Dari Permina ke Pertamina

Permina didirikan membawa misi revolusi. Dalam perjalanannya menjadi Pertamina, perusahaan negara yang menjadi sarang korupsi.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Dari Permina ke PertaminaDari Permina ke Pertamina
cover caption
Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo meresmikan pipe line dan perluasan terminal Semarang, 8 Juni 1971. (Perpusnas RI).

KAPTEN Affan terpaksa melepas semua atribut militer di bajunya. Dengan naik becak, ia menuju kantor pos untuk mengambil surat-surat Permina, perusahaan milik negara yang baru saja berdiri. Kala itu, Permina belum punya kantor. Surat-menyurat dialamatkan ke PO BOX 2659.

“Alamat kawat baru dibuat setelah diketahui sebuah telegram penting yang datang dari Amerika dikembalikan karena address unknown,” tulis Mara Karma dalam Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi.

KAPTEN Affan terpaksa melepas semua atribut militer di bajunya. Dengan naik becak, ia menuju kantor pos untuk mengambil surat-surat Permina, perusahaan milik negara yang baru saja berdiri. Kala itu, Permina belum punya kantor. Surat-menyurat dialamatkan ke PO BOX 2659.

“Alamat kawat baru dibuat setelah diketahui sebuah telegram penting yang datang dari Amerika dikembalikan karena address unknown,” tulis Mara Karma dalam Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi.

Sejak mendapat mandat dari KSAD Jenderal TNI A.H. Nasution untuk memimpin Permina, Deputi II KSAD Kolonel Ibnu Sutowo masih menjalankan aktivitas perusahaan itu dengan menumpang di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Ia dibantu Kapten Affan, Mayor Geudong, dan Mayor Harijono –semuanya perwira administrasi MBAD. Harijono menemani Sutowo di MBAD, sementara Affan dan Geudong menjalankan aktivitas di rumah Geudong. Semua jajaran direksi Permina kala itu, yang hanya segelintir, tak punya pengalaman di bidang perminyakan.

Permina segera mengaktifkan Tambang Minyak Sumatra Utara (TMSU) di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, salah satu ladang minyak tertua di Indonesia, yang lama tak aktif.

Sejak 1892, Royal Dutch Shell –perusahaan gabungan Royal Dutch dan Shell Transport and Trading– mulai mengeksplorasi minyak di Pangkalan Brandan –selain di Aceh, Palembang (Sumatra Selatan), serta Kutai dan Samboja (Kalimantan Timur) melalui anak-anak perusahaan macam Bataafshce Petroleum Maatschappij (BPM). Perang meluluhlantakkan semuanya. Setelah perang, pemerintah pendudukan Belanda memberi izin pengoperasian kembali ladang minyak itu. Setelah penyerahan kedaulatan, ladang-ladang minyak yang dioperasikan BPM tetap berjalan dengan pengawasan TMSU, yang didirikan mantan karyawan perusahaan minyak itu.

Berdirinya Permina tak lepas dari ketidakjelasan penanganan TMSU di Pangkalan Brandan yang berajut dengan konflik kepentingan daerah (Sumatra Utara-Aceh). Aceh menuntut pembagian yang adil dari ekspor minyak yang dikapalkan dari Pelabuhan Pangkalan Susu, Langkat, Sumatra Utara. Selain itu, konflik juga terjadi di tubuh TMSU.

Situasi itu mendorong penduduk Pangkalan Brandan mengadakan rapat umum pada 16 Juni 1957 yang dihadiri belasan ribu orang. Rapat memutuskan mendesak pemerintah pusat mengambil alih TMSU.

Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Chaerul Saleh dan Ibnu Sutowo meninjau kesiapan Permina di Pangkalan Brandan. (Repro Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi).

Terbentuknya Permina

Perdana Menteri Djuanda, Kementerian Perindustrian, dan AD mempelajari tuntutan itu. “Berdasarkan studi bersama itu kemudian ditandatangani suatu persetujuan antara Nasution serta menteri perindustrian dan menteri perdagangan pada Juli 1957, yang selanjutnya disusul dengan sebuah surat keputusan menteri perindustrian tertanggal 15 Oktober 1957 untuk membentuk sebuah PT,” tulis Karma.

Pada 22 Juli 1957, menteri perindustrian dan perdagangan menguasakan TMSU kepada KSAD Nasution selaku penguasa darurat negara. TMSU pun menjadi perusahaan negara bernama Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI), yang seluruh sahamnya dimiliki AD.

Melalui surat keputusan menteri perindustrian dan KSAD, pada 10 Desember 1957, berdirilah PT Perusahaan Minyak Nasional (Permina) –namun karena yang berhak melakukan eksplorasi migas adalah negara, ia diubah menjadi perusahaan negara (PN) pada 1961. Ibnu Sutowo jadi direktur utamanya. Di jajaran direksi, terdapat pula nama komandan militer dan gubernur daerah Aceh (Letkol Syamaun Gaharu dan Ali Hasjmy) serta komandan militer dan gubernur Sumatra Utara (Letkol Leo Lopulisa dan Kumala Pontas).

“Semacam usaha dari Kolonel AH Nasution mendamaikan para pemimpin yang saling bersengketa di daerah tempat mereka terlibat di dalamnya,” tulis Karma.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Dari sinilah mulainya raksasa Pertamina yang kita kenal di tahun 1970-an dan dalam suasana Orde Baru.</div>

Nasution sendiri dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas, tak banyak berkomentar sehubungan pengambilalihan TMSU dan pendirian Permina. Ia lebih mengedepankan proses itu sebagai bagian dari fungsi kekaryaan militer, sebuah konsep yang dicetuskannya dan kelak lebih dikenal dengan dwifungsi ABRI.

“Karena inilah pula debut (ketrampilan pertama) TNI di bidang ekonomi, yang dipaksakan oleh keadaan. Bukanlah prakarsa saya, tapi adalah dengan dorongan pihak sipil. Dari sinilah mulainya ‘raksasa’ Pertamina yang kita kenal di tahun 1970-an dan dalam suasana Orde Baru,” tulis Nasution.

Pengambilalihan itu kemudian mendapat legitimasi dari pemerintah. Pada 26 Desember 1956, dengan alasan penyelenggaraan TMSU selama ini tak dapat dijalankan secara tertib, pemerintah akhirnya menetapkan TMSU dikuasai pemerintah, yang pengelolaannya akan diserahkan kepada sebuah badan hukum.

Tanker awal milik Permina (MT Permina I dan MT Permina II) dibeli dari Caltex. (Repro Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi).


Mengebor Sumur Minyak

Ibnu Sutowo mengambil langkah penting pertama. Ia mengadakan kontak bisnis dengan Harold Hutton, pengusaha minyak asal Amerika Serikat. Meski jalannya berliku, kesepakatan bisnis pun dicapai kedua pihak. Permina menetapkan Hutton sebagai pembeli minyaknya, di mana Hutton akan menjual kembali minyak itu ke pembeli berikutnya. Masalah timbul karena pengacara Hutton takut kemungkinan muncul sengketa dengan Shell.

Nasution menyelesaikannya dengan mengeluarkan peraturan PRT/PM/017/1957 yang membatalkan konsesi Shell dan pengambilalihan daerah operasional berikut segala instalasi. Tembusan surat itu juga dikirimkan ke Shell –yang di kemudian hari menuntut kompensasi melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, namun tak pernah dikabulkan Indonesia. Berbekal peraturan baru itu, Hutton berhasil meyakinkan pemerintah Jepang untuk membeli minyaknya.

Setelah sumur-sumur dipulihkan, pada 24 Mei 1958, ketika PRRI mulai bergolak di seluruh Sumatra, pemuatan minyak ke kapal Shozui Maru –yang dikirim dari Jepang– di Pangkalan Susu menandai keberhasilan pertama Permina menjual minyaknya.

Namun, jalan masih terjal. Kerja sama dengan Stanvac batal lantaran perusahaan Amerika Serikat itu meragukan Permina. Ibnu Sutowo menoleh ke Jepang –sementara negosiasi dengan perusahaan-perusahaan minyak raksasa macam Shell, Stanvac, dan Caltex masih berlangsung. Di Tokyo, perundingan berjalan alot. Setelah negosiasi panjang, Nosodeco menyetujui kerja sama dengan sistem bagi hasil –yang kemudian menjadi prototipe yang akan diterapkan kepada perusahaan-perusahaan lain. Kontraknya ditandatangani pada 7 April 1960.

Dengan bantuan teknis dan pinjaman dari Jepang, Permina menggali sumur-sumur minyak baru, membuat format kebijakan perminyakan, dan membangun armada tanker. Pencapaian itu tak lepas dari dukungan Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Chaerul Saleh, yang berprinsip sama dengan Ibnu Sutowo: mengakhiri konsesi. Chaerul Saleh pula yang berperan penting bagi penunjukan Ibnu Sutowo ke kursi menteri urusan minyak dan gas bumi dalam Kabinet Dwikora II.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Dengan bantuan teknis dan pinjaman dari Jepang, Permina menggali sumur-sumur minyak baru.</div>

Pada Juni 1962, kontrak pertama Permina sebagai perusahaan negara terjalin dengan Pan America, pendatang baru yang menjadi anak perusahaan Indiana Standard. Sementara tiga perusahaan minyak raksasa: Shell, Stanvac, dan Caltex, masih belum sepaham dengan sistem bagi hasil, terutama karena perbedaan pendapat soal pembagian keuntungan, yang dinegosiasikan pemerintah Indonesia sejak 1960 dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden No. 476 tahun 1961.

Permina bisa mengembangkan sayapnya ketika pemerintah mengakhiri hak konsesi yang dimiliki sejumlah perusahaan pertambangan multinasional seperti Shell, Stanvac, dan Caltex. Melalui persetujuan di Tokyo pada 1 Juni 1963, Caltex, Stanvac, dan Shell menyerahkan konsesi mereka kepada pemerintah Indonesia dan hanya bekerja sebagai kontraktor dengan skema kontrak karya. Khusus untuk Permina, perjanjian dilakukan dengan Stanvac. Pengukuhan ini ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1963.

Dalam perjanjian, ketiga perusahaan raksasa itu mendapat jaminan untuk melakukan penggalian selama 20 tahun untuk tambang minyak tua dan 30 tahun untuk tambang baru serta hak eksplorasi selama 20 tahun.

“Pada 1964, secara keseluruhan prospek perusahaan-perusahaan minyak asing di Indonesia lebih cerah dibandingkan dengan satu abad sebelumnya,” tulis Mudrajad Kuncoro dalam Transformasi Pertamina. Perusahaan-perusahaan itu memperoleh ladang-ladang minyak baru.

Namun, situasi dalam negeri memanas. Muncul tuntutan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Proyek pembentukan Federasi Malaya yang didukung Inggris, perusahaan Shell menjadi sasaran. Akibatnya, Shell menutup operasinya di Indonesia dan kemudian menjual semua asetnya kepada Permina. Stanvac mengurangi operasinya dan akhirnya menjual kilang minyaknya kepada pemerintah Indonesia. Praktis, di pengujung kekuasaan Sukarno, hanya menyisakan Caltex.

Penandatanganan kontrak bagi hasil antara PN Pertamina dan PT Caltex Pacific Indonesia dan antara PN Pertamina dan Calasketic/Tapco di Departemen Pertambangan, Jakarta, 9 Agustus 1971. (Perpusnas RI).

Negara dalam Negara

Muncul tudingan bahwa Ibnu Sutowo membangun Permina guna kepentingan pribadi –tudingan sama menerpa para perwira yang memegang jabatan di berbagai perusahaan negara.

Korupsi di Permina terendus Operasi Budhi, lembaga pemberantasan korupsi di bawah Nasution. Namun, Ibnu Sutowo dan jajaran direksi berlindung di belakang nama Presiden Sukarno. Ketika petugas Operasi Budhi hendak memeriksanya, mereka tak hadir dengan dalih mendapat perintah presiden ke luar negeri.

Ketika Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), pengganti Operasi Budhi, dibubarkan pada 1964, korupsi di Permina kian menggila. Namun, ia tetap melenggang. Terlebih lagi, setelah Soeharto berkuasa, Ibnu Sutowo menjadi menteri minyak dan gas bumi.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Korupsi di Permina terendus Operasi Budhi, lembaga pemberantasan korupsi di bawah Nasution.</div>

Naiknya Orde Baru, yang didukung Amerika Serikat, memulihkan kepercayaan perusahaan-perusahaan asing. Shell menawarkan pinjaman sebesar US$30 juta kepada Permina, yang memungkinkan Permina melakukan eksplorasi. Atas dorongan Ibnu Sutowo, pada 20 Agustus 1968 Soeharto mengeluarkan satu dekrit yang isinya perintah penggabungan Permina yang bergerak di bidang produksi dengan Pertamin yang bergerak di bidang pemasaran. Perusahaan gabungan itu dinamakan PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina). Hukum memberikan Pertamina kekuatan untuk menegosiasikan semua kontrak dengan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.

Dengan cepat, terlebih di tengah boom minyak, Pertamina menjadi besar. Dan kembali Pertamina mendapat kritikan, dari soal pembelian kapal tanker hingga penjualan minyak mentah. Soeharto membiarkan Pertamina berjalan tanpa pengawasan. Toh, Pertamina merupakan tulang punggung pendapatan negara. Ibnu Sutowo pun bisa bebas meneken utang dari berbagai pihak.

Pertamina berubah jadi “negara dalam negara”, yang membuat Indonesia terjerat utang sangat besar dan kelak menjatuhkan Ibnu Sutowo sendiri.

Ibnu Sutowo (tengah) bersama Donald Todd (memegang topi), pengusaha asal Amerika Serikat, saat Presiden Soeharto memberikan sambutan dalam peresmian lapangan minyak lepas pantai pertama di Indonesia tahun 1971. (Repro Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi).

Korupsi di Pertamina

Kasus dugaan korupsi di Pertamina bermula dari investasi modalnya ke sejumlah bidang usaha di luar minyak dan gas. Investasi itu merentang dari hotel, restoran, biro perjalanan, sampai persewaan pesawat terbang di luar negeri pada 1969. Investasi ini mengeluarkan biaya sebesar Rp3,5 miliar dan US$600 ribu. Tapi yang tercatat hanya Rp153 juta dan US$132 ribu.

Harian Indonesia Raya mengendus ketidakberesan kebijakan investasi dan ketiadaan pengawasan keuangan di Pertamina, termasuk hasil kontrak Pertamina dengan perusahaan minyak asing.

Indonesia Raya melaporkan hal-hal janggal di Pertamina secara berkala sejak November 1969. Misalnya, laporan pada 22 dan 24 November 1969. Laporan tersebut menyoroti posisi dominan Letnan Jenderal TNI Ibnu Sutowo sebagai direktur Pertamina dan ketiadaan inventarisasi kekayaan Pertamina.

Kasus dugaan korupsi di Pertamina kian kentara ketika Komisi Empat mengeluarkan laporan tentang Pertamina pada Juli 1970. Komisi Empat merupakan komisi ad hoc yang bertugas memberikan saran dan kajian terhadap kebijaksanaan pemberantasan korupsi pemerintah.

“Kompleksnya kegiatan-kegiatan perminyakan seperti eksplorasi, eksploitasi pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan pemasaran, juga dalam hubungannya dengan berpuluh-puluh perusahaan asing, memberikan lapangan yang sangat luas bagi kesempatan korupsi,” kata Wilopo, ketua Komisi Empat dalam Ekspres, 26 Juli 1970.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana.</div>

Laporan Komisi Empat juga menyoroti Ibnu Sutowo. Komisi Empat meminta Ibnu Sutowo melepas sejumlah jabatannya agar berkonsentrasi memperbaiki Pertamina.

Sorotan terhadap Ibnu Sutowo juga datang dari Indonesia Raya. Harian ini memuat pertanyaan-pertanyaan menohok tentang pengelolaan Pertamina di bawah Ibnu Sutowo. Tak ada jawaban memuaskan dari Pertamina atas pertanyaan Indonesia Raya.

J.B. Sudarmanto dalam biografi I.J. Kasimo, anggota Komisi Empat, menyebut bahwa Komisi Empat mengemukakan bahwa PN Pertamina tidak berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945. Komisi Empat juga menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh PN Pertamina. “Di antara kelalaian PN Pertamina yang utama ialah kelemahannya dalam mengadakan budget control,” tulis Sudarmanto dalam Politik Bermartabat.

Komisi Empat mencurigai Ibnu Sutowo telah memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respons pemerintah Orde Baru. “Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya hanya dinyatakan [sebagai] hasil salah manajemen atau salah urus,” tulis Sudarmanto.

Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970. Komisi Empat hanya berhasil menyeret satu orang pegawai Pertamina ke pengadilan pada Mei 1970. Dakwaannya berupa penggelapan uang negara sebesar Rp5,5 juta. Sedangkan Ibnu Sutowo lepas dari segala tuduhan. Ia berhenti menjabat direktur utama Pertamina pada 3 Maret 1976 setelah Pertamina berutang mencapai US$4 miliar.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6408783d1004c54f0630c8a3