Dari Sudjojono hingga Sadali

Karya dan pribadi yang unik membuat kolektor Syakieb Sungkar jatuh hati pada Sudjojono dan Sadali serta para maestro seni lukis.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Dari Sudjojono hingga SadaliDari Sudjojono hingga Sadali
cover caption
Syakieb Ahmad Sungkar, kolektor lukisan para maestro seni lukis.

DI ruangan rumahnya di kawasan Kompleks Tebet Mas Indah, Tebet, Jakarta Selatan, Syakieb Ahmad Sungkar memajang beberapa koleksi lukisannya, kontemporer maupun modern art. Dia sengaja tak menyiapkan sebuah ruang khusus agar bisa berinteraksi dengan koleksinya setiap hari.

Display-nya tidak selalu seperti ini. Kalau bosan, saya ganti dengan koleksi lain. Di-rolling begitu saja,” ujarnya.

DI ruangan rumahnya di kawasan Kompleks Tebet Mas Indah, Tebet, Jakarta Selatan, Syakieb Ahmad Sungkar memajang beberapa koleksi lukisannya, kontemporer maupun modern art. Dia sengaja tak menyiapkan sebuah ruang khusus agar bisa berinteraksi dengan koleksinya setiap hari.

Display-nya tidak selalu seperti ini. Kalau bosan, saya ganti dengan koleksi lain. Di-rolling begitu saja,” ujarnya.

Baginya, karya seni terutama lukisan, menawarkan keindahan dan membangkitkan semangat (mood). Dengan melihat karya seni pula, masalah dalam pekerjaan bisa terlupakan sejenak, sehingga membuatnya tidak stres. “Saat menikmati lukisan-lukisan tersebut, segala macam masalah terlupakan,” ujarnya.

Beberapa koleksinya tergolong old master. Di ruang tamu ada “Potret Diri” karya Affandi terpampang. Ada juga karya Ahmad Sadali; lukisan karya pelukis Belanda yang pernah menetap di Bali, Arie Smith; pelukis Belgia, Le Mayeur; dan lain-lain.

“Lima tahun lalu, karya-karya kontemporer harganya melonjak. Tapi sekarang karya-karya old master naik lagi,” ujarnya. “Kenapa old master cenderung naik, salah satunya persoalan demand and supply. Kontemporer kan orangnya masih hidup, jadi masih terus produksi karya. Sementara Old master juga bisa turun, kalau lukisan palsunya beredar di pasar.”

“Adu Ayam” karya Affandi.

Dari Realis hingga Abstrak

Di antara koleksi lukisannya yang tergolong old master, Syakieb paling suka Sudjojono. Bukan hanya karyanya tapi juga pribadinya. “Sudjojono menurut saya sosok yang menarik. Dia seorang seniman sekaligus intelektual. Tak banyak seniman yang rajin menulis seperti dia. Artinya Sudjojono itu pelukis yang menarik dari sisi ide dan hasil,” ujarnya.

Sindoedarsono Soedjojono, biasa ditulis S. Sudjojono, adalah pelukis legendaris Indonesia. Ketika kesadaran nasionalisme mulai tumbuh memasuki abad ke-20, sejumlah seniman tak luput dari semangat zaman. Lahirlah kelompok Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1938, yang diketuai Agus Djaja dengan juru bicaranya Sudjojono.

Kelompok Persagi dengan tegas menolak seni rupa Mooi Indie. Lukisan-lukisan karya perupa Mooi Indie yang serba molek dianggap melenakan dan meninabobokan masyarakat bumiputra dari kondisi negeri sesungguhnya: terjajah. “Semua serba bagus dan romantis bagai di sorga, semua serba enak, tenang, dan damai. Lukisan-lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie,” tulis Sudjojono dalam esainya “Kesenian Melukis di Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang”, dimuat di majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939.

“Buket Bunga Untuk Pandan” karya Sudjojono.

Sudjojono, sebagai juru bicara, begitu kritis dan lantang menyuarakan penolakan terhadap Mooi Indie, lewat forum diskusi maupun tulisan-tulisan. Salah satu dalil seni rupa paling masyhur yang dilontarkannya adalah jiwa ketok atau “jiwa tampak”. “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan,” katanya. “Kesenian adalah jiwa”. Tak salah jika dia kerap disebut sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia.

Menurut Syakieb, dari sisi karya, Sudjojono seniman yang banyak gaya, meski lebih dikenal sebagai pelukis realis. “Kalau dia melukis realis itu benar-benar hidup, kelihatan dimensinya. Ada pelukis realis seperti Basuki Abdullah, tapi kalau Basuki melukis dibagus-bagusin. Misal melukis perempuan, payudara yang kendur dibuat kencang dan bagus, kalau Sudjojono tidak. Jadi kalau menurut saya dialah bapak realis Indonesia pertama,” kata Syakieb.

Syakieb memperlihatkan lukisan miliknya, “Buket Bunga Untuk Pandan” karya Sudjojono. “Perhatikan dengan cermat. Kamu bisa lihat ada plastik transaparan yang memang biasa membungkus buket bunga. Ini kan realis sekali. Dia begitu detail saat menggambarkan objeknya,” ujar Syakieb. Dia lalu menunjukkan karya Sudjojono lainnya, lukisan “Jalan Tol Jagorawi”.

“Jalan Tol Jagorawi” karya Sudjojono.

Namun, Syakieb tak terpaku pada lukisan realis. Selain Sudjojono, dia mengagumi pelukis Ahmad Sadali. Sadali memperdalam bakat seninya di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Imu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia –kini jadi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB) – di bawah bimbingan Ries Mulder, seorang guru seni Belanda yang mendalami kubisme. Sekembalinya belajar di Amerika, Sadali mengembangkan gaya seni lukis yang khas; corak abstrak dipadukannya dengan tema-tema spiritualitas dan mistisisme Islam.

“Sadali orang yang pertama kali memperkenalkan abstrak di Indonesia. Dia tokoh agama sehingga sebenarnya karya-karyanya selalu mencerminkan pemikiran tentang agama.”

Syakieb memperlihatkan karya Sadali berjudul “Lelehan Emas Pada Bidang Mengkerut”. “Coba perhatikan. Horizon abu-abu pada bagian atas menggambarkan langit, lalu ada lelehan emas sebagai simbol curahan karunia Tuhan ke bumi. Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya. Kalau dalam kondisi enak, manusia merasakannya sebagai sebentar sekali, sementara dalam kondisi tak nyaman manusia merasa waktu lama sekali,” ujar Syakieb.

Menurut Syakieb, Sadali kerap menambahkan elemen emas pada karyanya. “Tapi Sadali tak mau memberikan emas secara berlebihan, karena menurutnya yang berlebihan itu akan terlihat murahan. Sementara dia ingin menyampaikan pesan keabadian dan keagungan pada karyanya.”

Ketika membeli sebuah lukisan, Syakieb tak hanya melihat karya. “Orang di balik karya itu (perupa) juga menjadi pertimbangan cukup penting. Itu namanya brand value,” ujarnya.

Syakieb mendapatkan beberapa lukisan old master dari lelang, pameran, atau koleksi pribadi yang dijual. Namun, dia enggan bicara soal harga. “Kalau sudah suka atau senang, kadang harga sudah tidak terpikir lagi.”

“Lelehan Emas pada Bidang Mengkerut” karya Ahmad Sadali.

Old Master dan Karya Palsu

Syakieb Ahmad Sungkar lahir di Jakarta pada 6 November 1962. Dia jatuh cinta pada karya seni sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Peran sang ayah cukup berpengaruh pada hobinya. “Tapi ayah saya sukanya realis, dia suka lukisan-lukisan seperti karya Basuki Abdullah. Koleksi lukisan pertama saya sendiri itu lukisan Bali, karena gaya lukisan Bali itu unik,” ujarnya.

Kecintaannya pada seni menjadi-jadi ketika dia kuliah di ITB. Dia bergaul akrab dengan perupa Ahmad Sadali. Wawasan seninya berkembang. Ketika sudah mapan, terlebih ketika menjabat direktur sales di PT Axis Telecom Indonesia, dia mengoleksi lukisan old master.

Syakieb beruntung punya hobi membaca, yang menjadi modal baginya untuk menentukan lukisan yang akan dikoleksinya. Tentu dia akan mencari panduan lain. “Saya tak akan membeli karya yang saya tidak mengerti latar belakangnya. Kalau pelukisnya masih hidup, biasanya saya datangi, berbincang, sehinga menambah pengetahuan soal karyanya. Intinya jangan membeli dengan telinga, asal kata orang bagus terus kita beli.”

“Buruh Tani 1998” karya Djoko Pekik.

Sebagai kolektor, Syakieb merasa terganggu dengan heboh karya-karya seni rupa yang diduga palsu –kebanyakan karya old master seperti lukisan Hendra Gunawan, Sudjojono, dan Sudibio. Dia tak ingin orang beranggapan koleksinya pun palsu. Dan yang terpenting, dia tak ingin orang tak percaya lagi dengan sejarah bangsa Indonesia.

“Misal ada orang luar bertanya, ‘Apa ada perang Diponegoro?’, ‘Ada, coba aja lihat lukisan Raden Saleh’. ‘Tapi kan lukisan Indonesia rata-rata palsu’. Nah, repot kan. Sikap saya tegas mengenai pemalsuan karya seni, sebaiknya kalau dipajang di museum ya diturunkan, kalau dijadikan buku ya bukunya ditarik. Kalau kita diamkan bisa memperbodoh bangsa,” ujarnya.

Menurut Syakieb, kurangnya buku referensi tentang pelukis-pelukis old master, terlebih umumnya pakar-pakarnya sudah meninggal dunia, mempersulit pengecekan keaslian sebuah lukisan.

“Contoh Picasso, saya punya 10 buku tentang Picasso, keseluruhan ada kurang lebih 100 buku tetang Picasso di dunia. Buku-buku itu tak hanya memuat foto karya, tapi juga membahas secara detail karya Picasso, sapuan kuasnya, warnanya, jadi orang punya panduan lengkap soal karya-karya Picasso. Di sini? Buku tentang Hendra saja cuma satu. Parahnya, lukisan Hendra palsu pun ada di buku itu,” ujarnya.*

Foto-foto oleh Micha Rainer Pali/Historia.ID

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6476da1172dfcfe60f502b0f