Sidang BPUPKI memutuskan bentuk negara kesatuan berbentuk Republik. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH berdebat mengenai beberapa pilihan bentuk negara, Sukarno yang memimpin rapat Panitia Hukum Dasar pada 11 Juli 1945 menghitung ada 24 orang mengusulkan bentuk kesatuan. Empat orang –Radjiman Wedyodiningrat, Maria Ullfah, Sukiman Wirjosandjojo, dan Johannes Latuharhary– mendukung bentuk federal. Sementara Abdoelrahim Pratalykrama menghendaki bentuk statenbond yang terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil.
R.P. Singgih mengusulkan pemungutan suara. Latuharhary yang mewakili Maluku minta agar “dibuat satu formula bahwa sesudah aman kembali di Tanah Air kita, supaya soal ini dimajukan lagi.”
Sukarno setuju. Dia lalu minta yang setuju negara kesatuan supaya berdiri. Hanya dua orang yang tetap duduk. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pun memutuskan bentuk negara kesatuan berbentuk Republik.
SETELAH berdebat mengenai beberapa pilihan bentuk negara, Sukarno yang memimpin rapat Panitia Hukum Dasar pada 11 Juli 1945 menghitung ada 24 orang mengusulkan bentuk kesatuan. Empat orang –Radjiman Wedyodiningrat, Maria Ullfah, Sukiman Wirjosandjojo, dan Johannes Latuharhary– mendukung bentuk federal. Sementara Abdoelrahim Pratalykrama menghendaki bentuk statenbond yang terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil.
R.P. Singgih mengusulkan pemungutan suara. Latuharhary yang mewakili Maluku minta agar “dibuat satu formula bahwa sesudah aman kembali di Tanah Air kita, supaya soal ini dimajukan lagi.”
Sukarno setuju. Dia lalu minta yang setuju negara kesatuan supaya berdiri. Hanya dua orang yang tetap duduk. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pun memutuskan bentuk negara kesatuan berbentuk Republik.
“Wakil pada sidang pertama di Jakarta hanya berasal dari Jawa. Peserta dari luar Jawa berhalangan karena transportasi terganggu serangan udara pihak Sekutu. Ketika wakil dari luar Jawa tiba, termasuk Sam Ratulangi yang sangat mendukung konsepsi federal, keputusan tentang bentuk negara sudah terlanjur diambil,” ujar Gerry van Klinken, peneliti senior KITLV.
“Nasi sudah menjadi bubur. Mereka yang dari luar Jawa ganti memperjuangkan ‘otonomi seluas-luasnya’ dalam negara kesatuan.”
Mohammad Hatta, yang cenderung pada federalisme, nyaris tak terdengar suaranya. Wawan Tunggul Alam dalam Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta membuat beberapa kemungkinan. Salah satunya, Hatta tak duduk dalam Panitia Perancang UUD yang diketuai Sukarno karena Hatta adalah ketua Panitia Perancang Ekonomi dan Keuangan. Kemungkinan lain, khawatir pecahnya dwitunggal, sejumlah pemuda, termasuk B.M. Diah, menemuinya dan mendesak Hatta menerima bentuk negara kesatuan.
“Tampaknya Bung Hatta percaya bahwa selama UUD menjamin otonomi daerah, persoalan bentuk negara tak relevan,” tulisnya.
Cara dan waktu penerapan federalisme oleh pemerintah Hindia Belanda menimbulkan antipati terhadap ide-ide federasi.
Ditolak
Federalisme sudah menjadi gagasan di kalangan intelektual Belanda di Hindia sejak Perang Dunia I. Sejumlah pemuda bumiputera, yang berpendidikan tinggi dan terutama dari luar Jawa, tertarik dengan ide ini.
Mohammad Hatta disebut-sebut pendukung utama gagasan ini, yang sudah menjadi pemikirannya sejak aktif di Perhimpunan Indonesia. Dalam tulisannya di Daulat Ra’jat pada 20 April 1932, misalnya, Hatta menulis: “Kita juga menyusun per-satu-an, sebab itu kita menolak per-satean, sehingga menjadi peletak dasar inspirator utama gagasan Republik Indonesia yang berbentuk federal khas Indonesia abad ke-21.”
Gagasan serupa disuarakan Tan Malaka. Dia menyerukan “membentuk republik federasi dari pelbagai pulau Indonesia” dalam Menuju Republik Indonesia (1925) atau “Federasi Republik Indonesia” dalam Aksi Massa (1926). GSSJ Ratulangi mendukung solusi federal, “dengan pengakuan penuh atas hak tiap bangsa merdeka dalam kerangka Indonesia.” Johanes Latuharhary, yang sibuk membangun kembali Sarekat Ambon, juga cenderung pada model federasi, sekalipun tak tegas.
Perkumpulan Sunda Paguyuban Pasundan pada 1930-an menyatakan, “berjuang demi Negara Federal Indonesia yang merdeka, yang memiliki pemerintahan pusat kuat, berdiri di atas negara-negara bagian yang teratur rapi, yang masing-masing punya pemerintahan sendiri.”
Namun, menurut R.E. Elson, federalisme tak pernah menjadi prioritas para pemikir dan penggagas “Indonesia”. Mereka mencoba menciptakan kesatuan yang utuh, kesatuan bangsa dari keragaman yang ada di kepulauan Indonesia, kesadaran akan kesatuan.
“Federalisme, yang didasari gagasan bahwa sebelum dan di dasar bangsa Indonesia sudah ada rasa identitas lokal khas yang perlu diakomodasi dan didukung, bukan dijauhi dan dibenci, sering ditolak begitu saja,” tulisnya dalam The Idea of Indonesia.
Perdebatan Konstituante
Proyek negara federal yang digagas Van Mook hanya berjalan selama lima tahun. Ia bubar dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ide federalisme ditinggalkan. “Cara dan waktu penerapan langkah itu (federalisme) oleh pemerintah Hindia Belanda menimbulkan antipati terhadap ide-ide federasi,” tulis Hatta, “Indonesia’s Foreign Policy,” yang dimuat Foreign Affairs, April 1953.
Sentralisasi kekuasaan dan kesenjangan ekonomi membangkitkan kembali ide itu. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia memunculkan dua kubu. Partai yang mayoritas pengikutnya berada di Jawa seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) – sekalipun cabangnya punya kecenderungan federalis– mempertahankan negara kesatuan. Sementara partai yang kuat di luar Jawa, seperti Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Buruh, dan Partai Kristen Indonesia, cenderung memilih federal.
Dominasi PKI dan PNI, ditambah Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS), meredam suara yang mendukung negara federal.
Dalam pidato di Sidang Pleno Konstituante di Bandung pada 22 April 1959, Sukarno menegaskan hilangnya hak sejarah ide federalisme sejak terbitnya matahari kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu. “Maka barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide kesukuan, ide kepulauan, atau ide federalisme itu, ia adalah seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali tulang orang yang dikubur 30 tahun lampau.”
Tak lama, karena berlarut-larutnya perumusan UUD, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUD 1945 berlaku kembali. Konstituante bubar.
Gerry van Klinken sendiri melihat federalisme hanyalah wacana ketika Konstituante berlangsung, kecuali di beberapa daerah paling terbelakang seperti Timor dan Sumba. “Lembaga modern sudah berdiri di mana-mana, walau belum bekerja optimal dan belum tembus sampai ke desa-desa. Lembaga-lembaga swapraja ditekan, baik dari luar (desakan dari Jakarta untuk meleburkan kesultanan) maupun dari dalam (dukungan dari kaum birokrat modern bagi gerakan lokal menolak pajak feodal). Kekuasaan kaum ningrat, terutama di luar Jawa, mengalami erosi secara perlahan-lahan antara Perang Dunia II sampai awal Orde Baru,” ujarnya.
Kelak, wacana negara federal kembali mengemuka di masa Reformasi, namun langsung sirna. Seolah NKRI adalah harga mati.*