Menjawab rasa penasaran banyak orang tentang kemajuan Tiongkok. Khususnya bagi orang “barat”. Kesuksesan Tiongkok tak bisa dilepaskan dari cengkeraman Partai Komunis Tiongkok ke segala sektor.
Sampul buku Party Time: Who Runs China and How karya Rowan Callick.
Aa
Aa
Aa
Aa
DALAM urusan pegang rahasia, Rowan Callick, penulis buku Party Time: Who Runs China and How, menyamakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dengan Freemasons. “Partai memegang rahasia serapat mungkin, sebagaimana yang dilakukan oleh Freemasons,” tulisnya. Rowan Callick pernah tinggal di Tiongkok dan bekerja sebagai koresponden Australian.
Editor Australian Finance Review untuk wilayah Asia-Pasifik itu terpukau pada kemajuan Tiongkok dalam setengah abad terakhir. Dia, seperti kebanyakan orang, bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya yang menjalankan Tiongkok? Dan di mana sebetulnya kekuasaan terletak? Apa sebenarnya makna keberadaan Tiongkok bagi dunia?
Rowan mewawancarai beberapa orang anggota partai untuk mengetahui bagaimana partai komunis mengatur negara yang berpenduduk satu miliar lebih itu. Dia menulis buku ini dengan cara kerja seorang jurnalis: menelusuri informasi, menelisik sampai ke dalam tubuh partai melalui serangkaian wawancara terhadap anggota partai. Serpihan keterangan dikumpulkannya sedikit demi sedikit, tak jarang melalui sejumlah pertemuan rahasia.
DALAM urusan pegang rahasia, Rowan Callick, penulis buku Party Time: Who Runs China and How, menyamakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dengan Freemasons. “Partai memegang rahasia serapat mungkin, sebagaimana yang dilakukan oleh Freemasons,” tulisnya. Rowan Callick pernah tinggal di Tiongkok dan bekerja sebagai koresponden Australian.
Editor Australian Finance Review untuk wilayah Asia-Pasifik itu terpukau pada kemajuan Tiongkok dalam setengah abad terakhir. Dia, seperti kebanyakan orang, bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya yang menjalankan Tiongkok? Dan di mana sebetulnya kekuasaan terletak? Apa sebenarnya makna keberadaan Tiongkok bagi dunia?
Rowan mewawancarai beberapa orang anggota partai untuk mengetahui bagaimana partai komunis mengatur negara yang berpenduduk satu miliar lebih itu. Dia menulis buku ini dengan cara kerja seorang jurnalis: menelusuri informasi, menelisik sampai ke dalam tubuh partai melalui serangkaian wawancara terhadap anggota partai. Serpihan keterangan dikumpulkannya sedikit demi sedikit, tak jarang melalui sejumlah pertemuan rahasia.
Pada bab pertama, untuk membuka pintu masuk akses informasi, Rowan menemui tiga orang anggota dan seorang pengurus partai. Liu Meiling (bukan nama sebenarnya), pegawai perusahaan patungan modal asing dengan Tiongkok (joint venture) yang mengaku kepada Rowan tentang bagaimana pertemuan partai diselenggarakan. Bahkan di dalam perusahaan tempatnya bekerja.
“Setiap bulan, demikian katanya, dia dan sekitar tiga dari empat puluh orang anggota partai dari seksinya yang bekerja di perusahaan yang sama mengadakan pertemuan rutin, baik pada saat makan siang atau seusai jam kerja,” tulis Rowan mengutip keterangan Meiling.
Meiling juga menuturkan tentang beberapa posisi puncak di perusahaannya yang ditempati oleh orang-orang partai. Dengan demikian instruksi dari partai bisa langsung terhubung ke seksi-seksi anggota partai yang bekerja di perusahaan-perusahaan. Melalui pertemuan rutin pulalah para fungsionaris bisa memastikan kebijakan partai benar-benar diindahkan dan dilakukan oleh seksi partai di dalam perusahaan.
Selain memperoleh keterangan dari Meiling, Rowan juga mewawancarai Wang Binglin, profesor Beijing Normal University. Dia kader tinggi partai, deputi sekretaris. Dia menjelaskan tentang bagaimana partai merekrut kader dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang diterima jadi anggota partai sebelum kelulusannya akan mendapatkan pekerjaan yang baik. “Banyak mahasiswa yang ingin bergabung ke partai,” kata Binglin.
Party Time: Who Runs China and How karya Rowan Callick. (Black Inc., 2013, xxiv+249 halaman).
Untuk jadi anggota partai bukan perkara mudah. PKT sangat selektif memilih anggotanya dengan syarat yang cukup berat. Ren Jie, seorang ahli komputer yang direkrut partai sejak masa sekolah menengah dituntut harus menjadi contoh bagi kawan-kawannya. Prestasi akademik bukan satu-satunya ukuran. Dia juga diharuskan bersikap selayaknya pemimpin bagi yang lain.
Ren Jie mengaku tak mudah untuk menjalani kehidupan sebagai kader partai. “Seorang komunis harus terus giat belajar, tak hanya memelajari kehidupan sosial tapi juga memelajari negara dan juga dunia,” kata Ren Jie.
Kesuksesan Tiongkok tak bisa dilepaskan dari regenerasi kader partai dan cengkeraman tangan partai ke sektor swasta. Keanggotaan partai tumbuh pesat, bermula 50 orang pada saat didirikan, 4,5 juta saat Republik Rakyat Tiongkok diproklamasikan pada 1949 dan mencapai 82,6 juta anggota tepat pada usianya yang ke-90 tahun 2011. Pelamar pun terus melonjak. Pada 2010 ada sekira 21,6 juta orang mengajukan diri sebagai kader namun hanya 3,2 juta yang diterima. Pada tahun yang sama ada 32 ribu anggota yang dipecat dari partai karena berbagai pelanggaran.
PKT berdiri menyerupai pohon besar dengan dahan dan ranting yang menjulur ke semua sektor kehidupan di Tiongkok. Organisasi sosial, sekolah menengah, universitas sampai dengan perusahaan swasta tak luput dari jangkauan partai. Sebegitu penting dan besarnya peran dan kekuasaan partai membuat orang, mau tak mau, mengajukan diri untuk jadi anggota. Kesimpulannya, betapa penting menjadi anggota partai. Selain memperluas jejaring juga membuka peluang mobilitas vertikal karier seseorang.
Alasan orang bergabung ke partai sering kali bukan karena percaya pada Marxisme-Leninisme tapi lebih karena berharap mendapatkan kesejahteraan dan keberuntungan.
Satu hal yang tak dikaji oleh Rowan adalah peluang terjadinya kolusi di kalangan internal partai dalam soal perekrutan dan kenaikan jenjang karier. Pula tak ada narasumber yang justru dikeluarkan dari partai, apapun sebabnya. Beberapa narasumber yang diwawancarainya selalu berkisah tentang aspek positif dari keanggotaan: gampang dapat pekerjaan, mudah naik pangkat, dan berpeluang hidup lebih baik.
Justru dari sana muncul fakta: di tangan partailah nasib seseorang ditentukan. Partai, yang dikendalikan oleh orang-orang, apapun alasannya, sering kali berlaku berdasarkan suka atau tidak (like or dislike). Hubungan personal bisa jadi menyumbangkan peranan dalam diterima atau tidaknya seseorang ke dalam partai.
Profesor Zhang Xi’en dari Universitas Shandong, seperti dikutip dari The Telegraph terbitan 20 Mei 2013 malah mengkhawatirkan tumbuhnya sikap oportunistik di kalangan anggota yang justru bakal menghancurkan spirit partai itu sendiri. “Alasan orang bergabung ke partai sering kali bukan karena mereka percaya pada Marxisme-Leninisme tapi lebih karena mereka berharap mendapatkan kesejahteraan dan keberuntungan,” kata Profesor Zhang.
Aspek inilah yang kurang dicermati oleh Rowan. Penulis buku ini hanya menyiratkan kekagumannya kepada Tiongkok, mirip seseorang yang berdiri di depan sebuah gedung besar tanpa mau melihat bayangan gelap yang terhampar di belakang gedung itu.
Poster propaganda Mao Zedong di Tiongkok. (Koleksi Shanghai Renmin Meishu Chubanshe).
PKT yang berdiri di Shanghai, 1 Juli 1921 menjadi satu-satunya mesin politik yang mengarahkan dan menentukan nasib Tiongkok. Partai ini punya peran untuk mengangkat martabat Tiongkok yang porak-poranda oleh penjajahan bangsa asing serta perang saudara berkepanjangan.
Seiring waktu, PKT tumbuh jadi mesin politik totalitarian yang pada akhirnya, mau tak mau, diharuskan memilih jalan kapitalisme sebagai cara “menyesuaikan” diri dengan dunia saat ini. Mungkin itulah yang salah satunya membuat Rowan berdecak kagum.
Buku ini juga bercerita tentang bagaimana partai mengontrol media, kegiatan seni bahkan menguasai ingatan sejarah. Pada bab “Controlling Legends” Rowan menulis tentang “ziarah merah” yang kini menarik minat banyak wisatawan untuk mengetahui perjalanan hidup Ketua Mao. Menjaga sejarah menjadi penting bagi PKT karena mereka tak ingin melakukan hal yang sama seperti Uni Soviet dalam soal Stalin.
Partai percaya apabila bisa mengusai masa lalu maka mereka akan bisa memiliki masa kini dan masa depan. Namun hal ini menutup kemungkinan (bisa jadi selama-lamanya, selama PKT masih berkuasa) akan hadirnya versi lain yang mengimbangi versi sejarah resmi PKT.
Bangunan kekuasaan yang monolitik, yang tersentralisasi pada struktur partai memang efisien menciptakan ketertiban dan mempercepat laju pembangunan di Tiongkok. Sehingga ketika Tiongkok harus memilih jalan –meminjam istilah Deng Xiaoping– “kucing putih” atau “kucing hitam” mereka sudah punya pondasi kuat untuk bisa “menangkap tikus”.
Yang luput dari telaah Rowan ini –atau mungkin dengan sadar dia tak berminat membahasnya– adalah kehidupan buruh industri di Tiongkok yang sama menyedihkannya dengan buruh-buruh di negara dunia ketiga lainnya. Ironi sebuah kelas yang semestinya jadi motor perubahan justru semakin terlindas oleh gegap gempita aliran kapital dan pesatnya aktivitas industri di Tiongkok.
Buku ini cocok dibaca bagi yang ingin mengetahui tentang apa dan siapa di balik kemajuan Tiongkok. Tentu saja dalam cara pandang yang positif dan melihat Tiongkok dari sudut “yang baik-baik saja”.*