Penanganan pasien gangguan mental di Hindia Belanda. Sebelum memiliki rumah sakit jiwa, pasien ditampung di rumah sakit Tionghoa, panti asuhan fakir miskin, dan rumah sakit tentara.
Bangsal pasien Rumah Sakit Jiwa Bogor. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENYAMAR sebagai perempuan dengan gangguan mental bernama Nellie Moreno, pada 1887 Nellie Bly mendaftarkan dirinya ke rumah sakit. Dia berpindah institusi mental beberapa kali. Bly, jurnalis The World di New York, hendak melakukan liputan investigasi karena terdorong buruknya perlakuan terhadap pasien di rumah sakit mental.
Di Blackwell Island, salah satu institusi perawatan yang dianggap “terbaik” di Amerika masa itu (sekarang Roosevelt Island), Bly menyaksikan berbagai kekerasan yang dialami para pasien –dari dokter yang tak peduli hingga pukulan dan siraman serta cercaan para perawat.
MENYAMAR sebagai perempuan dengan gangguan mental bernama Nellie Moreno, pada 1887 Nellie Bly mendaftarkan dirinya ke rumah sakit. Dia berpindah institusi mental beberapa kali. Bly, jurnalis The World di New York, hendak melakukan liputan investigasi karena terdorong buruknya perlakuan terhadap pasien di rumah sakit mental.
Di Blackwell Island, salah satu institusi perawatan yang dianggap “terbaik” di Amerika masa itu (sekarang Roosevelt Island), Bly menyaksikan berbagai kekerasan yang dialami para pasien –dari dokter yang tak peduli hingga pukulan dan siraman serta cercaan para perawat.
Belum lagi buruknya makanan, pakaian, sanitasi, dan tempat tidur yang memperparah kondisi pasien. Bly bahkan sempat bertemu dengan beberapa perempuan asing yang waras, namun dirujuk ke rumah sakit mental karena mereka tak berbicara bahasa Inggris. Meski merasa kuat dengan kewarasannya, perlahan Bly pun larut dalam suasana rumah sakit. Dia juga tak luput dari paksaan mandi rendam dengan siraman air dingin.
“Tiba-tiba, saya mendapat siraman air sedingin es yang masuk ke mata, telinga, hidung dan mulut saya. Saya merasakan pengalaman terbenam saat mereka menyeret saya, kehabisan napas dan menggigil, keluar dari bak mandi. Untuk kali pertama, saya terlihat betul-betul gila,” tulis Bly dalam 10 Days in a Mad House.
Liputan Bly membawa hujan kritik dari masyarakat dan memaksa pihak rumah sakit Blackwell memperbaiki manajemen dan kualitas perawatan. Luputnya Bly dan sejumlah perempuan asing, yang sehat jasmani dan mental, dari observasi para dokter juga mendorong pihak rumah sakit mengkaji ulang serangkaian tes untuk memastikan tingkat gangguan mental pasien.
Apa yang dialami dan diungkapkan oleh Bly terjadi di berbagai rumah sakit mental di Eropa seperti di Royal Hospital di London, Inggris. Hingga abad ke-18, rumah sakit lebih dimaksudkan untuk menjaga agar mereka tak mengganggu keamanan dan ketertiban ketimbang untuk menyembuhkan. Pasien sering disamakan dengan kriminal, bahkan tontonan sensasional.
Perawatan di rumah sakit mental di Eropa mengalami perombakan dengan diperkenalkannya pendekatan “terapi moral” oleh Philippe Pinel, seorang psikiater Prancis pada 1773. Pinel mempelopori pelepasan belenggu pada pasien dan memberikan bimbingan moral dan disiplin agar mereka dapat berfungsi kembali di masyarakat. Namun demikian, Pinel masih memberlakukan pengecualian bagi pasien yang dianggap tak dapat “diatur”. Dia menyarankan mengikat mereka dengan straitjacket (semacam jaket dengan bagian lengan yang dapat diikat).
Pinel juga merupakan salah satu pelopor pendekatan terapi okupansi (occupational therapy), di mana pasien dibiasakan melakukan pekerjaan diselingi istirahat agar pikiran mereka disibukkan dengan “hal-hal yang berguna”. Pendekatan ini di kemudian hari diadopsi berbagai negara untuk menangani pasien rumah sakit mental pada abad ke-19 dan 20.
Institusi Mental di Hindia Belanda
Penanganan serupa juga dialami pasien penderita gangguan mental di Batavia. Pada 1646, sebagian dari mereka ditampung di Rumah Sakit Cina, yang didirikan pada 1646 dengan pajak orang Tionghoa. Pasiennya terdiri dari berbagai etnis, tidak hanya Tionghoa. Karena kapasitasnya kian penuh, pemerintah kota Batavia mendirikan penampungan lain pada 1662 yaitu Panti Asuhan Fakir Miskin. Di sana penderita gangguan mental ditempatkan bersama orang miskin dan jompo.
Semua pasien diperlakukan sama, dimasukkan ke dalam bilik gelap, “Cara penanganan yang paling baik pada zaman itu,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII. Lama waktu penanganan tak tentu. Tapi biasanya, seseorang dinyatakan sembuh bila sudah diobservasi setengah tahun. Sering kali para pasien kumat dan harus kembali ke panti. Sementara pasien baru terus berdatangan.
Untuk mengatasi keterbatasan daya tampung, pemerintah kota merujuk pasien ke rumah sakit tentara. Tak seperti di panti, penanganan di rumah sakit tentara jauh lebih keras. Mereka dimasukkan ke kamar mirip penjara. Jeruji besi terpasang di tiap kamar. Pintunya kokoh dan ada penjaganya. Mereka dianggap berbahaya.
Pada masa itu, kebanyakan pasien “didiagnosis” mengalami gangguan mental melalui kebiasaan sering menenggak arak. Alasan lainnya adalah mania dan depresi berat. “Orang yang menunjukkan sifat agresif dan cenderung untuk bunuh diri juga ditampung,” tulis Hendrik.
Tentara pun mengambil alih urusan penyakit mental. Keadaan ini berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Kala itu muncul desakan perbaikan penanganan penderita gangguan mental sesuai perkembangan ilmu kesehatan mental.
Buitenzorg dan Metode Perawatan
Untuk mengetahui jumlah pasti penderita gangguan mental, pemerintah Hindia Belanda menggelar sensus kesehatan mental yang pertama pada 1862. Di bawah pimpinan Dr. G. Wassink, kepala medis Hindia Belanda, hasil sensus mencatat 586 penduduk Pulau Jawa termasuk dalam kategori “gila dan berbahaya”, 252 di antaranya ditampung di berbagai panti yang tersebar di kota-kota besar.
Seperti dikutip Dirk Schoute dalam Occidental Therapeuticsin the Netherlands East Indies During Three Centuries of Netherlands Settlement (1690–1900), Wassink menyarankan agar pemerintah membangun sebuah rumah sakit khusus untuk bangsa Eropa yang masuk kategori “gila dan berbahaya”. Mereka yang tak berbahaya, menurut Wassink, tak perlu dipisahkan dari keluarga.
Sebelum menanggapi usulan Wassink, pemerintah mengirim dua dokter, F.H. Bauer dan W.M. Smit, untuk mengobservasi standar perawatan rumah sakit mental di beberapa negara Eropa. Setelah observasi, mereka mengajukan surat rekomendasi ke Inspektur Urusan Asylum di Belanda pada September 1865. Surat itu lantas diteruskan ke Ratu Belanda dan disetujui pada Desember 1865.
Bauer dan Smit tiba di Batavia pada 1867. Pencarian lokasi untuk rumah sakit segera dilakukan. Kriteria lokasinya ada tiga: tak jauh dari Batavia, dekat Jalan Raya Pos, dan cukup tenang sesuai prinsip perawatan mental. Buitenzorg (Bogor) terpilih sebagai lokasinya.
Sebelum pembangunan dimulai, pada 1868 Bauer dan Smit mempublikasikan penelitiannya selama di Eropa. Mereka memperkenalkan terapi modern untuk pasien rumah sakit mental seperti terapi moral dan okupansi sesuai standar internasional masa itu. “Mereka juga mengkritik campur tangan dan cara penanganan penderita gangguan mental oleh tentara,” tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics (2008).”
Publikasi mereka mengundang suara sumbang. Pembangunan rumah sakit mental dianggap pemborosan. Apalagi di Belanda pasien sakit mental yang berhasil sembuh hanya 30 persen. Sebagian dokter Belanda bahkan menyebut pasien sakit mental cukup dititipkan di rumah sakit umum atau tentara. Tetapi tekad Bauer dan Smit sudah bulat. Mereka jalan terus.
Mereka bisa sembuh dan bisa mengerjakan hal yang bermanfaat. Saya sudah bekerja di sini selama 33 tahun dan tak pernah merasa berbahaya hidup bersama pasien dan mantan pasien.
Rumah Sakit di Buitenzorg selesai dibangun pada 1882. Sebagian besar penghuni pertamanya laki-laki, pindahan dari rumah sakit militer dan Cina. Ada 35 orang Eropa dan 95 pegawai pribumi dan keturunan Tionghoa yang bekerja di rumah sakit ini. Seorang dokter bernama Semeru menjadi satu-satunya dokter pribumi di sana.
Berbeda dari kebanyakan rumah sakit Belanda masa itu, rumah sakit mental di Bogor tak terafiliasi dengan militer. Tak pula membedakan latar belakang pasien. Terapi penyembuhan tiap pasien sama. “Selain pendekatan medis, rumah sakit ini menggunakan terapi okupansi melalui kegiatan kelompok, menyulam atau membatik,” tulis Setyonegoro dalam Sejarah Kesehatan Jiwa di Indonesia.
Sesuai peraturan pemerintah Hindia Belanda, rumah sakit mental hanya melayani pasien kategori “berbahaya” yang dirujuk aparat hukum atau instansi pemerintah. Memasuki abad ke-20, salah satu direktur rumah sakit mental Lawang, P.K.M. Travaligno, mengkritik peraturan ini.
Travaligno dalam The Psychosis of the Native in Relation to His Character (1920) menulis dana pemerintah akan lebih hemat seandainya pasien bisa diterima secara langsung di rumah sakit. Travaligno meyakini diagnosis dan perawatan lebih cepat membuat pasien bisa segera sembuh. Keadaannya akan berbeda jika pasien dibawa dalam kondisi kritis.
Metode perawatan sakit mental semakin berkembang pada abad ke-20. Ini ditandai dengan berbagai penemuan medis. Mulai dari pemberian suntikan insulin untuk menenangkan pasien schizophrenia, penggunaan ECT (electroshock therapy) untuk menghapus memori dan menyembuhkan depresi, hingga lobotomi (leucotomy), tindakan bedah yang memutus saraf otak depan sehingga pasien yang cenderung agresif/mengamuk menjadi pasif. Beberapa rumah sakit mental di Hindia Belanda, kemudian Indonesia, kelak mengadopsi perkembangan metode perawatan ini sesuai ketersediaan sumber daya institusi masing-masing.
Berjuang Mengubah Stigma
Deru mesin truk memecah keheningan malam. Di depan rumah sakit mental Grogol, Batavia, tentara Belanda sibuk mengarahkan pasien untuk naik truk. Tentara Jepang mulai masuk ibu kota pada pertengahan 1942. Beberapa rumah sakit dan gedung di Batavia telah diduduki. Beberapa pekerjanya terpaksa mengabdi pada Jepang. Khawatir keselamatan pasien, tentara memindahkan mereka ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bogor. Seorang dokter asal Sumatra, Yunus, ikut menyaksikan detik menegangkan itu. Dia bertugas mengurus para pasien sampai di Bogor.
Sampai di Bogor, mereka tak bisa langsung tenang. Jepang ternyata telah bergerak ke Bogor. Kekhawatiran dokter dan perawat membuncah. Jangan-jangan pasien bakal dijadikan tenaga kerja paksa. Hanya dalam beberapa hari, Jepang tiba di rumah sakit itu, menduduki dan menjadikannya sebagai tempat penampungan tentara. Saat itu, terdapat 2.000 pasien di sana, jauh melampaui kapasitas rumah sakit.
Di luar dugaan, Jepang tak menjadikan mereka sebagai tenaga kerja tetapi menelantarkan mereka. Jepang tak butuh mereka. “Mereka kurang makan lalu diserang disentri. Akhirnya banyak yang mati. Bangsal penuh mayat dan darah. Jepang hanya mengurusi dirinya sendiri,” kata Yunus, dikutip Kompas, 14 Oktober 1979. Karena peristiwa itu, Yunus membenci Jepang. Menurutnya, pasien sakit mental harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
Setelah tragedi itu, dokter dan perawat berjuang sebisa mungkin merawat pasien yang tersisa. Hanya ada 500 pasien saat kemerdekaan, termasuk pasien peninggalan Belanda. Sementara beberapa sudut bangunan rumah sakit itu mulai rusak. Dana pemeliharaan amat minim. Pemerintah lebih fokus pada revolusi fisik. Memasuki 1950-an, pemerintah mulai tergerak. Beberapa bangunan yang rusak diperbaiki. Ini berlangsung sampai masa Orde Baru.
Kala perhatian pemerintah mengalir, pandangan masyarakat justru mandek. Masyarakat kadung menera penderita sakit mental sebagai aib; harus disembunyikan. Jika ada yang dibawa ke rumah sakit, keadaannya sudah sangat parah. Masa penyembuhan pun jadi lama. “Kalaupun sembuh, keluarga pasien kerap tak mau menerima mereka kembali. Pun begitu masyarakat,” kata Pudji Hartini, perempuan perawat di RSJ Bogor sejak 1979.
Menghadapi kenyataan itu, dokter dan perawat di RSJ Bogor memutar akal. Antara lain dengan menggelar pameran kerajinan tangan karya pasien. Selain itu, ada pula lomba 17 Agustusan. Masyarakat diundang hadir dan menyaksikan kehidupan para pasien. “Tradisi itu sudah berlangsung lama. Sebelum Bu Pudji masuk, kegiatan itu sudah ada,” kata dr. Fariz, humas RSJ Bogor, sembari menujukkan album lama RSJ Bogor tahun 1960-an.
Sayangnya, saat rumah sakit itu berubah nama menjadi RS Dokter Marzoeki Mahdi pada 2002, pameran dan lomba Agustusan mulai jarang digelar. Padahal, dari pameran dan lomba itu, Pudji berharap masyarakat tergerak menerima mereka kembali. “Mereka bisa sembuh dan bisa mengerjakan hal yang bermanfaat. Saya sudah bekerja di sini selama 33 tahun dan tak pernah merasa berbahaya hidup bersama pasien dan mantan pasien.”*