Kisah unit pasukan pemburu yang dibentuk militer Belanda untuk mendapatkan hidup atau mati J.C. Princen, tentara Belanda yang membelot ke pihak Republik.
Korps Pasukan Khusus atau Korps Speciale Troepen (KST) yang sebagian terlibat perburuan Princen. (nederlandssekrijgsmacht.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
MAYOR Jenderal Engles, panglima militer Belanda di Jawa Barat, berang. Tentaranya tak jua dapat meringkus eks Kopral Johannes Cornelius Princen, bekas anak buahnya yang membelot.
Menurut laporan Badan Intelijen Militer Belanda (NEFIS), Princen bergabung dengan Divisi Siliwangi. Dan sepulang long march dari Jawa Tengah, dia didapuk menjadi komandan Pasukan Istimewa Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris dengan pangkat letnan.
“Dia berada di bawah komando kompi Kapten Saptadji,” tulis Ronald Frisart dalam laporan berjudul “Speurtocht Door Vergeeld Papier Naar Poncke Princen” di koran Leidsch Dagblad, 11 September 1993.
Sejak itu Princen dan pasukannya kerap bikin repot militer Belanda. Diberitakan, mereka merampas banyak senjata serta membunuh tentara Belanda di Sukabumi dan Cianjur. Secara politik, soal ini cukup membuat pusing dan malu Belanda: bagaimana bisa seorang Belanda totok bergabung dengan para pejuang Republik?
MAYOR Jenderal Engles, panglima militer Belanda di Jawa Barat, berang. Tentaranya tak jua dapat meringkus eks Kopral Johannes Cornelius Princen, bekas anak buahnya yang membelot.
Menurut laporan Badan Intelijen Militer Belanda (NEFIS), Princen bergabung dengan Divisi Siliwangi. Dan sepulang long march dari Jawa Tengah, dia didapuk menjadi komandan Pasukan Istimewa Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris dengan pangkat letnan.
“Dia berada di bawah komando kompi Kapten Saptadji,” tulis Ronald Frisart dalam laporan berjudul “Speurtocht Door Vergeeld Papier Naar Poncke Princen” di koran Leidsch Dagblad, 11 September 1993.
Sejak itu Princen dan pasukannya kerap bikin repot militer Belanda. Diberitakan, mereka merampas banyak senjata serta membunuh tentara Belanda di Sukabumi dan Cianjur. Secara politik, soal ini cukup membuat pusing dan malu Belanda: bagaimana bisa seorang Belanda totok bergabung dengan para pejuang Republik?
Angkatan Darat Belanda bukannya tinggal diam. Sekitar Juni 1949, dua batalyon prajurit dari kesatuan elite baret merah dan baret hijau nyaris meringkus Princen di wilayah antara Cisaat dan Sipiangan. Namun, dengan lihai Princen meloloskan diri dan menghindar ke markas Pasukan Istimewa di wilayah Cipakel.
“Mereka memburuku dengan memanfaatkan orang-orang lokal yang menjadi mata-mata mereka,” ujar Princen.
Dalam suratnya tertanggal 20 Juli 1949 kepada Letnan Jenderal D.C. Buurman van Vreeden, panglima militer Belanda di Jawa, dia berjanji: “... di atas segala-galanya akan mengusahakan untuk menyingkirkan deserter Kopral Princen,” tulisnya, dikutip Joyce van Fenema dalam buku Poncke Princen: Een Kwestie van Kiezen.
Van Vreeden menjawab positif surat Engles. Di tingkat tertinggi militer Belanda, menemukan Princen jadi prioritas. Telik sandi pun disebar. Pasukan Belanda juga mulai menangkapi penduduk dan, jika perlu, menyiksa mereka guna mendapatkan informasi soal keberadaan Princen dan pasukannya.
Upaya itu membuahkan hasil. Saat lokasi Princen sudah bisa dipastikan, Engles meminta Letnan Henk Ulrici, komandan satu dari tiga unit pasukan khusus (Korps Speciale Troepen/KST), membentuk tim khusus dengan mengambil prajurit-prajurit KST pilihan. Targetnya: membawa Princen hidup atau mati.
Awal Agustus 1949, Letnan Ulrici berhasil membentuk sebuah tim komando buru sergap berkekuatan satu peleton atau sekira 60 prajurit yang terdiri dari orang Ambon, Timor, Sunda, Jawa, dan sebagian kecil orang Belanda. Oleh Letnan Ulrici, unit tersebut diberi nama Compagnie Eric, nama sandinya saat menjadi partisan Belanda melawan Jerman.
“Kami harus cepat bergerak, sebelum gencatan senjata diberlakukan pada 10 Agustus 1949, Princen harus kami dapatkan,” ujar bekas ajudan Kapten Raymond Westerling kepada Joeri Boom dan Paul Rubsaam dalam “De Princenjagers”, dimuat majalah De Groene Amsterdammer, 16 Agustus 1995. Gencatan senjata itu merupakan bagian dari kesepakatan Perjanjian Roem-Royen.
Menyaru TNI
Stasiun Lampegan, 7 Agustus 1949. Pagi baru saja menyeruak saat sebuah kereta api menurunkan tim pemburu Compagnie Eric yang didatangkan langsung dari asrama mereka di Batujajar, Cimahi. Dengan memakai ikat kepala berwarna merah dan bersenjata lengkap, mereka berlaku seolah pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Usai menurunkan seluruh anggotanya, tanpa banyak acara, Letnan Ulrici memerintahkan anak buahnya untuk bergerak ke arah Cibeber.
“Dalam gerakannya mereka membawa seorang asisten wedana dan juru tulis Lampegan yang bernama Idang,” ujar Oedjang Nawawi (95), salah seorang anggota pasukan Princen.
Tanpa disangka, di perempatan dekat Cisitu, mereka bertemu dengan sekelompok pasukan Divisi Siliwangi dari Yon F. Salah seorang anggota Compagnie Eric yang seorang bumiputera berusaha tidak panik.
“Merdeka!” teriaknya.
“Tetap merdeka! Saudara dari mana?“ tanya sang komandan TNI.
“Kami tengah ditugaskan untuk menjemput seseorang,” ujarnya seraya menyodorkan tangan kanan untuk bersalaman.
Belum lepas tangan mereka bersalaman, dari arah unit Compagnie Eric terdengar serentetan tembakan. Mereka panik. Para prajurit dari dua pasukan yang sebenarnya bermusuhan berlari untuk mencari tempat perlindungan.
Menurut Prajurit Qadim (95), salah seorang saksi dari TNI dalam peristiwa tersebut, begitu rentetan tembakan yang melukai seorang kawannya bernama Prajurit Ajum, secara spontan dia menembakkan stengun ke arah unit Compagnie Eric.
“Kami kaget sekaligus marah dan baru sadar mereka adalah musuh. Maka terjadilah pertempuran jarak dekat setelah terdengar rentetan tembakan itu,” kenangnya.
Karena persenjataan tak seimbang, setelah sekitar 15 menit bertempur, pasukan Yon F memutuskan mundur. Qadim sendiri menyelinap ke semak-semak dengan menggendong Ajum yang terluka di bagian paha kanannya.
Pindah Markas
Berita bentrok Cisitu menyebar cepat di lingkungan basis Batalyon Kala Hitam. Madhani (90) masih ingat, beberapa jam setelah bentrokan itu, seorang kurir dari markas kompi di Batusirap (kira-kira 20 km dari Cilutung, markas Pasukan Istimewa) mendatangi Princen. “Dia menyampaikan sepucuk surat dari Kapten Saptadji, berisi peringatan agar waspada terhadap gerakan satu unit tentara Belanda di wilayah Lampegan,“ ujar kurir kepercayaan Princen tersebut.
Tak mau kecolongan, malam harinya, Princen memindahkan markas ke Cibogo, sebuah lembah kecil yang diapit Perkebunan Teh Gunung Kancana dan bukit Cadas Gantung. Usai menempatkan sebagian pasukannya dan Odah, istrinya yang mengandung delapan bulan, Princen membawa beberapa anak buahnya kembali ke Cilutung Girang. Di sana, mereka menembakkan peluru-peluru sinyal ke arah selatan dan sesekali peluru-peluru tajam ke udara.
“Suara tembakan pasukan Pirsen (maksudnya Princen) bahkan sampai terdengar ke Cihaur Kanoman,” kenang Endi (94), tokoh pemuda saat itu. Cihaur Kanoman adalah kampung yang bertetangga dengan Cilutung Girang.
Tembakan itu tak membuat pasukan Ulrici terpancing. Akhirnya, setelah beberapa jam menunggu dan tak mendapatkan para pemburunya bergerak, Princen memerintahkan anak buahnya kembali ke markas di Cibogo.
Begitu sampai, demi keamanan, Princen memerintahkan para penjaga untuk menggali lubang-lubang pertahanan dan menempatkan para penembak jitu di dalamnya. Dia lantas masuk ke pondok dan disambut seulas senyum dari sang istri, yang tengah menyiapkan makan malam untuknya: ayam goreng, nasi putih, dan sambal. Sambil makan, dia mendengarkan Odah bercerita tentang banyak hal dalam bahasa Sunda.
Malam semakin dingin. Suara binatang malam bersipongan, membentuk orkestra. Obrolan terus berlanjut begitu Princen selesai bersantap. Menjelang dini hari, mereka menyerah dan memanjakan rasa kantuk di sehelai tikar butut. Terlelap hingga serentetan tembakan memecah pagi.
Astana 12
Sambil menghamburkan peluru-peluru tajam dari jungle carbine, Ulrici memerintahkan pasukannya untuk membuat formasi setengah lingkaran mengepung pondok kecil yang dikelilingi parit tersebut. Dari atas Cadas Gantung, beberapa anak buahnya melempar beberapa granat ke arah para penembak jitu TNI yang bertahan di lubang-lubang pertahanan. Asap mengepul, api berkobar. Lima prajurit Siliwangi terkapar bersimbah darah.
“Yang terjadi kemudian, kami menghabisi pasukan Princen yang lari ke sana ke mari dalam kondisi kebingungan. Maka anak-anak Ambon itu beraksi secara brutal dengan klewang-klewang mereka,” tutur Ulrici.
Diikuti sebagian anak buahnya, Ulrici berlari mendekati pondok. Usai mendobrak pintu, dia menghambur ke dalam pondok. Namun, tanpa dinyana satu tembakan melukai tangan kanannya. Sambil menahan nyeri, sekilas sudut matanya menangkap gerak seseorang. Tanpa menunggu lagi, Ulrici menghantam sosok itu.
Dalam gerak hati-hati, Ulrici mendekati sosok yang sudah terkapar tersebut. Hatinya tercekat begitu mengetahui tembakannya membobol kepala seorang perempuan muda yang tengah memegang sebuah tommygun. Selain perempuan muda itu, yang tak lain adalah Odah, dia hanya menemukan sebuah buku catatan harian milik Princen. Sadar operasinya gagal dan waktu gencatan senjata sudah tiba, dia memerintahkan pasukannya membakar pondok dan mundur sembari membawa dua serdadu yang tewas. Pondok kecil dan sekitarnya pun kembali sunyi.
Sementara itu, di balik bukit di seberang pondok, beberapa anak buah Princen berusaha menahan komandannya yang nekat hendak mendekati pondok. Oedjang Nawawi menjadi saksi betapa terpukulnya sang komandan. Rupanya Princen merasa bersalah karena meninggalkan Odah sendirian. “Dia menangis terus dan terlihat sedih saat memeluk tubuh istrinya yang sudah menjadi arang,” ujar pensiunan TNI berpangkat sersan mayor tersebut.
Akibat serangan itu, 12 anggota Pasukan Istimewa gugur (termasuk Odah). Beberapa senjata dan perlengkapan hilang. Moril pasukan jatuh ke titik nadir. “Kami menangis. Kami tahu kami telah kehilangan mereka. Bagiku sendiri, serasa ada sesuatu yang retak di dalam saat itu. Seperti ada sesuatu yang patah dalam keseluruhan hidup. Tiba-tiba, semuanya menjadi lain... Kami menjadi tenang tapi semakin keras,” ujar Princen.
Ke-12 orang yang gugur dikebumikan di pinggir hutan dekat kampung Cilutung Girang. Karena situasi masih diliputi kewaspadaan, ke-12 jasad itu dikuburkan dalam satu lobang. Sejak itu, dikenallah nama kawasan tersebut sebagai Astana 12; makam yang berisi 12 orang. Tahun 1951, Divisi Siliwangi memindahkan ke-12 kerangka itu ke Taman Makam Pahlawan Cianjur. Kendati demikian, nama Astana 12 kadung tertabalkan hingga sekarang di Cilutung Girang.
Lalu bagaimana kisah Compagnie Eric? Sampai saat ini, saya belum berhasil “menggali” data-data mutakhir sekitar kelanjutan unit khusus tersebut. Dari Princen, saya hanya mendapatkan informasi bahwa pimpinan mereka, Letnan Henk Ulrici, beberapa waktu kemudian diganjar medali Militaire Willems Orde (sejenis bintang perang bergengsi) oleh Kerajaan Belanda. Usai keluar dari dinas tentara sebagai kapten, dia berkecimpung dalam dunia bisnis dan terakhir tinggal di Mallorca, Spanyol, hingga meninggal dunia pada 29 Januari 2005.
Yang pasti dengan selamatnya nyawa Princen, misi unit pasukan khusus itu gagal. Inilah salah satu operasi senyap yang menambah catatan sejarah ketidaksuksesan Korps Speciale Troepen di palagan Hindia.*