Boedi Oetama, organ resmi Boedi Oetomo. (National Archives).
Aa
Aa
Aa
Aa
DWIDJOSEWOJO, Boediardjo, dan Sosrosoegondo memutar otak, mencari jalan untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang secara rutin menyebarluaskan gagasan perbaikan rakyat Jawa. Mereka ingin agar cita-cita luhur Boedi Oetomo tak hanya berhenti di dalam ruangan rapat, jadi buah bibir kalangan terbatas para anggotanya.
Boediardjo datang dengan ide agar kelak surat kabar yang mereka terbitkan dicetak dalam berbagai bahasa. Dwidjosewojo sepakat dengan gagasan itu. Mereka beranggapan surat kabar yang mereka terbitkan kelak harus dibaca oleh orang Jawa dari berbagai golongan, bukan kalangan priayi saja.
Namun, rencana mereka menerbitkan surat kabar ternyata tak mudah. Apalagi pada tahun-tahun awal berdirinya, Boedi Oetomo sedang dihumbalang masalah keuangan. Kegiatan organisasi sepenuhnya mengandalkan iuran anggota. Itu pun seret dan acapkali tak memadai menghidupi hajat Boedi Oetomo.
Kondisi itu juga yang membuat mereka harus realistis untuk tidak menerbitkan suratkabar dalam berbagai bahasa. Setelah berjibaku dengan soal keuangan, pada 1 Juli 1910 terbitlah Boedi Oetama, organ Boedi Oetomo –demikian istilah terbitan yang kerap digunakan saat itu.
DWIDJOSEWOJO, Boediardjo, dan Sosrosoegondo memutar otak, mencari jalan untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang secara rutin menyebarluaskan gagasan perbaikan rakyat Jawa. Mereka ingin agar cita-cita luhur Boedi Oetomo tak hanya berhenti di dalam ruangan rapat, jadi buah bibir kalangan terbatas para anggotanya.
Boediardjo datang dengan ide agar kelak surat kabar yang mereka terbitkan dicetak dalam berbagai bahasa. Dwidjosewojo sepakat dengan gagasan itu. Mereka beranggapan surat kabar yang mereka terbitkan kelak harus dibaca oleh orang Jawa dari berbagai golongan, bukan kalangan priayi saja.
Namun, rencana mereka menerbitkan surat kabar ternyata tak mudah. Apalagi pada tahun-tahun awal berdirinya, Boedi Oetomo sedang dihumbalang masalah keuangan. Kegiatan organisasi sepenuhnya mengandalkan iuran anggota. Itu pun seret dan acapkali tak memadai menghidupi hajat Boedi Oetomo.
Kondisi itu juga yang membuat mereka harus realistis untuk tidak menerbitkan suratkabar dalam berbagai bahasa. Setelah berjibaku dengan soal keuangan, pada 1 Juli 1910 terbitlah Boedi Oetama, organ Boedi Oetomo –demikian istilah terbitan yang kerap digunakan saat itu.
Boedi Oetama hadir “sebagai cermin bagi gagasan-gagasan bangsa Jawa,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918, mengutip Koloniaal Weekblad, 20 Juni 1918. Terbitan berkala yang dikelola oleh tiga guru sekolah pendidikan guru (kweekschool) itu dicetak menyerupai format jurnal dengan menggunakan bahasa Melayu rendah. Pada awal terbitnya, tiap eksemplar Boedi Oetama tak lebih dari sepuluh halaman saja.
Di antara tiga orang pengelola awal redaksi Boedi Oetama, Dwidjosewojo-lah yang paling bersemangat. Saking syurnya dia mengurus terbitan berkala itu, sampai-sampai memutuskan diri mundur dari jabatannya sebagai sekretaris pertama Boedi Oetomo. “Supaya bisa mencurahkan waktunya lebih banyak bagi tugas-tugas keredaksiannya,” tulis Nagazumi.
Sebelum terlibat dalam penerbitan Boedi Oetama, Dwidjosewojo dan Boediardjo sudah berpengalaman menerbitkan jurnal pendidikan Taman Pengadjar. Jurnal ini diterbitkan di Semarang di bawah pimpinan seorang guru bantu berkebangsaan Belanda, P. Vermeulen. Taman Pengadjar tak hanya mengangkat isu pendidikan bagi pribumi, “tapi juga hal-hal yang lebih umum seperti perubahan zaman dan modernisasi di antara kaum pribumi,” tulis Ahmat Adam dalam Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan.
Boedi Oetama pun memuat hal yang tak jauh berbeda dari Taman Pengadjar. Organ resmi Boedi Oetomo ini banyak mengangkat tema-tema pendidikan, pengumuman hasil rapat pengurus, maklumat kepada cabang-cabang Boedi Oetomo, sikap organisasi, berita peristiwa di luar negeri dan pembahasan tentang kondisi masyarakat di Hindia Belanda. Tema yang terakhir ini seringkali digunakan sebagai sarana kritik untuk pemerintah kolonial.
Pada edisi 16 Desember 1911 misalnya, Boedi Oetama memuat tulisan tentang usulan agar bahasa Belanda diajarkan kepada seluruh anak-anak Jawa tanpa memandang batas. Persoalan ini sebenarnya telah mengemuka sejak kongres pertama Boedi Oetomo yang diselenggarakan pada 3–5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Kubu Wahidin Soedirohoesodo (juga kemudian Tjipto Mangoenkoesomo) menginginkan agar pendidikan orang-orang Jawa hendaknya berkiblat ke Barat.
Salah satu upaya untuk mendidik anak-anak Jawa dalam tradisi berpikir Barat, maka pengajaran bahasa Belanda adalah sebuah keharusan. Bagi Wahidin dan Tjipto cum suis, inilah pintu yang bakal membuka jalan menuju kemajuan. Ide tersebut disanggah oleh Radjiman Wedyodiningrat yang mengatakan bahwa pada akhirnya seorang Jawa akanlah tetap menjadi Jawa dan hendaknya tidak memuja Barat secara berlebihan.
Antoine Cabaton, seorang ahli Islam dari Prancis, sebagaimana dikutip oleh Nagazumi, juga mengemukakan kesannya terhadap Boedi Oetama. Kata dia, “sebagian besar ruangan (organ itu) diisi dengan masalah-masalah dalam hubungan dengan pemerintah yang ditulis dengan sangat hormat, walaupun kadang-kadang sentimen nasionalismenya yang kuat terungkap dalam bentuk artikel-artikel tentang negara-negara luar yang ditulis dalam nada yang agak pedas,” tulis Cabaton.
Kritik Boedi Oetama memang tak ditunjukkan secara gamblang. Bagaimana pun pengaruh kuat golongan tua di dalam organisasi mewarnai kebijakan redaksi Boedi Oetama. “Sesuai dengan sikap Boedi Oetomo pada awal pertumbuhannya sejak golongan tua menjadi pemimpin-pemimpinnya, maka surat kabarnya pun bercorak lunak,” tulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.
Menurut peneliti sejarah pers Ignatius Haryanto, penggunaan media massa cukup efektif melancarkan kritik kepada pemerintah kolonial. “Dari sana bisa kita lihat seberapa powerfull-nya sehingga pemerintah kolonial pun sangat waspada dengan isi koran-koran tersebut,” ujarnya.
Ancaman pembredelan dan tuduhan penyebaran kebencian (haatzai artikelen) memang membayang-bayangi setiap pengelola surat kabar pada masa itu. Terlebih setelah pada 1931 pemerintah kolonial memberlakukan presbreidel ordonantie yang memungkinkan pemerintah bisa menutup sebuah usaha penerbitan. Aturan tersebut diluncurkan seiring menguatnya gerakan propaganda politik pribumi melalui media massa mereka.
Sikap redaksi Boedi Oetama justru makin kritis terhadap pemerintah kolonial seiring bertumbuhnya gerakan nasionalisme Indonesia di Hindia Belanda. Agaknya sikap itu, mengacu pada arsip Mailrapporten No. 595/1928, bertalian erat dengan perubahan ketiga statuta pendirian Boedi Oetomo pada 1928 yang mencantumkan “Indonesische Eenheidgedachte” (gagasan persatuan Indonesia). Padahal statuta awal pendirian Boedi Oetomo yang diberikan oleh pemerintah pada Desember 1909 belum menyebutkan hal itu.
Menguatnya nasionalisme Indonesia di dalam tubuh Boedi Oetomo juga membuat mereka semakin politis ketimbang saat awal berdirinya. Isi Boedi Oetama pun lebih terang-terangan mengusung gagasan politiknya yang berada di dalam barisan panjang kaum nasionalis Indonesia.
Pada Boedi Oetama edisi Maret–April 1935, saat di mana Boedi Oetomo mulai berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), mengumumkan keputusan bakal berdirinya sebuah partai yang bernama Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada tahun yang sama Boedi Oetomo menutup cerita, melebur dirinya kepada sebuah partai politik.
Dalam nomor yang sama, Boedi Oetama membahas komisi yang mempelajari “hak anak Indonesia atas tanahnya”, Kongres Perempuan Indonesia II, dan musyawarah organisasi guru Indonesia. Isu pendidikan memang selalu dominan di dalam setiap penerbitan Boedi Oetama. Kendati pengurus redaksi pada 1935 ini tak lagi dipegang oleh Dwidjosewojo dan kedua temannya, kebijakan redaksi mengenai isu pendidikan bagi pribumi agaknya masih tetap sama.
Tak diketahui bagaimana riwayat penerbitan Boedi Oetama selanjutnya. Pada edisi Maret–April 1935 tersebut tertera bahwa tahun terbit sudah mencapai tahun ke-12, setelah sempat jeda berhenti terbit antara November 1913 sampai November 1915. Dalam masa jeda itu posisi Boedi Oetama digantikan oleh Darmo Kondo.
Darmo Kondo adalah surat kabar berbahasa Melayu-Jawa milik seorang warga Tionghoa yang hak-hak penerbitannya diserahkan sepenuhnya kepada Boedi Oetomo cabang Surakarta. G. Hazeu, penasihat urusan pribumi pemerintah kolonial, melaporkan bahwa Boedi Oetomo berhak mendapatkan 1 persen keutungan dari hasil penjualan surat kabar tersebut.
Akira Nagazumi, yang menulis disertasi tentang Boedi Oetomo, tidak bisa menemukan koleksi lengkap Boedi Oetama itu. “Nomor-nomor yang terbit sebelum tahun 1918 yang bisa saya temukan selama penelitian ialah edisi 16 Desember 1911 (nomor 12 tahun kedua), dan edisi 1 Maret 1913 (nomor 11 tahun keempat),” ujarnya menulis di catatan kaki.
Edisi Maret–April 1935, nomor 3–4 tahun ke-12 masih tersimpan rapi dan terawat baik di koleksi International Institute for Social History (IISH) di Amsterdam, Belanda. Sebagian koleksi dari Boedi Oetama, terutama beberapa nomor di tahun-tahun awal penerbitannya, tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Goeroe Desa
Selama masa aktifnya, Boedi Oetomo tak hanya memiliki satu penerbitan. Boedi Oetama memang mendapuk diri sebagai penerbitan resminya. Menurut Nagazumi, Boedi Oetomo juga banyak menerbitkan berkala lainnya yang biasanya diterbitkan oleh cabang-cabang Boedi Oetomo. “Kecuali Boedi Oetama, Boedi Oetomo sekurang-kurangnya membiayai sebuah penerbitan lainnya, majalah bulanan bernama Goeroe Desa,” kata Nagazumi.
Majalah bulanan ini terbit pertama pada September 1910. Bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan dan memuat beragam tulisan tentang cara menggarap tanah, mengelola perdagangan serta memelihara ternak. Goeroe Desa juga memuat artikel mengenai kesehatan, tata krama “dan soal-soal lain yang disebut ‘kunci kebahagiaan’,” ujar Nagazumi.
Goeroe Desa terbit lebih teratur ketimbang Boedi Oetama. Sempat disebut-sebut oleh Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) bahwa orang di balik penerbitan Goeroe Desa adalah Wahidin Soedirohoesodo. Namun, keterangan tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan karena tak ada sumber pembanding yang bisa menguatkannya.
Isi Goeroe Desa yang lebih variatif menimbulkan minat banyak orang untuk berlangganan. Sejak Maret 1916, terbitan berkala ini mengalahkan popularitas Boedi Oetama, pendahulunya. Pencapaian ini membuat pengelola jurnal percaya diri untuk menerbitkan Goeroe Desa dalam versi bahasa Sunda. Namun, menurut Nagazumi, edisi Sunda kurang peminat dan tak mendapat dukungan pemerintah. Ia berhenti terbit setelah sempat setahun berjalan.
Tak ada keterangan pasti mengenai jumlah oplah dari ketiga penerbitan organ Boedi Oetomo itu. Menurut perkiraan kasar Antoine Cabaton yang dikutip Nagazumi, pada 1912 oplah Darmo Kondo mencapai 800 eksemplar tiap terbitnya. Sementara itu, oplah Boedi Oetama mencapai 1.600 eksemplar per bulan. Rekor oplah terbanyak dicapai oleh Goeroe Desa yang pernah tembus di angka 4.000-an eksemplar per bulannya pada kurun tahun 1917–1918.
Terbitan berkala Boedi Oetomo tersebut memainkan peranan penting dalam mendukung penyebarluasan gagasan dan cita-cita organisasinya. “Pada masa di mana teknologi informasi belum seperti sekarang, media cetak jadi alat propaganda yang efektif,” pungkas Ignatius Haryanto.*