Cerita Rumah Maeda

Naskah proklamasi kemerdekaan dirumuskan di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Setelah sempat berpindah tangan dan berganti penghuni, bangunan bersejarah itu akhirnya menjadi museum.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Cerita Rumah MaedaCerita Rumah Maeda
cover caption
Museum Perumusan Naskah Proklamasi sebelumnya menjadi rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. (Dok. Munasprok).

SEPERTI biasa, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, rumah di Jalan Imam Bonjol, Jakarta itu selalu ramai oleh pengunjung. Bukan koleksi benda antik yang membuat museum ini menarik untuk dikunjungi, namun kisah yang pernah terjadi di dalamnya yang membuatnya jadi punya daya tarik tersendiri.

Mungkin jalannya sejarah agak sedikit berbeda apabila sang empunya rumah, Laksamana Muda Tadashi Maeda, kepala kantor penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) tak mengizinkan rumahnya digunakan sebagai tempat para perumus proklamasi kemerdekaan berkumpul. Rumah dinasnya itu kini menjadi saksi bisu diskusi dan perdebatan yang terjadi pada dini hari 17 Agustus 1945, menyoal bagaimana kemerdekaan Indonesia dinyatakan. 

SEPERTI biasa, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, rumah di Jalan Imam Bonjol, Jakarta itu selalu ramai oleh pengunjung. Bukan koleksi benda antik yang membuat museum ini menarik untuk dikunjungi, namun kisah yang pernah terjadi di dalamnya yang membuatnya jadi punya daya tarik tersendiri.

Mungkin jalannya sejarah agak sedikit berbeda apabila sang empunya rumah, Laksamana Muda Tadashi Maeda, kepala kantor penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) tak mengizinkan rumahnya digunakan sebagai tempat para perumus proklamasi kemerdekaan berkumpul. Rumah dinasnya itu kini menjadi saksi bisu diskusi dan perdebatan yang terjadi pada dini hari 17 Agustus 1945, menyoal bagaimana kemerdekaan Indonesia dinyatakan. 

Kisah berdirinya kediaman Laksamana Muda Maeda itu bermula pada era 1920-an. Desain rumah bergaya art deco itu dirancang oleh arsitek J.F.L. Blankenberg. Menurut kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jaka Perbawa, selain rumah yang pernah ditempati Maeda, ada tiga karya arsitek J.F.L. Blankenberg lainnya di seputaran Taman Suropati, Menteng. 

“Karya J.F.L. Blankenberg itu rumah dinas dubes Amerika, rumah dinas gubernur DKI dan rumah dinas panglima TNI, namun kini rumahnya sudah dibongkar,” kata Jaka.

Tak jelas siapa pemilik awal bangunan museum itu. Namun, berdasarkan catatan yang dimiliki oleh pengelola museum, bangunan tersebut pernah dimiliki oleh perusahaan asuransi Nederlands Levenzekering Maatschappij (kemudian menjadi asuransi Jiwasraya). Kepemilikannya diperkuat oleh arsip surat ukur No. 955 tertanggal 21 Desember 1931, dengan hak guna bangunan No. 1337/Menteng, seluas 3.914 meter persegi. 

Pada masa Hindia Belanda, bangunan ini terletak pada jalan yang kala itu masih bernama Nassau Boulevaard. Tak melulu jadi milik perusahaan asuransi, bangunan sempat digunakan sebagai Konsulat Jenderal Inggris sampai Perang Pasifik pecah dan Jepang datang menduduki Indonesia.

Rumah ini ketika digunakan sebagai Konsulat Jenderal Inggris. (Dok. Munasprok).

Ketika Jepang datang, rumah tersebut langsung dihuni oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda dan beberapa stafnya di kantor penghubung Angkatan Laut (Kaigun) dan Angkatan Darat (Rikugun) di Jakarta. Maeda datang tanpa didampingi istri yang terlebih dulu wafat meninggalkannya.

Selain staf yang bekerja di kantor penghubung, Maeda juga membawa beberapa orang pembantu rumah tangga yang dikoordinasi oleh sekretarisnya, Satzuki Mishima. Dari selembar foto yang dimiliki pengelola museum, tampak beberapa staf Jepang dan pembantu rumah tangga yang bekerja untuk Maeda berpose bersama. 

Jauh sebelum diresmikan sebagai museum pada 1987, kepemilikan rumah beberapa kali berpindah tangan. Dari tangan Maeda, rumah kemudian digunakan oleh tentara Inggris sebagai markasnya. Berdasarkan keterangan dari buku Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi, pada awal masa kemerdekaan, rumah tersebut digunakan sebagai kediaman resmi duta besar Inggris. 

“Ketika terjadi nasionalisasi terhadap aset-aset asing, rumah ini termasuk yang diambil alih kepemilikannya oleh pemerintah Indonesia,” kata Jaka. 

Kemudian pemerintah Indonesia menyerahkan penggunaan dan pengelolaan rumah ini kepada Departemen Keuangan. Mengutuip keterangan buku Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi, bangunan bersejarah itu “... selanjutnya dikelola oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya. Pada tahun 1961, Perusahaan Asuransi Jiwasraya mengontrakan gedung ini kepada Kedutaan Inggris sampai 1981.” 

Ketika kontrak akan berakhir, pemerintah memutuskan untuk tak lagi memperpanjang kontrak sewanya. Mempertimbangkan nilai sejarah yang ada pada bangunan, pemerintah mulai berpikir untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai monumen sejarah. 

Laksamana Muda Tadashi Maeda bersama staf dan pembantunya. (Dok. Munasprok).

Setelah sempat digunakan sebagai kantor perpustakaan nasional, pada 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto meminta Dirjen Permuseuman untuk mempersiapkan peralihan penggunaan bangunan sebagai museum. 

Kendati kondisi bangunan tak lagi sesuai dengan kondisi di saat Maeda menempati rumah itu, pengelola museum berhasil mendapatkan deskripsi bangunan dari keterangan Satzuki Mishima yang datang berkunjung saat museum sedang dipersiapkan. 

Menurut dia, bagian samping kiri gedung dan belakang adalah bangunan tambahan yang baru. Sedangkan di bagian dalam rumah, ada pintu yang dihilangkan dan ditutup dengan tembok. Ruang perumusan yang dulu berfungsi sebagai dapur, juga telah ditiadakan. 

“Tempat di mana Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi sekarang jadi seperti ruangan tersendiri, padahal dulu dia mengetik di bawah tangga saja,” kata Jaka. 

Untuk mengembalikan suasana seperti saat peristiwa perumusan proklamasi berlangsung, replika barang-barang dari masa Maeda pun diciptakan. Mulai kursi sampai meja. Karena menurut Jaka setelah rumah banyak berganti penghuni, barang yang asli tak bisa dilacak keberadaannya. 

Tak ada koleksi artefak kuno nan unik yang biasanya terdapat pada museum-museum lain. Narasi sejarah yang tercipta di rumah ini jauh lebih berharga dari sekadar benda-benda peraganya. Terlebih kontroversi yang mengitari peristiwa perumusan naskah proklamasi itu sendiri: apakah benar orang terdekat Maeda, Shigetada Nishijima, berada di tengah-tengah tokoh-tokoh perumus naskah kemerdekaan? 

Beberapa tokoh Indonesia, seperti Mohammad Hatta, menampik kisah kehadiran Nishijima, kendati Nishijima mengaku ada dan menjadi saksi dalam proses bersejarah itu. Seandainya tembok di bangunan museum itu dapat berbicara, mungkin kebenaran akan terungkap lewat kesaksiannya. Tapi rumah Maeda itu tetaplah saksi bisu, di mana sejarah pernah tercipta.*

Majalah Historia No. 25 Tahun III 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64da0796b570dfcd6f873eb5