Sukarni memperkenalkan Semaun (duduk di kanan). (Dok. Hadidjojo Nitimihardjo).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENDAPAT perintah untuk menangkap Sukarni, Djokomoelyo, jaksa di Direktorat Resert Pusat Kejaksaan Agung, bergerak cepat. Dia mencari alamat Sukarni. Dalam file tokoh-tokoh politik di bagian politik DRP, ada banyak alamatnya. Bersama dua petugas lainnya, Djoko coba menelepon. Jawaban yang diterima sama, dengan tujuan berbeda-beda: Sukarni keluar kota.
Penasaran, Djoko menelepon lagi ke alamat rumah Sukarni di Tanah Abang. Hopla, telepon diangkat seorang anak kecil yang mengatakan ayahnya ada di rumah. Djoko langsung menutup telepon. Dimulailah perburuan Sukarni yang dikisahkan Djokomoelyo dalam bukunya Catatan Harian Seorang Jaksa.
Ketika dikonfirmasi, Emalia Iragiliati Sukarni, anak Sukarni, menyebut dialah yang mengangkat telepon. Saat itu dia berusia 12 tahun.
MENDAPAT perintah untuk menangkap Sukarni, Djokomoelyo, jaksa di Direktorat Resert Pusat Kejaksaan Agung, bergerak cepat. Dia mencari alamat Sukarni. Dalam file tokoh-tokoh politik di bagian politik DRP, ada banyak alamatnya. Bersama dua petugas lainnya, Djoko coba menelepon. Jawaban yang diterima sama, dengan tujuan berbeda-beda: Sukarni keluar kota.
Penasaran, Djoko menelepon lagi ke alamat rumah Sukarni di Tanah Abang. Hopla, telepon diangkat seorang anak kecil yang mengatakan ayahnya ada di rumah. Djoko langsung menutup telepon. Dimulailah perburuan Sukarni yang dikisahkan Djokomoelyo dalam bukunya Catatan Harian Seorang Jaksa.
Ketika dikonfirmasi, Emalia Iragiliati Sukarni, anak Sukarni, menyebut dialah yang mengangkat telepon. Saat itu dia berusia 12 tahun.
Djoko meluncur ke Tanah Abang. Tapi Sukarni telah pergi dengan mobil VW putih. Setelah mencoba alamat lain, dia melihat mobil itu di halaman rumah Adam Malik, menteri perdagangan kala itu.
Sempat terjadi tarik ulur, Djoko minta izin menelepon ke kantor. “Saya terkejut saat memasuki ruangan telepon. Di situ sedang banyak orang duduk. Semua diam memperhatikan saya. Kelihatan baru ada rapat yang ditunda,” tulisnya.
Jawaban dari kantor: Djoko tetap harus mendampingi Sukarni ke Kejaksaan Agung. Setelah diam agak lama, Sukarni bertanya kepada Adam Malik: “Bagaimana?”
“Terserah Anda.”
“Jangan terserah, ini Partai Murba akan dibubarkan,” ujar Sukarni sambil memukul meja. “Saudara jadi menteri, saya yang bertanggung jawab.”
Akhirnya, dengan mobilnya dan didampingi Djokomoelyo, Sukarni menuju Kejaksaan Agung dan memulai penahanannya selama lebih dari setahun.
“Dia tidak pernah dihadapkan ke depan pengadilan, hanya secara pro forma saja diperiksa,” tulis Wasid Soewarto dalam Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya suntingan Sumono Mustoffa.
Sukarni ditahan dengan tuduhan mendalangi BPS (Badan Pembela Sukarnoisme) untuk menggulingkan Sukarno dengan bantuan dana dari CIA. Akibat tuduhan itu pula, Partai Murba dibekukan melalui Keppres No. 1/ KOTI/1965 tanggal 6 Januari 1965.
Pada Februari 1965, didampingi Menko Pendidikan dan Kebudayaan Prijono, Wasid memimpin delegasi pimpinan Partai Murba menemui Sukarno di Istana Bogor. Kepada delegasi, Sukarno menjelaskan penahanan Sukarni diperlukan untuk meneliti terlibat atau tidaknya partai. Prosesnya kira-kira dua bulan. Belakangan, para pemimpin Partai Murba juga diperiksa terkait hal yang sama.
Setelah dua bulan, melalui surat, pimpinan Partai Murba kembali menanyakan penahanan Sukarni dan pembekuan Partai Murba. Prijono menyampaikan surat itu dan jawaban Bung Karno: “Ya, bereslah itu nanti.”
Tapi penyelesaian yang ditunggu-tunggu tak datang. Malahan, dalam pidato 17 Agustus 1965, Sukarno menyinggung pembekuan Partai Murba. “Tindakan pembekuan Partai Murba membuktikan bahwa pemerintah tidak akan ragu-ragu mengambil tindakan, juga terhadap partai-partai politik, jika menyeleweng, jika memecah belah persatuan.”
Suatu hari, Wasid Soewarto, Maroeto Nitimihardjo, dan Bambang Singgih dijemput petugas Kejaksaan Agung dengan pengawalan pasukan Tjakrabirawa. Di sana mereka dibacakan keputusan tentang pembubaran Partai Murba, yang dimuat dalam Keppres No. 291/1965 tertanggal 21 September 1965.
Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5, Harry A. Poeze menyebut bagaimana Partai Murba menanggapi pembubaran itu tak jelas tapi tak terdengar reaksi perlawanan. Partai dan ormas-ormasnya, dengan ratusan ribu anggotanya, menghilang diam-diam.*