Dari Diskriminasi ke Apresiasi

Pemerintah kolonial Belanda memandang orang Arab sebagai ancaman. Dilarang membaur dengan bumiputra, gerak mereka dibatasi.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Dari Diskriminasi ke ApresiasiDari Diskriminasi ke Apresiasi
cover caption
Kapiten Arab Said Achmad bin Abdoellah Bobsaid bertemu dengan Residen Surabaya W.P. Hillen di Tanjung Perak, Surabaya, 1924. (KITLV).

ALI Shahabudin, 65 tahun, sudah tiga jam berbicara. Namun, dia belum menunjukkan tanda kelelahan. Mulut dan hidung lancipnya mengeluarkan asap rokok. Asbak di atas meja tak cukup lagi menampung puntung dan abu rokok. Sementara kopinya tandas, tinggal ampas. “Saya masih punya banyak cerita tentang peranakan Arab,” ujarnya kepada Historia.  

Ali seorang peranakan Arab. Dia cucu Ali bin Ahmad bin Shahab, sohor dikenal dengan Ali Menteng. Berdarah sayid, Ali Menteng jadi salah satu pendiri Jamiat Khair. Hingga sekarang, keturunannya masih merasa berdarah sayid. “Soal status sayid ini, saya punya pengalaman unik di Aceh,” tutur Ali.  

Saat itu, Januari 2006. Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menculik anak seorang polisi dari sebuah kampung. Entah siapa yang meniup, beredar kabar GAM bakal membunuh anak itu kurang dari 24 jam. Sebagai perwira intelijen, Ali bertugas menyelamatkan anak itu. Dia menyambangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat dan minta menghubungkannya dengan GAM.

ALI Shahabudin, 65 tahun, sudah tiga jam berbicara. Namun, dia belum menunjukkan tanda kelelahan. Mulut dan hidung lancipnya mengeluarkan asap rokok. Asbak di atas meja tak cukup lagi menampung puntung dan abu rokok. Sementara kopinya tandas, tinggal ampas. “Saya masih punya banyak cerita tentang peranakan Arab,” ujarnya kepada Historia.  

Ali seorang peranakan Arab. Dia cucu Ali bin Ahmad bin Shahab, sohor dikenal dengan Ali Menteng. Berdarah sayid, Ali Menteng jadi salah satu pendiri Jamiat Khair. Hingga sekarang, keturunannya masih merasa berdarah sayid. “Soal status sayid ini, saya punya pengalaman unik di Aceh,” tutur Ali.  

Saat itu, Januari 2006. Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menculik anak seorang polisi dari sebuah kampung. Entah siapa yang meniup, beredar kabar GAM bakal membunuh anak itu kurang dari 24 jam. Sebagai perwira intelijen, Ali bertugas menyelamatkan anak itu. Dia menyambangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat dan minta menghubungkannya dengan GAM.

“Saya tahu beberapa ulama punya kontak dengan anggota GAM,” kenang Ali.  

Tak disangka, GAM menyerahkan anak itu ke MUI. “Katanya mereka tahu ada habib dari Jakarta datang. Mereka teringat Habib Abdurrahman Az-Zahir, seorang pemimpin perlawanan rakyat Aceh pada akhir abad ke-19,” kata Ali. Dia berkesimpulan: di beberapa wilayah, status sayid masih beroleh tempat.  

Sebagai keturunan Arab, Ali mengatakan tak pernah beroleh perlakuan diskriminatif. Kariernya di intelijen berjalan lancar. Pun begitu dalam pergaulan sehari-hari. Dia bersyukur mendapat tempat istimewa di masyarakat: sebagai keturunan Rasulullah. “Tapi di zaman Belanda agak berbeda. Pemerintah kolonial tak senang dengan peranakan Arab, termasuk dengan kelompok sayid,” ungkap Ali.  

Menurut Yasmine Zaki Shahab, guru besar antropologi Universitas Indonesia, yang juga cucu Ali Menteng, kakeknya sampai dibuat jengkel karena perlakuan orang Belanda. Pernah suatu kali kakeknya pergi naik kereta api. “Meski boleh naik bersama orang Belanda, beliau tetap dipandang rendah karena peranakan Arab termasuk golongan Timur Asing (vreemde oosterlingen),” terang Yasmine.  

Di dalam kereta, seorang Belanda mengisap cerutu. Kala itu cerutu jadi simbol status yang memisahkan orang Belanda dengan orang Timur Asing dan bumiputra. Mengetahui seorang Belanda mengejeknya, Ali Menteng membalas dengan cara unik. “Beliau melinting uang kertas, membakarnya, dan mengisapnya seolah-olah itu rokok,” ujar Yasmine. Boleh jadi ini sebentuk contoh kejengkelan mendalam peranakan Arab terhadap kebijakan pemerintah kolonial.

Ali Shahabudin, cucu Ali bin Ahmad bin Shahab yang dikenal dengan Ali Menteng. Salah seorang keturunan Arab berdarah sayid. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Stratifikasi Ras dan Agama

Orang Belanda punya sejarah panjang memisahkan masyarakat koloninya. Ini bermula sejak Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menguasai Batavia pada paruh pertama abad ke-17. Mereka memukimkan penduduk berdasarkan asal daerah dan agama (wijkenstelsel). Maka, muncul kampung Jawa, Ambon, Bali, dan Makassar, Pekojan (India), dan Pecinan (Tionghoa). “Tak kurang dari 40 kelompok masyarakat diciptakan secara demikian, dan diperlakukan dengan berbeda,” tulis Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia.  

Masing-masing kampung punya seorang kepala kampung (wijkmeester). Mereka bertanggung jawab kepada kapiten. Para kapiten mengetuai tiap kelompok masyarakat dan bertugas melaporkan kondisi kelompoknya kepada penguasa Batavia. Cara ini memudahkan penguasa Batavia mengontrol dan mencegah pembauran antarkelompok penduduk. Pendeknya, agar stabilitas keamanan kota terjaga.  

Terhadap orang Arab, VOC menerapkan aturan agak berbeda. Mereka menempatkan orang Arab sekampung dengan orang India karena sama-sama beragama Islam. Saat itu populasi orang Arab masih sedikit. Namun, penguasa Batavia tetap memandang mereka sebagai ancaman.  

Penguasa Batavia lebih percaya pada kelompok yang seagama dengan mereka. “Sementara mereka yang mempunyai agama yang sama dengan penguasa, atau paling tidak, tidak menganut agama Islam –yang dipandang oleh penguasa Batavia sebagai keyakinan musuh– mempunyai posisi yang diistimewakan dan mempunyai tingkat kepercayaan tertentu,” tulis W.F. Wertheim dalam Masyarakat Indonesia dalam Transisi.  

Pandangan itu buntut dari Perang Salib abad ke-12. Pergolakan tak cuma pada ranah agama, melainkan juga perdagangan.  

Menurut Siti Hidayati Amal, peneliti pada Universitas Indonesia, kedatangan orang Belanda ke Nusantara seiring dengan pencerahan hati nurani kekristenan (renaissance) di Eropa Barat. “Dalam penyebaran agama ini, orang-orang Arab bagi Belanda merupakan pesaing yang cukup berarti. Persaingan tersebut bagi Belanda adalah persaingan dalam perebutan pengaruh di kalangan pribumi terutama di kalangan para bangsawan untuk memperoleh kekuasaan ekonomi. Oleh karena itu sikap dan perlakuan Belanda terhadap orang Arab sangat antipati dan harus selalu waspada,” tulis Siti dalam “Keturunan Arab di Luar Tembok Keraton Yogya”, termuat di Antropologi Indonesia Vol. 29 No. 2, 2005.  

Bara permusuhan itu tak bikin ciut nyali orang Arab. Mereka kadung lekat dengan Nusantara. Maka, migrasi mereka pun terus mengalir, terutama dari Hadramaut. Dan kekhawatiran orang Belanda terbukti. “Pada akhir abad ke-18, pedagang Arab mendirikan kesultanan di Sumatra dan Kalimantan,” tulis Huub de Jonge dalam “Discord and Solidarity Among the Arabs in the Netherlands East Indies 1900-1942”, termuat di Indonesia Vol. 55 April 1993.  

Belanda tambah pusing. Populasi orang Arab kian banyak memasuki pertengahan abad ke-19. Mereka pun jadi minoritas terbesar kedua setelah orang Tionghoa. Sadar jumlah orang Arab meningkat, pemerintah kolonial menempuh beberapa cara untuk mempersempit ruang gerak mereka. Di Batavia, mereka hanya boleh bermukim di empat distrik Afdeeling stad en voorstenden van Batavia: Penjaringan, Pasar Senen, Mangga Besar, dan Tanah Abang. Jika bermukim di luar wilayah itu, pemerintah kolonial tak ragu menyeret mereka ke pengadilan.

Ali bin Ahmad bin Shahab atau Ali Menteng, salah satu sayid penentang diskriminasi pada masa kolonial Belanda.

Robohnya Tembok Pemisah

Tak puas dengan wijkenstelsel, pada 1866 pemerintah kolonial mengeluarkan passenstelsel (surat jalan). Dalam aturan ini termaktub perintah bagi orang Arab agar membawa surat jalan saat pergi. “Aturan ini mengganggu proses integrasi mereka dengan penduduk lokal,” tulis Ismail Fajrie Alatas dalam “Becoming Indonesian”, termuat di Die Welt des Islam No. 51 tahun 2011.  

Surat itu harus memuat keterangan tujuan mereka pergi dan siapa yang mereka akan temui. Termasuk keterangan mengenai penginapan mereka. Mereka tak boleh bermalam di luar tempat yang ditentukan. Mereka baru bisa pergi setelah ada izin dari kepala kampung. Dan izin itu keluarnya sering lama.  

Aturan itu sejatinya berlaku untuk semua kelompok Timur Asing. Namun, orang Arab merasa penerapannya untuk mereka berbeda. Kelompok Timur Asing lainnya, orang Tionghoa, juga melihat hal yang sama. Mereka menilai pemerintah kolonial tak bisa bersikap adil. Kecemburuan sesama kelompok Timur Asing pun muncul.  

“Meski hanya ada satu aturan pembatasan untuk semua minoritas Asia, mereka kerap diperlakukan berbeda. Pengejewantahan aturan itu berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya, bahkan terhadap satu orang dengan orang lainnya. Tergantung kepentingan pemerintah dan kecenderungan pribadi pejabat pemerintahan,” tulis Huub de Jonge dalam “Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadhrami Immigrants”, termuat di Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s to 1960s suntingan Ulrike Freitag dan W.G. Clarence-Smith.

Lama-lama orang Arab jengah dengan segala aturan itu. Sebagian menuntut status yang sama dengan orang Eropa (gelijksteling). Lainnya meminta agar disamakan dengan masyarakat setempat. “Memang bunuh diri kelas. Tapi mereka sendiri merasa sudah berintegrasi dengan masyarakat setempat,” kata Syamhari Baswedan, putra A.R. Baswedan. Lagipula yang penting terhindar dari passenstelsel karena pemerintah kolonial tak menerapkan aturan itu untuk bumiputra.  

Tuntutan orang Arab beroleh angin segar dari Turki pada 1870. Saat itu, Sultan Turki Abdul Hamid II mengusung misi pan-Islamisme. Ideologi ini punya misi menyatukan semua umat muslim di bawah kekhalifahan Turki Usmani. Sultan memandang semua umat muslim sebagai warga negaranya.  

Gagasan ini punya sokongan ilmiah dari Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pemikir muslim jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. “Dan ideologi ini pun tersebar hingga ke Hindia Belanda Timur. Pemerintah kolonial menyebutnya sebagai ancaman karena menolak kuasa kolonial pada negeri muslim,” tulis Nico J.G. Kaptein dalam “The Arabs in the Netherlands East Indies and The House of Orange”, termuat di Writings and Writing from Another World and Another Era suntingan Robert M. Kerr dan Thomas Milo.  

Gayung bersambut. Orang Arab menaruh simpati pada gagasan ini. Salah satu bentuknya mengakui Turki sebagai tanah air mereka. “Di rumah, golongan sayid juga memasang foto Sultan Hamid II,” kata Ali Shahabudin. Bentuk dukungan lain dengan memakai terbus, kopiah merah khas Turki. Ini terjadi setelah penobatan Ratu Belanda, Wilhelmina, pada 1898.

Namun, pemerintah kolonial tak peduli dengan status para sayid sebagai warga negara Turki. Secara umum, orang Arab tetap beroleh perlakuan diskriminatif. Tak sedikit pula yang berbentuk pelecehan. Cerita itu tersebar sampai ke luar Hindia.  

Pers luar negeri seperti al-Ma’lumat (Konstantinopel), al-Mu’ayyad (Kairo), Samarat al-Funun (Beirut), dan Salam (Iskandariah) memuat beberapa kisahnya. Antara lain kisah Sayid Husain al-Attas. “Pemerintah melarangnya tinggal di kampung pribumi pada suatu malam hari, padahal istrinya tinggal di situ,” tulis al-Ma’lumat, 30 Agustus 1899. Sayid Husain melawan larangan itu sehingga dia berurusan dengan polisi.  

Keturunan Jawa-Arab dari Diyar al-Bughri, 1931. (Koleksi Museum Hadramawt, Seiyun).

Pada saat bersamaan, pemerintah kolonial menaikkan status orang Jepang sederajat dengan orang Eropa. Kekesalan orang Arab membubung. Sekelompok Sayid pun membentuk Jamiat Khair, organisasi yang memperjuangkan hak orang Arab. Snouck Hurgronje, kepala Kantor Urusan Arab dan Pribumi, membaca reaksi itu sebagai simbol perlawanan. Harus diredam. Maka, Snouck menulis surat kepada gubernur jenderal pada 18 Mei 1903.  

Snouck menilai ada tiga kebijakan yang perlu dikoreksi: pembatasan izin menetap, kewajiban surat jalan, dan urusan orang Arab dengan polisi. Dia berkesimpulan, “pembatasan atau bahkan penghapusan berangsur-angsur dari izin-izin kepada orang Arab untuk bermukim di Hindia Belanda seluruhnya harus dianggap perlu.” Artinya, Snouck ingin Hindia tertutup total bagi orang Arab, seperti di Australia dan beberapa wilayah jajahan Inggris.  

Dalam surat lainnya tertanggal 28 Juli 1904, Snouck lebih tegas lagi. “Jadi saya terpaksa mendesak agar diadakan penutupan mutlak terhadap bangsa Arab, hingga tidak dapat bermukim dan menetap di Nusantara ini.”  

Namun, keinginan Snouck tak tercapai. “Usaha Snouck untuk menghentikan aliran sungai dari Hadramaut tidak berhasil. Sepanjang pengetahuan penulis, imigrasi Arab Hadramaut itu tidak sampai dihentikan sama sekali, hingga Belanda meninggalkan Indonesia,” tulis Hamid Algadri dalam Snouck Hurgronje dan Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab.  

Terhadap mereka yang telanjur tinggal di Hindia, Snouck berharap pemerintah memberikan mereka kebebasan bergerak yang lebih luas. Setelah itu, wijkenstelsel dan passenstelsel berangsur dihapus. Gerak orang Arab jadi lebih luwes. Mereka berusaha membaur lagi dengan masyarakat setempat. Kesadaran baru tentang tanah air muncul seiring meredupnya gagasan pan-Islamisme pada 1920-an.  

Peranakan Arab mulai berpaling dari Hadramaut dan Turki. Sebagian mereka mengidentifikasi diri sebagai bumiputra yang bertanah air Indonesia. Mereka makin percaya diri setelah pemerintah kolonial merombak stratifikasi masyarakat koloni. Bukan berdasarkan ras lagi, melainkan menurut kebangsaan. Poin ini termaktub dalam Memorie van Toelichting dari Wet op de Bestuurshervorming 1925.  

Sebagai bukti kesungguhan mereka, sekelompok peranakan Arab membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 1934. Mereka meninggalkan terbus dan menggantinya dengan songkok, tutup kepala khas bumiputra. Mereka juga mendekati kaum pergerakan, tetapi tak mudah. Partai Indonesia Raya (Parindra), misalnya, belum siap menerima keturunan Arab sebagai anggotanya. Parindra memandang keturunan Arab sebagai golongan Indo. “Lebih jauh Parindra sendiri pun belum ada keyakinan bahwa kaum Indo seluruhnya bersedia untuk mempersatukan dirinya dengan bangsa Indonesia dengan ikhlas,” tulis Aliran Baroe, Januari 1939.  

Namun, proklamasi kemerdekaan Indonesia membuktikan bahwa Parindra salah. Keturunan Arab punya tekad bulat menjadi Indonesia. A.R. Baswedan, wakil mereka dalam Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menegaskannya. Sebagai simbol peleburan dengan masyarakat, PAI pun dibubarkan.

A.R. Baswedan sebagai anggota Konstituante. (Syahrul Hidayat and Kevin W. Fogg/konstituante.net).

Lenyapnya Diskriminasi

Pada Agustus 1956, Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia di Semarang. Bermaksud menarik batas antara pengusaha pribumi lemah dan nonpribumi. Mr. Assaat sebagai ketua kongres mengundang pengusaha peranakan Arab sebagai pengusaha pribumi. Sementara keturunan Tionghoa termasuk dalam pengusaha nonpribumi.

Keputusan itu menarik perhatian Tjoa Tjie Lieng, sekjen Partai Tionghoa Indonesia. Kepada A.R. Baswedan, temannya, dia bersurat: “Apa sebab gerakan bangsa Indonesia keturunan Arab berhasil dalam mana golongan keturunan Arab dikecualikan dari pandangan ‘tidak asli’?”

“Karena PAI amat idealistis!! Karena saya selalu menekankan pada segi memenuhi kewajiban dan bukan pada menuntut hak. Sehingga kesadaran berbangsa Indonesia di kalangan mereka sungguh mendalam,” jawab Baswedan, dikisahkan di Pelita, 8 November 1979.  

Kerikil muncul pada 1979. Akarnya Keppres No. 14 Tahun 1979 tentang perlindungan terhadap pengusaha ekonomi lemah. Celakanya Keppres itu menggolongkan peranakan Arab sebagai nonpribumi. A.R. Baswedan meneruskan keluhan orang-orang keturunan Arab itu kepada Wakil Presiden Adam Malik. Mengenal sejarah perjuangan keturunan Arab selama masa kolonial, Adam Malik segera meminta revisi atas Keppres itu.

Selepas itu, diskriminasi kian jauh dari peranakan Arab.*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
667fe61cde02d210cef569be