KSAD Mayjen TNI A.H. Nasution selaku Penguasa Perang Pusat menyerahkan perusahaan-perusahaan Belanda yang diambilalih kepada pemerintah melalui Perdana Menteri Djuanda pada 14 November 1958. (Repro biografi Ir. H. Djuanda).
Aa
Aa
Aa
Aa
SORE hari, Desember 1957, Soehadi Reksowardoyo mengantar enam orang veteran eks Brigade XVIII ke pabrik kertas NV Papier Fabriek Padalarang. Mereka datang diam-diam untuk “mengintip pabrik” dan “mengumpulkan data teknologi perkertasan” sebagai bekal membangun pabrik kertas di Blabak milik Bank Industri Negara (BIN). Pasalnya, pihak pabrik menolak permintaan BIN untuk melakukan kunjungan resmi.
Sesampai di sana, mereka menemukan suasana penuh ketegangan. Ahmad Slamet, staf Indonesia yang tertinggi di perusahaan itu, dalam keadaan terjepit. Buruh menekannya agar mengambil alih pabrik, sedangkan pihak pabrik memerintahkannya menghadapi dan mengatasi buruh.
Segera Soehadi menemui Mayor Mashudi, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Teritorium III/Jawa Barat. Hal itu dilakukan “mengingat pengalaman-pengalaman kurang baik tentang penguasaan pabrik oleh buruh dalam periode revolusi fisik serta untuk mencegah kekacauan politik (political chaos)...,” tulis buku 30 Tahun Kertas Leces, dikutip Muhammad Ridho Fithri Wikarta dalam blognya.
SORE hari, Desember 1957, Soehadi Reksowardoyo mengantar enam orang veteran eks Brigade XVIII ke pabrik kertas NV Papier Fabriek Padalarang. Mereka datang diam-diam untuk “mengintip pabrik” dan “mengumpulkan data teknologi perkertasan” sebagai bekal membangun pabrik kertas di Blabak milik Bank Industri Negara (BIN). Pasalnya, pihak pabrik menolak permintaan BIN untuk melakukan kunjungan resmi.
Sesampai di sana, mereka menemukan suasana penuh ketegangan. Ahmad Slamet, staf Indonesia yang tertinggi di perusahaan itu, dalam keadaan terjepit. Buruh menekannya agar mengambil alih pabrik, sedangkan pihak pabrik memerintahkannya menghadapi dan mengatasi buruh.
Segera Soehadi menemui Mayor Mashudi, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Teritorium III/Jawa Barat. Hal itu dilakukan “mengingat pengalaman-pengalaman kurang baik tentang penguasaan pabrik oleh buruh dalam periode revolusi fisik serta untuk mencegah kekacauan politik (political chaos)...,” tulis buku 30 Tahun Kertas Leces, dikutip Muhammad Ridho Fithri Wikarta dalam blognya.
Pada 3 Januari 1958, Peperda memutuskan mengambil alih NV Papier Fabriek Padalarang. Soehadi ditunjuk memimpin pengambilalihan pabrik kertas pertama di Indonesia yang didirikan pada 1922 itu. Selain bekas tentara, Soehadi seorang insinyur teknik kimia dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung (kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung).
Pengambilalihan tersebut menyusul surat perintah KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) pada 13 Desember 1957. Selain mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda, Peperda juga diperintahkan untuk mengadakan pengawasan penuh dan langsung terhadap manajemen administrasi dan operasi, serta menindak tegas pengambilalihan yang tidak melalui penguasa militer.
“Di wilayah Jawa Barat, aset perusahaan mereka terhitung besar; untuk perkebunan saja mencapai dua ratus, belum lagi berbagai pabrik (kertas, kina, percetakan) dan Javasche Bank,” ujar Mashudi dalam otobiografinya Memandu Sepanjang Masa. “Pada praktiknya yang kita ambil alih itu bukan hanya perusahaan, namun juga properti lainnya.”
Kuasa Militer
Keterlibatan militer dalam ekonomi nasional sudah dimulai segera setelah Indonesia merdeka. Mereka mengambil alih perusahaanperusahaan yang sebelumnya dikuasai Jepang. Selama demokrasi parlementer, perhatian para perwira militer diarahkan pada tugas konvensional mereka sebagai penjaga negara. Untuk mengisi kas demi kebutuhan prajurit, mereka melakukan penyelundupan.
Jalan militer untuk masuk ke wilayah politik dan ekonomi terbuka setelah Nasution mengumumkan keadaan darurat perang dan memberlakukan UU keadaan bahaya (SOB) pada Maret 1957. Dengan pemberlakuan SOB, Nasution sebagai KSAD menjadi Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dan Panglima Perang Wilayah menjadi Penguasa Perang Daerah (Peperda).
Salah satu saluran efektif yang memungkinkan militer memperluas pengaruhnya dalam bidang ekonomi politik adalah Badan Kerja Sama (BKS). Pada Juni 1957, Angkatan Darat membentuk Badan Kerdja Sama Pemuda dan Militer (BKS-PM) yang dipimpin Letkol Pamurahardjo, yang menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy, “kemudian memainkan peranan penting dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda”. Menyusul kemudian pembentukan badan di antara organisasi buruh dan petani, kelompok perempuan, pemimpin agama, dan sebagainya. Badan-badan kerja sama ini kemudian disebut kelompok fungsional dan akhirnya berkembang jadi sebuah organisasi yang disebut Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
“Tujuan Nasution membentuk badan-badan kerja sama adalah untuk melepaskan cengkeraman partaipartai atas ‘kelompok-kelompok fungsional’ dan membawa mereka menjadi sayap militer,” tulis Lev.
“Namun, dalam perjalanan kegiatan mereka, BKS berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekonomi, khususnya di tingkat provinsi dan desa,” tulis sejarawan Pham Van Thuy dalam “Beyond Political Skin: Convergent Paths to an Independent National Economy in Indonesia and Vietnam,” disertasi di Universitas Leiden Belanda tahun 2014.
Menurut Pham, militer juga sudah melakukan persiapan untuk mengambil kendali ekonomi. Pada 24 Agustus 1957, kementerian pertahanan mengeluarkan instruksi agar mengidentifikasi perusahaan, jawatan, dan lembagalembaga yang dianggap penting untuk militer, yang oleh SOB ditegaskan harus berada di bawah penguasaan militer. Bahkan semua perusahaan, jawatan, dan fasilitas yang berkaitan dengan transportasi, pos, media, rumah sakit, minyak, gas, listrik, dan percetakan dipertimbangkan. Empat bank besar, Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Industri Negara, dan Bank Rakyat Indonesia, bersama perusahaan-perusahaan pertambangan, manufaktur, dan perkebunan juga direncanakan diletakkan di bawah kekuasaan militer. Saat itu, instruksi tersebut belum menentukan langkahlangkah kongkret.
“Pengambilalihan perusahaanperusahaan Belanda yang tibatiba oleh serikat buruh lokal pada Desember 1957 tentu mempengaruhi pemikiran militer tentang niat utamanya,” tulis Pham.
BKS-PM memainkan peranan penting dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, dengan sasaran pertama adalah perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) pada 3 Desember 1957. Kepada majalah Tempo, 24 Januari 2000, Pamurahardjo, ketua BKS-PM, beralasan perusahaan-perusahaan Belanda mendanai pemberontakan pemberontakan di daerah yang saat itu marak di Indonesia.
“Saya manfaatkan suasana politik waktu itu yang menginginkan agar Belanda mengembalikan Irian Barat kepada RI,” ujar Pamurahardjo, yang meninggal dunia pada Juli 2004. “Tapi kami tidak memikirkan dampaknya. Seharusnya pengambilalihan itu dilaksanakan oleh sebuah panitia. Akhirnya, nasionalisasi ini jadi berantakan karena semua orang bebas saja mengambil apa saja.”
Pengambilalihan KPM menimbulkan kepanikan. Demi menghindari pengambilalihan tak terkendali terhadap bankbank Belanda, Bank Indonesia mendatangi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) guna membahas langkah-langkah pengamanan, pengambilalihan, dan pengawasan bank-bank Belanda. Hasilnya, melalui pengumuman menteri keuangan dan Surat Keputusan KSAD pada 8 Desember 1957, terbentuklah Badan Pengawasan Bank-Bank (BPBB) di pusat maupun daerah yang terdiri atas wakil Angkatan Darat, Bank Indonesia. Tujuannya memastikan bank-bank Belanda tetap beroperasi dengan aman.
Sementara gelombang pengambilalihan masih terus berlangsung, pemerintah belum mengambil sikap, seolah kebingungan dengan aksi serikat-serikat buruh dalam pengambilalihan tersebut. Pernyataan pertama dari pemerintah muncul pada 5 Desember 1957. Menteri Kehakiman G.A. Maengkom mengumumkan setiap pengambilalihan sewenang-wenang perusahaan Belanda yang dilakukan serikat-serikat buruh bertentangan dengan hukum. Hanya tindakan yang diambil oleh Penguasa Militer Pusat atau Penguasa Militer Daerah untuk mengawasi dan melindungi perusahaan Belanda demi keamanan dan ketertiban dapat dibenarkan.
“Pemerintah memerintahkan militer untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan itu agar tidak menimbulkan chaos (kekacauan). Bila terjadi chaos, nama Indonesia akan buruk di mata internasional,” kata Wasino, sejarawan Universitas Negeri Semarang, kepada Historia.
Pada 9 Desember 1957, Perdana Menteri/Menteri Pertahanan Djuanda mengeluarkan surat keputusan yang menempatkan semua perkebunan Belanda di bawah kendali pemerintah dan memberi wewenang kepada menteri pertanian untuk mengeluarkan peraturan yang diperlukan. Menteri Pertanian Sadjarwo kemudian mengeluarkan dua peraturan yang menempatkan semua perkebunan Belanda di bawah pengawasan teknis PPN-Baru serta prosedur pengambilalihan perkebunan oleh pihak militer.
Nasution selaku Peperpu juga mengeluarkan perintah kepada Peperda untuk mengambilalih manajemen perusahaan-perusahaan Belanda di daerah masing-masing.
“Lebih dari lima ratus perkebunan Belanda, kurang lebih tiga perempat dari seluruh perkebunan yang ada di Indonesia, maupun sejumlah besar perusahaan lainnya, telah berada di bawah pengawasan militer pada Desember 1957,” tulis Karl J. Perlzer dalam Sengketa Agraria.
Mencengkeram Lebih Jauh
Pada 5 Maret 1958, Nasution mengeluarkan instruksi Peperpu tentang tata cara melaksanakan penguasaan dan pengawasan perusahaan-perusahaan Belanda. Instruksi ini memandu para Peperda dalam mengambil alih perusahaanperusahaan Belanda.
Peperda harus menjamin jalannya perusahaan-perusahaan tersebut dengan mengangkat “penguasa” atau pimpinan perusahaan, baik yang sudah ada dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Peperda juga harus melakukan “Indonesianisasi” dengan mengangkat atau memasukkan orangorang Indonesia dalam pimpinan perusahaan. Pengangkatan tersebut sedapat mungkin berhubungan dengan kementerian yang bersangkutan. Pimpinan perusahaan yang diangkat bertanggung jawab kepada Peperpu/Peperda dan diwajibkan membuat laporan tertulis secara periodik mengenai perusahaan yang dikuasainya.
Penguasa militer di daerah bergerak melaksanakan Instruksi Peperpu. Di Jawa Timur, misalnya, pengambilalihan dilakukan dengan mengumpulkan semua direksi perusahaan, kemudian Kepala Staf Kodam (Kasdam) memberi penjelasan mengenai keputusan pemerintah tentang perusahaan Belanda. “Diharapkan agar para direksi bersikap kooperatif. Setelah itu ditunjuk perwira pengasuh untuk masing-masing kelompok perusahaan yaitu industri, tambang, perhubungan, perbankan, dan perdagangan,” kata R. Soekardi, waktu itu perwira peralatan Kodam VIII Brawijaya Surabaya, Jawa Timur, dalam biografinya Tentara Demokrat.
Tujuan utama penempatan perusahaan-perusahaan Belanda di bawah tentara untuk mendapatkan dana yang disalurkan langsung ke institusi militer tanpa melalui pemerintah. Dengan demikian, tentara berhasil mengurangi ketergantungannya kepada anggaran belanja pemerintah pusat. “Pihak tentara mendapatkan sumber-sumber uang yang dapat disalurkan menurut keperluannya sendiri,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.
Menurut Wasino, keperluan utama militer saat itu adalah membiayai operasi militer ke Irian Barat karena nasionalisasi sangat berkaitan dengan Irian Barat. “Ini sama seperti ketika Belanda melakukan agresi militer ke Indonesia sandinya Operasi Produk untuk menyelamatkan perusahaanperusahaan Belanda. Sekarang kebalikannya, militer Indonesia menasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda untuk merebut Irian Barat dari Belanda,” ujar Wasino.
Pengambilalihan oleh tentara dihentikan pada 18 Maret 1958. Tentara kemudian menyerahkan semua perusahaan Belanda kepada pemerintah pada 14 November 1958.
“Pak Djuanda menyarankan semua perusahaan eks Belanda yang dioper AD agar diserahkan kepada menteri yang bersangkutan, saya lakukan dalam upacara di MBAD,” kata Nasution dalam testimoni biografi Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama.
Pada 27 Desember 1958, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda yang berlaku surut. Perusahaan-perusahaan Belanda itu dikelompokkan dalam beberapa badan pengelola yang berada di bawah menteri terkait.
“Kendati diserahkan kepada pemerintah, tentara meneruskan perannya dalam mengelola perusahaan-perusahaan tersebut, baik perkebunan, pertambangan, perbankan, maupun perdagangan,” kata Wasino.
Banyak perwira militer ditempatkan di badan-badan yang dibentuk pemerintah untuk mengurusi perusahaan-perusahaan Belanda. Soekardi, misalnya, ditugasi menjabat kepala cabang Badan Pusat Penyelenggaraan PerusahaanPerusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT) Jawa Timur. Menurut Soekardi, dari 25 perusahaan di bawah pengawasannya, hanya empat perusahaan yang dipimpin perwira militer. Selebihnya profesional dari perusahaan itu sendiri.
“Sejauh terdapat tenaga dari perusahaan sendiri, tidak ditempatkan orang-orang dari luar,” kata Soekardi.
Soekardi mengklaim pengambilalihan perusahaanperusahaan Belanda telah melahirkan manajer-manajer profesional Indonesia dari kalangan sipil maupun tentara yang mampu mengisi posisi strategis yang semula hanya bisa diduduki orang Belanda dan tenaga asing.
Wasino meragukan kemampuan para perwira tentara mengelola perusahaan-perusahaan Belanda. Dalam pelaksanaannya yang menjalankan perusahaan itu adalah orang Indonesia yang dulu levelnya lebih rendah, seperti di bawah administrator.
“Sedangkan Belanda tidak mendidik pekerja Indonesia untuk menjadi manajer sehingga kemampuan manajerialnya rendah. Maka, maklum saja perusahaanperusahaan itu mengalami kemerosotan,” kata Wasino. Namun, kemerosotan itu juga disebabkan banyak perusahaan Belanda memang dalam keadaan tidak menguntungkan.
Ricklefs sependapat bahwa dampak perusahaan-perusahaan Belanda terhadap perekonomian nasional dan tentara jauh dari manfaat. Terjadi banyak salah urus dan ketidakefisienan terutama akibat kecenderungan Nasution menugaskan para perwira yang sudah tua dan kurang cakap memimpin perusahaan-perusahaan, sementara para panglima yang lebih cakap tetap ditugaskan memimpin pasukan.*