Dalam Jaring-jaring Kekuasaan

Kabinet yang dibentuk PNI tak berjalan efektif. Terhalang konflik internal.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Dalam Jaring-jaring KekuasaanDalam Jaring-jaring Kekuasaan
cover caption
Ali Sastroamidjojo berjabat tangan dengan Presiden Sukarno pada peresmian Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. (KITLV).

SETELAH melakukan pembicaraan dengan sejumlah partai politik, Ali Sastroamidjojo menghadap Presiden Sukarno pada Maret 1956 untuk melaporkan hasil pembentukan kabinet. Sukarno menunjukkan reaksi kecewa karena Ali sebagai formatur tak mengikutsertakan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meraih enam juta suara dalam pemilihan umum 1955.  

“Ini tidak adil!” ujar Sukarno. Dengan tenang Ali menjawab tak mungkin membentuk kabinet koalisi dengan PKI karena Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) menolaknya. Sukarno membentak dan menuduh Ali kurang berusaha. Dengan keras pula Ali menantang Sukarno mencabut mandatnya. Sukarno menurunkan suaranya dan minta waktu seminggu untuk mengambil keputusan.

SETELAH melakukan pembicaraan dengan sejumlah partai politik, Ali Sastroamidjojo menghadap Presiden Sukarno pada Maret 1956 untuk melaporkan hasil pembentukan kabinet. Sukarno menunjukkan reaksi kecewa karena Ali sebagai formatur tak mengikutsertakan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meraih enam juta suara dalam pemilihan umum 1955.  

“Ini tidak adil!” ujar Sukarno. Dengan tenang Ali menjawab tak mungkin membentuk kabinet koalisi dengan PKI karena Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) menolaknya. Sukarno membentak dan menuduh Ali kurang berusaha. Dengan keras pula Ali menantang Sukarno mencabut mandatnya. Sukarno menurunkan suaranya dan minta waktu seminggu untuk mengambil keputusan.  

Kurang dari seminggu, kendati menyatakan kurang puas, Presiden Sukarno akhirnya mengesahkan susunan kabinet baru.  

“Pernyataan presiden itu terang dengan sengaja diucapkan demikian rupa sehingga di dalamnya termasuk unsur rasa tidak puas Bung Karno dan kepercayaan presiden kepada perdana menteri,” tulis Ali Sastroamidjojo dalam otobiografinya, Tongak-Tongak di Perjalananku.  

Ketidakpuasan Sukarno menimbulkan spekulasi adanya konflik antara presiden dan perdana menteri serta tak lamanya umur kabinet. Hal ini juga menunjukkan bahwa dukungan Sukarno, yang selalu dianggap sebagai anggota PNI, tak bisa diandalkan.  

“Meskipun sekurang-kurangnya tiga dari lima menteri dekat dengan faksi Sidik, kedudukan PNI yang lemah di kabinet membuat mereka tidak mungkin membawa kabinet ke arah kebijakan yang konsisten dengan orientasi politik mereka,” tulis J. Elisio Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi.  

Selama 1950-an, PNI tak bisa dilepaskan dari kerjasama dan oposisi dengan Masyumi. Namun, soal terberat yang mereka hadapi justru muncul dari dalam. Adanya faksi-faksi di tubuh PNI menjadi persoalan tersendiri bagi gerak partai di pemerintahan.

Kabinet Wilopo. (Perpusnas RI).

Tak Membantu Partai

Sejak terbentuk pada Januari 1946, PNI bukanlah partai yang memiliki pengaruh kuat. Selama masa revolusi, PNI lebih banyak menjadi partai oposisi. Namun, mempertahankan disiplin partai terbukti sulit. Beberapa individu bergabung dengan kabinet yang kebijakannya kadang bertentangan dengan partai. Menurut Rocamora, “Periode 1946–1950 adalah tahun-tahun frustrasi bagi PNI.”  

PNI punya kesempatan menentukan kabinet pada awal 1950-an. Setelah Kabinet Natsir jatuh pada Maret 1951, Sartono dari PNI ditunjuk Presiden Sukarno sebagai formatur kabinet, tetapi gagal. Ada banyak alasan. Salah satunya, seperti dilontarkan Zainal Abidin dari Partai Rakyat Nasional (PRN), disebabkan makin parahnya perseteruan antara PNI dan Masyumi, yang sudah dimulai pada masa Kabinet Natsir.  

“Perseteruan terjadi karena makin meningkatnya perebutan pengaruh massa di antara kedua partai yang berbeda ideologi tersebut,” tulis Daradjadi dalam Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.  

Sidik Joyosukarto dari PNI yang beraliran condong radikal kiri dan Sukirman dari Masyumi kemudian ditunjuk sebagai formatur dan membentuk Kabinet Sukiman. PNI berhasil mendudukkan lima orangnya untuk jabatan menteri dan ini merupakan pencapaian politik yang penting.  

“Tetapi pencapaian ini diperoleh dengan mengorbankan garis politik partai yang sudah ditetapkan sejak 1948,” tulis Rocamora. “Perubahan ini menandai berawalnya metamorfosis PNI dari partai radikal dengan garis ideologis yang cenderung ke kiri menjadi partai konservatif dan berkiblat pada kemapanan.”  

Kabinet Ali Sastroamidjojo I. (Perpusnas RI).

Kabinet Sukiman jatuh akibat penandatanganan persetujuan bantuan Amerika Serikat di bawah persyaratan Mutual Security Act (MSA). Sidik dari PNI dan Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi ditunjuk sebagai formatur kabinet, tetapi gagal. Wilopo dari PNI jadi formatur. Terbentuklah Kabinet Wilopo, kabinet pertama yang dipimpin seorang perdana menteri PNI.

“Namun bagi sebagian besar pimpinan PNI, ini merupakan keberhasilan yang terbatas. Orang-orang yang disetujui Wilopo untuk dimasukkan ke kabinet adalah mereka yang pandangannya bertentangan dengan pandangan faksi Sidik,” tulis Rocamora.  

Wilopo dan menteri-menteri dari PNI menolak desakan banyak anggota maupun pengurus PNI untuk menggunakan fasilitas demi mengumpulkan dana pemilu. Mereka pun mendapat kecaman pedas.  

Kelompok Sidik mencari waktu yang tepat untuk menggeser Wilopo. Waktunya yang dipilih adalah kongres VI PNI pada Desember 1952 di Surabaya. Sidik berhasil mengumpulkan suara terbanyak untuk menduduki ketua umum. Dia menyingkirkan faksi Wilopo dari kepengurusan partai.  

“Para fungsionaris partai yang tidak puas dengan situasi demikian itu mulai mencari-cari kesalahan pemerintahan Wilopo. Beberapa anggota DPR dari PNI secara terbuka mengkritik Kabinet Wilopo sebagai kabinet yang terlalu dipengaruhi oleh PSI, terutama di bidang militer dan ekonomi,” tulis Daradjadi.  

Puncaknya, dalam kasus penyelesaian tanah perkebunan yang dikuasai petani penggarap tak bertanah yang berujung pertikaian yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Tanjung Morawa, para pemimpin PNI, sejalan dengan pemimpin cabang-cabangnya di Sumatra Utara, terang-terangan mengambil sikap anti-pemerintah. Kabinet Wilopo pun jatuh pada Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II. (Perpusnas RI).

Kabinet PNI Sebenarnya

Setelah lebih dari sebulan pergolakan di tubuh partai, pada 1 Agustus 1953 terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Faksi Sidik memperoleh kabinet yang setia kepada kepentingan dan kemauan partai.  

“Karena waktu berdirinya kabinet itu bersamaan dengan masa kampanye pemilihan umum 1955, masa jabatan Kabinet Ali sepanjang dua tahun tersebut memberikan kentungan yang cukup besar kepada PNI, sehingga memungkinkan partai itu membangun dirinya menjadi partai terkuat di negeri ini,” tulis Rocamora.  

Namun, faksi Wilopo tak tinggal diam. Dalam kongres VII PNI pada Desember 1954, Wilopo dan sekutunya berhasil meraih kembali kedudukan dalam DPP PNI. Dari titik ini faksi Wilopo mulai menggoyang kedudukan Kabinet Ali.  

Kabinet Ali I melemah akibat skandal yang melibatkan Iskaq Tjokrohadisurjo dan Ong Eng Die untuk menghimpun dana kampanye pemilu. Ali mengembalikan mandatnya pada Juli 1955. “Selain karena masalah korupsi yang melemahkan secara politik, yakni pengunduran diri Iskaq, ini juga disebabkan oleh merosotnya kepemimpinan Sidik dalam partai,” tulis Rocamora.

Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi terbentuk dan PNI tidak mendapatkan satu pun kursi menteri. Dalam tempo satu bulan setelah kabinet terbentuk, pemilu 1955 digelar dan PNI menang. Para pemimpin PNI sudah membayangkan sebuah kabinet di bawah PNI. Namun, di tubuh partai telah bercokol kekuatan-kekuatan yang melemahkan partai.  

Presiden Sukarno tiba di pendopo balai Kota Surakarta disambut oleh ketua umum DPP PNI saat pembukaan Kongres PNI di Solo tahun 1960. (Repro Banteng Segitiga).

Kematian Sidik pada September 1955 melemahkan sayap nasionalis radikal. Penggantinya, Sarmidi Mangunsarkoro, tak memiliki kharisma yang sama kuatnya. Perkembangan ini menggeser keseimbangan kekuasaan dalam partai. Dalam Kongres VIII PNI Juli 1956 di Semarang, unsur-unsur konservatif mendukung dan memenangkan Suwirjo atas Sarmidi.

Kabinet Ali II terbentuk dengan kerjasama erat NU dan Masyumi. Kabinet Ali II menghadapi masalah serius, terutama pergolakan daerah, yang membangkitkan serangan oposisi. Setelah panglima daerah Indonesia Timur memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat, Ali mengembalikan mandatnya.  

Jatuhnya kabinet Ali II menandai berakhirnya “demokrasi parlementer” dan digantikan Demokrasi Terpimpin. Sejak itu partai-partai politik, kecuali PKI, kehilangan pengaruh dan pusat kekuasaan beralih ke tangan Sukarno.  

Di antara pemimpin PNI sendiri terjadi perpecahan antara yang mendukung Sukarno dan yang enggan. Hal ini terjadi pada Kongres IX PNI di Solo tahun 1960 di mana tokoh-tokoh seperti Wilopo dan Suwirjo tersisih dari kepemimpinan partai. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno seperti Ali dan Roeslan Abdulgani menjadi kuat.  

“Bahkan lebih jauh lagi, Sukarno menghendaki PNI mengikuti segala kebijaksanaan yang dijalankannya di bidang pemerintahan,” tulis Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Perpolitikannya.  

PNI telah kehilangan apa yang diperolehnya selama periode sebelumnya.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668e98839a3cb1262b56bc7e