“GARIS-garis cukilan kayu Wen Peor adalah garis-garis pemberontakan seorang seniman…,” catat JJ Kusni, penyair yang pernah gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam arsip surel berjudul “Surat Sutera Putih: Menyertai Kepergian Pelukis Wen Peor”.
Sebagaimana Kusni, Wen Peor disebut-sebut pernah aktif di Lekra, yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Peristiwa 1965, seniman Tionghoa ini memutuskan pergi ke Tiongkok dan menghidupkan kembali reputasinya sebagai seorang pelukis.
Kampung halamannya adalah Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Sedangkan nenek moyangnya berasal dari Tai Yuan, Shan Xi. Namun, Wen Peor lahir di Bukittinggi, Padang, Sumatra Barat, pada 28 Desember 1920.
“GARIS-garis cukilan kayu Wen Peor adalah garis-garis pemberontakan seorang seniman…,” catat JJ Kusni, penyair yang pernah gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam arsip surel berjudul “Surat Sutera Putih: Menyertai Kepergian Pelukis Wen Peor”.
Sebagaimana Kusni, Wen Peor disebut-sebut pernah aktif di Lekra, yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Peristiwa 1965, seniman Tionghoa ini memutuskan pergi ke Tiongkok dan menghidupkan kembali reputasinya sebagai seorang pelukis.
Kampung halamannya adalah Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Sedangkan nenek moyangnya berasal dari Tai Yuan, Shan Xi. Namun, Wen Peor lahir di Bukittinggi, Padang, Sumatra Barat, pada 28 Desember 1920.
Wen Peor belajar melukis secara otodidak. Setelah lulus sekolah dasar Tionghoa di Padang, dia masuk sekolah menengah Guangya di Guangzhou dan kemudian sekolah menengah yang berafiliasi dengan Universitas Jinling di Nanjing.
“Di bawah bimbingan pelukis cat air Mei Yutian, ia secara bertahap membentuk gaya seninya sendiri,” catat wenweipo.com. Mei Yutian pula yang menempa Lee Man Fong, pelukis terkemuka Indonesia yang kelak jadi pelukis istana.
Sayangnya, Wen Peor tak punya kesempatan masuk sekolah seni. Dia harus belajar mandiri.
“Saya tidak pernah berkesempatan pergi ke institut seni mana pun untuk mendapatkan pelatihan profesional, dan saya juga tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti master mana pun. Untuk membangun jalur karier seni, saya hanya bisa mengandalkan kerja tangan dan usaha saya sendiri...,” ujar Wen Peor dalam pengantar bukunya, Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works (2001).
Kampung Halaman
Lulus sekolah menengah di Tiongkok tahun 1938, Wen Peor kembali ke Indonesia dan mengajar di sekolah Tionghoa di Sawahlunto, Sumatra Barat. Dia sempat ditahan oleh tentara Belanda karena melumuri toko-toko Jepang dan yang pro-Jepang dengan kotoran. Saat itu toko dan barang-barang Jepang membanjiri Hindia Belanda. Pemerintah kolonial sebenarnya juga tak suka tapi terpaksa berunding dengan Jepang.
Pada 1941, Wen Peor merantau ke Jakarta. Dia bekerja sebagai pembuat poster di biro reklame terkemuka TATI –komikus Ganes Th juga bekerja di sana. Setahun kemudian dia mulai menekuni seni lukis.
Namun, situasi berubah. Jepang menduduki Indonesia. Pada 1943, Wen Peor ditahan selama tiga bulan saat sedang membuat sketsa di Cicurug, sebuah wilayah di Sukabumi, Jawa Barat.
“Saya dicurigai mengumpulkan informasi militer dengan membuat peta strategi...,” ujar Wen Peor.
Setelah Indonesia merdeka, Wen Peor bisa melanjutkan aktivitas berkeseniannya. Ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, dia ikut hijrah dan bergabung dengan kelompok Pelukis Rakjat, yang kemudian bersentuhan dengan Lekra, bentukan Hendra Gunawan dan Affandi. Teknik melukisnya kian terasah.
Pada 1947, Wen Peor kembali ke Jakarta dan memimpin kelompok seni dari organisasi sosial Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru). Dia juga mulai berani menggelar pameran bersama pelukis Tionghoa lainnya.
Sin Ming Hui diprakarsai oleh beberapa orang Tionghoa yang prihatin dan peduli atas penderitaan orang-orang Tionghoa akibat pendudukan Jepang. Perkumpulan ini didirikan 20 Januari 1946 dan menempati kantor suratkabar Sin Po di Jalan Asemka, Jakarta.
Kendati hanya dua tahun memimpin, Wen Peor tetap membantu kegiatan-kegiatan Sin Ming Hui. Misalnya, kala pementasan “Taufan” yang disutradarai oleh Steve Liem (Teguh Karya) di Gedung Kesenian Jakarta, 19–20 September 1959. Wen Peor terlibat sebagai penata artistik. Pementasan itu dinilai memuaskan, baik dari sisi penyutradaraan maupun pemain-pemainnya. Penataan artistiknya pun menuai pujian.
“Pada akhirnya dekorasi yang artistik, buah tangan dari Wen Peor, pelukis yang terkenal itu, yang tidak saja menaruh perhatian pada bagian-bagian bawah dekorasi melainkan juga sampai kepada lelangit (flapond) daripada sesuatu set ... tidak sedikit membantu mempertinggi nilai pementasan,” ulas majalah Star Weekly, 26 September 1959.
“Teknis ‘Taufan’ berhasil baik dan berjalan baik. Terutama pada permulaan babak IV tata cahaya (Piet The M Burnama) memberi andil indah kepada dekor indah (dan mahal) yang mana perencanaannya adalah tepat di tangan Wen Peor, dan pelaksanaannya cakap,” ulas majalah Aneka, 1 Oktober 1959.
Pada akhirnya Wen Peor menemukan wadah yang tepat untuk berkreasi. Pada 1950-an, dia ikut mendirikan Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) yang diketuai oleh Lee Man Fong. Kelahiran Yin Hua terinspirasi oleh Sin Ming Hui.
Yin Hua rutin menggelar pameran dan Wen Peor terlibat di dalamnya. Salah satu karya Wen Peor berjudul “Terang Bulan di Kampung Halaman” dipilih menjadi salah satu koleksi Presiden Sukarno.
Dalam Other Sides of the Presidential Palaces of the Republic of Indonesia and Its Art Collection, Agus Dermawan T. menyebut bahwa lukisan “Terang Bulan” dibeli dalam pameran Yin Hua yang digelar di Chineesche Handels Vereeniging (yang kemudian dikenal sebagai gedung Candra Naya), di Jalan Gajah Mada, kawasan Jakarta Kota.
“Lukisan ini, walaupun dikerjakan di Indonesia, yang digambarkan adalah pemandangan di kawasan Tiongkok. Bung Karno tahu itu, dan tidak peduli. Apalagi dalam benaknya sedang tersemat wacana politik ‘Poros Jakarta-Peking’ yang intinya membina persahabatan antara rakyat Indonesia dan rakyat Tiongkok. Sehingga kampung Wen Peor adalah kampung Bung Karno juga,” catat Agus Dermawan.
Dekat Lekra
Wen Peor kerap mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Lekra. Salah satunya keikutsertaannya dalam pameran yang digelar Lekra di Gedung Wisma Nusantara pada 16–21 Januari 1959. Pameran ini menghadirkan sekira 140 karya dari 66 pelukis dengan aneka ragam warna, gaya, dan corak. Selain Wen Peor, para pelukis yang terlibat antara lain Affandi, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan Lee Man Fong.
Wen Peor juga dikenal karena kesediaannya membantu seniman-seniman muda. Dia tercatat memberikan bantuan kepada seniman-seniman Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta.
Sanggar Bumi Tarung didirikan tahun 1961 oleh Amrus Natalsya bersama sejumlah mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Sebagai mahasiswa, mereka belum bisa hidup dari karya. Namun, berkat uluran tangan Wen Poer, hampir semua anggota Sanggar Bumi Tarung tak lagi bergantung pada kiriman orangtua.
Wen Poer memberikan bantuan material maupun moral kepada para seniman muda yang kurang mampu, mulai dari membeli karya mereka, mengenalkan kepada kawan-kawan kolektornya, hingga memberi dana untuk menyelenggarakan pameran.
Alasan Wen Peor pun terbilang sederhana. Dicatat Hairus Salim dan Hajriansyah dalam Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik Seni, Wen Peor semata-mata ingin membuat para seniman muda yang kurang mampu ini agar tetap eksis.
Sanggar Bumi Tarung kemudian menyatakan diri sebagai anggota Lembaga Seni Rupa (Lesrupa) yang adalah organ Lekra. Ketika kantor Pengurus Pusat Lesrupa di Jakarta mendapat kunjungan dari seniman-seniman Jepang, Wen Peor ikut hadir. Saat itu, untuk memeriahkan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), tandingan Olimpiade, seniman-seniman Lekra dan disusul Jepang menggelar pameran di tempat dan waktu berbeda.
Wen Peor juga kerap berpartisipasi dalam pameran yang digelar oleh Lekra. Misalnya, pameran seni grafika di Paviliun Hotel Duta Indonesia pada 18–28 Agustus 1964 yang digelar oleh Lekra bersama Lesrupa dengan tema Dwikora dan Gerakan Tani. Wen Peor memamerkan empat karya cukil kayunya, bersanding dengan maestro seni cukil kayu dan seniman-seniman sanggar yang berafiliasi dengan Lekra seperti Suromo DS, Ng. Sembiring, Suhardjija Pudjanadi, dan Kusmuljo.
Dalam reportasenya berjudul “Sedikit Tjatatan dari: Pameran Nasional Seni Grafik Lembaga Senirupa Indonesia LEKRA-Lesrupa” di Harian Rakjat Minggu, 23 Agustus 1964, Misbach Tamrin menyebut Wen Peor tampil sebagai pelukis yang punya banyak pengalaman dan penuh ketekunan, sehingga karya-karyanya memiliki mutu estetika yang tinggi.
Karya Wen Peor, lanjut Tamrin, seluruhnya bertema kaum tani yang berlawan dan berjuang untuk membebaskan diri dari rantai penghisapan feodalisme di desa. “Petani dilukiskannya sebagai tokoh yang perkasa dan dominan, tidak saja selalu tampak megah, tegak berdiri di atasnya, tapi juga memiliki kesanggupan yang besar untuk meruntuhkan sistem lama yang masih bercokol.”
Karya-karya cukil kayu Wen Peor juga ditampilkan dalam koran Harian Rakjat (HR) Minggu maupun Zaman Baru, media resmi Lekra, tahun 1964. Secara berturut-turut HR Minggu memuat “Mengganjang Tudjuh Setan Desa” (16 Agustus 1964), “Petani dan Tanah” (30 Agustus 1964), “Petani” (6 September 1964), dan “Kami Telah Bangkit”(27 Desember 1964)
Menurut Michael Bodden dalam “Lekra Woodcut in the Early 1960s: Socialist Realism, National Culture, and Cosmopolitan Patriots”, jurnal Indonesia Vol. 106, Oktober 2018, karya-karya cukil kayu Wen Peor menjadi contoh sempurna untuk menunjukkan sikap Lekra yang ingin meneruskan tradisi dengan perhatian khusus pada buruh tani dan petani kecil. Namun, kendati berkomitmen pada tema-tema semacam itu, Wen Peor menggunakan unsur dan motif tradisi dalam karya-karyanya seperti penggunaan jarik dan sarung batik.
Wen Peor juga membantu Jajasan Kebudajaan Sadar, penerbit buku Lekra. Dia kerap membuat ilustrasi dan sampul buku, kebanyakan buku cerita bergambar, terbitan Sadar maupun penerbit lain.
Beberapa karya Wen Peor antara lain Radja Bersin (1961), Tjinta Kasih Seorang Gadis (1962), Pantja Sila anti Rasialisme (1962), Kamus Singkatan Bahasa Indonesia (1962), Si Tjebol Berhidung Pandjang (1963), Pilihan Tjerpen Lu Xun (1963), Kisah-kisah Mao Tje-tung (1963), Dari Sabang hingga Merauke: Kumpulan Lagu-lagu Indonesia (1963), Si Sapar (1964), dan Banju Wangi (1965). Buku pidato Presiden Sukarno Tahun Vivere Pericoloso tahun 1964 yang diterbitkan dalam bahasa Mandarin pun mendapat sentuhan Wen Peor pada sampulnya.
Kedekatannya dengan seniman-seniman kiri membuat nasib Wen Peor menjadi pelik setelah meletus Peristiwa G30S tahun 1965. Demi alasan keamanan, dia memutuskan pergi ke Tiongkok. Di sana dia tetap berkarya sebagai pelukis Akademi Seni Lukis Guangdong.
Setelah pensiun, Wen Peor menghabiskan masa tuanya di Hong Kong hingga menghembuskan napas terakhir pada 18 Maret 2007.*
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya.