Koleksi spesimen awetan burung kancilan emas sebagai burung tertua tahun 1866 di MZB Cibinong. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Aa
Aa
Aa
Aa
SAYA perlu sedikit menunduk untuk melihat lebih detail muka kukila di dalam etalase ini. Tubuhnya ramping, dibungkus plastik khusus. Panjang dari ujung paruh ke ekornya sekitar 15 centimeter. Sebagian bulunya berwarna hitam, dengan bulu kuning di dada dan sedikit bulu putih di leher. Ia menghuni Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) selama lebih dari 156 tahun.
Kukila di depan saya ini adalah seekor kancilan emas jantan. Label kertas pada koleksi bertuliskan tangan miring, Pachycephala pectoralis macrorhyncha, Dat. 30.III.1866, Loc. Ambon. Artinya, spesimen ini tercatat dalam katalog museum pada 30 Maret 1866, subpopulasi dari Ambon. Inilah spesimen awetan burung tertua yang dimiliki MZB di Cibinong, Jawa Barat.
Berdasarkan keterangan katalog, spesimen itu tidak dikoleksi langsung oleh staf MZB. Diperkirakan koleksi itu berasal dari Museum Boucard di Paris, Prancis.
“Kemungkinan besar Boucard itu mengacu pada Adolphe Boucard, seorang ornitologis dan naturalis dari Prancis,” ujar Mohammad Irham, peneliti burung (ornitologis) di MZB Cibinong.
SAYA perlu sedikit menunduk untuk melihat lebih detail muka kukila di dalam etalase ini. Tubuhnya ramping, dibungkus plastik khusus. Panjang dari ujung paruh ke ekornya sekitar 15 centimeter. Sebagian bulunya berwarna hitam, dengan bulu kuning di dada dan sedikit bulu putih di leher. Ia menghuni Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) selama lebih dari 156 tahun.
Kukila di depan saya ini adalah seekor kancilan emas jantan. Label kertas pada koleksi bertuliskan tangan miring, Pachycephala pectoralis macrorhyncha, Dat. 30.III.1866, Loc. Ambon. Artinya, spesimen ini tercatat dalam katalog museum pada 30 Maret 1866, subpopulasi dari Ambon. Inilah spesimen awetan burung tertua yang dimiliki MZB di Cibinong, Jawa Barat.
Berdasarkan keterangan katalog, spesimen itu tidak dikoleksi langsung oleh staf MZB. Diperkirakan koleksi itu berasal dari Museum Boucard di Paris, Prancis.
“Kemungkinan besar Boucard itu mengacu pada Adolphe Boucard, seorang ornitologis dan naturalis dari Prancis,” ujar Mohammad Irham, peneliti burung (ornitologis) di MZB Cibinong.
Ruang koleksi spesimen awetan basah. Setiap tabung berisi cairan alkohol dan spesimen yang diawetkan. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Pada masa itu persebaran kancilan emas sangat luas. Relatif mudah dijumpai di habitatnya seperti hutan, kebun, bakau di Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Ia terdiri dari puluhan subspecies yang tersebar di Jawa, Bali, Sulawesi, Papua Nugini. Orang yang kali pertama mendeskripsikan spesimen awetan ini adalah H.E. Strickland, seorang ornitologis dari Inggris, pada 1849.
Tak diketahui siapa kolektor awal kancilan emas di MZB. “Tidak ada keterangan pada label dan katalog, sehingga tidak diketahui siapa kolektornya,” kata Irham.
Di ruang koleksi awetan kering burung di MZB, spesimen kancilan emas tak sendirian. Terdapat sejumlah kabinet dan boks kaca panjang yang berisi awetan burung-burung kecil dan sedang seperti kasumba, pitta, merpati. Ada juga awetan burung-burung besar yang dipajang menggantung membisu di atas kabinet bagai di habitat alaminya seperti merak hijau, kasuari, maleo, manyar lengkap dengan telur dan sarangnya.
MZB, yang dikelola Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyimpan koleksi harta karun spesimen fauna yang berharga bagi Indonesia dan Asia Tenggara. Di sini sekitar 70 peneliti dari Pusat Riset Biologi melakukan kegiatan penelitian. Sedangkan koleksi spesimen yang dipamerkan untuk umum berada di MZB di Kebun Raya Bogor, yang bisa ditempuh sekitar 30 menit berkendara dari MZB Cibinong.
Mohammad Irham, peneliti burung (ornitologis) di MZB Cibinong. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Koleksi Wallace
MZB menyimpan lebih dari 2,8 juta spesimen. Terbagi dalam beberapa ruang koleksi kering dan spesimen awetan basah.
Ruang koleksi kering menyimpan spesimen mamalia, burung, serangga, dan moluska. Ruang koleksi spesimen basah, yang luasnya hampir dua kali lipat dari ruang koleksi lainnya, menyimpan fauna dari berbagai jenis dan ukuran yang direndam cairan alkohol dalam wadah tertutup beraneka ukuran.
Setiap ruang koleksi menerapkan standar internasional. Suhu udara dan kelembapan harus 21-23 derajat Celcius. Sebisa mungkin cahaya matahari tak masuk, karena bisa mempengaruhi kualitas awetan. Seluruh bangunan museum tahan api dan dapat menahan getaran gempa bumi.
Setiap ruang koleksi atau laboratorium dijaga oleh beberapa peneliti. Di setiap ruang spesimen, terdapat sejumlah kabinet besi dan lemari besi setinggi dua meter berjajar sedemikian rupa, yang berisi ragam awetan. Seluruh peralatan laboratorium berbahan antikarat.
Suhu udara sangat sejuk ketika saya memasuki ruang koleksi spesimen awetan kering serangga. Di ruangan ini tersimpan lebih dari 2,6 juta spesimen. Mulai dari lebah, lalat, capung dan kupu-kupu beraneka warna, hingga lalat yang besarnya hampir sama dengan label informasi.
“Di sini koleksi spesimen disusun berdasarkan abjad taksa, odonata, seperti keluarga capung, coleptera, lebah, kupu-kupu. Kalau serangga kecil ditaruh di boks berkaca secara berurutan,” kata Oscar Effendi, peneliti serangga.
Oscar Effendi, peneliti serangga di MZB Cibinong. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Oscar membuka gagang kabinet besi. Di dalam kabinet terdiri boks-boks kaca, yang berisi spesimen kupu-kupu awetan yang jumlahnya puluhan, lengkap dengan label, diatur menurut urutan suku, marga, dan jenisnya masing-masing secara alfabet.
Oscar kemudian menarik gagang boks kaca dari dalam kabinet dan meletakkannya di hadapan saya. Saya terkesima ketika membaca label boks ini sebagai koleksi kupu-kupu milik Alfred Russel Wallace.
Wallace adalah naturalis asal Inggris yang melakukan perjalanan selama 1854-1862 di Kepulauan Melayu yang sekarang menjadi Singapura, Malaysia serta Indonesia. Dia mengumpulkan aneka serangga, burung, dan binatang yang bisa diawetkan dan dijual untuk meraih keuntungan dari Royal Geographic Society di Inggris. Perjalanan panjangnya dicatat dalam The Malay Archipelago (1869).
Di Kepulauan Melayu, Wallace mengunjungi sekitar 30 pulau. Dengan mengejutkan, catat Paul Spencer dalammajalah Historia No. 8 Tahun I 2012, dia mengumpulkan 125.660 spesimen. Setelah diatur dan dikelompokkan, ternyata dia menemukan 900 spesies kumbang baru, 22 spesies semut baru, 50 spesies famili Pieridae baru, dan 96 dari 130 spesies famili kupu-kupu Papilionidae.
Dari ratusan ribu koleksi Wallace, hanya sedikit yang tersimpan di museum di Indonesia.
Oscar lalu mengeluarkan secara berurutan tujuh boks kaca lagi berupa spesimen kumbang dan belalang yang cukup banyak milik Wallace yang beraneka warna, bentuk, dan takson. Hampir semua koleksi kumbang, belalalang, dan kupu-kupu itu sudah diketik nama ilmiahnya, diurutkan berdasarkan takson, dan disebutkan di mana serangga itu ditemukan ke dalam bahasa Inggris.
“Kita hanya bisa menyimpulkan kalau koleksi Wallace itu bukan dikoleksi sendiri oleh staf MZB pada zaman itu, tapi bersumber dari kolektor lain,” ujar Irham.
Koleksi spesimen awetan kumbang Alfred Russel Wallace sewaktu ia menjelajah Kepulauan Nusantara. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Serangga Tertua
Jacob Christiaan Koningsberger, ahli botani berkebangsaan Jerman, tiba di Buitenzorg (Bogor) pada Agustus 1894. Dia diminta pemerintah Hindia Belanda untuk mempelajari parasit pada tanaman kopi, padi, tembakau, dan tanaman lainnya untuk kebutuhan kebon botani atau yang sekarang dikenal sebagai Kebun Raya Bogor.
Koningsberger ditunjuk sebagai kepala Landbouw Zoologisch Laboratorium. Mula-mula dia mempelajari serangga hama dan penyakit pada tanaman pertanian. Dia kemudian fokus meneliti burung dan mamalia. Dia juga mengoleksi awetan berbagai satwa. Lama-kelamaan koleksi hewan Koningsberger bertambah banyak.
Suatu hari di tahun 1898, Koningsberger bersama rekannya berkunjung ke Museum Colombo di Ceylon (Sri Lanka). Dia kagum akan koleksi zoologi di sana. Inilah yang memunculkan gagasan untuk mendirikan Landbouw Zoologisch Museum, cikal-bakal MZB, yang diresmikan pada akhir Agustus 1901.
Salah satu upaya memperkaya koleksi fauna melalui ekspedisi ilmiah ke seluruh pelosok Nusantara. Salah satu bukti dari pekerjaan Koningsberger berada di ruang koleksi serangga.
Oscar menyodorkan seekor spesimen serangga Ectrychotes,lengkap dengan label kertas berona kekuningan di dekatnya. Di label itu tertulis Borneo Exped. Dr. Nieuvenhuis tahun 1894. Tertera juga tulisan tangan: Boven Mahakkam. Inilah fauna tertua yang dimiliki oleh MZB saat ini, dan menjadi saksi bisu pekerjaan dari Koningsberger. Awetan serangga itu memiliki tahun yang sama saat Koningsberger pertama kali datang di Jawa.
Dr Nieuvenhuis adalah seorang dokter yang ditempatkan di Sambas pada 1892. Setahun kemudian, Nieuvenhuis yang juga etnografer bergabung dalam ekspedisi menyusuri Sungai Mahakam untuk mengumpulkan aneka serangga dan satwa, bersama kurator spesimen dari National Museum for Natural History di Leiden. Menariknya, serangga koleksi Nieuvenhuis adalah satu-satunya serangga tertua yang tertinggal di MZB.
Kedatangan Koningsberger di Bogor tahun 1894 kemudian dipakai sebagai patokan berdirinya MZB.
Koleksi spesimen awetan kupu-kupu milik Alfred Russel Wallace sewaktu ia menjelajah Kepulauan Nusantara. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Jual Beli Spesimen
Pada umumnya museum memperoleh spesimen dengan tiga cara: melakukan ekspedisi, mendapatkan hibah spesimen, dan membeli spesimen dari kolektor atau lembaga lain.
Pada masa itu, tidak banyak museum atau universitas yang bisa mengirimkan stafnya untuk melakukan ekspedisi. Tak mengherankan kalau museum di Eropa dan Amerika memiliki koleksi spesimen satwa dari seluruh pelosok dunia, karena mereka dapat membeli spesimen dari para naturalis dan kolektor.
Jual beli spesimen cukup umum dilakukan oleh para naturalis masa itu. “Saya pikir itu adalah salah satu cara untuk membiayai ekspedisi mereka, juga sebagai mata pencaharian, dan untuk memenuhi permintaan museum-museum di Eropa dan Amerika, baik museum milik negara atau museum pribadi,” ujar Irham.
Pun demikian dengan MZB. Keberadaan spesimen kancilan emas di MZB, misalnya, berasal dari jaringan para kolektor.
“Adolphe Boucard memiliki bisnis jual beli spesimen. Alfred Russel Wallace juga melakukan hal itu. Tapi yang menarik, Boucard aktif mengumpulkan koleksi di Meksiko dan Amerika Tengah, sehingga kepemilikan spesimen dari Indonesia bisa saja melalui jalur perdagangan dan beberapa spesismen diberikan ke MZB,” ujar Mohammad Irham.
Sementara koleksi spesimen dengan label Wallace bisa jadi itu merupakan hibah kepada MZB pada zaman itu. “Kita hanya bisa menyimpulkan kalau koleksi Wallace itu bukan dikoleksi sendiri oleh staf MZB pada zaman itu, tapi bersumber dari kolektor lain,” pungkas Irham.
Begitu juga dengan Koningsberger yang semula mengumpulkan beberapa koleksi spesimen awetan, lalu dibawa ke Eropa pada 1899 untuk diidentifikasi di museum-museum Eropa. Seiring berjalan waktu, koleksi awetan satwa Koningsberger semakin banyak. Dia menyimpan koleksinya di Museum Zoologi di Bogor.
Gedung Widyasatwaloka sebagai lokasi MZB Cibinong di Cibinong Science Center. (Dok. Jonathan Alfrendi).
Pada 1997, terjadi pengembangan kapasitas museum. Koleksi spesimen MZB di Kebun Raya Bogor dipindahkan ke Gedung Widyasatwaloka di kompleks Cibinong Science Center.
Mungkin Koningsberger tak mengira, koleksi awetannya justru semakin bertambah banyak selama 128 tahun kemudian menjadi lebih dari 2,8 juta spesimen dari berbagai fauna. Jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya seiring penambahan koleksi dari aktivitas riset. Jumlah sebesar itu menempatkan MZB sebagai museum koleksi spesimen terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia.
Di MZB, pekerjaan peneliti seolah tak ada habisnya. Tak hanya menemukan satwa baru. Ada begitu banyak margasatwa di negeri ini yang memerlukan kajian lebih lanjut terkait anatomi, habitat, populasi serta perilaku. Sayangnya, mereka berkejaran dengan waktu. Fauna yang dulu sering mereka lihat di lapangan, kini sulit bahkan tak pernah mereka lihat lagi. Ahli fungsi lahan, perburuan hewan ilegal, dan kerusakan hutan, ikut menambah daftar panjang hambatan dalam riset peneliti.
Indonesia cukup beruntung memiliki museum yang disegani dunia, yang dapat menjadi referensi koleksi spesimen fauna. MZB bukan sekadar bangunan tua, tapi menjadi tempat penyimpan jejak keberagaman margasatwa Nusantara. MZB merawat ingatan anak bangsa bahwa negeri ini benar-benar memiliki kekayaan hayati yang melimpah.
Penulis adalah kontributor Historia.ID di Kota Tangerang, Banten.
Fakta Menarik Koleksi Ilmiah Spesimen Fauna di Asia Tenggara
Tahun 2022 ini Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) berusia 128 tahun. Sejak 1894 hingga Oktober 2021, museum ini menyimpan 2.853.473 koleksi spesimen ilmiah. Sebagian koleksinya menjadi koleksi pameran di Museum Zoologi di Kebun Raya Bogor. Serta menjadi koleksi riset yang disimpan di Gedung Widyasatwaloka di Cibinong Science Center.
Jumlah koleksi spesimen per 5 Oktober 2021: 2.853.473 koleksi.