Dari Seria untuk Sri Paduka Baginda

Perjuangan rakyat Brunei untuk kejayaan negerinya pupus akibat ulah segelintir orang yang menggunting dalam lipatan dan siasat kolonialis yang sarat kelicikan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Dari Seria untuk Sri Paduka BagindaDari Seria untuk Sri Paduka Baginda
cover caption
A.M. Azahari, pendiri Partai Rakyat Brunei. (Dok. Pramudya Ardanta Taufik/Historia.ID).

ARDANTA Taufik, dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta, masih ingat kala bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer berkunjung ke rumah A.M. Azahari di Bogor pada 1997. Azahari kaget lantaran selama ini jarang ada orang berkunjung ke rumahnya. “Kaget juga dia. Apalagi yang datang tokoh penting. Pramoedya Ananta Toer itu kan disegani,” ujarnya kepada Historia.

Pram hendak mewawancarai Azahari untuk proyek penulisan buku. Ardanta membantunya, termasuk mencarikan alamat Azahari –Pram menjadi ayah angkatnya, dan Ardanta menambahkan kata “Pramudya” di depan namanya.

Kepada Azahari, Pram berterus terang: “Saya mau buat buku. Namanya Meteor di Khatulistiwa.”

ARDANTA Taufik, dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta, masih ingat kala bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer berkunjung ke rumah A.M. Azahari di Bogor pada 1997. Azahari kaget lantaran selama ini jarang ada orang berkunjung ke rumahnya. “Kaget juga dia. Apalagi yang datang tokoh penting. Pramoedya Ananta Toer itu kan disegani,” ujarnya kepada Historia.

Pram hendak mewawancarai Azahari untuk proyek penulisan buku. Ardanta membantunya, termasuk mencarikan alamat Azahari –Pram menjadi ayah angkatnya, dan Ardanta menambahkan kata “Pramudya” di depan namanya.

Kepada Azahari, Pram berterus terang: “Saya mau buat buku. Namanya Meteor di Khatulistiwa.”

Menurut Ardanta, pada pertemuan kedua, Pram tak bisa ikut karena tak enak badan. Ardanta terpaksa melakukan wawancara sendirian.

Azahari, politisi asal Brunei merupakan bekas ketua umum Partai Rakyat Brunei, menjadi pelarian di Indonesia. Indonesia bukanlah tempat yang asing baginya. Dia pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang menginspirasinya untuk melakukan hal serupa di tanah airnya. Sepulang dari Indonesia, bersama Yassin Affandi atau Ahmad Zaidi, dia mendirikan Partai Rakyat Brunei (PRB) pada 1956.

Brunei menjadi protektorat Inggris sejak 1888. Melalui PRB, Azahari ingin mewujudkan sebuah negara merdeka yang demokratis melalui kembalinya kejayaan Kerajaan Brunei Darussalam di masa lalu –yang meliputi Sabah dan Serawak. Bentuk pemerintahannya monarki konstitusional seperti Inggris atau Australia. Impian Azahari begitu dekat ketika PRB memenangi pemilihan umum 1962. Kans untuk menyalurkan aspirasi melalui pemerintahan kian terbuka lebar. Namun, mimpinya pupus lantaran cap sebagai pemberontak di tengah konflik atas pembentukan Malaysia.

“Kita sangat sulit kalau mencari the truth dari suatu perseteruan politik... umpamanya, kalau saya sebagai manusia yang kecil tidak taat-setia kepada baginda, tidak cinta kepada takhta Kerajaan Brunei, sekarang saya sudah menjadi perdana menteri Malaysia,” ujarnya, meletakkan tangan di dada. “Waktu itu saya dan Partai Rakyat menentang Brunei masuk ke dalam Malaysia.”

Kampung Air, Seria, tahun 1960-an.

Malaysia Bikin Murka

Pada pertengahan 1962, Azahari memenuhi undangan Tunku Abdul Rahman, ketua Parti Perikatan (kelak jadi UMNO), untuk berkunjung ke Kuala Lumpur. Dalam pembicaraan empat mata, Tunku mengemukakan gagasan pembentukan Malaysia, akan melingkupi Malaya, Singapura, Brunei, Sabah, dan Serawak. Dia berharap Azahari memberikan dukungan.

“Cik Azahari, apa maunya supaya Cik Azahari dukung Malaysia?” tanya Tunku.

Azahari mengutarakan pemikirannya. Menurutnya, dia tak keberatan bergabung asalkan Sabah dan Serawak masuk dalam Kerajaan Brunei Darussalam. Di sisi lain, Brunei harus merdeka dulu sebelum berunding. Azahari juga mengemukakan 17 pasal berisi poin-poin yang harus dibicarakan dalam perundingan itu.

“Baiklah, Cik Azahari. Beri saya waktu berpikir 17 hari. Nanti akan saya jawab atas you punya usul,” jawab Tunku.

Tak patah arang, Tunku mengirimkan Tun Abdul Razak untuk menemui Azahari –keduanya bersahabat, pernah satu sekolah. Mereka berpelukan dan kemudian berbincang. Tun Razak menyampaikan pesan Tunku soal dukungan Azahari terhadap pembentukan Malaysia. Tunku bahkan menjanjikan jabatan wakil perdana menteri II jika proyek Malaysia terwujud.

Azahari bukan hanya menolak tapi juga tersinggung. Dia menanyakan perihal 17 pasal yang sebelumnya dia usulkan kepada Tunku. Sebelum pergi, Azahari berkata singkat: “Tun, sampaikan salam saya kepada Tengku. Jangan paksakan Malaysia (kepada kami)...!”

Sepulangnya dari Malaysia, memenuhi undangan Sultan Omar Ali Saifuddin III, Azahari pergi ke Istana Darul Hana. Sultan menanyakan kebenaran kabar pembicaraan Azahari dengan Tunku Abdul Rahman di Kuala Lumpur. Azahari mengiyakan. Dia juga melaporkan semua pembicaraan. Selain itu, Azahari minta restu memenuhi undangan Filipina untuk membicarakan Sabah, yang diklaim kedua negara.

Sekira abad ke-15, Sabah merupakan wilayah Kerajaan Brunei Darussalam. Dua abad kemudian Brunei memberikannya kepada Sultan Sulu sebagai hadiah karena membantu menyelesaikan perang saudara di Brunei. Filipina pun menjadi pewaris Kesultanan Sulu. Namun wilayah ini kemudian jadi pangkal perselisihan ketika Inggris menguasainya.

“Beta restui perjuangan Sahabat beta,” jawab sultan singkat. “Sebab begini, beta tahu cita-cita sahabat beta. Banyak sekali wakil dari Serawak, dari Sabah, datang menghadap beta minta supaya Sabah dan Serawak masuk ke kerajaan beta. Dan beta tahu, itu adalah perjuangan Sahabat beta,” ujarnya.

Benny Moerdani (tengah) bersama Tentara Negara Kalimantan Utara (TNKU). (Dok. Benny Moerdani).

Perjuangan Rakyat

Perundingan di Filipina berjalan lancar. Menurut Azahari, Filipina melepas klaimnya atas Sabah jika Brunei, Sabah, dan Serawak menjadi satu dan merdeka di bawah Kerajaan Brunei Darussalam. Azahari lalu melaporkan hasil perundingan kepada sultan melalui sebuah surat. Dia menitipkan kepada rekannya, Hafid Laksamana.

Dari Filipina, Azahari berencana terbang ke Amerika Serikat (AS) untuk melobi Senat dan Kongres AS serta PBB terkait kemerdekaan Brunei. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri mengantar istrinya pulang ke Johor Bahru. Sekira dua hari di Johor Bahru, Azahari kedatangan adiknya, Usman, yang memberitahukan rencana penyerbuan oleh rakyat Brunei.

Rencana itu merupakan keputusan sidang sebuah konsul, yang mewakili barisan-barisan pemuda seperti Barisan Pemuda Serawak dan Pasok Momogun (Sabah), termasuk faksi dari PRB yang dipimpin Yassin Affandi. Usman mengatakan, ribuan gerilyawan sudah bergerak masuk hutan; tinggal menunggu waktu untuk memulai serangan.

Mendengarnya, Azahari murka. Dia memaki Usman. Dengan sesekali menangis, dia minta pembatalan rencana itu. “Ini akan membawa kepada kehancuran. Ini bukan kerja yang benar. Ini kerja siapa?” ujar Azahari.

Namun, Usman bersikeras. “Uda, kalau Uda pimpin, Uda pimpin terus. Bentuklah pemerintah! Dan semua akan mendukung Uda. Tapi kalau Uda tidak mau pimpin, tidak ada lain jalan, dengan darah kami akan catat Bung Azahari seorang pengkhianat.”

Kakak-beradik itu bersimpangan jalan.

Azahari kembali ke Filipina. Sejatinya, Azahari menunggu resolusi partai yang akan dibawanya ke PBB. Namun resolusi itu tak kunjung tiba –dan tak pernah datang karena sultan membatalkannya atas permintaan komisioner Inggris.

Saya akan masuk sendiri ke Kalimantan Utara untuk memimpin komando gerakan gerilya.

Pada 8 Desember 1962, Tentara Negara Kalimantan Utara (TNKU), sayap militer PRB yang dibentuk untuk mewujudkan negara Kalimantan Utara (nama lain Sabah), memulai serangan di Seria, kota kecil di Distrik Belait, Brunei. Selain menyerang pos-pos polisi Inggris, gerilyawan menargetkan instalasi minyak Shell milik Inggris. Di ibu kota, instalasi listrik dan rumah perdana menteri jadi sasaran.

Dalam waktu hampir bersamaan, penyerbuan terjadi di berbagai tempat, terutama perbatasan Brunei-Sabah dan Brunei-Serawak. TNKU sempat menduduki beberapa kota penting. Inggris segera mengirim pasukan dari Singapura dan memukul mundur para gerilyawan.

Karena pertempuran itu, Hafid Laksamana, yang membawa surat Azahari untuk sultan, tertangkap tentara Gurkha. “Disangka, dia mau menculik baginda,” ujar Azahari.

Sultan mengutuk TNKU dan mengumumkan PRB sebagai partai ilegal. Azahari tentu merasa kecolongan dengan keterlibatan partainya dalam penyerangan itu. Namun, kepalang tanggung dicap sebagai otak pemberontakan, Azahari meninggalkan Filipina dan bergerak menuju pedalaman Kalimantan Utara.

Brigade Tempur Dwikora dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Konflik Regional

Di tengah ketegangan itu, Inggris mengambil langkah cepat. Bersama-sama Tunku Abdul Rahman, Inggris memperjuangkan terbentuknya Federasi Malaysia. Inggris membujuk Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew agar mendukung proyek tersebut. “Untuk mencapai tujuan politik itu, momok komunis dibangkitkan dan disebarkan untuk menanamkan ketakutan di kalangan rakyat,” ujar Said Zahari, mantan pemimpin redaksi Utusan Melayu dan ketua Parti Rakyat Singapura, dalam memoarnya The Long Nightmare: My 17 Years as a Political Prisoner.

Pada 1963, sebelas negara bagian Federasi Malaya bersama Singapura, Sarawak, dan Borneo Utara (nama lain Sabah) bergabung untuk membentuk Malaysia. Namun, dua tahun kemudian, karena ketegangan etnis Tionghoa dan Melayu, Singapura keluar dari federasi.

Pembentukan Malaysia memicu konflik regional. Filipina, sebagai pewaris Kesultanan Sulu, mengklaim Sabah sebagai wilayahnya dan dulu Sultan Sulu hanya menyewakannya kepada Inggris. Sementara Malaysia tetap memasukkannya karena menganggapnya sebagai wilayah Inggris.

Masalah kian pelik ketika Indonesia juga menentang pembentukan Malaysia, menganggapnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris. Kericuhan terjadi di Jakarta dengan pembakaran gedung Kedutaan Besar Inggris. Khawatir eskalasi konfrontasi meningkat jadi perang terbuka, Inggris mempertahankan, bahkan meningkatkan, kehadiran militernya di wilayah tersebut, “meski membuatnya dituduh lebih jauh bahwa Malaysia bagian dari plot neokolonialis,” tulis Yeow Tong Chia, profesor sejarah University of Toronto, dalam makalahnya, “Konfrontasi and The Making of Malaysia: British Responses”.

Untuk menyelesaikan konflik regional itu, dihelat pertemuan tingkat menteri hingga kepala pemerintahan di antara ketiga negara Maphilindo (Malaysia, Filipina, dan Indonesia). Pada 31 Juli 1963, tercapailah Manila Agreement yang memutuskan adanya referendum bagi penduduk Sabah dan Serawak apakah setuju atau tidak bergabung dengan Malaysia. Filipina dan Indonesia akan menjadi peninjau yang mendampingi tim pencari fakta dari PBB.

Tunku mendahului hasil referendum dengan menyatakan Malaysia akan diproklamasikan pada 16 September 1963. Sukarno pun berang dan mengambil kebijakan memutuskan hubungan diplomatik dan mengkampanyekan ganyang Malaysia. Indonesia segera mengirim pasukan gabungan dan sukarelawan dalam jumlah besar ke perbatasan Kalimantan-Kalimantan Utara.

A.M. Azahari tahun 1959. (Wikimedia Commons).

Berakhir di Indonesia

Di pedalaman Kalimantan Utara, Azahari menjalin kontak dengan petinggi militer Indonesia, terutama Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H. Nasution. “Nasution, yang telah mengenal pemimpin pemberontak Brunei A.M. Azahari selama bertahun-tahun, bersimpati kepada aspirasi adanya suatu negara merdeka di Kalimantan Utara,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.

Atas peran Biro Pusat Intelijen yang dipimpin Soebandrio, Azahari bertemu dengan Sukarno di Istana Negara. Dalam pertemuan, Azahari meminta agar Indonesia tak usah lagi campur tangan di Kalimantan Utara dan segera menarik pasukannya. Komitmennya sejak awal adalah memperjuangkan Brunei tanpa mengemis bantuan kepada pihak mana pun. Namun, ketika Men/Pangad Jenderal TNI Ahmad Yani, yang hadir dalam pertemuan, bersikeras memberi dukungan, Azahari minta bantuan 3.500 pucuk senjata lengkap dengan amunisinya.

“Saya akan masuk sendiri ke Kalimantan Utara untuk memimpin komando gerakan gerilya,” ujar Azahari kepada Yani, dalam video rekaman ketika diwawancara Ardanta.

Azahari dan para gerilyawan terus melawan Inggris-Malaya di pedalaman Kalimantan Utara. Namun, perlawanan mereka mengendur. Inggris mematahkan perjuangan rakyat itu. Sementara Indonesia, pendukung utamanya, mengalami gejolak politik yang menjatuhkan Sukarno.

Azahari sendiri lalu ke Jakarta. Pada 1974, dia sempat terpilih menjadi ketua PRB pengasingan. Azahari menjalani akhir hidupnya di Indonesia sebagai eksil hingga meninggal pada 2002. 

Kematian Azahari membuat rencana Pram dan Ardanta untuk bikin biografi terbengkalai. Terlebih, empat tahun kemudian, Pram juga mengembuskan napas terakhir.

Di Brunei, partai National Development Party (NDP) sedang berjuang memulihkan nama baik Azahari dan pejuang-pejuang lain pada 1960-an. Malai Hassan Othman, wakil ketua NDP, menghubungi Ardanta yang pernah mengiriminya surat elektronik berisi informasi dokumentasi Azahari. Othman menyarankan Ardanta mengunggah video itu ke youtube.

NDP menjadikan dokumentasi itu sebagai bahan kongres tahunan dan membawa hasilnya kepada Sultan Bolkiah. Perjuangan itu membuahkan hasil. Adik kandung Sultan, Mohamed Bolkiah yang menjabat menteri luar negeri, menulis dalam buku Remember, Remember The 8th December, terbit 2007.

“... jika kita ingin memasuki era baru dengan percaya diri, masing-masing dari kita harus ingat masa lalu kita, mengakui dan menghormatinya. Itulah yang dilakukan para pendiri ASEAN dan itu pula yang harus kita semua terus lakukan. Di Brunei ini berarti kita harus berdamai dengan apa yang terjadi 45 tahun lalu, pada Sabtu pagi yang suram dan gelap, memasuki 8 Desember 1962...,” tulisnya.*

Majalah Historia No. 8 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6487d426e0009ecd7509a365