Petak Sinkian mulanya kebun singkong kemudian dibeli perkumpulan sepakbola Tionghoa. Dari lapangan ini lahir bintang sepakbola nasional selama hampir seabad. Nasibnya di ujung tanduk.
Jan Somar (kiri) dan Peter Susanto bersama anak-anak didik SSB UMS di lapangan Petak Sinkian. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
PEPOHONAN. Semilir angin. Kicauan burung. Seperti oasis di tengah gurun, lapangan sepakbola Petak Sinkian di kelurahan Mangga Besar, Taman Sari, Jakarta Barat, memberi ketenangan di tengah kebisingan, kesegaran di tengah kepenatan, dan kenangan di tengah kekinian yang carut-marut.
Namun, siang itu, lapangan Petak Sinkian –disebut demikian karena terletak di Jalan Ubi-Petak Sinkian– atau beken disebut Stadion UMS (Union Makes Strength) sepi. Tempat parkir masih kosong. Pintu asrama pemain terbuka tapi tak seorang pun terlihat. Kesibukan hanya terlihat di beberapa sisi lapangan. Segelintir orang duduk-duduk, ngobrol, atau tiduran di tribun. Beberapa lelaki sibuk memperbaiki lapangan. Peter Susanto, yang pernah jadi kapten tim UMS senior, mengawasi.
Menurut Peter, kondisi lapangan ini kini lebih tinggi. Dulu, bila hujan deras tiba, lapangan langsung tergenang air. “Sekitar 1980-an direnovasi, naik (lebih) tinggi,” ujarnya.
PEPOHONAN. Semilir angin. Kicauan burung. Seperti oasis di tengah gurun, lapangan sepakbola Petak Sinkian di kelurahan Mangga Besar, Taman Sari, Jakarta Barat, memberi ketenangan di tengah kebisingan, kesegaran di tengah kepenatan, dan kenangan di tengah kekinian yang carut-marut.
Namun, siang itu, lapangan Petak Sinkian –disebut demikian karena terletak di Jalan Ubi-Petak Sinkian– atau beken disebut Stadion UMS (Union Makes Strength) sepi. Tempat parkir masih kosong. Pintu asrama pemain terbuka tapi tak seorang pun terlihat. Kesibukan hanya terlihat di beberapa sisi lapangan. Segelintir orang duduk-duduk, ngobrol, atau tiduran di tribun. Beberapa lelaki sibuk memperbaiki lapangan. Peter Susanto, yang pernah jadi kapten tim UMS senior, mengawasi.
Menurut Peter, kondisi lapangan ini kini lebih tinggi. Dulu, bila hujan deras tiba, lapangan langsung tergenang air. “Sekitar 1980-an direnovasi, naik (lebih) tinggi,” ujarnya.
Sejak jadi lapangan sepakbola, Petak Sinkian sudah beberapa kali mengalami pembenahan. Setelah memagarinya, UMS melengkapi lapangan dengan tribun pada 1950-an. Setelah itu dibangun loket dan asrama untuk pemain. Pada 1980-an, setelah meninggikan lapangan sekira satu meter, pengurus memasang papan skor di sisi timur lapangan. Terakhir, UMS melengkapi stadionnya dengan lampu.
Peter lalu bergegas menuju lapangan. Dia harus melatih anak-anak usia 10 tahun mengolah bola. Sejak 1970-an, UMS membuka sekolah sepakbola (SSB). Jan Somar, pria asal Papua berdarah Ambon, menjadi pelatih kepalanya mulai 2010. Jan pernah jadi pemain Persipura. Tak mudah baginya menjalankan SSB. Tiga tahun lalu, UMS masuk daftar hitam persepakbolaan nasional akibat kasus pencurian umur dalam Liga Kompas-Gramedia. Latar belakang keluarga para siswa SSB, yang kebanyakan tak mampu, menambah daftar masalah. “Untuk bayar iuran sebulan 50 ribu saja bisa nunggak sampai setahun,” ujar Jan.
Namun, Jan pantang menyerah. Dia berharap, para siswa SSB UMS bukan hanya jadi pesepakbola yang baik tapi juga punya karakter. Keberadaan mereka juga penting untuk menyambung tali sejarah UMS yang sudah merentang lebih dari seabad.
Sebuah Identitas
Semula Petak Sinkian adalah kebun singkong milik tuan tanah bernama Haji Abdul Manaf, kakek mantan Gubernur Fauzi Bowo. Pada 1913, Perkumpulan Olah Raga (POR) Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH) –kelak bergabung dan menjadi UMS– menyewanya dengan biaya enam gulden per bulan.
Kebun singkong itu tak produktif tapi dikelilingi pohon kelapa. Ketika pengelola UMS hendak mengubah kebun menjadi lapangan sepakbola, pemilik mengajukan syarat. “Penebangan setiap pohon juga dikenakan biaya. Untuk setiap pohon tua sebesar 5 gulden dan setiap pohon muda dikenakan ongkos 12,50 gulden,” tulis Buku Peringatan Ulang Tahun UMS: 15 Desember 1905–2005. Sejak itu, lapangan Petak Sinkian mengiringi perjalanan klub UMS.
Di masa itu sepakbola sudah menjadi olahraga populer. Mulanya hanya dimainkan orang-orang Eropa, terutama Belanda. Belakangan orang Tionghoa dan bumiputra memainkannya. Sekolah-sekolah umum seperti Hogere Burger School dan Hollandsch Inlandsche School memasukkan sepakbola ke dalam kurikulum mereka.
Di kalangan Tionghoa, Lee Teng Hwie, anggota Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), memainkan peranan penting dalam mempopulerkan sepakbola. Sepulang studi di Universitas Yale, Amerika Serikat, awal abad ke-20, dia membawa dan memperkenalkan sepakbola dan cabang olahraga lain ke sekolah THHK di daerah Patekoan –kemudian disingkat Pahoa: Patekoan Tiong Hoa Hwee Koan. “Waktu belajar di Yale dia banyak terkesan dengan sport yang waktu itu mulai bangkit,” ujar sejarawan Didi Kwartanada.
Pada 15 Desember 1905, THHK mendirikan THOTH; semula fokus atletik tapi kemudian sepakbola. Tertarik dengan sepakbola, Oey Keng Seng dan Louw Hap Ie, anggota THHK lainnya, mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan Scholar’s Football Club atau Pa Hoa FC pada 20 Februari 1914. Pa Hoa FC lalu berubah nama jadi Union Makes Strength (UMS) pada 2 Agustus 1914.
Tradisi kejuaraan sepakbola Tionghoa selalu diperebutkan oleh Tionghoa Surabaya dan UMS Batavia.
Pada 1923, para pengelola THOTH dan UMS sepakat untuk menggabungkan diri. Mereka sepakat tetap memakai nama UMS. “Karena tujuannya supaya lebih kuat, maka namanya Union Makes Strength, bersatu jadi lebih kuat,” ujar Iskandar Yusuf, pengurus YPP Pahoa, ketika ditemui di kantornya di bilangan Gading Serpong.
Untuk menghormati THOTH yang lebih tua, tanggal 15 Desember dipilih sebagai hari lahir UMS. “THOTH-UMS Batavia memiliki tujuan bahwa didirikannya POR adalah untuk mengikat pemuda-pemuda Tionghoa dalam satu organisasi supaya rasa persatuan sesama keturunan Tionghoa lebih kokoh di luar ikatan partai politik, sehingga kalangan luas Tionghoa khususnya di Batavia bisa bergabung bersama melalui dunia olahraga dan sepakbola,” tulis RN Bayu Aji dalam Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola.
Pada 1920-an, UMS masuk ke dalam federasi sepakbola West Java Voetbal Bond (WJVB) –kemudian jadi Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO) dan pada 1951 jadi Persija. UMS disegani lawan-lawannya. Beberapa kali ia menjadi jawara VBO, termasuk hattrick pada 1932–1934. UMS juga mencetak pemain-pemain top. Salah satunya Boen Kin To alias Tony Wen, yang jadi idola remaja sebelum Perang Dunia II dan kerap jadi pemberitaan media.
Prestasi UMS terus berlanjut ketika orang-orang Tionghoa sudah punya induk sepakbola sendiri, yakni Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) pada 1930. UMS mendapat perlawanan sepadan dari klub Tionghoa Surabaya. “Tradisi kejuaraan sepakbola Tionghoa selalu diperebutkan oleh Tionghoa Surabaya dan UMS Batavia,” tulis Bayu Aji.
Mencoba Bertahan
Setelah kemerdekaan, UMS bergabung dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan sejak itu tak hanya dihuni pemain Tionghoa. Djamiat Dhalhar, salah satu andalan timnas Indonesia pada 1950-an, menjadi pemain non-Tionghoa pertama yang merumput bareng UMS.
“UMS adalah klub pertama yang melakukan pembauran. Setelah itu UMS merekrut banyak pemain pribumi. Langkah UMS ini lantas diikuti klub-klub sepakbola Tionghoa lainnya,” ujar Michael Chandra W., sekretaris Yayasan UMS periode 2005–2008, dalam Buku Peringatan Ulang Tahun UMS: 15 Desember 1905–2005.
Prestasi UMS terus bertahan. Ini tak lepas dari tangan dingin pelatih Endang Witarsa. Salah satu buktinya, UMS terus memuncaki musim kompetisi Persija, kompetisi Perserikatan di wilayah Jakarta, 1952–1953. Dari sinilah Persija memilih pemain-pemain bagus untuk berlaga dalam Kompetisi Perserikatan PSSI yang digelar tiap tahun.
UMS juga memasok tim nasional Indonesia. Sebut saja Thio Him Tjiang dan Kwee Kiat Sek, yang jadi andalan timnas era 1950-an. Selain membantu merah putih menahan Uni Soviet 0-0 pada Olimpiade Melbourne 1956, keduanya ikut mengantarkan Indonesia sebagai juara ketiga sepakbola pada ajang Asian Games 1958 dan juara wilayah Asia Timur pada pra-Piala Dunia 1958.
“Pada ajang pra-Piala Dunia 1958, kita mengalahkan RRT dan tinggal melawan Israel sebagai juara Asia Barat/Timur Tengah. Tapi Bung Karno melarang, kita tak jadi bertanding,” kenang Maulwi Saelan, mantan penjaga gawang timnas kala itu.
Sumbangsih UMS bagi tim nasional terus berlanjut pada dekade-dekade berikutnya, dari Rony Paslah hingga Surya Lesmana, dari Rully Nere hingga Widodo Cahyono Putro. Ketika kompetisi Galatama, liga profesional pertama di Indonesia, bergulir pada 1979, UMS sempat mencicipi sebentar. Menggandeng Astra dan mengusung nama baru, UMS 80 berlaga di Galatama. Sayang, Endang Witarsa tak berhasil mengantarkan UMS 80 sebagai juara, hanya sempat dua kali jadi runner up (1983 dan 1984).
Sepeninggalan Endang Witarsa, yang meninggal pada 2008, UMS masih mempertahankan tradisinya sejak lebih 100 tahun lalu: melatih, membina, dan membesarkan talenta-talenta berbakat dari berbagai penjuru tanah air. Namun, rintangan besar mengadang.
Masalah Pelik
Setelah lama menyewa Petak Sinkian, UMS membeli lapangan seluas 12.300 m2 itu pada 1954 dengan harga Rp200 ribu. Tercatat dalam Akta Jual Beli tanggal 6 Maret 1954 namun belum didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah. Menurut Michael Chandra, saat UMS mengurus surat-surat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ahli waris Abdul Manaf malah menjual lapangan tersebut kepada pihak lain.
Tanah tersebut dijual Anwar Manaf dan Moechsina binti Mochamad Soleh kepada Wagianto, warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Namun, selama hidupnya, Wagianto tak sempat mengajukan balik nama –belakangan baru tercatat dalam Akta Jual Beli tertanggal 17 Juni 1988. Saling klaim mulai timbul pada 1974.
Pada 1998, BPN membatalkan sertifikat hak milik atas nama Wagianto. Merasa dirugikan, ahli waris Wagianto menggugat BPN dan Yayasan UMS –didirikan pada 19 Desember 1989– ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Karena BPN tak naik banding, UMS maju sendirian. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) memenangkan UMS. MA menguatkan putusan PTTUN.
Namun, perkaranya belum berhenti di sini. Pada 2001, ahli waris Wagianto kembali menggugat UMS secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Ini didasari aturan bahwa pembatalan sertifikat hak milik harus dilakukan melalui persidangan perkara perdata pada peradilan umum untuk menentukan siapa pemilik tanah. Putusan pengadilan memenangkan penggugat. UMS naik banding di Pengadilan Tinggi Jakarta tapi kalah. Pengajuan kasasi ke MA juga ditolak.
Pada 21 Januari 2011, juru sita pengadilan mengeksekusi Petak Sinkian. “Waktu mereka datang, kaget. Banyak anakanak latihan bola. Mereka kira ini lahan kosong,” kenang Jan. “Ada 200 anak waktu itu di lapangan.”
Sejak itu, UMS tak boleh beroperasi di Petak Sinkian. Mereka terpaksa memindahkan kegiatan administrasi ke Kedoya, rumah ketua umum yayasan (Singgih Mulyono). Namun, pengadilan masih mengizinkan Petak Sinkian dipakai sebagai tempat latihan sepakbola. “Walaupun kita lagi ancur, kita tetap jalanin UMS,” ujar Peter Susanto.
Banyak pihak menyayangkan eksekusi pengadilan. Dukungan moral terus berdatangan kepada UMS. Pihak UMS sendiri terus berupaya mengumpulkan bukti-bukti yang bisa menguatkan di pengadilan lanjutan. “Kalau lancar, kami akan minta pemerintah menjadikan ini cagar budaya,” ujar Peter.*