Dapur Ngebul Senapan Ngepul

Tanpa kehadiran perempuan-perempuan tangguh di dapur umum, usia perjuangan bisa jadi tak bertahan lama.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Dapur Ngebul Senapan NgepulDapur Ngebul Senapan Ngepul
cover caption
Suasana di dapur umum. Ibu-ibu sedang mempersiapkan makanan untuk para pejuang dibantu dua prajurit.

BUNG Tomo menaruh perhatian besar terhadap urusan logistik selama Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar suplai logistik untuk para pejuang jangan sampai terputus. Namun, badan yang mengurusi logistik para pejuang belumlah terbentuk. Dapur umum yang muncul spontan dan bantuan rakyat jadi andalan para pejuang.

Di Surabaya, Dariyah atau lebih dikenal sebagai Ibu Dar “mortir” –dinamakan demikian karena kebiasaannya melemparkan sirih di mulutnya begitu ada orang yang meledeknya, biasanya pemuda pejuang– merupakan salah satu inisiatornya. Ia mendatangi Doel Arnowo, ketua Komite Nasional Indonesia Daerah, untuk meminta beras di gudang Kalimas lalu mendirikan dapur umum Gemplak Gentengkali dengan bantuan Polisi Istimewa. “Ia yang membuat dapur umum pertama di Surabaya,” ujar Truus Iswarni Sardjono, mantan anggota Palang Merah 45.

BUNG Tomo menaruh perhatian besar terhadap urusan logistik selama Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar suplai logistik untuk para pejuang jangan sampai terputus. Namun, badan yang mengurusi logistik para pejuang belumlah terbentuk. Dapur umum yang muncul spontan dan bantuan rakyat jadi andalan para pejuang.

Di Surabaya, Dariyah atau lebih dikenal sebagai Ibu Dar “mortir” –dinamakan demikian karena kebiasaannya melemparkan sirih di mulutnya begitu ada orang yang meledeknya, biasanya pemuda pejuang– merupakan salah satu inisiatornya. Ia mendatangi Doel Arnowo, ketua Komite Nasional Indonesia Daerah, untuk meminta beras di gudang Kalimas lalu mendirikan dapur umum Gemplak Gentengkali dengan bantuan Polisi Istimewa. “Ia yang membuat dapur umum pertama di Surabaya,” ujar Truus Iswarni Sardjono, mantan anggota Palang Merah 45.

Pemuda Puteri Republik Indonesia (PPRI) pimpinan Loekitaningsih mula-mula juga mengurusi dapur umum. Mereka mendirikan banyak dapur umum. Ketuanya antara lain Ny. Sobari, Ny. Soebekti, Ny. Soedjono, Ny. Sunsalah, dan Ny. RS Supandhan –ibu dari Loekitaningsih. Dapur induk PPRI terletak di Jalan Pregolan, tak jauh dari markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kaliasin. Cakupan layanan dapur umum ini hampir meliputi seluruh kota.

Di mana-mana rakyat bersimpati pada perjuangan. Sumbangan logistik pun mengalir. Hampir semua stasiun kereta api, kenang Loekitaningsih, penuh makanan dalam besek atau berkeranjang-keranjang nasi bungkus. Tak ada seorang pun yang bisa menolak. “Kereta api yang menuju Surabaya, makin dekat semakin penuh dengan titipan makanan bagi para pejuang,” tulis Loekitaningsih, dimuat dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Akibatnya, para relawan dapur umum keteteran. Atas anjuran Bung Tomo, sumbangan dalam bentuk natura dialirkan ke dapur-dapur umum untuk diolah di bawah koordinasi M.A. Prangko Prawirokusumo.

Tenaga dapur umum mayoritas ibu-ibu, sekalipun sesekali mendapat bantuan dari para pemudi, pemuda, anak-anak, dan tentara yang sedang tak di garis depan sering kali juga ikut membantu. Secara bergantian mereka memasak dan tak jarang mengantarkan makanan ke garis depan. “Begitu simpatinya ibu-ibu di dapur umum tersebut, setiap mereka dapat menyerahkan ratusan nasi bungkus sesuai dengan pesanan kami, hingga ambulans penuh terus dan berangkatlah kami menuju markas para pemuda pejuang,” tulis Loekitaningsih.

“Pos palang merah dan dapur umum diatur lebih tepat dan disesuaikan dengan strategi pertahanan yang sedang disusun kembali,” tulis Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.

Peran penting dapur umum tersebut membuat berbagai pihak terus mempertahankan keberadaannya di berbagai tempat. “Pimpinan Pertahanan Kota masih tetap berusaha untuk mempertahankan sistem dapur umum, karena manfaatnya sangat besar dalam pemeliharaan moral para pejuang,” tulis Loekitaningsih.

Penduduk membantu petugas menurunkan peti-peti logistik. (Dok. Palang Merah Indonesia).

Peran Logistik

Peran logistik penting dalam pertempuran. Daya tahan perjuangan ditentukan keberlanjutan suplai logistik. Alexander Agung sampai menjadikan logistik sebagai komponen utama keputusan-keputusan militernya. Napoleon Bonaparte, yang pernah kehilangan banyak prajuritnya lantaran makanan yang mereka bawa basi, bahkan pernah mengadakan sayembara berhadiah besar untuk mencari cara pembuatan ransum yang awet.

Dapur umum hampir selalu muncul di sekitar front-front pertempuran. Biasanya koordinator dapur umum adalah inisiatornya. Misalnya, Dariyah dengan dapur umumnya di Surabaya, Laswi di Jawa Barat, atau Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) –unit perjuangan terkecil di pedesaan– dan wali perang masing-masing tempat di Minangkabau.

Semasa agresi militer Belanda kedua, wali perang memegang peranan penting dalam menentukan anggota dapur umum. “Namun, masyarakat Minang begitu antusias membantu perjuangan sehingga anggota dapur umum bukan cuma perempuan, tapi banyak juga lelaki dan anak-anak,” tulis Etmi Hardi dalam “Rakyat dan Revolusi: Peranan dan Paritisipasi Rakyat Sumatera Barat Selama Perang Gerilya 1948–49”, Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1, Agustus 2004.

Di Minangkabau, masyarakat menyumbang semua keperluan dapur umum. Umumnya berupa bahan-bahan mentah, sedikit yang menyumbang uang. Mereka menyumbang secara bergiliran.

Utari Suyanto, mantan anggota palang merah di Boja, Kendal, mendirikan sekaligus mengatur dapur umum di gedung kelurahan Karanggede, Salatiga dengan bantuan istri lurah setempat dan pembantunya. “Saya yang ngasih makan anak-anak,” ujarnya kepada Historia.

Utari Suyanto. (M.F. Mukthi/Historia.ID).

Di Yogyakarta agak berbeda. Orang kedua jadi koordinator. Bila bukan pemuda setempat yang ditunjuk tentara, kepala dukuhlah yang mengoordinasi dapur umum. Kepala dukuh akan menentukan besarnya sumbangan tiap keluarga berdasarkan hasil panen. Selain wajib menyumbang kayu bakar dan beras antara 20 sampai 50 kg, tiap keluarga harus memberi sayuran yang jenisnya telah ditentukan meski jumlahnya bebas.

Penyumbang lainnya adalah tentara. Para pemuda ataupun pejuang sering kali membantu mencarikan bahan-bahan mentah dengan berkeliling kampung untuk diserahkan ke dapur umum yang ada. Dapur umumlah yang mengolah bahan-bahan mentah itu jadi masakan.

Ada tiga tipe dapur umum di Minang. Pertama, yang paling umum, dapur umum yang didirikan di tiap jorong (bagian nagari). Kedua, dapur umum yang diadakan di rumah penduduk. Ketiga, dapur umum “nasi bungkus”, di mana petugas dapur umum berkeliling ke rumah-rumah penduduk untuk mengambil nasi bungkus; biasanya terdapat di nagari-nagari yang dekat basis pertahanan atau wilayah patroli musuh.

Dapur umum itu menempati rumah-rumah penduduk ataupun tempat pertemuan masyarakat setempat. Bila keamanan terancam atau para pejuang menyingkir lantaran desakan musuh, dapur umum akan pindah. Dapur umum di Minang semasa agresi militer Belanda II malah biasanya dirahasiakan. Mereka selalu berpindah-pindah. “Pengertian dapur umum lebih bersifat indikatif daripada definitif,” tulis Etmi Hardi.

Karung-karung logistik diturunkan dari truk. (Dok. Palang Merah Indonesia).

Meski bekerja di belakang garis pertahanan, petugas dapur umum tetap menghadapi risiko yang tak kecil. Nyawa bisa melayang sewaktu-waktu. Ancaman yang lebih besar dihadapi para pengantar makanan ke front. Musuh sering kali menyamakan mereka dengan pejuang yang harus dienyahkan.

Kisah lucu dialami Laswi di front Jawa Barat. Kendaraan yang sering mereka pakai sudah uzur sehingga sering mogok. Suatu hari, ketika mengantarkan makanan ke garis depan, kendaraan itu mogok lagi. Mereka terpaksa memberhentikan semua kendaraan yang lewat, untuk mereka mintai tumpangan. Dari penyetopan itu, “ternyata yang berhenti adalah mobil Jenderal Abdul Haris Nasution,” kenang Yati Aruji Kartawinata dalam “Lasykar Wanita Indonesia 1945–1950”, termuat dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Sang panglima hanya tersenyum sambil membolehkan kendaraannya diisi makanan untuk para pejuang. “Sejak itu kami mendapat julukan Jenderal Ompreng.”

Tawa adalah bumbu dalam peperangan, namun dukanya juga tak terkira. Loekitaningsih dan kawan-kawannya beberapa kali hampir menghadapi maut di front Surabaya. Utari Suyanto malah sampai kehilangan bayinya yang baru berumur 10 hari ketika pada 10 Mei 1948 Belanda masuk kampungnya. “Saya dijemur di depan kelurahan dari pagi sampai sore. Jam lima anak saya meninggal,” ujarnya. Demikian pula anggota Laswi di Jawa Barat dan pemudi-pemudi di berbagai daerah di tanah air.

“Dalam perjalanan mengantarkan makanan untuk para pejuang di garis depan, kita sering mendapat serangan musuh dan terpaksa kita menyelamatkan makanan itu,” tulis Yati Aruji. “Namun segala pengorbanan tersebut tidaklah mengendurkan semangat juang anggota Laswi lainnya. Mereka menyadari bahwa itu adalah risiko suatu perjuangan.”*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642babacec49bb41d94e2aa7