Lagu-lagu berbau kiri bersanding dengan lagu-lagu nasional hendak dinyanyikan pada pawai 17 Agustus 1957. Menuai kritik masyarakat dan pertanyaan dari anggota DPR.
PERAYAAN Hari Kemerdekaan Indonesia biasanya dipersiapkan jauh-jauh hari. Sebuah panitia dibentuk. Acara disusun. Namun, pada 1950-an, susunan acara perayaan Hari Kemerdekaan mendapat protes karena menyertakan lagu-lagu berbau kiri.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Sukarno menetapkan susunan anggota Panitya Negara Urusan Perajaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Tugas Panitya Negara adalah mengatur dan memutuskan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pekerjaan peringatan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Melalui Keputusan Presiden No. 167 tahun 1957, yang dikeluarkan pada 29 Juli 1957, Presiden Sukarno mengangkat Menteri Penerangan Sudibjo sebagai ketua merangkap anggota, Menteri Pengerahan Tenaga Rakjat untuk Pembangunan A.M. Hanafi sebagai wakil ketua I merangkap anggota, serta Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil sebagai wakil ketua II merangkap anggota.
PERAYAAN Hari Kemerdekaan Indonesia biasanya dipersiapkan jauh-jauh hari. Sebuah panitia dibentuk. Acara disusun. Namun, pada 1950-an, susunan acara perayaan Hari Kemerdekaan mendapat protes karena menyertakan lagu-lagu berbau kiri.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Sukarno menetapkan susunan anggota Panitya Negara Urusan Perajaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Tugas Panitya Negara adalah mengatur dan memutuskan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pekerjaan peringatan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Melalui Keputusan Presiden No. 167 tahun 1957, yang dikeluarkan pada 29 Juli 1957, Presiden Sukarno mengangkat Menteri Penerangan Sudibjo sebagai ketua merangkap anggota, Menteri Pengerahan Tenaga Rakjat untuk Pembangunan A.M. Hanafi sebagai wakil ketua I merangkap anggota, serta Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil sebagai wakil ketua II merangkap anggota.
Anggota-anggota Panitya Negara lainnya berasal dari wakil-wakil kementerian. Menariknya, terdapat pula anggota dari golongan fungsional, yakni Sujono Atmo dan Rangkajo Rasuna Said dari golongan wanita, Ahem Erningpradja dari golongan buruh, serta Sidik Kertapati dari golongan Angkatan 45.
Soalnya bukan pada susunan kepanitiaan itu. Namun, muncul berita mengenai pawai yang akan digelar di ibukota pada 18 Agustus 1957. Dalam pawai tersebut akan dilantunkan beberapa lagu nasional, termasuk “Bendera Merah” dan “Darah Rakjat”.
Sontak saja, kabar itu menuai kritik dari sejumlah kalangan. Bahkan Abdul Wachid Soejoso, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari partai Masyumi dapil Surabaya, Jawa Timur, mengajukan pertanyaan kepada pemerintah. Surat-surat terkait pertanyaan Soejoso tersimpan dalam koleksi Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950-1959 Jilid II No. 2345.
Arsip surat Abdul Wachid Soejoso dan jawaban pemerintah mengenai pawai Hari Kemerdekaan.
Kepentingan Golongan
Sesuai dengan pasal 69 Undang-Undang Dasar Sementara atau dikenal dengan UUDS 1950, Soejoso sebagai anggota DPR punya “hak menanya” untuk meminta penjelasan kepada pemerintah. Hak ini digunakannya setelah membaca berita harian Suara Rakjat Surabaya yang terbit 5 Agustus 1957.
Suara Rakjat, mengutip berita Antara dua hari sebelumnya, menyebut Panitia Negara Urusan Perayaan Hari Kemerdekaan sub pawai akan menggelar pawai di ibukota pada 18 Agustus 1957. Disebutkan pula susunan barisan, pekik yang dikumandangkan, serta lagu-lagu yang dinyanyikan dalam pawai.
Susunan barisan, secara berurutan, adalah Barisan Bendera Merah Putih, Barisan Kelaskaran dan Gerilya, Barisan Angkatan Darat, Barisan Angkatan Laut, Barisan Angkatan Udara, Barisan kepolisian, Barisan Pemuda dan Pelajar, dan seterusnya.
“Apakah maksudnya Panitia Negara Urusan Perayaan Hari Kemerdekaan sub pawai mengadakan Barisan Kelaskaran dan Gerilya itu?” tanya Soejoso dalam suratnya kepada pemerintah.
“Apakah maksudnya Barisan Kelaskaran dan Gerilya itu ditempatkan di depan Barisan Angkatan Perang dan Barisan Kepolisian kita yang resmi?”
Suara Rakjat juga menyebut, untuk memeriahkan pawai, perlu ditentukan lagu-lagu “Sorak-sorak Bergembira”, “Halo-halo Bandung”, “Darah Rakjat”, “Maju Tak Gentar”, “Bendera Merah”, “Satu-Tujuh-Delapan Tahun ‘45”, dan sebagainya.
“Golongan manakah yang memiliki nyanyian ‘Darah Rakjat’ dan ‘Bendera Merah’ yang akan dinyanyikan untuk indah serta meriahnya pawai nanti?” tanya Soejoso.
Tak lupa, kendati keliru, Soejoso mengutip lirik lagu “Darah Rakjat”.
Darah, darah, darah, darah rakjat
Merahlah pandji2 kita
Tengah berbintang putih
Merah berarti darah rakjat
Putih berarti sutji
Bintang berarti keadilan
Itulah makna pandji kita
Kita bela dengan darah rakjat
Kita bela dengan darah rakjat
Sementara pekik-pekik yang dikumandangkan adalah “Merdeka”, “Damai”, “Hidup Persatuan”, dan lain-lain.
“Apakah pemerintah sependapat dengan penanya, bahwa pekik ‘Damai?’ yang telah dikenal oleh umum sebagai pekik yang telah dimiliki oleh golongan tertentu, dapat mengurangi arti dan kesucian pekik nasional kita, yaitu pekik ‘Merdeka’?” tulis Soejoso.
Tanpa menuding langsung, Soejoso mensinyalir ada pihak yang hendak mengambil keuntungan.
“Apakah pemerintah sependapat dengan penanya, bahwa usaha-usaha dari golongan tertentu untuk ‘verpelitiseren’ perayaan 17 Agustus yang akan datang buat mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi golongannya sendiri, perlu dicegah agar supaya sifat kenasionalan dari hari ulang tahun kemerdekaan kita tetap dapat terpelihara baik-baik?”
Surat Soejoso kepada pemerintah diterima oleh Sekteratiat DPR pada 9 Agustus 1957. Pada hari yang sama, surat tersebut juga dimuat di sejumlah suratkabar.
Rupanya, bukan hanya Soejoso yang menyoal lagu. Pengurus Gerakan Pedjuang Republik Indonesia (Gerprindo) cabang veteran PNI menuntut pemerintah untuk melarang lagu “Darah Rakjat” dinyanyikan pada perayaan 17 Agustus 1957.
Gerprindo adalah gabungan organisasi bekas pejuang yang didirikan di Jakarta pada 20 Juni 1954. Ini organisasi nonpolitik yang berdasar marhaenisme.
Dilansir suratkabar Java Bode 10 Agustus 1957, Gerprindo menyatakan menyanyikan lagu tersebut tidak sesuai dengan suasana Gerakan Hidup Baru. Sebab, “Darah Rakjatbukanlah lagu nasional, melainkan lagu perjuangan suatu partai tertentu dan berasal dari luar negeri. Gerprindo juga mengingatkan masyarakat soal pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Ada banyak lagu nasional yang bisa dinyanyikan pada peringatan 17 Agustus," ujar perwakilan Gerprindo.
Lagu “Bendera Merah”.
Lagu Revolusioner
Lagu “Bendera Merah” dan “Darah Rakjat” memang lekat dengan PKI. Lagu-lagu ini kerap dinyanyikan dalam acara-acara atau peringatan yang diadakan oleh PKI maupun organisasi-organisasi sehaluan atau di bawahnya.
Belum jelas siapa yang menciptakan lagu “Bendera Merah”. Namun lagu ini diakui sebagai lagu resmi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), federasi organisasi buruh terbesar pada 1950-an. Bahkan dalam Kongres Nasional III di Solo pada 22-27 Agustus 1960, lagu “Bendera Merah” dimasukkan dalam Konstitusi SOBSI.
“Lebih-lebih lagu ‘Bendera Merah’ ini adalah dilahirkan dalam tengah-tengah kancah Revolusi Agustus 1945, sehingga sekarang ini telah meresap di kalangan massa kaum buruh,” catat Konstitusi SOBSI.
Soal lagu tercantum dalam Bab II, Pasal 2. Disebutkan: “Di samping lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan Indonesia, lagu ‘Internasionale’ sebagai lagu kaum buruh sedunia, maka lagu ‘Bendera Merah’ adalah lagu SOBSI.”
Setali tiga uang, lagu “Darah Rakjat” juga populer di masa revolusi. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan,Soe Hok Gie menyebut lagu ini begitu cepat menyebar setelah dinyanyikan dalam rapat raksasa di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta Ikada (Ikada) pada September 1945. Di depan ribuan orang, Presiden Sukarno memberikan pidato singkat berisi seruan kepada rakyat agar percaya kepada pemerintah Republik Indonesia.
Lagu “Darah Rakyat” diciptakan oleh Legiman Haryono atau Legiono alias Ismail Bakri. Dia adalah aktivis Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang melakukan pengambilalihan Djawatan Kereta Api dari tangan Belanda. Pada masa revolusi AMKA melebur ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang kemudian berubah jadi Pemuda Rakjat, onderbouw PKI.
Menurut Kuslan Budiman, seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kemudian jadi eksil, dalam roman otobiografi Bendera Itu Masih Berkibar, Legiman adalah tokoh AMKA yang menjadi masinis ketika rombongan presiden dan menteri memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Legiman menyatukan serikat buruh di daerah Republik dengan pendudukan yang berkembang menjadi SOBSI. Dia juga memfusikan Barisan Tani Indonesia (BTI) di daerah Republik dengan Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Serikat Tani Indonesia (Sakti) pimpinan Sidik Kertapati di daeran pendudukan.
Legiman dekat ke Tan Malaka. Dia aktif di Acoma dan Murba. Seperti halnya Sidik Kertapati yang pernah menjadi pemimpin Acoma, Legiman kemudian menjadi anggota CC PKI. Melihat latar belakang itu, tak heran jika ada dua versi lagu “Darah Rakjat”, versi PKI dan Acoma/Murba. Perbedaannya hanya pada lirik tapi sedikit.
Penelurusan Tirtomenemukan lagu “Darah Rakjat” disadur dari lagu “Le Drapeau Rouge” (Panji Merah). Lirik "Drapeau Rouge" dikarang Paul Brousse, seorang aktivis anarkis kelahiran Montpellier.
Dibandingkan “Bendera Merah”, lagu “Darah Rakjat” lebih populer dan bahkan masih bergema sampai saat ini dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Seperti lagu-lagu berbau kiri lainnya, “Darah Rakjat” pernah dilarang di masa Orde Baru. Namun di masa Orde Lama pun ada yang alergi dengan lagu ini; apalagi jika dinyanyikan dalam pawai Hari Kemerdekaan. Salah satunya anggota DPR Soejoso.
Dalam surat kepada pemerintah, Soejoso keliru mengutip lirik lagu. Lirik itu bukanlah lagu “Darah Rakjat” tapi “Mars Pemuda Rakjat” yang diciptakan oleh seniman Hardi sekitar tahun 1945.
Presiden Sukarno memimpin pengucapan Ikrar Bersama pada pukul 24.00 tanggal 17 Agustus 1957. (Majalah Angkatan Darat No. 8 Agustus 1958 Tahun VIII).
Jawaban Pemerintah
Pemerintah tidak tutup kuping atas k. Dilansir suratkabar Java Bode 10 Agustus 1957, Menteri Penerangan Sudibjo menyatakan bahwa Panitya Negara Urusan Perajaan Hari Kemerdekaan Indonesia dijadwalkan membahas soal lagu yang akan dinyanyikan pada pawai 17 Agustus. Hal ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang kritik atas lagu-lagu tertentu yang tak ingin didengar orang dalam perayaan kemerdekaan.
Sayangnya, tak ada informasi kenapa lagu “Darah Rakjat” dan “Bendera Merah” masuk dalam daftar. Boleh jadi karena keterlibatan wakil-wakil dari golongan fungsional sebagai anggota Panitya Negara. Terutama Sidik Kertapati.
Oleh Sekretariat DPR, surat Soejoso dikirimkan kepada Perdana Menteri dan Menteri Penerangan di Jakarta pada 13 Agustus 1957. Surat ini diterima oleh Wakil Perdana Menteri II Idham Chalid tujuh hari kemudian atau setelah perayaan Hari Kemerdekaan selesai.
Kendati terlambat, pemerintah memberikan jawaban atas pertanyaan Soejoso. Pada 27 Agustus 1957, Kepala Bagian Sekretariat Kementerian Penerangan Anwar Loethan mengirimkan jawaban pemerintah kepada ketua DPR. Jawaban diberikan oleh Soedibjo, menteri penerangan sekaligus ketua Panitya Negara. Isinya membantah berita Suara Rakjat, yang “menyimpang dari kebenaran”.
Untuk slogan-slogan yang diperbolehkan ialah: setialah kepada proklamasi 17 Agustus 1945, pertahankanlah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, taatilah disiplin, hidup baru untuk menyelesaikan Revolusi Nasional, utamakan kepentingan negara, untuk hidup baru tetaplah taat kepada Tuhan, perkokoh kesadaran bernegara, hiduplah sederhana, berjiwalah jujur dan ikhlas, berkorbanlah untuk kepentingan negara, bergotong royong untuk pembangunan, dan pembangunan untuk rakyat dan bersama rakyat.
Sedangkan untuk nyanyian yang boleh dilantunkan dalam pawai adalah: “Sorak-Sorak Bergembira”, “Dari Barat sampai ke Timur”, “Halo-halo Bandung”, “Hari Merdeka”, “Sang Merah Putih”, “Dwi Warna”, “Berkibarlah Bendera”, “Bangun Pemudi Pemuda”, “Maju Tak Gentar”, “Potong Bebek”, “Satu Nusa Satu Bangsa”, “Rayuan Pulau Kelapa”, “Patah Cengkeh”, “Tanah Tumpah Darahku”, “Indonesia Negaraku”, “Bagimu Negeri”, dan “Indonesia Subur”.
“Dalam instruksi-instruksi tersebut nyata sekali bahwa baik slogan maupun nyanyian yang akan disajikan selama pawai mempunyai jiwa dan semangat kebangsaan selaras dengan Proklamasi 17 Agustus,” tulis Soedibjo
Pawai Hari Kemerdekaan tahun 1957 sendiri berjalan lancar. Acara dimulai dengan upacara dan pidato Presiden Sukarno di halaman Istana Merdeka. Setelah upacara selesai, pawai bergerak dengan rute halaman Istana Merdeka, Medan Merdeka Barat, Merdeka Selatan, Merdeka Timur, Jalan Pejambon, hingga Lapangan Banteng. Panjang pawai sekira 5 km yang terdiri dari 80.000 peserta. Dituliskan dalam Mimbar Penerangan Tahun ke VIII No. 8, masyarakat turut meramaikan barisan-barisan yang berjalan disertai pekik merdeka.*