Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. (Indra Pratama/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
BERADA di antara puluhan lapak barang bekas dan gerobak pedagang makanan keliling, rumah ini sekilas tampak biasa. Tak ada ticket box, spanduk besar, maupun papan nama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Penandanya hanyalah bendera merah putih yang berkibar di atas sebuah plakat bertuliskan Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Ia terlihat rapi dan bersih dibanding bangunan di sekitarnya.
Rumah ini pernah menjadi tempat tinggal pasangan Sukarno dan Inggit Garnasih. Ia juga menjadi tempat berkumpul kaum pergerakan. “Rumah ini bisa dikatakan posko atau dapur perjuangan,” ujar Tito Zeni Asmara Hadi, anak pasangan Ratna Djuami dan Asmara Hadi. Ratna Djuami adalah anak dari Murtasih, kakak Inggit, sementara Asmara Hadi, seorang sastrawan, anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), dan murid Sukarno.
BERADA di antara puluhan lapak barang bekas dan gerobak pedagang makanan keliling, rumah ini sekilas tampak biasa. Tak ada ticket box, spanduk besar, maupun papan nama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Penandanya hanyalah bendera merah putih yang berkibar di atas sebuah plakat bertuliskan Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Ia terlihat rapi dan bersih dibanding bangunan di sekitarnya.
Rumah ini pernah menjadi tempat tinggal pasangan Sukarno dan Inggit Garnasih. Ia juga menjadi tempat berkumpul kaum pergerakan. “Rumah ini bisa dikatakan posko atau dapur perjuangan,” ujar Tito Zeni Asmara Hadi, anak pasangan Ratna Djuami dan Asmara Hadi. Ratna Djuami adalah anak dari Murtasih, kakak Inggit, sementara Asmara Hadi, seorang sastrawan, anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), dan murid Sukarno.
Jauh hari sebelum menempati rumah itu, Inggit tinggal di Jalan Kebon Jati Bandung, kawasan sekitar Hotel Surabaya –sekarang direnovasi dan dipoles menjadi muka depan Hotel Carrcadin. Kala itu Inggit adalah istri dari pengusaha dan aktivis Sarekat Islam, Haji Sanusi. Pada Juni 1921, ketika Sukarno menjadi mahasiswa baru di Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, mertua sekaligus mentornya, H.O.S. Tjokroaminoto mengatur tempat kos Sukarno di rumah Haji Sanusi, kawan lamanya.
Dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno menyebut rumah itu memberikan keberuntungan baginya. Keberuntungan itu adalah Inggit Garnasih. Begitu melangkah masuk ke rumah, Sukarno berkata dalam hati, “Oh, luar biasa perempuan ini.” Sukarno lalu tersadar, cepat-cepat membuang pikiran itu –untuk sementara– dan meminta Siti Oetari, istrinya, segera menyusul. “Aku akan memusatkan pikiran untuk kuliah di Sekolah Teknik Tinggi guna mengejar gelar insinyur –bukan merusak rumah tangga orang,” ujar Sukarno.
Nyatanya, setelah enam bulan di Bandung, Sukarno mengembalikan Oetari ke ayahnya, Tjokroaminoto. Ia berdalih kasih sayangnya kepada Oetari hanyalah sebagai kakak kepada adik. Sukarno ingin pendamping yang berperan sebagai ibu dan menemukannya pada sosok ibu kosnya. “Adalah ia, bukan istriku, yang membereskan kamarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan pemikiranku,” kata Sukarno.
Markas Kaum Pergerakan
Meski usia Inggit lebih tua 15 tahun, namun cinta tak pandang usia. Sukarno menikahi Inggit pada 24 Indonesia 1923 saat kuliahnya menginjak tingkat kedua. Inggit berperan besar mendorong Sukarno untuk menyelesaikan kuliahnya yang nyaris terbengkalai akibat aktivitas politik. Mereka, bersama Ratna Djuami yang diangkat sebagai anak, hidup berpindah-pindah kontrakan. Dari rumah di Jalan Pungkur (kini jejeran minimarket), Jalan Dewi Sartika Indonesia. 22 (kini jadi Gereja Rehobot), hingga Gang Jaksa yang hingga kini masih terpelihara.
Sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah dengan harga terjangkau di daerah Astana Anyar. Ketika membelinya tahun 1926, rumah itu berbentuk panggung yang terbuat dari bilik bambu (gedek).
Untuk menunjang ekonomi, pasangan itu membuka indekos murah untuk beberapa anak muda, kebanyakan murid politik Sukarno. Kuliah politik dalam kelompok lebih kecil dan suasana yang santai sering terjadi di rumah ini. Menurut Tito, tokoh-tokoh yang pernah berkunjung ke rumah ini antara lain E.F.E. Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Husni Thamrin, Ali Sastroamijojo, Sosrokartono (kakak R.A. Kartini), Mr. Sartono, Suyudi, H. Agus Salim, K.H. Mas Mansur, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, H.O.S. Tjokroaminoto, Dr. Soetomo, Otto Iskandardinata, Abdoel Moeis, Asmara Hadi, dan S.K. Trimurti. “Selain untuk berumah tangga, rumah itu juga jadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan,” kata Tito.
Inggit lebih banyak berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, menghidupi diri, keluarga, serta suaminya dengan berjualan jamu hingga rokok lintingan. Ketika Sukarno ditangkap pada 29 Desember 1929 dan ditahan di Penjara Banceuy di pusat Kota Bandung, Inggit secara berkala mengunjunginya sambil menyelundupkan makanan, uang, surat kabar, dan buku, yang kemudian menjadi bahan menulis pledoinya, Indonesia Menggugat.
Pledoi itu tak mampu menyelamatkan Sukarno dari hukuman. Sukarno dipenjara empat tahun di Sukamiskin. Inggit ditemani Ratna Djuami kerap kali berjalan kaki dari Astana Anyar ke Sukamiskin, yang jaraknya belasan kilometer, karena tak mampu membayar delman atau angkutan lain.
Pemenjaraan Sukarno menyebabkan perubahan dalam tubuh Partai Nasional Indonesia (PNI). Mr. Sartono menjadi pemimpin yang kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partai Indonesia (Partindo) pada April 1931. Mohammad Hatta, yang tak setuju pembentukan Partindo, membentuk PNI Baru. Selepas dari penjara, Sukarno melanjutkan perjuangan. Kali ini bersama Partindo.
“Sukarno dan Ibu Inggit tinggal di rumah Astana Anyar dari tahun 1926 sampai 1934,” kata Tito.
Sukarno diasingkan ke Ende, Flores pada 1934 hingga 1942. Ia membawa serta Inggit, mertuanya Ibu Asmi, dan Ratna Djuami. Rumah itu pun dibiarkan kosong. Barang-barang dititipkan pada beberapa kerabat. Sementara itu, akibat larangan dari pemerintah, Partindo lumpuh.
Sukarno dan Inggit mengalami banyak hal di pembuangan: meninggalnya Ibu Asmi; pemindahan pengasingan ke Bengkulu; hingga permintaan Sukarno untuk menikah lagi dengan gadis Bengkulu, Fatmawati. “Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh, dimadu? Kalau harus dimadu, pantang),” jawab Inggit dalam roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H., ketika Sukarno hendak mengawini Fatmawati.
Pada 1942, Sukarno menceraikan Inggit dengan dalih tak memberikan keturunan dan mereka pulang ke Jawa. Pada Juni 1943, Sukarno mengawini Fatmawati.
Rumah Kenangan
Setelah bercerai, Inggit tak lagi menempati rumah Astana Anyar yang sudah tak layak huni. Ia menumpang di rumah Haji Anda, pengusaha material yang berkenalan dengan Inggit dan Haji Sanusi di Sarekat Islam, di Lengkong Besar, tepat di belokan menuju Jalan Kana. “Di rumah Haji Anda, Sukarno dan K.H. Mas Mansur menyerahkan Ibu Inggit kepada keluarga yang diterima oleh Haji Sanusi,” kata Tito. Inggit juga sempat tinggal di rumah Lengkong Tengah No. 16.
Ketika peristiwa Bandung Lautan Api pecah pada 24 Maret 1946, Inggit mengungsi ke Garut. Sekembalinya dari Garut, Inggit tinggal di sebuah rumah di Gang Bapa Rapi. Kenangan bersama Sukarno dan kawan-kawan pergerakanlah yang membuat Inggit ingin kembali ke rumah Astana Anyar. “Ayah saya mencoba mewujudkannya,” ujar Tito.
Asmara Hadi mengontak kawan-kawan lama seperti Rusiah Sardjono, Supardi, S.K. Trimurti, Winoto Danuasmoro, dan A.M. Hanafi, adik Asmara Hadi, untuk patungan mendanai renovasi. Izin dikeluarkan Wali Kota R. Priatnakusumah. Pengerjaannya dilakukan pemborong Sugiri.
Setelah selesai pada 1951, Inggit menempati rumah itu ditemani Irah, kemenakannya. Sedangkan Ratna Djuami dan suaminya tinggal di Gang Wirya, tak jauh dari Astana Anyar. “Sejak kecil hingga remaja, saya sering ngobrol bersama Ibu Inggit di rumah Astana Anyar. Beliau, sembari membuat semacam obat wajah, sering mendongengkan masa lalu, terutama masa-masa perjuangan bersama Bung Karno,” kenang Tito.
Meski pernah disakiti Sukarno, “Inggit selalu menganggap Bung Karno sebagai rekan seperjuangan paling berkesan. Ia marah kalau ada yang menjelekkan Bung Karno.” Tito menambahkan, “Yang ia kenang hanyalah kebaikan dan kehebatan Bung Karno.”
Setelah Inggit berpulang pada 13 April 1984, rumah Astana Anyar lama terlupakan. Baru pada 18 Agustus 1994, pemerintah daerah mengambilalihnya, dan pada 23 Desember 2010 meresmikannya sebagai Rumah Bersejarah Inggit Garnasih.
Artefak
Terletak di Jalan Inggit Garnasih No. 8, rumah Astana Anyar adalah saksi sejarah perjuangan Inggit Garnasih dan Sukarno di Bandung. Rumah ini terbagi atas ruang baca, ruang pembuatan bedak dan jamu, kamar tidur, ruang serbaguna, serta kamar mandi dan kamar pembantu. Fungsi- fungsi ini didasarkan pada fungsi-fungsi ruangan saat Inggit tinggal sendiri di rumah hasil renovasi.
Di dalam rumah terdapat reproduksi gambar anugerah piagam penghargaan Satya Lancana Perintis Kemerdekaan yang dianugerahkan Sukarno kepada Inggit pada 1961 dan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Soeharto pada 1997. Pada tahun itu pula jalan di mana rumah ini berdiri ganti nama dari Jalan Ciateul menjadi Jalan Inggit Garnasih.
Rumah ini dijaga bergantian oleh tiga tenaga keamanan, seorang janitor, dan seorang juru kunci. Kebersihan dan kerapian rumah terjaga baik. Cat yang tampak bersih, disertai taman belakang dengan rumput terpotong rapi, membuat rumah ini terasa seperti rumah nenek yang hangat dan nyaman untuk ditinggali.
Rumah ini buka tiap hari dari pukul 08.00 sampai 16.00 WIB. Untuk mengunjungi situs ini pengunjung tak dipungut biaya. Namun, ada baiknya memperbanyak referensi awal mengenai Inggit Garnasih ataupun Sukarno. Di rumah ini hanya ada sedikit keterangan yang tersedia, yaitu dari brosur maupun foto hasil reproduksi.
Yang bisa diandalkan untuk bercerita hanyalah Jajang, juru kunci rumah. Informasi yang disampaikannya tentu terbatas. Dari data buku tamu, pengunjung masih minim. Jajang menyebutkan, sebagian besar pengunjung sekadar mampir karena kebetulan lewat atau sedang berbelanja di sentra perdagangan barang bekas maupun gerai tas tersohor yang berjarak kurang dari 50 meter.
Kelompok pengunjung minoritas adalah mereka yang sengaja datang ke situs ini. Kebanyakan pengagum Sukarno, yang menapaktilasi jejak perjuangannya di Bandung. Ada pula sebuah kecenderungan unik; seseorang datang berkunjung setelah bermimpi didatangi Inggit, lalu bersemadi di rumah ini. Pengelola mensyaratkan harus ada perjanjian terlebih dahulu bagi pengunjung seperti ini.
Rumah ini tampaknya luput dari berbagai peta wisata Kota Bandung. Semenjak pendiriannya, branding situs ini masih kurang. Lokasi yang terletak di tengah-tengah sentra perdagangan barang bekas Astana Anyar, ditambah lalu lintas satu jalur, kian mengisolasinya. Tapi tak bisa disangkal, jika datang di pagi hari, kita bisa menemukan suasana unik di sekitar rumah ini. Kehidupan pasar barang bekas yang menggeliat, beragam makanan dijajakan, hingga salah satu ikon minuman Kota Bandung, Cendol Elizabeth.*
Tulisan ini dikerjakan bersama dengan Indra Pratama.