Dari Rehabilitasi Sampai Oposisi

Tergiur janji-janji perbaikan, sejumlah bekas PSI membantu Soeharto. Malari melempar mereka dari kekuasaan.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Dari Rehabilitasi Sampai OposisiDari Rehabilitasi Sampai Oposisi
cover caption
Pemakaman Sutan Sjahrir. (Perpusnas RI).

PERASAAN Soebadio Sastrosatomo campur aduk di hari pemakaman Sutan Sjahrir, 19 April 1966. Dia sangat sedih dan terpukul atas wafatnya Sjahrir. Tapi dia juga merasa hari-hari depan para penentang Sukarno bakal cerah. “Di situ ada perasaan pada saya, kita menang,” kata Soebadio kepada Rosihan Anwar dalam Pengemban Misi Politik

Firasat Soebadio tepat. Kekuasaan Sukarno melemah. Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik mulai tampil sebagai pengambil keputusan. Mereka menyetujui pembebasan para tahanan politik pada Mei 1966. Sebagian beroleh kebebasan penuh, lainnya masih berstatus stad arrest (tahanan kota) seperti Soebadio. Artinya dia boleh pulang ke rumah, tapi dilarang meninggalkan Jakarta. 

Keluar dari penjara, Soebadio menemui Djohan Sjahroezah, Djoeir Moehamad, dan Nurullah. Mereka menduga kehidupan politik bakal membaik. Dan ini saatnya berbicara soal rehabilitasi PSI. Mereka sepakat mengajak Adam Malik, Sukarni, dan Djajoesman dari Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) untuk berjuang bersama. Sebab, Murba bernasib hampir serupa PSI. Pemerintah membekukan Murba pada September 1965. 

PERASAAN Soebadio Sastrosatomo campur aduk di hari pemakaman Sutan Sjahrir, 19 April 1966. Dia sangat sedih dan terpukul atas wafatnya Sjahrir. Tapi dia juga merasa hari-hari depan para penentang Sukarno bakal cerah. “Di situ ada perasaan pada saya, kita menang,” kata Soebadio kepada Rosihan Anwar dalam Pengemban Misi Politik

Firasat Soebadio tepat. Kekuasaan Sukarno melemah. Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik mulai tampil sebagai pengambil keputusan. Mereka menyetujui pembebasan para tahanan politik pada Mei 1966. Sebagian beroleh kebebasan penuh, lainnya masih berstatus stad arrest (tahanan kota) seperti Soebadio. Artinya dia boleh pulang ke rumah, tapi dilarang meninggalkan Jakarta. 

Keluar dari penjara, Soebadio menemui Djohan Sjahroezah, Djoeir Moehamad, dan Nurullah. Mereka menduga kehidupan politik bakal membaik. Dan ini saatnya berbicara soal rehabilitasi PSI. Mereka sepakat mengajak Adam Malik, Sukarni, dan Djajoesman dari Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) untuk berjuang bersama. Sebab, Murba bernasib hampir serupa PSI. Pemerintah membekukan Murba pada September 1965. 

Orang-orang PSI dan Murba bertemu beberapa kali. Adam Malik melontarkan wacana kemungkinan pembentukan partai baru hasil fusi PSI dan Murba. Gagasannya bersambut. “Pembentukan fusi kedua partai itu sudah disetujui. Namanya Partai Sosialis Pancasila,” kata Djoeir Moehamad dalam Memoar Seorang Sosialis

Mereka bahkan sudah merumuskan garis perjuangan, program politik, dan struktur organisasi. Langkah terakhir tinggal meminta persetujuan Sukarno. Tiba-tiba Sukarni menemui Sukarno lebih awal, tanpa mengajak orang-orang PSI. “Hanya untuk memperjuangkan rehabilitasi Partai Murba,” kata Djoeir.

Karuan orang-orang PSI marah. Adam Malik juga. Dia merasa ditelikung karena tak tahu Sukarni bertemu Sukarno. “Wah, memang ini sudah tidak benar. Saya tak bisa terima. Saya keluar saja dari Murba,” kata Adam Malik kepada Djoeir. Gagasan fusi pun buyar. 

Kiri-kanan: Soedjatmoko, Djoeir Moehamad dan Soebadio Sastrosatomo. (Repro Memoar Seorang Sosialis).

Orang-orang PSI mulai berjuang sendiri. Tapi perjuangan mereka menabrak tembok kokoh barisan perwira AD. Menurut Ulf Sundhaussen, dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967, AD tak puas hanya berperan di bidang militer. Mereka juga ingin berperan secara dominan di bidang politik. Mereka menyebut konsep ini sebagai Dwi Fungsi ABRI. 

AD tak menghendaki kehidupan politik bertabur ideologi seperti masa demokrasi parlementer. Mereka menarik garis pemisah antara zaman lalu dan kini. Maka mereka memperkenalkan Orde Baru. 

AD mendukung pemilihan umum (pemilu) asalkan bertujuan menciptakan stabilitas politik dan menghilangkan pertentangan ideologis. Gagasan ini beroleh dukungan. “Angkatan Darat mendapatkan persetujuan partai-partai untuk membuat keputusan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) berikutnya yang mengatur ‘penyederhanaan’ partai-partai, organisasi-organisasi massa dan golongan fungsional,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia

MPRS mengokohkan dukungannya melalui ketetapan No. XXII/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966 tentang penyederhanaan kehidupan politik. Ketetapan itu mengakhiri cita-cita rehabilitasi PSI. “Rekan-rekan saya dari PSI sejak itu berpendapat tidak usah dan tidak perlu mengajukan permohonan agar PSI direhabilitasi pula,” kata Djoeir. Djohan kini malah berkesimpulan bahwa militer bakal mendominasi pemerintahan melalui konsep Dwi Fungsi ABRI. 

Soedjatmoko menemukan negaranya telah dikendalikan dengan pemikiran tunggal ke arah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.

Membangun Orde Baru

Soebadio juga mulai meragukan masa depan rehabilitasi PSI. Dia segera mengubah strategi berjuang. Dia fokus memulihkan hak-hak individu bekas PSI. Orde Baru membuka jalan bagi perjuangan Soebadio. Sebab mereka punya sikap mendua: bersikap keras terhadap PSI sebagai organisasi dan bersikap agak lunak terhadap individu bekas PSI. 

Soeharto tak keberatan orang-orang itu punya hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Yang penting orang-orang itu tidak menuntut pendirian PSI lagi. “...Anggota-anggota bekas Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi boleh memasuki parpol lainnya, malah menjadi pengurus pun boleh. Hak-hak mereka sebagai warga negara tidak berkurang, sehingga karenanya mereka berhak memilih dan dipilih dalam pemilu,” tulis Kompas, 16 Mei 1967. 

Selain memberi hak politik bagi bekas PSI, Soeharto juga merangkul mereka untuk bersama membangun Orde Baru. Ali Moertopo, penasihat terkemuka Soeharto, menemui Sumitro Djojohadikusumo di Bangkok pada awal 1967. Dia membawa pesan dari Soeharto untuk mengajak Sumitro pulang ke Indonesia. Terdorong keinginan memperbaiki masalah ekonomi, Sumitro menerima tawaran itu. Dia kembali ke Indonesia pada Mei 1967 secara diam-diam. 

Kedatangan Sumitro terendus pewarta. Mereka menemui Sumitro dan bertanya, “apakah kedatangan anda untuk membantu rehabilitasi PSI?” 

Sumitro menjawab diplomatis. “Saya datang atas kemauan sendiri untuk turut menyumbangkan tenaga dan pengalaman saya bersama tenaga-tenaga konstruktif dari semua aliran dalam masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah besar yang dihadapi,” dikutip Kompas, 15 Juli 1967. 

Sumitro kehilangan ketertarikan pada perjuangan melalui partai. “Sumitro merasa PSI bisa berpengaruh luas dan bersuara lantang dengan menempatkan orang-orang di posisi kunci pemerintahan,” tulis David Ransom dalam “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”. 

Sumitro bahkan sama sekali tak menyinggung soal PSI ketika bertemu Soeharto pada 29 Mei 1968. Soeharto kian sreg dengan Sumitro. Maka dia memberi Sumitro jabatan sebagai menteri perdagangan pada 6 Juni 1968. Menurut Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Sumitro ketiban tugas berat. Dia mesti meningkatkan nilai ekspor, mencari cadangan devisa, dan menekan perdagangan ilegal. 

Sumitro bekerja memulihkan ekonomi dengan sejumlah penasihat Soeharto di bidang ekonomi seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Subroto, dan Barli Harlim. Mereka lulusan Universitas California, Berkeley. Mereka dan Sumitro sepakat bahwa komponen penting perbaikan ekonomi terletak pada pinjaman, modal luar negeri, dan stabilitas politik. 

Sumitro Djojohadikusumo berpidato dalam rapat umum PSI di Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955. (Perpusnas RI).

Mereka mengincar pinjaman dan modal dari Amerika Serikat (AS). Sebab mereka berkawan baik dengan sejumlah lembaga-lembaga donor di sana melalui tempaan Universitas California, Berkeley. Lagi pula di AS ada Soedjatmoko sebagai duta besar sejak April 1968. 

Soedjatmoko sosok mumpuni untuk meyakinkan AS agar menanam modalnya di Indonesia. Dia gemar membaca buku dan tertarik pada perkembangan ilmu pengetahuan sehingga cukup bisa bergaul dengan tokoh-tokoh terkemuka AS. 

Soedjatmoko memperkenalkan Orde Baru kepada publik AS sebagai pemerintahan penuh masa depan, menjunjung demokrasi, dan antikorupsi. Bukan sebagaimana lazimnya pandangan publik AS bahwa Orde Baru bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan orang komunis, penguasa tiran, dan sarang koruptor. 

“Soedjatmoko berusaha menanamkan pandangan bahwa Indonesia sudah memulai suatu babak baru dalam sejarahnya... lain sama sekali daripada sebelumnya,” tulis Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual. Maka Soedjatmoko aktif mengunjungi kota-kota kecil, bertemu Presiden Nixon, berdiskusi dengan para senator dan anggota DPR AS, berbicara di depan kampus, dan hadir di pertemuan forum dagang AS. 

“Saya dikirim kemari untuk menjelaskan kepada tuan, kalau ingin menjalin business dengan Indonesia tidak perlu lewat jalur belakang,” kata Soedjatmoko di hadapan forum dagang AS. Usahanya cukup berhasil. Presiden Nixon dan publik AS mulai tertarik dengan Indonesia. Soedjatmoko melaporkan perkembangan ini ke Soeharto. 

Soeharto sangat senang menerima laporan Soedjatmoko. Apalagi situasi politik dalam negeri kian stabil. Intelektual bekas PSI, seperti Soemarno, bahkan mendukung penyederhanaan kehidupan politik. “Kita ingin mendepolitisasikan kesatuan aksi atau organisasi massa, dalam artian bahwa mereka tidak lagi menjalankan politik taktik sesuatu partai,” tulis Soemarno dalam “Sistem Dua Partai”, termuat di Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965–1990 suntingan David Bourchier dan Vedi R. Hadiz. 

Sejumlah pemimpin mahasiswa anti-Sukarno, seperti Rahman Tolleng, menyokong Orde Baru dengan masuk DPR-GR hasil rombakan Soeharto. Mereka terlibat dalam perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu 1971. Kerja mereka rampung pada 22 November 1969 ketika RUU sah menjadi Undang-Undang (UU). Melalui UU Pemilu, Orde Baru berhasil mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Jumlahnya tak lebih dari 10. Termasuk satu golongan fungsional alias Golkar. 

Bersama munculnya stabilitas politik, hujan investasi AS turun deras. Orde Baru menyebar limpahan investasi itu ke hampir seluruh Indonesia. Freeport mendapat tambang emas di Papua, International Nickel kebagian nikel di Sulawesi, Alcoa boleh mencari Bauksit di sebagian besar wilayah Indonesia, dan Natomas dan Atlantic-Ricfield meraih konsesi minyak seluas 21.000 mil persegi di sebelah Timur Jawa. “Indonesia adalah hadiah terbesar di wilayah Asia Tenggara,” kata Presiden Nixon. 

Berturut-turut masuk pula modal dari Eropa dan Jepang ke Indonesia. Menurut David Ransom, mereka mewujud dalam perusahaan kayu, elektronik, perusahaan penangkapan ikan, dan otomotif. 

Pengunjuk rasa dalam peristiwa Malari menjungkirbalikkan mobil di depan pertokoan di Senen, Jakarta Pusat, 1974. (Repro Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74).

Kehancuran PSI

Orde Baru kokoh dan bergerak di atas modal luar negeri dan stabilitas politik. Soeharto puas. Tapi individu bekas PSI tidak. Mereka melihat ada ketidakberesan: benih kekuasaan korup lagi tiran mulai muncul. 

Sumitro beberapa kali menemukan penyimpangan Orde Baru. Pernah suatu kali Soedjono Hoemardani, penasihat pribadi Soeharto, meminta Sumitro agar menyerahkan kuota kopi ke orang-orang terdekatnya. Kali lain, Sumitro kena damprat Ibu Tien, istri Soeharto, lantaran menolak menyerahkan kuota cengkeh ke kerabatnya. “Ibu Tien marah-marah sampai memaki-memaki Sumitro dan bahkan menyebut-nyebut nama PSI,” tulis Hendra dan Heru. 

Rahman Tolleng juga berbalik sikap pada Orde Baru. Padahal semula dia berniat memperbaiki keadaan politik dari dalam. Maka dia masuk Golkar. Alasan Tolleng sederhana. “Tidak mendukung Golkar berarti membiarkan tentara terlibat langsung dalam konfrontasi melawan partai-partai politik,” tulis Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. Ternyata Golkar berlaku kotor untuk mencapai kemenangan di Pemilu 1971. Bekas rekan-rekan Tolleng di GMS bahkan menyebut Golkar sebagai “buldozer politik”. 

Soedatmoko tiba di Indonesia pada 11 Agustus 1971, usai pemilu. Seperti bekas PSI lainnya, Soedjatmoko kecewa. “Soedjatmoko menemukan negaranya telah dikendalikan dengan pemikiran tunggal ke arah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik,” tulis Nursam. 

Di luar lingkaran kekuasaan, Soebadio dan Sarbini justru sudah melawan Orde Baru. Soebadio menggunakan acara diskusi mahasiswa untuk mengkritik Orde Baru. Sedangkan Sarbini terang-terangan menyerang Orde Baru melalui perkuliahannya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI). “Kelemahan yang menonjol adalah tidak adanya kebebasan demokrasi, dan yang paling lemah adalah tidak adanya keadilan dan pemerataan,” kata Sarbini dalam Kerakyatan

Ali Moertopo mencium laku kritis bekas PSI. Dia menilai mereka sebagai gangguan bagi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Dia terus membisiki Soeharto agar mewaspadai mereka. 

Ali juga menyusun strategi lain. Memanfaatkan protes mahasiswa terhadap modal Jepang di Indonesia, dia menuduh bekas PSI sebagai penunggang gerakan mahasiswa. Kemudian kerusuhan Malari pecah di Jakarta pada 15 Januari 1974. Ali mengarahkan tuduhan ke bekas PSI. Militer bergerak menangkapi mereka. Soebadio, Sarbini, dan Rahman masuk penjara. Soedjatmoko lolos. 

Sekarang Orde Baru bersikap keras terhadap label PSI. Bukan cuma partainya, tapi juga orangnya. Orang-orang PSI terlempar dari kekuasaan. Mereka memilih jadi oposisi lagi.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65b1fc9d835356cf0c7407c0