Henk Sneevliet, Betsy, dan kedua anak mereka, Pim dan Pam ketika bermukim di Semarang. (Repro biografi Henk Sneevliet karya Max Perthus).
Aa
Aa
Aa
Aa
MAARTJE Visser gadis rupawan: rambutnya pirang kemerahan, bola mata hijau berbinar-binar, telah menawan hati pemuda berusia 23 tahun. Henk Sneevliet, pemuda itu, langsung bertekuk lutut dan tanpa pikir panjang meminang untuk jadi istrinya. Pertemuan mereka terjadi saat keduanya aktif di organisasi pemuda sosialis di Zwolle. Maartje anggota Perkumpulan Perempuan Sosial-Demokrat (Sociaal-Democratische Vrouwenclub).
“Martje gadis cantik yang periang dan menggairahkan,” tulis Max Perthus dalam biografi Sneevliet.
Lamaran Sneevliet gayung bersambut. Maartje tak menampik permohonan Sneevliet dan mereka menikah di Zwolle pada 11 Januari 1906. Setelah menikah, pasangan muda itu tinggal di pusat kota Zwolle, di sebuah rumah di jalan Filosenallee 1a. Rumah pasangan muda itu terkenal di kalangan para aktivis sosialis baik di luar maupun di dalam kota Zwolle. Rumah mereka kerap kali jadi tempat berkumpul untuk mendiskusikan beragam persoalan dan merencanakan aksi.
MAARTJE Visser gadis rupawan: rambutnya pirang kemerahan, bola mata hijau berbinar-binar, telah menawan hati pemuda berusia 23 tahun. Henk Sneevliet, pemuda itu, langsung bertekuk lutut dan tanpa pikir panjang meminang untuk jadi istrinya. Pertemuan mereka terjadi saat keduanya aktif di organisasi pemuda sosialis di Zwolle. Maartje anggota Perkumpulan Perempuan Sosial-Demokrat (Sociaal-Democratische Vrouwenclub).
“Martje gadis cantik yang periang dan menggairahkan,” tulis Max Perthus dalam biografi Sneevliet.
Lamaran Sneevliet gayung bersambut. Maartje tak menampik permohonan Sneevliet dan mereka menikah di Zwolle pada 11 Januari 1906. Setelah menikah, pasangan muda itu tinggal di pusat kota Zwolle, di sebuah rumah di jalan Filosenallee 1a. Rumah pasangan muda itu terkenal di kalangan para aktivis sosialis baik di luar maupun di dalam kota Zwolle. Rumah mereka kerap kali jadi tempat berkumpul untuk mendiskusikan beragam persoalan dan merencanakan aksi.
Dua sejoli itu tak hanya pasangan suami-istri tapi juga kawan seiring dalam gerakan. Namun, menurut Dick de Winter, ketua Komite Peringatan Sneevliet, Maartje tak sepenuh hati mencintai Sneevliet. Bahkan dia tak berhasrat seksual kepada Sneevliet. “Tapi Sneevliet berpikir hal itu akan terjadi, namun membutuhkan waktu,” tulis Dick de Winter dan Jan Hekkenberg dalam makalahnya tentang Sneevliet yang dimuat di onvoltooidverleden.nl.
Setahun lebih setelah pernikahan, rumah tangga Sneevliet-Maartje mulai gonjang-ganjing. Dalam biografinya, Perthus menulis beberapa kemungkinan retaknya rumah tangga –yang menurut orang kelihatan baik-baik saja itu. Sneevliet terlalu sibuk dengan urusannya sehingga dia tak punya cukup waktu untuk istrinya. Dugaan lain, diam-diam Maartje punya pria idaman lain yang mengalihkan perhatiannya dari Sneevliet. “Lelaki itu adalah Dr. Jan Knuttel, penyunting kamus bahasa Belanda anggota dewan kota Leiden dari SDAP,” ujar Perthus.
Hubungan pertemanan Knuttel dengan Sneevliet sedikit terganggu. Namun, ada kalanya mereka harus berada dalam satu posisi bersama demi gerakan sosialis yang sedang mereka perjuangkan. Sneevliet berhasil mengatasi konflik batin tersebut sehingga tak mengganggu kerja-kerja politiknya.
Setelah Maartje meninggalkannya sendiri, Sneevliet menenggelamkan diri pada buku-buku. Terjaga sampai larut malam, membaca halaman demi halaman buku, mulai karya Multatuli sampai Karl Marx. Mencurahkan perhatiannya pada bahan bacaan soal perjuangan buruh. Dia kesepian, kata Perthus, tapi kegiatan dan kawan-kawannya berhasil membebaskannya dari keterpurukan. Tak lama kemudian, Sneevliet kembali seperti sediakala: menjadi seorang politikus yang periang, cerdas dan selalu memukau banyak orang tiap kali berpidato.
Betsy Brouwer
Luka perceraian mulai terhapus saat Sneevliet menatap wajah seorang guru sekolah menengah di Zwolle yang ditemuinya pada beberapa acara SDAP. Perempuan itu terlihat cerdas dan memiliki kepribadian yang sangat kuat. Sneevliet duda muda, baru setahun lebih bercerai dari istri pertamanya. Betsy Brouwer nama perempuan itu, telah memikat hati Sneevliet.
Ketika mereka bertemu, Betsy bekerja sebagai guru di sebuah sekolah di distrik Assendorp, Zwolle. Sementara Sneevliet anggota dewan kota Zwolle dari SDAP. Keduanya punya minat yang sama pada sastra dan sama-sama mengagumi puisi karya Henriette Roland Holst. “Setelah itu mereka selalu bertemu seminggu sekali. Biasanya mereka bertemu di sekolah, tapi kadang-kadang di stasiun,” tulis Dick de Winter.
Angelbertha Johann Brouwer (Betsy Brouwer) lahir dua setengah tahun lebih tua dari Sneevliet. Dilahirkan di Zwolle pada 2 Oktober 1880. Ayahnya, Klaas Brouwer, kepala sekolah guru di Zwolle. Berbeda dengan Maartje yang identik dengan “keindahan” dan keceriaan, Betsy lebih terlihat sebagai perempuan serius dan puritan. Dia memang datang dari keluarga Kristen fanatik: ayahnya seorang Protestan, ibunya penganut Calvinis dan kakak lelakinya, KJ Brouwer bekerja sebagai direktur Institut Zending di Oegstgeest, wilayah permukiman tak jauh dari Leiden.
Kendati begitu, Sneevliet dan Betsy menikah juga pada 22 Juli 1909. Kehidupan mereka mengalami perubahan drastis setelah menikah. Sneevliet telah total meninggalkan iman Katoliknya. Sementara Betsy menghadapi persoalan rumit dengan keluarganya yang melihat pernikahan itu sebagai sebuah kesalahan. Pada November 1909 pasangan ini pindah ke Utrech, karena Sneevliet dipercaya jadi wakil ketua kemudian jadi ketua NVSTP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram Belanda). Karier politik Sneevliet makin moncer. Selain duduk di posisi puncak organisasi, Sneevliet juga mengelola penerbitan organisasi, Orgaan dan menulis kolomnya sendiri di majalah De Nieuwe Tijd, terbitan resmi SDAP.
Pada 9 Maret 1911, pasangan Sneevliet-Betsy dikarunia sepasang anak lelaki kembar. Anak pertama diberi nama Ingbert Klaas Cornelis, perpaduan nama ayah Betsy, Klaas dan nama ibunya, Cornelis. Anak kedua diberi nama Marten Hendrik Wouter, mewarisi nama ibu Sneevliet, Hendrika Wouter. Namun, untuk lebih mudahnya, Sneevliet memanggil mereka Pim dan Pam. Mereka memiliki sifat yang berlawanan. Pim mewarisi sifat ayahnya. Dia periang dan bersemangat, sedangkan Pam mirip ibunya: serius dan melankolis.
Ketika terjadi konflik di kalangan serikat buruh, Sneevliet mengundurkan diri dan kemudian memutuskan untuk pergi ke Hindia Belanda. Betsy, Pim dan Pam kembali ke Zwolle sementara Sneevliet berlayar menuju Jawa pada awal 1913.
Setibanya di Jawa, Sneevliet bekerja di Surabaya dan tak lama kemudian pindah ke Semarang. Sneevliet rajin mengirim surat untuk keluarganya di Zwolle, juga uang bulanan sebesar 80 gulden. Setahun kemudian, atas bantuan kawan-kawan partainya, Betsy dan dua anak kembarnya memutuskan untuk menyusul Sneevliet ke Hindia. Mereka tiba di pelabuhan Tanjung Priok pada 25 Agustus 1914.
Di Semarang, Betsy bekerja sebagai petugas administrasi. Dua tahun sejak kedatangannya, Betsy bekerja sebagai guru di Semarang. Dengan cepat mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan Hindia Belanda. Sesekali Sneevliet membawa keluarganya berlibur ke Salatiga, mencari udara dingin, menghindari cuaca Semarang yang panas menyengat.
Kebersamaan keluarga ini mulai terusik ketika pemerintah kolonial menjatuhkan sanksi pengusiran terhadap Sneevliet akibat kegiatan politiknya. Pada akhir 1918, Sneevliet harus keluar dari Hindia Belanda, sementara Betsy dan kedua anak mereka tetap tinggal di Semarang. Sneevliet yang telah kembali ke Eropa semakin sibuk dengan kegiatan politiknya dan tugas dari Komintern yang dia emban.
Kehidupan Betsy di Semarang berubah menjadi serba menegangkan akibat aktivitas politik suaminya. Beberapa kali polisi datang menggeledah rumahnya. Kontak surat menyurat dengan Sneevliet tetap dia lakukan, kendati seringkali surat-surat itu disensor. Walau Sneevliet tak lagi ada, beberapa rekannya seperti Bergsma, Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka tetap menjalin kontak dengan Betsy.
Menurut sejarawan Harry Poeze, ketika pada 1922 Tan Malaka diusir dari Hindia Belanda, Betsy-lah yang mengongkosinya. “Waktu Tan Malaka dibuang, dia pergi ke rumah Betsy di Semarang. Betsy kasih dia uang untuk ongkos ke Belanda,” kata penulis biografi Tan Malaka itu.
Sima Zolkowskaja
Pertengahan tahun 1923, Betsy dan kedua anaknya memutuskan pulang dan tiba kembali di Belanda pada Agustus 1923. Pada saat itu Sneevliet sudah memiliki hubungan dengan perempuan Rusia, Sima Lowowna Zolkowskaja dan sebulan setelah kedatangan Betsy ke Belanda, Sima melahirkan anak perempuan Sneevliet. Anak perempuan itu diberi nama sama dengan ibunya: Sima Sneevliet.
Betsy dan Sneevliet baru resmi bercerai pada 26 September 1924. Sebelumnya Sneevliet hanya menyatakan pisah lewat surat. Dua tahun setelah kelahiran Sima Sneevliet dan setahun setelah perceraian resminya dengan Betsy, Sneevliet menikahi Sima Zolkowskaja.
Sneevliet bertemu Sima Zolkowskaja untuk pertama kalinya ketika dia berkunjung ke Moskow untuk menghadiri kongres Komintern kedua pada Juli 1920. Dalam kongres itu Sneevliet mewakili PKI. Sima aktivis organisasi pemuda partai komunis di Uni Soviet. Menurut Perthus, Sima pribadi yang lincah dan spontan. Dia punya riwayat sebagai aktivis bawah tanah sebelum revolusi Bolshevik terjadi. Sneevliet punya julukan khusus untuknya: “Kuda liar padang rumput”.
Pada musim gugur 1924, Sima dan anaknya datang ke Amsterdam. Mulanya Sneevliet dan istri ketiganya itu menumpang di rumah kawannya di Amsterdam. Lantas dia pindah ke sebuah flat di Nassaukade 101, Amsterdam. Mereka berdua aktif dalam kegiatan politik.
Rumah tangga Sneevliet-Sima mulai menemui masalah karena Sima punya idaman lain. Jef Swart, kawan separtai Sneevliet, Communistische Partij van Holland (CPH). Persoalan kemudian semakin rumit ketika berembus isu tentang aksi spionase yang dilakukan oleh Jef Swart dan Sima. Saat itu kongsi politik dengan Soviet mulai terpecah. Stalin yang berkuasa meringkus lawan-lawan politiknya, terutama sekali mereka yang berhubungan dengan Leon Trotsky.
Sneevliet dan Sima akhirnya bercerai pada Juni 1928. Sima kembali ke Moskow, membawa serta anaknya, Sima Sneevliet. Jef Swart sudah berada di Moskow lebih dulu. Mereka kemudian menikah dan bekerja sama sebagai agen dalam dinas intelijen di Uni Soviet.
Mien Draaijer
Cerai dari Sima, Sneevliet menikah lagi dengan Wilhelmina Hendrika Draaijer atau bisa dipanggil Mien Draaijer pada akhir 1929. Mien bukan orang baru dalam kehidupan Sneevliet. Janda satu anak itu aktif di organisasi perempuan yang berafiliasi dengan NAS, organisasi di mana Sneevliet juga aktif.
Mien dan Sneevliet menyewa sebuah rumah yang cukup besar di Overtoom 468, Amsterdam. Satu kamar di rumah itu disewakan untuk menambah penghasilan Sneevliet. Pasca perceraian dengan Sima, Sneevliet memang terlilit utang. Dia juga masih punya kewajiban untuk membiayai hidup Betsy dan kedua anak mereka.
Mien adalah istri terakhir Sneevliet. Keduanya saling mencintai. Sneevliet punya panggilan sayang khusus kepada istrinya itu “Moeder Mien” atau Mama Mien. Ellen Santen, cucu Mien Draaijer, menceritakan kalau Sneevliet rindu akan sosok ibu. “Mungkin karena sejak kecil dia ditinggal mati ibunya. Sehingga dia memanggil nenek saya moeder,” kata Ellen.
Dari perkawinan ini, Sneevliet tak punya anak, kecuali anak perempuan tiri yang dibawa oleh Mien dari perkawinan sebelumnya. Anak itu bernama Gijsberta Blaauw, biasa dipanggil Bep Blaauw. Mien menjadi pendamping Sneevliet pada masa pengujung hidupnya yang penuh prahara.
Ketika Nazi datang menduduki Belanda, Mien harus ikut bersembunyi dan turut serta dalam kegiatan antifasis di bawah tanah. Saat mereka akhirnya ditangkap Nazi, dalam persidangannya, Sneevliet meminta ke hakim pengadilan Nazi untuk membebaskan Mien. Sneevliet menanggung semua akibat perjuangannya asalkan istrinya tak dibikin menderita. Tapi kemudian Sneevliet dijatuhi hukuman mati dan Nazi tak pernah memenuhi permintaan Sneevliet.
Mien bersama perempuan istri kelompok perlawanan bawah tanah lainnya dikirim ke kamp konsentrasi di Ravenbruck, Jerman. Di dalam kamp, Mien bertugas sebagai petugas laundry. Sebisa mungkin dia berkirim surat kepada sanak keluarganya di luar kamp, termasuk untuk Sneevliet yang sebelum hari eksekusinya ditahan di penjara Nazi di Amersfoort.
Pasangan ini dipisahkan oleh maut. Sneevliet sempat mengirim surat terakhir sehari sebelum dia dieksekusi. Dalam surat itu dia menyatakan kecintaannya pada istrinya itu seraya menghibur Mien yang bersedih mendengar kabar bakal dieksekusinya Sneevliet. “Baca puisi yang kamu sukai... Aku mencium tanganmu, jari-jarimu, rambutmu, dan matamu. Selamat tinggal Mama Mien, padamu aku berterima kasih,” kata Sneevliet dalam surat bertanggal 12 April 1942 itu. Keesokan harinya, sebutir peluru memisahkan Sneevliet dari Mien untuk selamanya.*