Dari Dalam Rumah Sang Revolusioner

Henk Sneevliet seorang lelaki yang hangat dan bersahabat. Membawa soal politik sampai ke meja makan. Tak putus dirundung malang.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Dari Dalam Rumah Sang RevolusionerDari Dalam Rumah Sang Revolusioner
cover caption
Henk Sneevliet bersama Pim dan Pam, anak kembarnya dari istri keduanya, Betsy Brouwer. (Keluarga Henk Sneevliet/Historia.ID).

ELLEN Santen menceritakan kembali sebuah kisah tentang seorang lelaki tak dikenal yang datang pada suatu malam, saat dia baru saja dilahirkan. Lelaki itu membuat Barend Santen, kakeknya, terheran-heran. 

“Halo Tuan Santen,” katanya kepada Barend. 

“Siapa Anda?” 

“Apakah kamu tidak mengenali saya?” ujar lelaki itu sambil tertawa. 

“Tidak.” 

“Sneevliet, saya Sneevliet,” kata lelaki tadi mengembangkan senyum di wajahnya yang ditumbuhi jambang lebat. Henk Sneevliet sedang hidup dalam persembunyian. Dia menggalang perlawanan terhadap pendudukan Nazi di Belanda dan membiarkan wajahnya tak dikenali. 

ELLEN Santen menceritakan kembali sebuah kisah tentang seorang lelaki tak dikenal yang datang pada suatu malam, saat dia baru saja dilahirkan. Lelaki itu membuat Barend Santen, kakeknya, terheran-heran. 

“Halo Tuan Santen,” katanya kepada Barend. 

“Siapa Anda?” 

“Apakah kamu tidak mengenali saya?” ujar lelaki itu sambil tertawa. 

“Tidak.” 

“Sneevliet, saya Sneevliet,” kata lelaki tadi mengembangkan senyum di wajahnya yang ditumbuhi jambang lebat. Henk Sneevliet sedang hidup dalam persembunyian. Dia menggalang perlawanan terhadap pendudukan Nazi di Belanda dan membiarkan wajahnya tak dikenali. 

Keesokan harinya, Barend menceritakan pertemuan itu kepada Sal Santen, anaknya. Dia tak menduga bisa bertemu dengan besannya di rumah anak mereka di Sint-Pancras, sebuah permukiman di wilayah utara Belanda. Sal, suami Bep Blaauw, anak tiri Sneevliet dari perkawinan keempatnya dengan Mien Draaijer. 

Kunjungan itu kemudian berlanjut pada malam-malam berikutnya. Sneevliet selalu datang bila kangen pada Ellen, cucu pertamanya. “Oom Henk memberi saya julukan De Zwarte Prinses,” kata Ellen yang mendapat kisah itu dari Sal Santen, ayahnya. “Mungkin karena saat kecil rambut saya berwarna hitam,” ujarnya kepada Historia. Dia menuturkan kisah itu pertengahan April lalu di rumahnya di kawasan Nieuwe Prinsengracht, Amsterdam, ditemani dua adiknya, Bart Santen dan Karin Santen. 

Sal Santen dan Bep Blaauw tahun 1982. (Rob Bogaerts/Anefo/gahetna.nl).

Ellen lahir pada 22 Oktober 1940, tahun yang sama saat Nazi menduduki Belanda. “Seorang bayi perang,” kata Sal dalam memoarnya tentang Sneevliet, Sneevliet Rebel. Pasangan Sal Santen–Bep Blaauw punya tiga anak. Selain Ellen, Bart lahir pada 2 September 1945 dan Karin lahir pada 11 Mei 1951. Ellen dan adik-adiknya terbiasa memanggil Sneevliet dengan panggilan “Oom Henk”, sebagaimana kebiasaan ayahnya memanggil Sneevliet. 

Ellen masih terlalu kecil untuk mengingat kakeknya. Dia lebih banyak mendengar cerita tentang kakeknya itu dari ayah dan neneknya. “Oom Henk seorang yang hangat dan bersahabat. Bagi kami, dia panutan. Pengalaman hidupnya menyentuh hati kami,” tutur Ellen. 

Sal, sama seperti Sneevliet, juga seorang aktivis politik. “Dia sangat mengagumi dan terinspirasi Henk,” kata Bart Santen, adik lelaki Ellen. Ketika perang usai, Sal menulis dua buku untuk mengenang ayah mertuanya. Sneevliet Rebel terbit 1971 dan De Nalatenschap van Henk Sneevliet (Warisan Henk Sneevliet) terbit 1995. Dalam buku tersebut, Sal mengisahkan kehidupan Sneevliet dari dekat: sebagai mertua, ayah, kakek, kawan sekaligus lawan dalam setiap diskusi. 

Sneevliet, menurut Sal sebagaimana dituturkan Ellen, tak bisa menahan diri begitu topik pembicaraan membahas politik. Tiada peduli obrolan itu dalam acara keluarga yang tidak ada kaitannya dengan urusan politik. Suatu hari, sebelum perang melanda, pada perayaan ulang tahun Sal, Henk dan Mien datang ke pesta. Maurits, adik lelaki Sal, sekonyong-konyong bicara bak seorang orator dalam sebuah rapat massa. 

“Oh... Oom Henk tidak terpilih lagi sebagai wakil rakyat. Padahal keberpihakan seorang revolusioner sebuah keharusan! Bagaimana mungkin dunia berubah secara radikal kalau dilakukan secara setengah-setengah,” sindir Maurits. 

Ejekan itu masih digarami lagi oleh Barend yang mengatakan kalau pendukung politiknya mendapat jatah kupon pakaian dan mentega. Dalam waktu singkat kenduri ulang tahun Sal berubah jadi ajang perdebatan. Sneevliet terpancing untuk berkomentar. Lidahnya mulai bersilat. “Bukan seperti itu cara melihatnya, kamu tidak paham,” kata Sneevliet sembari mengernyitkan dahinya. 

Perdebatan langsung berhenti ketika Mien menegur suaminya itu. “Henk, tahukah kamu kalau kita sekarang sedang berada di pesta ulang tahun?” kata dia. Suasana kembali mencair. “Kemudian mereka bermain kartu bridge. Begitulah suasana keluarga bila Oom Henk ada,” kata Bart. 

Sima Sneevliet, anak Sneevliet dari perkawinan ketiga dengan perempuan Rusia, Sima Lwowna Zolkoskaja. (Keluarga Henk Sneevliet/Historia.ID).

Sneevliet juga tak betah melihat anaknya terlalu lama dipacari Sal. Sal menulis kalau Sneevliet-lah yang meminta mereka untuk segera menikah. “Sial, kalian anak muda. Apa lagi yang kalian tunggu?” katanya kepada Sal. 

Hubungan Sneevliet dengan menantunya sangat unik. Resminya mertua dan menantu. Namun hubungan itu dengan cepat berubah menjadi dua orang yang saling berhadapan saat berbicara mengenai politik. Sal pengikut sejati Trotsky sampai akhir hayatnya. Sementara Sneevliet, walau sempat satu kubu, berseteru dengan Trotsky karena perbedaan pandangan politik. 

Tak hanya itu, Ellen juga mengisahkan uniknya hubungan pasangan Sneevliet dengan Mien Draaijer. Dia memanggil istrinya itu dengan sebutan “Moeder Mien” atau Mama Mien, layaknya seorang anak kepada ibunya. “Mungkin karena dia rindu sosok ibu karena ditinggal mati ibunya sejak kecil,” kata Ellen. 

Di rumah Mien dan Sneevliet di bilangan Overtoom, Amsterdam turut tinggal pula anak-anak Sneevliet dari perkawinan sebelumnya. Pim dan Pam, anak kembar Sneevliet dari istri keduanya, Betsy Brouwer. 

Pim dan Pam meninggal pada usia muda. Keduanya tewas bunuh diri. Pim bunuh diri pada 4 Maret 1932. Max Perthus dalam biografi Sneevliet menduga Pim seorang homoseksual yang mengalami tekanan batin karena masyarakat Belanda saat itu masih diskriminatif terhadap homoseksualitas. “Henk menjadi orang yang sangat dibuat menderita atas kematian itu,” tulis Perthus. 

Berselang lima tahun setelah kematian Pim, Sneevliet kembali dirundung duka. Pam tewas bunuh diri pada 24 Februari 1937. Ia nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan yang sama dengan kakaknya karena tak diizinkan berangkat perang ke Spanyol oleh ayahnya. Saat itu rakyat Spanyol sedang berperang melawan rezim Franco. “Oom Henk benar-benar terpukul dan sangat kehilangan,” ujar Ellen. 

Kiri-kanan: Ellen Santen, Bart Santen, dan Karin Santen di depan cungkup makam kedua orang tuanya di Driehuis. (Bonnie Triyana/Historia.ID).

Dua tahun setelah kematian Pam, fasisme Jerman mulai menggeliat. Nazi melancarkan serangan kilatnya ke beberapa negara Eropa. Belanda yang mencoba netral tak luput dari serbuan Nazi. Kebersamaan keluarga besar Sneevliet mulai terbelah saat perang melanda. Sneevliet bukan Yahudi, tapi dia ikut diburu karena aktivitasnya sebagai komunis. 

Sementara itu sebagai warga Yahudi, keluarga Santen berada dalam target kampanye kebencian Nazi. Ketika Nazi menduduki Belanda, kedua orang tua Sal, Barend dan Sientje Santen ditahan Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz, Polandia. Begitu juga dengan Maurits yang ditahan di Kamp Sobibor, Polandia. Nasib mereka berakhir tragis: tewas di kamar gas bersama ribuan warga Yahudi lainnya. Namun Sal bernasib baik. Luput dari maut yang ditebarkan oleh tentara Nazi. “Dia berhasil melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran Nazi,” kata Ellen.

Sneevliet sendiri akhirnya ditangkap Nazi, pada pengujung Maret 1942. Dia bersama tujuh orang aktivis antifasis dari Marx Lenin Luxemburg Front (MLL Front) lainnya dihukum mati pada 13 April 1942 di Leusderheide, Amersfoort, Belanda. Mien juga turut ditangkap dan ditahan di kamp konsentrasi khusus perempuan di Ravensbruck, Jerman. Dia baru dibebaskan pada 1945, seiring kekalahan Jerman oleh Sekutu. 

Melalui Mien dan Sal, kenangan keluarga terhadap Sneevliet terawat baik. Mien, selama penahanannya di kamp konsentrasi sebisa mungkin banyak membuat catatan: pada kain dan kertas bekas. Sementara itu, Sal menuliskan ingatannya tentang Sneevliet pada buku dan mewariskan kisah hidup Henk pada anak-anaknya. “Saya merawat semua apa yang mereka tinggalkan dan kami merasa bangga mewarisi kisah keberanian kakek kami, Oom Henk,” ujar Ellen.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6517e20a5f3c84beaba747ea