pemimpin agama, ataupun pejabat (lama pendidikan 2 bulan); sementara Chudanco berasal dari guru atau pejabat daerah yang lebih rendah (lama pendidikan 3–4 bulan); dan Shodanco berasal dari pelajar sekolah menengah atas (lama pendidikan 6 bulan). Untuk bintara dan tamtama, masing-masing hanya ada satu jenjang: Bundancho dan Giyuhei.
Apa pun yang diperlakukan Jepang kepada kita, harus kita hadapi.
Sebagian besar anggota Peta tinggal di asrama, kecuali Daidan yang boleh tinggal di rumah masing-masing. Sementara untuk nonperwira, mereka menempati barak-barak yang disediakan. Jepang juga memberi jatah pakaian dan jatah makan masing-masing anggota dengan cukup baik. Mereka juga diizinkan menerima kunjungan sanak famili pada hari Minggu. Selain itu, “pada tahap awal, gaji bulanan dapat diterima terus setiap bulan, yang dibedakan antara golongan perwira dan bawahan,” tulis Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam Ex PETA dan Giyu Gun: Cikal Bakal TNI. Alamsjah, kemudian menteri agama era Orde Baru, merupakan eks Giyu Gun –pasukan pribumi di Sumatra.
Mereka berlatih fisik dan teknik militer di lapangan yang terletak di tengah antara bangunan depan (kini museum) dan belakang. Pelatihnya tentara Jepang dengan asisten pemuda-pemuda Indonesia lulusan Seinen Dojo (Pusat Pengembangan Pemuda) Tangerang seperti Suprijadi, Zulkifli Lubis, Kemal Idris, dan Daan Mogot. Untuk teori, mereka mendapatkannya di kelas-kelas yang ada. Bahan bacaannya semua disediakan penyelenggara, termasuk majalah Pradjoerit yang dipimpin Oto Iskandar di Nata dan Syamsuddin St. Makmur.
Namun, seiring melemahnya kekuatan Jepang dalam perang, kesejahteraan anggota Peta ikut kena imbas. Jatah makanan memburuk dan gaji sering telat. Para instruktur Jepang sendiri, sepengalaman Lubis, tak sebergairah ketika mendidik para pemuda di Seinen Dojo. “Zulkifli Lubis merasa bahwa selama di Seinen Dojo Tangerang, semua instruktur itu berpenampilan rapi dan bersih. Mereka mengajar secara serius dan saksama. Akan tetapi, tidak demikian halnya di Bogor,” tulis Peter Kasenda dalam Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Para anggota, yang berdiskusi satu sama lain, juga makin sering mendapat kabar kekejaman Jepang di berbagai tempat. Mereka tak terima. Suprijadi salah satunya. Bersama beberapa kawannya, seperti Kemal Idris, dia sering bertukar pikiran tentang rencana mengadakan perlawanan terhadap Jepang. “Apa pun yang diperlakukan Jepang kepada kita, harus kita hadapi,” ujar Kemal Idris menirukan ucapan Suprijadi sebelum pemberontakan terjadi, dimuat dalam Kemal Idris Bertarung dalam Revolusi.
Tekad Suprijadi sudah bulat. Setelah lulus dari Bogor pada Desember 1943, ketika ditugaskan membentuk batalyon di Jawa, dia memanfaatkan momentum itu untuk menyusun perlawanan. Pada 14 Februari 1945, Suprijadi dan beberapa temannya berontak melawan Jepang di Blitar. Akibat peristiwa itu, Jepang marah. Suprijadi dan teman-temannya pun hilang.
“Saya kira dia dibunuh oleh Jepang,” ujar Kemal Idris.
Meski pendidikan angkatan keempat Peta sempat berjalan pada Juli 1945, Jepang keburu menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah dilucuti, Peta pun dibubarkan. Sukarno tak mau memenuhi tuntutan mantan anggota Peta agar institusi itu dijadikan tentara nasional. Selain tak yakin bisa mengendalikan para opsir muda di tengah kecamuk revolusi itu, “Peta itu merupakan ciptaan Jepang dan jika dipertahankan akan dapat menimbulkan reaksi negatif di pihak Sekutu,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967.
Para lulusan Peta lalu menjadi kekuatan mayoritas tentara Indonesia –yang juga terdiri dari eks KNIL, laskar, dan pelajar. Yang paling tenar antara lain Soedirman, Achmad Yani, dan Soeharto.
Monumen dan Museum
Sempat dijadikan markas Depot Troepen Zeni oleh Belanda yang kembali ke Indonesia setelah Perang Dunia usai, bekas pusat pendidikan Peta lalu diserahkan kepada pemerintah Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar. Pemerintah kemudian menjadikan kompleks itu sebagai Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat pada 1952.
Pada 1993, Yapeta (Yayasan Pembela Tanah Air), badan yang didirikan para mantan lulusan Peta, meminta bangunan paling depan di kompleks itu, kira-kira seluas satu hektar, kepada Angkatan Darat. Bangunan itu akan dijadikan museum. Berbekal SK No. 270/SKEP-013/XII/1994, panitia pembangunan disusun dan renovasi pun dimulai. Ketuanya Pamoe Rahardjo, sementara Purbo Soewondo dan seniman Edhi Sunarso masing-masing menjadi pengawas bidang sejarah dan bidang teknik. Umar Wirahadikusumah, lulusan Peta gelombang kedua, duduk sebagai pelindung.
Pengelola tak banyak mengubah bangunan museum. “Hanya bagian dalamnya saja kita sesuaikan dengan kebutuhan, dipergunakan sebagai museum, tetapi tampak luar masih asli,” ujar Soeroso. Selain itu, “bekas kelas-kelasnya masih ada. Tapi itu bukan lokasi ataupun kewenangan museum, tetapi kewenangan dari Pusdik Zeni.”
Selepas Indonesia merdeka, kompleks bekas pusat pendidikan Peta digunakan banyak instansi militer, seperti zeni, Kodim, dan Dinas Sejarah Angkatan Darat.
Pada 18 Desember 1995, Yapeta membuka bangunan itu sebagai Monumen dan Museum Peta. Peresmiannya dilakukan Presiden Soeharto. Ada tiga media yang di-display: diorama (14 buah), monumen dalam bentuk relief (14 buah), dan koleksi otentik berupa senjata, foto, dan lain-lain. “Senjata-senjata itu diperoleh dari mantan pejuang-pejuang kita, terutama tentara Peta, yang yayasan minta dan kumpulkan,” ujar Soeroso.
Selang 15 tahun kemudian, Yapeta menyerahkan pengelolaan museum itu kepada Dinas Sejarah Angkatan Darat, yang berkantor pusat di Bandung. “Karena memang tempat ini adalah tempat Angkatan Darat,” ujar Soeroso. Yapeta ingin bukti-bukti perjuangan para pemuda di Peta bisa diakses lebih banyak orang, dengan menyerahkan pengelolaan kepada institusi yang lebih kokoh. Pengunjung pun tak dipungut bayaran. “Ini kan museum TNI, ya dibiayai pemerintah,” kata Soeroso.*