Dara Puspita, The Beatles Perempuan

Empat perempuan remaja bermimpi terkenal lewat grup musik. Modalnya tekad dan nekat. Dara Puspita pun menjadi grup musik perempuan Indonesia yang berhasil menaklukkan panggung Eropa.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Dara Puspita, The Beatles PerempuanDara Puspita, The Beatles Perempuan
cover caption
Dara Puspita, grup band perempuan Indonesia yang tampil di panggung Eropa.

WAKTU pulang tiba juga. “Jakarta sudah dekat,” batin Titiek Hamzah, gitaris dan vokalis utama Dara Puspita, ketika pesawatnya transit di Singapura. Dia sudah lama berpisah dengan ibunya hampir tiga setengah tahun. Saat di bandar udara Singapura, dia menelepon ibunya agar tak usah menjemput ke Kemayoran, Jakarta. “Sudah malam,” Titiek beralasan.

Sang ibu menolak permintaan itu. Dia berangkat menuju bandara Kemayoran. Di sana riuh. Ratusan orang menunggu kedatangan Dara Puspita. Petugas bandara mengumumkan pesawat mereka sudah berangkat dari Singapura.

Tak lama, pesawat tiba di Kemayoran. Keharuan meruap. Titiek memeluk ibunya. Penggemarnya merubung. Bergantian memeluk Titiek karena kangen. Namanya dielu-elukan. Perlakuan serupa juga diberikan kepada tiga personel Dara Puspita lainnya: kakak-adik Titiek Adjie Rachman dan Lies Adjie Rachman, serta Susi Nander.

WAKTU pulang tiba juga. “Jakarta sudah dekat,” batin Titiek Hamzah, gitaris dan vokalis utama Dara Puspita, ketika pesawatnya transit di Singapura. Dia sudah lama berpisah dengan ibunya hampir tiga setengah tahun. Saat di bandar udara Singapura, dia menelepon ibunya agar tak usah menjemput ke Kemayoran, Jakarta. “Sudah malam,” Titiek beralasan.

Sang ibu menolak permintaan itu. Dia berangkat menuju bandara Kemayoran. Di sana riuh. Ratusan orang menunggu kedatangan Dara Puspita. Petugas bandara mengumumkan pesawat mereka sudah berangkat dari Singapura.

Tak lama, pesawat tiba di Kemayoran. Keharuan meruap. Titiek memeluk ibunya. Penggemarnya merubung. Bergantian memeluk Titiek karena kangen. Namanya dielu-elukan. Perlakuan serupa juga diberikan kepada tiga personel Dara Puspita lainnya: kakak-adik Titiek Adjie Rachman dan Lies Adjie Rachman, serta Susi Nander.

Malam itu, Jumat, 3 Desember 1971, mereka mengakhiri kembara di Eropa selama tiga tahun empat bulan. Banyak berita simpang siur tentang mereka selama tur di Eropa. Beberapa menyebut mereka telantar di negeri orang. Sebagian lain berkisah mereka hanya bermain dalam rombongan sirkus. Tak lebih.

Untuk menampik kabar itu, Dara Puspita menggelar konferensi pers dua hari setelah kepulangan mereka. Selama di Eropa mereka tak telantar seperti diberitakan. “Kami cukup senang di Eropa. Imbalan yang diterima cukup meski di akhir lawatan hanya manggung di hari Sabtu dan Minggu,” ujar Susi dikutip Kompas, 6 Desember 1971.

Denny Sabri, jurnalis Aktuil yang menyertai mereka ke Eropa, juga memberi kesaksian. Kesuksesan Dara Puspita bukan hanya desas-desus. Jika tak disukai publik, mereka sudah pulang lebih awal. Tak pernah ada sebelumnya grup musik perempuan Indonesia tampil di Eropa selama itu. Sebuah pencapaian istimewa.

Dara Puspita. (Public domain).

Berjuang di Jakarta

Empat personel Dara Puspita berteman sejak remaja. Mereka tumbuh kala musik Amerika Serikat menyebar ke Indonesia melalui corong radio pada dekade 1950. Seperti kebanyakan remaja seusia, mereka gandrung musik rock ‘n’ roll –Presiden Sukarno menyebutnya ngak ngik ngok– yang diperkenalkan Bill Haley dan The Comets. Lagu berirama Amerika Latin (cha cha cha) yang diusung grup The Blue Diamonds juga disenangi banyak remaja.

Minat para remaja ini meresahkan pemerintah. Musik asing dipandang negatif dan merusak kebudayaan nasional. Melalui manifes presiden pada 17 Agustus 1959 tentang kebudayaan nasional, Sukarno berkasad melindungi para remaja dari pengaruh musik asing. Gara-gara manifes ini, Radio Republik Indonesia tak lagi memutar musik asing.

“Sejak pertengahan bulan Oktober 1959 masyarakat Indonesia sudah tidak mendengar lagi lagu-lagu yang berirama rock ‘n’ roll, cha cha cha, dan mambo dari seluruh Radio Republik Indonesia,” tulis Mulyadi dalam Industri Musik Nasional: Pop, Jazz, dan Rock 1960–1990.

Tapi minat para remaja sulit diatur. Lagi pula pemerintah tak punya pengertian yang tegas dan jelas tentang musik Barat. Para remaja pun tak ragu membentuk grup musik dengan mengusung irama Amerika Latin pula. Salah satu grup itu adalah Nirma Puspita di Surabaya pada 1961. Beranggotakan 14 perempuan, grup ini dipimpin Lily Kastedjo dan sempat berganti nama menjadi Irama Puspita ketika beberapa anggotanya keluar.

Tiga sekawan Titiek AR, Lies AR, dan Susi ikut dalam grup ini. Sejak kecil, mereka akrab dengan alat musik. Masing-masing memegang gitar melodi, bas, dan drum. Ketika anggota lainnya keluar karena mendewasa dan harus menikah, mereka tetap bertahan. Hingga hanya mereka yang tersisa. Merasa kurang orang, mereka mengajak seorang kawan sebaya. Annie Kusuma Prasetyani namanya. Dia memegang gitar.

Mereka punya mimpi: terkenal. Salah satu idola mereka Koes Bersaudara. Suatu kali, Koes Bersaudara tampil di Surabaya pada April 1964. Saking senangnya, mereka mencari hotel tempat Koes Bersaudara menginap. Mulanya mereka ke sana hanya untuk minta tandatangan. 

Menurut Titiek AR, dalam wawancara dengan Manunggal K. Wardaya, doktor bidang hukum dari Redboud Universiteit, Belanda sekaligus arsiparis Dara Puspita, pada 17 Mei 2012, mereka hanya bertemu dengan Handiyanto, kru Koes Bersaudara. Dia lalu menyampaikan permintaan itu kepada Tonny Koeswoyo, pemimpin Koes Bersaudara. 

Di Jakarta, kami tinggal di rumah bude saya. Karena merasa tak enak, kami pindah dan mengekos. Dan kami tak punya alat musik.

Tonny tak hanya memberi mereka tanda tangan, tapi juga kesempatan tampil bersama. Takjub dengan permainan mereka, Tonny mendorong agar mereka pindah ke Jakarta. “Kalau mau terkenal, main di Jakarta. Jangan di Surabaya,” kata Titiek AR menirukan Tonny. Mereka sempat bimbang karena hampir semua masih bersekolah, kecuali Titiek AR. Keputusan harus dibuat: menyelesaikan sekolah atau membina hidup melalui musik. Mereka menempuh pilihan kedua.

Bermodal nekat dan uang Rp1.000 per orang –harga beras menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 sekira Rp100 per liter– mereka ke Jakarta dengan kereta api. “Di Jakarta, kami tinggal di rumah bude saya. Karena merasa tak enak, kami pindah dan mengekos. Dan kami tak punya alat musik,” kenang Titiek AR. 

Tanpa diduga, mereka beroleh banyak bantuan. Usai tampil bersama Koes Bersaudara, mereka berkenalan dengan Iwan Pirngadi dan Soebronto Laras dari grup Pamour Yunior, yang populer sejak 1957. Mendengar cerita dan tekad mereka, Iwan dan Soebronto pun membantu dengan meminjamkan tempat berlatih di Kebayoran dan peralatan musik yang belum tentu dimiliki grup lain. Mereka tampil dari satu panggung ke panggung lain meski kecil-kecilan.

Bantuan lain datang dari Sally Sardjan dan Titi Qadarsih yang (bersama Anny Cokro) tergabung dalam grup Salanti Bersaudara. Seperti Iwan dan Soebronto, mereka menyediakan tempat berlatih untuk empat perempuan itu. Saat mulai dikenal, Lies AR memutuskan kembali ke Surabaya untuk menyelesaikan pendidikan menengah atasnya di pengujung 1964.

Titiek AR pun mengajak Titiek Hamzah ke Jakarta. Dia pernah menyaksikan permainan gitar Titiek Hamzah kala masih bergabung dalam band bocah bersama Yopie Item. Mereka saling kenal karena ibu mereka juga berteman. Seperti Titiek AR, Titiek Hamzah punya hasrat bermusik. Karena itu, dia rela meninggalkan bangku sekolah. “Dulu saya anggap sekolah itu nggak ada gunanya buat saya,” kata Titiek Hamzah, dikutip Jakarta-Jakarta, 11 Desember 1991.

Dara Puspita di majalah Aktuil tahun 1967.

Nama Membawa Berkah

Memasuki 1965, masa sekolah Lies kelar. Dia pun ke Jakarta lagi. Persis ketika Anie Kusuma mulai menemukan ketidakcocokan visi bermusik dengan rekan-rekannya. Karena ini prinsip, Anie memutuskan keluar. Selewat konflik ini, mereka justru bersinar. 

Penampilan di Istora pada April 1965 menjadi titik balik. Ikut memeriahkan “Malam Lilis Suryani”, mereka diminta mengganti nama Irama Puspita yang selama ini dipakai. “Ketua panitia menyarankan mengganti nama karena Irama Puspita seperti nama band laki-laki,” kata Susi dikutip Kompas, 28 Februari 1982. Panitia menyebut mereka Dara Puspita. Dara berarti gadis, sedangkan puspita itu bunga. Terdengar enak, mereka tak keberatan memakai nama itu. 

Di panggung, mereka tampil enerjik; berjingkrak-jingkrak dengan suara melengking tinggi menirukan The Beatles dan The Rolling Stones. Ini atraksi yang jarang pada masanya. Tempik sorak bergemuruh. Penonton menyukai mereka. Mereka menyebut dirinya The Beatles perempuan. “Yah, itulah kenangan indah dimulainya karier Dara Puspita,” lanjut Susi. 

Snobisme (proses meniru) ini berbuntut. Pernah saat manggung bersama Koes Bersaudara, petugas Kejaksaan Tinggi Jakarta menghentikan pertunjukan. Maklum saja, suasana politik di Jakarta memanas menjelang peristiwa G30S. Agitasi dan propaganda ikut merembet ke lapangan seni dan budaya. Tiap kelompok mudah teriak “ganyang!” 

Kita pernah punya sebuah girlband yang memainkan sendiri instrumennya dan unjuk taring di ratusan panggung di Eropa.

“Di tahun 1965 RRI tidak lagi memutar lagu-lagu Barat berirama twist, rock ‘n’ roll, termasuk piringan-piringan hitam The Beatles, dan lagu-lagu Indonesia yang terpengaruh irama twist dan rock ‘n’ roll dan The Beatles,” tulis A Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkana dalam “Pasang Surut Musik Rock di Indonesia”, Prisma, 10 Oktober 1991. Sesiapa yang melanggar, kena razia. Dara Puspita dan Koes Bersaudara contohnya. 

Nasib mereka berbeda. Keduanya tampil satu panggung dalam sebuah acara di Petamburan, Tanah Abang. Semua anggota Koes Bersaudara ditahan. Tak begitu dengan anggota Dara Puspita. “Kami tak tahu alasannya. Tapi kami tetap harus melapor ke Kejaksaan selama sebulan. Setiap hari dari jam 7 pagi hingga jam 2 siang. Tanpa makan,” kata Titiek Hamzah. 

Selepas wajib lapor, penampilan mereka diawasi petugas. “Ya, akhirnya kami ikut kemauan mereka. Tak tampil urakan. Tapi kalau mereka tak mengawasi, kita jingkrak atau goyang lagi,” kata Lies AR, kini bermukim di kota Alphen, Belanda, ketika diwawancara Manunggal pada 28 April 2012. 

Lewat sehari peristiwa G30S, Dara Puspita terbang ke Bangkok untuk memenuhi beberapa undangan. Perjalanan itu menghasilkan dua lagu “Pantai Pataja” dan “Pujaili” berbahasa Thai. Mereka balik ke Indonesia pada Desember 1965 dan beroleh kesempatan tampil lebih ekspresif. Setelah G30S, musik Barat tak lagi jadi masalah. Kekangan terhadap ekspresi berkesenian perlahan mengendur. Perusahaan rekaman mulai berani melirik mereka.

Pengambilan gambar untuk materi promosi Dara Puspita. (Public domain).

Rekaman dan Tur Luar Negeri

Hanya butuh waktu sebulan bagi Dara Puspita untuk dipanggil masuk dapur rekaman setelah tiba di Indonesia. Dimita Moulding Industries, berkantor di Bandengan Selatan, Kota, Jakarta Barat, bersedia merekam lagu-lagu mereka. 

Perjuangannya berat. “Perekaman lagu dilakukan malam hari untuk menghindari suara bising dari luar,” kata Lies. Terlebih lokasi Dimita dekat dengan rel kereta api. Tak jarang mereka harus berhenti merekam saat kereta lewat. Belum lagi rasa kantuk yang sering mendera. 

Masalah teknis tak kalah memusingkan mereka. Dimita hanya mempunyai program perekaman dua tracks. Artinya semua suara instrumen mesti diambil secara bersamaan. Ada satu saja kesalahan kecil, perekaman harus diulang. Toh, kesulitan itu mereka atasi. Hasilnya 12 lagu dalam satu album yang bertitel Jang Pertama. Empat lagu di antaranya kreasi Dara Puspita. Yon Koeswojo, personel Koes Bersaudara ikut terlibat dalam pembuatan album ini, bahkan membantu menulis lirik lagu “Kenangan yang Indah” –Yon sempat terlibat cinta yang gagal dengan Susi Nander. 

Distribusi album ditangani Transgramofon. Karena masih ragu, perusahaan itu hanya mencetak 2.500 kopi piringan hitam. Harganya Rp175 per keping. Titiek Hamzah sempat kesal dengan keputusan itu. Rasa kesal itu terhapus begitu dia tahu album itu laris di pasaran sehingga Transgamofon harus mencetak ulang piringan hitam itu. 

Terpacu penjualan album, motivasi personel Dara Puspita kian meningkat. Menurut Titiek Hamzah, dalam satu bulan, 28 hari mereka gunakan untuk berlatih dan bekerja. Sisanya istirahat. Tak heran album kedua, Dara Puspita, terbit pada tahun yang sama. 

Album Dara Puspita. (Public domain).

Ini sangat langka. Apalagi sebelumnya tak ada catatan grup musik perempuan masuk dapur rekaman. Album ketiga, Green Green Grass, ditelurkan pada 1967. Semuanya laris dan disukai masyarakat: dari tukang becak sampai anak gedongan. Rahasianya, menurut Lies AR, liriknya sederhana meski kadang musiknya meraung-raung. Bagi anak muda inilah musik yang sesuai dengan jiwa mereka. 

Rampung tiga album, Dara Puspita kembali diundang ke luar negeri. “Mereka ikut memeriahkan malam dana pembangunan Gedung Anak Yatim Selangor di Stadium Negara,” tulis Kompas, 13 November 1967. Undangan ini juga menjadi tanda membaiknya hubungan Indonesia dan Malaysia setelah konfrontasi pada masa Orde Lama. Begitu meriahnya sambutan ribuan penonton, polisi sampai harus mengawal mereka sebelum dan setelah pertunjukan. 

Energi bermusik mereka seolah tak pernah habis. Memasuki Juli 1968, mereka menelurkan album keempat, A Go Go. Belum sempat menyaksikan album itu beredar, mereka mesti pergi ke Eropa. Seorang impresario berkebangsaan Jerman, Wilhelm Butz, kepincut aksi mereka saat tampil di Lokasari, Jakarta Barat, bersama grup musik perempuan asal Swiss. Dia menawarkan kontrak selama enam bulan. Tawaran itu bersambut. 

September 1968 mereka tiba di Jerman Barat. Pamor mereka ternyata telah lama santer didengar mahasiswa Indonesia di sana. “Pada setiap showsnya selalu ada penonton yang terdiri dari mahasiswa Indonesia dan merupakan saksi sukses besarnya Dara Puspita di Jerman Barat,” tulis Radio dan Televisi, 24 November 1968. Di kota lainnya pun demikian. Kontrak mereka pun diperpanjang. Mereka baru kembali ke Indonesia pada akhir 1971. 

Dan giliran publik Indonesia dihibur. Dara Puspita mengguncang Istora pada 18 Desember 1971. “Malam itu Istora tampak seperti arena joget di Jakarta Fair,” tulis Kompas, 20 Desember 1971.

Dara Puspita di majalah Aktuil tahun 1972.

Mereka lantas menggelar konser keliling Indonesia memasuki 1972, dan ditutup dengan pertunjukan di Jakarta bersama Koes Bersaudara. Hingga berita mengejutkan datang pada Maret 1972: mereka bubar. Alasannya tak pernah jelas. Yang diketahui publik hanya karena Titiek Hamzah ingin menikah. 

Bulan itu Indonesia kehilangan satu grup musik legendarisnya. Manunggal menyebut, “Kiprah mereka bisa dikatakan Indonesian Invasion di Eropa.” Sayang, karena buruknya dokumentasi, sejarah mereka seolah terlupakan. “Karena itu, saya berusaha menjaga arsip mereka semampu saya agar sejarah musik kita tetap utuh. Bahwa kita pernah punya sebuah girlband yang memainkan sendiri instrumennya dan unjuk taring di ratusan panggung di Eropa.” 

Hingga kini hampir semua mantan anggota Dara Puspita masih bermusik. Titiek AR tergabung dalam grup Daughter of Zeus bersama musisi perempuan Australia. Kadang dia tampil bersama Lies AR dalam acara pernikahan. Susi sesekali bermusik sendiri untuk mengisi waktu luangnya. Terakhir, mereka sempat reuni di Surabaya pada September 2012. Titiek Hamzah tak hadir karena sibuk mengurus usaha katering dan keramiknya.

Setelah 52 tahun tidak bermain musik bersama, Dara Puspita dengan formasi lengkap: Titiek AR, Lies AR, Susi Nander, dan Titiek Hamzah, akhirnya tampil di Synchronize Fest 2022 hari kedua di Kemayoran, Jakarta, pada Sabtu, 8 Oktober 2022.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64cf98f7f1b5be59a82aa6da
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID