Arsiparis Jajang Nurjaman pelan-pelan membuka bundelan kertas tua yang sudah melapuk. Sampul depannya bertuliskan Notarieel Archief Batavia en Buitencomptoiren (Arsip Notaris Batavia dan Sekitarnya) No. 26 sebagai jenama khazanah arsip. Pada lembaran bagian akhir tersualah arsip bertitimangsa 12 November 1680. Dengan teliti, Jajang menerjemahkan isi arsip berbahasa Belanda kuno itu.
“Ini namanya arsip notaris,” terang Jajang yang sehari-hari mengolah arsip kolonial koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). “Kalau kita lihat di sini, ini tentang akta emansipasi, pembebasan budak.”
Akta itu menyebutkan seorang budak bernama Sallij van Macassaarsche. Dari nama belakangnya diketahui Sallij berasal dari Makassar. Sementara nama depannya, Jajang memastikan, adalah nama pemberian tuannya. Dari catatan notaris, Sallij dinyatakan sudah bebas, tapi ia boleh diperjualbelikan lagi dengan harga 30-60 real Spanyol. Sayangnya, tinta arsip itu sudah pudar sehingga Jajang kesulitan menjelaskan riwayat Saliij lebih lanjut.
Arsiparis Jajang Nurjaman pelan-pelan membuka bundelan kertas tua yang sudah melapuk. Sampul depannya bertuliskan Notarieel Archief Batavia en Buitencomptoiren (Arsip Notaris Batavia dan Sekitarnya) No. 26 sebagai jenama khazanah arsip. Pada lembaran bagian akhir tersualah arsip bertitimangsa 12 November 1680. Dengan teliti, Jajang menerjemahkan isi arsip berbahasa Belanda kuno itu.
“Ini namanya arsip notaris,” terang Jajang yang sehari-hari mengolah arsip kolonial koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). “Kalau kita lihat di sini, ini tentang akta emansipasi, pembebasan budak.”
Akta itu menyebutkan seorang budak bernama Sallij van Macassaarsche. Dari nama belakangnya diketahui Sallij berasal dari Makassar. Sementara nama depannya, Jajang memastikan, adalah nama pemberian tuannya. Dari catatan notaris, Sallij dinyatakan sudah bebas, tapi ia boleh diperjualbelikan lagi dengan harga 30-60 real Spanyol. Sayangnya, tinta arsip itu sudah pudar sehingga Jajang kesulitan menjelaskan riwayat Saliij lebih lanjut.
Pada bagian bawah akta melekat bubuhan tanda tangan notaris, sekretaris notaris, pemilik budak, dan budak yang dibebaskan. Dengan demikian, akta pembebasan budak itu berkekuatan hukum yang sah.
Arsip notaris dalam inventaris ANRI, tebalnya sepanjang 1.100 km linear arsip. Inilah dokumen otentik yang menjelaskan praktik perbudakan semasa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) berkuasa di Nusantara. Dengan arsip notaris, budak memperoleh status legalnya sebagai budak. Begitu pula dengan tuan-tuannya.
“Karena ini arsip VOC, mereka yang bikin arsip, dengan sendirinya ini menjadi pengakuan bahwa mereka menganggap budak sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan,” kata Jajang.
Rekam Jejak
Dalam arsip notaris tercatat dari mana budak berasal dan bagaimana mereka menjadi budak. Ada yang karena penebusan utang, terpaksa menjadi budak, atau perampasan. Untuk sebab yang terakhir, Jajang mencontohkan, kapal VOC yang datang ke suatu tempat, selain berdagang, biasa mengambil orang untuk dijadikan budak. Budak tersebut kemudian diregistrasi sebagai budak di arsip notaris.
“Bisa jadi budaknya sendiri yang cerita ke notaris, atau diwakili oleh majikan yang ingin menjual atau membebaskan budaknya,” kata Jajang.
Notaris diambil dari sekretaris schepenbank, lembaga pengadilan untuk pribumi. Kendati secara struktural tidak di bawah VOC, notaris mencatat kehidupan sosial budaya masyarakat, terutama di Batavia dan sekitarnya. Setiap ada pelaporan, notaris menerbitkan akta. Kepada notaris pula masyarakat datang untuk melaporkan harta, warisan, maupun status perkawinan. Budak termasuk kepemilikan sehingga dicatatkan dalam arsip notaris.
Jual beli budak didaftarkan dalam akta van transport (akta pengangkutan). Dalam akta itu disebutkan informasi profil budak, dari mana asalnya, siapa yang menjual, berapa harganya, kepada siapa dijual, termasuk rekam jejak budak telah bekerja pada siapa saja.
Kebanyakan pemilik budak merupakan pedagang senior. Ini diketahui dari akta pengangkutan yang turut mencatat jati diri pembeli budak. Pedagang senior, menurut Jajang, setidaknya mempekerjakan dua budak.
“Kalau di arsip notaris, budak dari Cina menempati urutan kedua terbanyak. Pedagang Cina lebih suka budaknya orang Cina, meskipun kadang ada juga yang dari Bali dan Makassar. Tapi, orang Eropa lebih suka budak dari India atau Nusantara,” tutur Jajang.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Relasi kuasa terlihat dari identitas baru yang melekat pada budak. Kebanyakan budak bersalin nama sewaktu dibeli.</div>
Tuan-tuan kaya membeli budak untuk mengerjakan segala rupa urusan. Mulai dari pekerjaan rumah tangga biasa, penarik delman, tukang payung, hingga membuka lahan permukiman. Museum Rumah Cimanggis di Depok, sebut Jajang, lahannya yang semula semak belukar dibuka oleh budak.
Arsip notaris terkadang menjelaskan profil budak dengan tugas-tugas tertentu. Budak perempuan lebih sering dibebankan tugas khusus, seperti mengurus anak atau tuan majikan, mengurus orang tua yang sakit, termasuk membuang hajatnya. Bali merupakan daerah asal budak perempuan terbanyak, di samping Cina dan India.
Relasi kuasa terlihat dari identitas baru yang melekat pada budak. Kebanyakan budak bersalin nama sewaktu dibeli. Jadi, yang tercatat di arsip bukanlah nama asli, melainkan nama pemberian majikannya. Nama depan budak berbau Eropa menandakan tuannya berbangsa Eropa. Sementara nama belakangnya mengacu dari mana budak berasal. Budak bermarga van Bengalen –yang berarti dari Teluk Benggala, India–sering disebut dalam arsip.
Beberapa keluarga budak masuk dalam indeks khazanah arsip Familie Papieren di ANRI yang memuat genealogi atau riwayat silsilah. Ini bisa ditelusuri dari nama belakangnya seperti van Bali, van Makassar, van Malabar, van Bengalen, dan lainnya.
Dalam buku Slavernij (Perbudakan) terbitan Rijksmuseum pada 2021, nama van Bengalen yang tercatat dalam arsip-arsip VOC adalah Maart, Calistra, Amon, Horij, Francina, Januarij, Marij, Angela, Susanna, Abraham, Agustus, dan Baron. Mart diangkut dari Benggala ke Batavia, begitu pula Calistra, Horij, Francina, Januarij, dan Amon. Marij dikisahkan dipaksa bekerja di perkebunan pala di Pulau Banda, Maluku. Sedangkan Susanna, Angela, Augustus, dan Abraham, berakhir di Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Selain akta pengangkutan, ada yang disebut akta emansipasi. Ia memuat informasi budak yang dibebaskan, termasuk harga penebusannya.
Budak yang terbilang sukses, kata Jajang, juga bisa ditelusuri catatannya di arsip. Misalnya, budak yang dimerdekakan oleh majikannya, kemudian dinikahi oleh pejabat tinggi VOC sehingga derajatnya terangkat.
Akta emansipasi dalam arsip notaris Batavia No. 24 menyebut pembebasan budak bernama Abraham pada 17 Desember 1673. Abraham dibebaskan dengan mendapatkan sejumlah harta dari mantan majikannya, termasuk sebidang tanah. Di akta tersebut dijelaskan pula bagaimana pembebasan Abraham berlangsung di hadapan para saksi. Selain itu, Abraham tidak wajib menyediakan budak pengganti.
Kisah Budak dan Tuannya
Jauh lebih banyak budak bernasib merana ketimbang budak yang berhasil. “Kadang-kadang kita menemukan budak ini di arsip schepenbank, di pengadilan,” kata Jajang, “Karena pengadilan yang memutuskan budak itu dibebaskan atau tidak.”
Putusan yang menyatakan budak dibebaskan rata-rata karena masa abdinya telah selesai. Tergantung kontrak kerja yang tertera dalam arsip notaris. Kalau majikan tak sudi lagi, budak dapat dibebaskan secara sepihak atau dijual lagi dalam pelelangan di pasar budak. Ada budak yang bebas karena perkawinan dengan majikan.
“Ada juga kasus budak yang melakukan tindakan kriminal. Akhirnya, majikannya nggak mau lagi punya budak seperti itu. Daripada nanti terseret ke pengadilan, ya dibebaskan saja,” ucap Jajang.
Bukan tanpa alasan budak berontak kepada tuannya. Sejarawan Belanda Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII mencatat aneka perlakuan bengis majikan kepada budaknya. Mulai dari hinaan verbal, pemukulan, hingga hukuman kelewat batas seperti dirantai, dicambuk, dan disiksa sampai mati. Temuan Niemeijer atas kasus-kasus kekerasan terhadap budak bersandar pada berkas perkara pengadilan yang termuat dalam arsip schepenbank.
“Sering kali kesalahan kecil menyulut tindak kekerasan dan penganiayaan. Pencurian kecil di rumah, terlambat pulang, keluar rumah tanpa izin –semua pelanggaran itu dapat mengundang hukuman yang keterlaluan,” ulas Niemeijer.
Kisah tragis dialami oleh seorang budak bernama Pieter van Sumbawa. Pada akhir 1696, Pieter mengadukan Nicolaas Doude, majikannya yang juga pemilik losmen di kawasan Molenvliet. Doude dilaporkan karena menyuruh wakil jaksa daerah Evert Becker bersama tukang pukulnya mencambuki dua orang budak: Cupido van Angola dan Claas van Malabar. Cupido meninggal akibat luka berat.
Menurut Pieter, majikannya memasung Cupido dan Claas dengan jepitan besi di kebun dari pukul lima sore hingga sembilan malam. Mereka kesulitan bernapas. Sesudah pemasungan, Cupido ditahan di dapur dalam keadaan jepitan leher masih melekat. Namun, tak ada yang menguatkan kesaksian Pieter di pengadilan. Hakim mengkhawatirkan preseden buruk apabila membenarkan pengaduan budak yang hanyalah manusia rendahan.
“Oleh sebab itu, budak Pieter, si pengadu, diserahkan kepada algojo, diikat pada tiang, dipecuti, pipi kanannya diberi cap bakar serta dirantai dan diharuskan bekerja paksa selama enam tahun,” tulis Niemeijer berdasarkan berkas perkara pengadilan kriminal 1693–1697, berkas 84–89, 19 November 1696 yang termuat dalam arsip schepenbank.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Aneka perlakuan bengis majikan kepada budaknya. Mulai dari hinaan verbal, pemukulan, hingga hukuman kelewat batas seperti dirantai, dicambuk, dan disiksa sampai mati.</div>
Dalam catatan arsip schepenbank, menurut Jajang, banyak budak yang melawan dengan cara minggat, meracuni, atau membunuh majikan. Tapi, pada akhirnya mereka kalah di pengadilan. Budak yang dinyatakan bersalah acapkali mendapat hukuman mati.
Rekam jejak budak yang berkasus dicatat dalam akta interogasi. Akta ini disisipkan dalam arsip notaris yang berisikan tanya jawab antara budak dan notaris. Sebab, marak terjadi skandal antara budak dan tuannya.
Jajang mengatakan ada budak perempuan yang dijual karena berselingkuh dengan tuannya. Ada lagi kasus yang menggemparkan, yaitu seorang budak laki-laki memperkosa anak perempuan tuannya, petinggi VOC, yang berusia belasan tahun. Peristiwa itu sampai dibahas Hoge Regering (Pemerintahan Agung). Resolusi VOC mengeluarkan putusan bahwa budak itu dibuang ke Afrika.
Kendati tak semasif arsip notaris, menurut Jajang, arsip Hoge Regering turut menyumbang catatan tentang perdagangan budak. Arsip ini semacam catatan harian yang merekam jalannya pemerintahan VOC. Selain resolusi gubernur jenderal, arsip Hoge Regering mencatat muatan kapal dagang dan keputusan tentang budak.
Contohnya, arsip Hoge Regering dalam resolusi 22 Mei 1674 menjatuhkan hukuman mati kepada Maria van Makassar, budak milik Margareta van de Cust. Ia dipersalahkan atas tuduhan melancarkan ilmu sihir dan meracuni menantu laki-laki majikannya, Jan Slecht. Maria dihukum dengan cara dicekik di tiang sampai mati.
Bisnis Budak Kompeni
Perdagangan budak umumnya terjadi di kota-kota pelabuhan besar seperti Batavia, Banten, dan Makassar. Aktivitas perdagangan di kota-kota tersebut membutuhkan tenaga budak untuk membangun infrastruktur, khususnya benteng-benteng pertahanan. Untuk itulah budak dipasok dari berbagai penjuru wilayah Nusantara.
Pengangkutan budak telah berlangsung sejak VOC membangun Batavia menjadi bandar perdagangan. Mulanya budak didatangkan dari pesisir India, kemudian Banda, Bali, Makassar dan daerah-daerah lainnya. Sebagian besar budak dijual kepada pihak swasta yang menawar paling tinggi. Toko Merah di Batavia pernah menjadi tempat pelelangan budak yang terkenal pada abad ke-18.
Hoge Regering mencatat bagaimana VOC memperoleh budak. Inventaris Hoge Regering No. 928 tertanggal 2 Oktober 1708 menyebut soal pengiriman 100 budak dari Bali yang melanggar larangan dan masuk tanpa izin. Sebanyak 15 sampai 20 budak kemudian disita; 15 budak terbaik dihargai 35 rijksdaalders dan diberikan kepada Kompeni.
Inventaris Hoge Regering No. 929 mencatat pengiriman orang-orang Pasuruan pada 1707 yang kemudian dijadikan budak VOC. Dalam pembukuan dijelaskan bahwa untuk laki-laki per orang dihargai 40 rijksdaalders dan untuk perempuan dihargai 30 rijksdaalders. Sementara Inventaris Hoge Regering No. 930 pada 17 November 1710 menyebut, dari budak-budak yang dibawa dari Sumbawa, 22 budak di antaranya diambil VOC. Per orang dihargai tidak lebih dari 35 rijksdaalders, sedangkan untuk budak berpasangan dilarang diperjualbelikan.
Jajang mengatakan, banyak juga budak yang dijual ke luar Nusantara. Dalam arsip VOC di Afrika Selatan terdapat registrasi budak yang berasal dari Nusantara. Ini membuktikan VOC membawa dan menjual budak ke Afrika Selatan.
VOC membuat regulasi bagaimana budak diperjualbelikan dalam plakaatboek yang ditempel di tembok kota Batavia bertitimangsa 4 Mei 1622. Aturan ini bertujuan memberi batasan tegas seputar perdagangan budak. Misalnya, orang Kristen boleh membeli budak dari kaum lain, namun tak boleh menjualnya kepada yang bukan Kristen. Begitu pula orang Islam, Tionghoa, dan Arab diberlakukan hal serupa. Untuk itulah aktivitas jual beli budak harus dicatatkan pada notaris. Selain itu, VOC mengatur pajak budak yang tentunya masuk ke perbendaharaan Kompeni.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Setiap kapal dagang VOC yang berlayar dari pelabuhan-pelabuhan besar di Nusantara, hampir dipastikan bermuatan budak.</div>
Aturan mengenai perbudakan bisa berubah sesuai situasi. Pada abad ke-18, lebih dari setengah penduduk Batavia adalah budak. Untuk menghindari masalah, VOC melarang secara formal mengambil budak Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan, budak-budak didatangkan dari kawasan Asia Selatan (India dan Burma), dan kepulauan Nusantara (Bali dan Sulawesi).
Pelarangan itu termuat dalam Inventaris Hoge Regering No. 939 pada 15 Maret 1715 yang mengumumkan bahwa orang Jawa tidak dapat dijadikan budak. Perubahan lain termuat dalam Inventaris Hoge Regering No. 938 yang menyebut tak ada budak Kristen yang mungkin dapat dijual kepada orang Kristen menurut Bataviase statuten pada 31 Juli 1714.
Sukar untuk menakar besaran keuntungan VOC dari perdagangan budak. Tapi, dari setiap kapal dagang VOC yang berlayar dari pelabuhan-pelabuhan besar di Nusantara, hampir dipastikan bermuatan budak.
“Bisa dibayangkan kalau seandainya satu orang budak harga sekitar 30–60 real, kalau ribuan bahkan sampai ratusan ribu budak, sangat banyak untung VOC dari menjual budak ini,” jelas Jajang.
Di Batavia saja, seperti dicatat Lance Castles dalam Profil Etnik Jakarta, pada 1673, populasi budak mencapai 13.278 dari total penduduk sebanyak 32.068 jiwa. Pada 1678, sudah mencapai 16.695, lebih dari setengah penduduk Batavia. Pada masa Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (memerintah 1761–1775), impor budak bahkan mencapai 4.000 orang per tahun. Niemeijer menyebut VOC sebagai pedagang budak yang penting, kendati jumlah budaknya pada akhir abad ke-17 tak sebanyak yang dimiliki orang-orang swasta.
Kontribusi bisnis budak terhadap kas VOC tentu tak sebesar produk rempah. Petunjuk untuk mengkalkulasi berapa keuntungan dari hasil jualan budak terletak di arsip bendahara VOC.
Arsip bendahara mencatat semua keuntungan dan pemasukan VOC dari berbagai komoditas, termasuk budak. Semula arsipnya berada di Batavia. Sayangnya, iklim yang tak bersahabat membuat dokumen itu terancam rusak. Sejak 1830, arsip bendahara diboyong ke Belanda dan tersimpan di sana sampai sekarang.
Seiring VOC bangkrut, praktik perbudakan pun mulai surut. Pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan Kompeni menghapuskan perbudakan sejak 1860. Penghapusan itu tergerak oleh kelompok humanis di Eropa yang gencar bersuara menentang perbudakan. Selain itu, perbudakan makin tidak sejalan dengan efisiensi produksi hasil revolusi industri. Kendati demikian, perbudakan tetap saja eksis dalam bentuk lain di tengah masyarakat kolonial.
Pengakuan dan Fakta
Pada akhir tahun 2022, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf atas perbudakan yang dilakukan Belanda di Suriname yang melibatkan peran Kongsi Dagang Hindia Barat (WIC). Namun, narasi perbudakan di Nusantara luput dari pernyataan Rutte. Ia hanya sedikit menyinggung peran VOC dalam perbudakan di Asia.
“Di Asia, antara 660.000 dan lebih dari 1 juta jiwa –kita bahkan tidak tahu persisnya– diperdagangkan di wilayah-wilayah yang berada di bawah otoritas Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC),” kata Rutte.
Menurut Jajang, sulit mengingkari fakta bahwa di Nusantara tidak terjadi perbudakan. Arsip-arsip VOC menjelaskan sendiri bagaimana perbudakan itu diatur guna meraup keuntungan bagi Kompeni maupun warga kelas atas. Arsip notaris, misalnya, menyebut perihal jual beli budak dan pembebasan budak.
Meskipun demikian, pemilik budak tidak melulu bangsa Eropa atau Belanda, bangsa Timur Asing seperti pedagang Tionghoa bahkan elite pribumi pun turut memelihara budak. Budak yang dijajakan juga berasal dari berbagai tempat dari penjuru Nusantara. Namun, keterlibatan VOC dalam perbudakan di Nusantara adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri.
Arsip tentang perbudakan yang tersimpan di ANRI terbilang cukup banyak. Ketersediaan sumber primer ini seyogianya mendorong peneliti Indonesia memperkaya historiografi perbudakan di Nusantara. Tentu saja memerlukan kemampuan membaca arsip bahasa Belanda kuno abad ke-17–18.
Kisah-kisah yang tersua dalam arsip, kata Jajang, sangat menarik untuk dikaji. Apalagi meniliknya dari sudut pandang kemanusiaan. Seperti apa detailnya kehidupan budak di masa lalu akan terlihat dan seolah dirasakan lewat membaca arsipnya.*