Dangdut Rasa Pantura

Jika mendengar istilah dangdut pantura yang terbayang goyangan seronok dan dentuman musik keras nan cepat. Tak salah tetapi tak seluruhnya benar. Ini sejarah dangdut pantura.

OLEH:
Arief Ikhsanudin
.
Dangdut Rasa PanturaDangdut Rasa Pantura
cover caption
Pertunjukan tarling dangdut atau dangdut pantura Afita Nada di Kecamatan Kanci, Cirebon. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

SUASANA pesta pernikahan di desa Kanci, Cirebon, mulai semarak. Di atas panggug, Kiki Afita (21 tahun) menyanyikan lagu “Kawin Batin” karya Dadang Anesa dengan logat Cirebon yang khas. Kiki terlihat enerjik, melangkah ke setiap sudut panggung, mengajak penonton bergoyang. Tepakan kendang, alat musik tradisional Sunda, menghentak cepat. Suling, gitar, saksofon, dan organ ikut mengiringi.

Warga berdesakan di depan panggung. Karena lokasi hajatan berada di tengah lingkungan perumahan yang sempit, sebagian dari mereka menaiki pagar. Beberapa anak kecil memperhatikan biduan bergoyang sambil duduk di pojok depan panggung. Sementara di belakang panggung, menunggu giliran menyanyi, lima biduan mengecek riasan wajah atau memainkan telepon seluler. Sesekali bibir mereka bergerak sesuai lirik lagu yang didendangkan Kiki.  

Hiburan musik berlangsung siang dan malam. Setelah istirahat jam empat sore, pementasan dilanjutkan dari jam delapan sampai tengah malam. “Tergantung permintaan yang punya hajat,” ujar Kiki kepada Historia.

SUASANA pesta pernikahan di desa Kanci, Cirebon, mulai semarak. Di atas panggug, Kiki Afita (21 tahun) menyanyikan lagu “Kawin Batin” karya Dadang Anesa dengan logat Cirebon yang khas. Kiki terlihat enerjik, melangkah ke setiap sudut panggung, mengajak penonton bergoyang. Tepakan kendang, alat musik tradisional Sunda, menghentak cepat. Suling, gitar, saksofon, dan organ ikut mengiringi.

Warga berdesakan di depan panggung. Karena lokasi hajatan berada di tengah lingkungan perumahan yang sempit, sebagian dari mereka menaiki pagar. Beberapa anak kecil memperhatikan biduan bergoyang sambil duduk di pojok depan panggung. Sementara di belakang panggung, menunggu giliran menyanyi, lima biduan mengecek riasan wajah atau memainkan telepon seluler. Sesekali bibir mereka bergerak sesuai lirik lagu yang didendangkan Kiki.  

Hiburan musik berlangsung siang dan malam. Setelah istirahat jam empat sore, pementasan dilanjutkan dari jam delapan sampai tengah malam. “Tergantung permintaan yang punya hajat,” ujar Kiki kepada Historia.  

Kiki bukan hanya penyanyi. Dia juga pemimpin Afita Nada, grup musik tarling dangdut atau biasa juga disebut dangdut pantura. Genre ini musik populer khas masyarakat pantai utara Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon.  

Sunarto Matra Atmaja (73 tahun), musisi lokal, mengatakan istilah tarling dangdut sebenarnya tidaklah tepat. Bagi dia, tarling dan dangdut adalah dua hal yang berbeda. Dia lebih suka menyebutnya dangdut pantura. “Lagu tarling yang iramanya dangdut,” kata Sunarto yang akrab disapa Ato.  

Namun, apapun istilah yang digunakan, Ato menyebut genre ini tak bisa dilepaskan dari tarling, kesenian tradisional.

Pertunjukan tarling dangdut atau dangdut pantura Afita Nada di Kecamatan Kanci, Cirebon. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Perjalanan Tarling

Siapa yang menciptakan tarling tidak jelas. Beberapa sumber menyebut peranan seorang Tionghoa bernama Liem Sin You atau dikenal dengan nama Pak Barang. Pada 1930-an dia bereksperimen dengan gitarnya sehingga menghasilkan nada gamelan. Dan bersama Grup Paduana, dia memainkan syair parikan dan wangsalan. Kehadiran jenis musik ini mendapat sambutan dari masyarakat.  

“Dengan sikapnya yang terbuka masyarakat pesisir mudah menerima bentuk kesenian apapun termasuk tarling,” tulis Salim dalam “Perkembangan dan Eksistensi Musik Tarling Cirebon”, dimuat di jurnal Catharsis, Vol. 4, No. 1, 2015, yang diterbitkan Universitas Negeri Semarang.

Supali Kasim dalam Tarling Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling menyebut peranan Mang Kasim, warga Desa Kepandean, Indramayu. Namun, berdasarkan keterangan Sugra, anak Mang Kasim, dan keluarga mereka, Ato meyakini bahwa sosok di balik penemuan tarling pada 1930-an adalah Talam, seorang ahli gamelan.

Awalnya, seorang komisaris Belanda bernama Antonio menyuruh Talam memperbaiki gitarnya. Namun, setelah gitar itu selesai diperbaiki, komisaris Belanda itu tak kunjung mengambilnya. “Gitar itu kemudian dipetik dan dimainkan Talam dengan suara gamelan,” kata Ato.  

Hal yang sama dilakukan Sugra. Bahkan, Sugra bereksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Maka, tembang-tembang dermayonan dan cerbonan, yang biasanya diiringi gamelan, terdengar lebih indah. Terlebih suara suling bambu ikut mengiringi. Sugra dan teman-temannya pun kerap mendapat panggilan pentas di acara kawinan atau sunatan. Tak berhenti di situ, Sugra melengkapi pertunjukan dengan pergelaran drama, yang mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat.  

Tahun 1940-an sampai 1950-an, tarling menancapkan diri sebagai hiburan rakyat. Ia bersifat egaliter karena tidak lahir di tengah lingkungan keraton Cirebon. “Tarling lahir di tengah masyarakat,” kata Supali Kasim kepada Historia.  

Tarling makin digemari masyarakat pantura. Radio Republik Indonesia (RRI) Cirebon di bawah pimpinan Fajar Madraji mulai menyiarkan tarling tahun 1952. Warung wedang (warung minuman) tak hanya menyuguhkan kopi dan minuman lainnya. Sekelompok grup musik menghibur pengunjung hingga pagi. Lagu-lagu macapat mengalun diiringi alat musik sederhana: dua gitar, suling, dan kecrek.

Nama tarling, yang berarti gitar dan suling, belum digunakan. RRI menyebut “Melodi Kota Udang” untuk Cirebon dan “Melodi Kota Ayu” untuk Indramayu. RRI hanya memainkan musik tanpa lirik. Istilah tarling digunakan kali pertama pada acara 17 Agustus 1962 oleh seorang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH), sekarang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bernama Memed.  

Di Cirebon, Uci Sanusi, pemimpin grup keroncong Irama Family, tertarik mengembangkan tarling. Dia menambahkan beberapa alat musik kendang, gong, dan tutukan. Dia juga merekrut pesinden perempuan kembar dari penari dombret bernama Tura dan Turi. Mulailah grup tarlingnya kerap dipanggil untuk mengisi beberapa acara di Cirebon, Indramayu, Subang, Brebes, dan Tegal.  

Uci terkenal setelah, bersama Carini, menyajikan balada klasik berjudul “Saedah Saeni” pada 1960. Drama itu, mengisahkan dua anak yang hidup tersiksa karena memiliki ibu tiri, mampu membuat penonton menangis.

Di Karangampel, Indramayu, Jayana, yang pernah menyanyi di grup pimpinan Uci, membuat grup tarling bernama Jaya Lelana sekitar tahun 1956. Jayana antara lain menciptakan drama berjudul “Kiser Mangunggal”. Selain drama, Jayana menyisipkan humor dalam pertunjukan. “Dia dengan tamborin. Sambil joged sambil main tamborin, dan gerakannya lucu,” kata Ato.  

Meletusnya tragedi 1965 berakibat pada pembersihan seniman-seniman yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski bukan anggota PKI, Uci Sanusi dan Jayana dianggap anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dekat dengan PKI. Mereka ditangkap dan diasingkan. Ditangkapnya Uci dan Jayana membuat Ato dapat mengembangkan grup tarlingnya tanpa ada pesaing.  

Ato merintis grup tarling sejak 1964 dengan nama Seni Ploretar –pilihan nama ini tak lepas dari latar belakang keluarganya yang Partai Nasional Indonesia (PNI). Dia kemudian mengganti namanya menjadi Nada Jaya. Kemudian, dia menggabungkan grup tarlingnya dengan Grup Irama Budaya milik saudaranya, Barnawi. Terbentuklah Nada Budaya pada Agustus 1965.  

Selain Ato, ada Abdul Adjib yang memimpin grup tarling Putra Sangkala. Bagi Ato, Adjib adalah pembaharu tarling. Dia mengubah tarling dari nada klasik pentatonik ke nada modern diatonik. Dia menciptakan lagu “Penganten Baru” yang dianggap sebagai titik modern dari tarling. Tempo lagu dibuat lebih cepat. “Saya tertarik, loh kok tarling bisa begitu. Saya mulai membuat lagu tahun 1965,” kata Ato.  

Abdul Adjib dan Ato mengembangkan pertunjukan tarling. Agar tak membosankan, Ato memasukkan unsur lawak setelah melihat kesenian bodor reog. Ato membuat lakon berjudul “Kang Ato Ayame Ilang”, sementara Abdul Adjib membuat “Baridin Darmiah”. Perubahan ini membuat tarling memasukan unsur teater.  

Tarling kemudian mendapat tantangan serius dari musik yang begitu populer di seantero negeri: dangdut.

Tarling Indramayu. (Istimewa).

Terpengaruh Dangdut

Andreaw N. Weintraub, yang melakukan penelitian tentang musik dangdut, menyebut kata “dangdut” merupakan sebuah ejekan terhadap musik yang dimainkan Orkes Melayu yang menyanyikan lagu bercorak India. Dangdut diambil dari bunyi gendang tabla yang dimainkan.  

Pada 1950-an beberapa Orkes Melayu seperti Sinar Medan, Bukit Siguntang, dan Sinar Kemala menyanyikan lagu dari film India yang sedang booming di Indonesia. “Para komposer menciptakan lagu-lagu yang diilhami dari film India dan juga mengadaptasi lirik berbahasa Indonesia dengan melodi lagu film India,” tulis Andrew N. Weinraub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.

Dangdut meraih popularitas di Jakarta pada 1970-an. Pementasan-pementasan dangdut dibanjiri penonton, yang tak sungkan ikut bergoyang. Sejumlah radio pun menyiarkan dangdut. Lagu-lagu yang dibawakan Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, Ellya Khadam, hingga A. Rafik menjadi populer. Dangdut mewabah.  

Cirebon dan Indramayu juga terkena wabah dangdut. Bagi para seniman, dangdut bisa mengancam eksistensi tarling jika tak disikapi dengan bijak.  

Ato mencoba beradaptasi dengan tenarnya musik dangdut agar grup tarlingnya tetap mendapat panggilan pentas. Pada 1986, Ato memainkan dua musik yang berbeda dalam satu pertunjukan. Dalam sebuah papan acara tertulis “Dangdut dan Tarlingnya Kang Ato, Nada Budaya Cirebon.”  

“Dari sore sampai jam 12 (malam) dangdut, jam dua belas ke sana (sampai subuh) tarling,” kata Ato.  

Langkah berani diambil seniman lainnya. Mereka, umumnya anak-anak muda, menggabungkan tarling dengan dangdut sehingga memunculkan apa yang dikenal dengan dangdut pantura. Beberapa di antaranya Udin Zaen, Yoyo Suwaryo, dan Nano Romanshah.  

“Tarling sudah berubah menjadi dangdut Cirebonan, yang diawali oleh lagu ‘Pemuda Idaman’,” kata Ato.  

Senada dengan Ato, Supali mengatakan “Pemuda Idaman” ciptaan Sadi Maulana menjadi salah satu tonggak kemunculan apa yang disebutnya sebagai tarling dangdut. “Selain itu ada beberapa lagu lagi seperti ‘Randa Genit’ ciptaan Maman Supratman atau ‘Kawin Paksa’ karya Udin Zaen,” kata Supali.  

Sejumlah lagu tarling dangdut kemudian bermunculan dan beberapa jadi hits. Sebut saja “Warung Pojok” karya Hj. Uun, “Kembang Boled” (Hj. Abdul Adjib), “Nambang Dawa” (Ini Damini), “Manuk Dara Sepasang” dan “Sulaya Janji” (Hj. Dariyah), “Jawa Sunda” dan “Mboke Bocah” (Yoyo Suwaryo), “Pengen Dikawin” (Dewi Kirana), serta “Sewulan Maning” (Aas Rolani).  

Sejak itu, terutama tahun 1980-an dan 1990-an, tarling dangdut meramaikan jagat pertunjukan di pantura. Sejalan dengan itu, tarling dangdut merambah industri rekaman. Dian Record adalah perusahaan rekaman yang paling banyak memproduksi lagu tarling dangdut.  

“Dian Record juga merekam beberapa lagu daerah lain, termasuk wayang golek dan sandiwara,” kata Supali.  

Lagu tarling dangdut mengalami masa booming. Beberapa lagu seperti “Warung Pojok” dan “Pemuda Indaman” diterjemahkan dan dinyanyikan ke dalam bahasa daerah lain, bahkan bahasa Indonesia. Kendati demikian, tidak banyak penyanyi tarling dangdut yang mampu menembus jagat hiburan nasional. Salah satunya Ros Indrasari, yang dikenal dengan lagu “Tetes Banyu Mata”.  

“Tapi sekali muncul langsung tenggelam,” kata Supali.

Sunarto Matra Atmaja, musisi tarling. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Tak Sama dengan Dangdut

Pementasan yang dipertunjukan Afita Nada menggunakan bahasa Cirebonan, yang digunakan masyarakat Cirebon dan Indramayu. Bahasa Cirebonan menjadi hal yang paling gampang untuk membedakan dangdut pantura dari dangdut.  

Bukan hanya lagu, pembawa acaranya pun menggunakan bahasa Cirebonan selama acara pementasan. Dengan begitu suasana jadi cair. Biasanya tuan rumah hajatan atau orang yang dianggap penting dipanggil ke atas panggung untuk berjoget dan nyawer. Untuk menambah cair suasana, humor ala tarling diselipkan. Humor dilakukan dalam celetukan-celetukan untuk mengisi waktu antarlagu, atau gerakan lucu saat lagu dimainkan.  

“Itu biar tidak jenuh. Dan itu gak ada di dangdut lain,” kata Abdoel Dahlim, manajer sebuah pub di Cirebon.  

Dangdut pantura memiliki teknik bernyanyi yang berbeda dari dangdut. Lagu dangdut pantura terdengar agak sengau karena dinyanyikan menggunakan suara hidung, sedangkan dangdut menggunakan suara perut. “Makanya banyak penyanyi tarling yang serak, kalau dangdut enggak,” kata Ulfa Tanjung, penyanyi dangdut pantura yang juga menyanyi dangdut.

Penggunaan alat musik juga berbeda. Pada awalnya, sebisa mungkin musik yang dimainkan orkes dangdut dimainkan pula saat dangdut pantura. Begitu pula ketika organ tunggal mulai digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan pada akhir 1980-an. Yang membedakannya, dangdut pantura masih mempertahankan beberapa alat dari tarling. Penggunaan kendang klasik, bukan gendang dangdut, memberikan efek bunyi yang berbeda. Begitu pula dengan gong –kendati bunyinya bisa dihasilkan dengan penggunaan organ.  

“Itu boleh dibilang peningkatan tarling,” kata Ato.  

Supali mengkritisi kemunculan organ tunggal, yang menurutnya justru menghilangkan nuansa tradisional dari tarling. Menurut Supali, ketika masih mengusung tarling dangdut pada 1980-an, nuansa kedaerahan masih kental. “Nada dasar masih mengandung kedaerahan. Iringan daerah masih ada pada tepak gendang,” kata Supali. Namun, dalam pementasan saat ini, antara dangdut pantura dan tarling dangdut sudah tercampur. Grup tarling dangdut atau dangdut pantura sudah melebur.  

Perubahan itu terasa pada pementasan tahun 1990-an, bahkan sampai sekarang. Beberapa lagu seperti “Mabok Bae” karya Toriki dan “Kucing Garong” karya Kusin Indra –keduanya juga diterjemahkan ke beberapa bahasa daerah lainnya– menjadi tenar. “Yang lebih dominan malah unsur dangdutnya,” kata Supali sembari menambahkan inilah yang disebut dangdut pantura.

Meski kalah tenar oleh dangdut, grup tarling masih bisa hidup dengan memainkan pertunjukan dangdut. Afita Nada masih bisa memainkan tarling sesuai permintaan. Namun, grup yang hanya memainkan dangdut pantura akan kesulitan memainkan tarling.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66a1cdd5c8f3913cc5a4bd77