Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam diapit dua perempuan tahun 1960-an. (Public domain).
Aa
Aa
Aa
Aa
MASYARAKAT Indonesia pernah dibikin geger oleh sebuah video hubungan mesum pada 2006. Kalau pelakunya orang biasa barangkali tak terlalu heboh. Pasalnya “aktor” di video itu seorang anggota DPR RI, Yahya Zaini. Sementara artisnya adalah Maria Eva, seorang penyanyi dangdut. Keduanya bukan pasangan suami-istri yang sah.
Geger hampir serupa kembali melanda. Ahmad Fathanah, yang dekat dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishak, diketahui punya beberapa istri dan berhubungan dengan banyak perempuan. Kepada mereka, Fathanah sungguh royal. Segala rupa harta diberikan: rumah, mobil, jam tangan mahal. Padahal itu semua asalnya dari duit negara yang diselewengkan. Selain Fathanah, beberapa perempuan itu pun jadi bahan pemberitaan bak selebritas.
MASYARAKAT Indonesia pernah dibikin geger oleh sebuah video hubungan mesum pada 2006. Kalau pelakunya orang biasa barangkali tak terlalu heboh. Pasalnya “aktor” di video itu seorang anggota DPR RI, Yahya Zaini. Sementara artisnya adalah Maria Eva, seorang penyanyi dangdut. Keduanya bukan pasangan suami-istri yang sah.
Geger hampir serupa kembali melanda. Ahmad Fathanah, yang dekat dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishak, diketahui punya beberapa istri dan berhubungan dengan banyak perempuan. Kepada mereka, Fathanah sungguh royal. Segala rupa harta diberikan: rumah, mobil, jam tangan mahal. Padahal itu semua asalnya dari duit negara yang diselewengkan. Selain Fathanah, beberapa perempuan itu pun jadi bahan pemberitaan bak selebritas.
Celaka sungguh celaka. Presiden PKS, yang ditengarai menerima aliran duit dari Fathanah, juga ketahuan punya perempuan-perempuan simpanan. Entah fakta yang sebenarnya bagaimana, tapi seorang politisi –apalagi dari partai yang getol membawa nama Islam– kena isu tak sedap macam itu, habislah. Diseranglah ia dan partainya dari sana-sini. Isu macam begitu ibarat sekali tembak, kena, sasarannya bisa dibikin mati berkali-kali.
Sebenarnya kejadian macam itu bukan barang baru di Indonesia. Berpuluh tahun lampau, kejadian serupa pernah terjadi. Pelakunya juga bukan orang main-main: Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam. Ia didakwa menilap segunung duit negara. Bukan itu saja. Ia juga didakwa bertindak tak semestinya, punya enam istri dan beberapa perempuan yang diduga jadi simpanannya –beberapa di antaranya artis. Tak heran persidangan kala itu begitu riuhnya.
“Memang satu pohon beringin besar yang tumbang,” kata Jaksa Penuntut Umum Anas Jakoeb menyitir persidangan Jusuf Muda Dalam kala itu, “akan lebih menggaduhkan daripada seribu rumput-rumput yang dibabat.”
Dari Bank hingga Perempuan
Jusuf Muda Dalam lahir di Sigli, Aceh, 1 Desember 1914. Ia membangun karier politiknya ketika sekolah dagang di Ekonomische Hoge School, Rotterdam. Ia terlibat dalam gerakan bahwa tanah untuk menentang fasisme Nazi Jerman yang menduduki Belanda. Ia juga menjadi pewarta De Waarheid, koran milik partai komunis Belanda.
Pada Maret 1947, Jusuf kembali ke tanah air. Kariernya melesat. Ketika bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), ia sempat menjadi salah seorang wakil PKI di Komite Nasional Indonesia Pusat. Tak lagi cocok dengan sikap politik PKI, ia loncat ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia jadi anggota pengurus pusat, anggota parlemen, direktur hingga presiden direktur Bank Negara Indonesia (BNI), hingga puncaknya menjadi menteri urusan Bank Sentral merangkap gubernur Bank Indonesia pada 1963.
Semasa jadi menteri, atas dasar “Doktrin Bank Berdjoang”, Jusuf berhasil mengintegrasikan seluruh bank pemerintah ke dalam satu bank bernama Bank Negara Indonesia –dengan alasan agar lebih mudah digunakan sebagai alat revolusi terpimpin.
Namun, selain kiprahnya mengelola perbankan, Jusuf diisukan gemar main perempuan. Ia punya enam istri. Belum lagi beberapa perempuan yang pernah pula berhubungan dengannya. Terungkap kisah Jusuf memanjakan mereka. “…setiap bulannya (para istri, red.) menerima uang belanja sebanyak Rp40 (empat puluh) juta rupiah,” tulis Kompas, 25 Maret 1966. “Nona-nona manis” –begitu sebagian media menyebut istri dan simpanan Jusuf kala itu– diberi hadiah berupa-rupa barang mewah. Mulai mobil sampai rumah. Dari perhiasan sampai berbidang tanah.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Selain dari tuduhan tentang beristeri lebih dari empat orang yang saya sudah akui sebelumnya, semuanya saya tolak.</div>
Peristiwa 30 September 1965 menamatkan riwayat bank tunggal, Bank Negara Indonesia. Demikian pula petualangan sang menteri.
Dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Letnan Jenderal TNI Soeharto bukan hanya membubarkan PKI, tapi juga menangkap 15 menteri, termasuk Jusuf. Alasannya untuk melindungi mereka dari amarah rakyat karena dianggap terlibat atau terkait dengan PKI.
Soeharto juga membentuk Tim Penertiban Keuangan –kala itu kerap disebut Pekuneg– diketuai Mayor Jenderal TNI R. Soerjo. Tugasnya mengumpulkan data penyelewengan keuangan negara. Maka ditemukanlah fakta mengejutkan: Jusuf telah menggelapkan uang negara sebesar Rp97.334.844.515.
Jusuf didakwa menyelewengkan duit hasil proses deferred payment. Ini adalah kredit luar negeri dengan jangka waktu satu tahun yang digunakan untuk mengimpor barang-barang. Pemegang izin deferred payment ini diwajibkan menyetor kepada dana revolusi sejumlah yang ditentukan oleh Bank Negara Indonesia dalam bentuk uang dan devisa luar negeri.
Pada 18 April 1966 terbit surat penangkapan dan penahanan yang dikeluarkan Tim Pemeriksa Pusat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tak menunggu lama, Jusuf dimejahijaukan. Sidang perkaranya dimulai 30 Agustus 1966. Gedung Bappenas jadi tempat sidang yang dibuka untuk umum –maka namanya diplesetkan jadi Badan Pemeriksaan Pengchianatan Nasional.
Jusuf didakwa empat perkara besar: tindak pidana subversi, tindak pidana khusus menguasai senjata api tanpa hak, korupsi, dan perkawinan yang dilarang undang-undang. Pada malam 9 September 1966, pengadilan memvonis hukuman mati.
Jusuf menolak semua tuduhan kecuali dakwaan tentang perkawinannya. “Selain dari tuduhan tentang beristeri lebih dari empat orang yang saya sudah akui sebelumnya, semuanya saya tolak,” kata Jusuf dalam pledoinya. Ihwal tuduhan menggelapkan dana untuk kepentingan revolusi, ia menjawab, “Sri Kresna berkata kepada Arjuna: laksanakan tugasmu tanpa menghitung-hitung akibat bagi dirimu.”
Menyeret Artis
Sejumlah pihak lega dengan keputusan hakim. Termasuk para mahasiswa, yang selama persidangan getol mewanti-wanti supaya persidangan fokus pada masalah subversif, bukan soal perempuan. Toh, tak bisa dipungkiri perempuan-perempuan yang dekat dengan Jusuf menjadi daya tarik dan perhatian baik di dalam dan di luar persidangan.
Artis Titik Puspa ikut terseret perkara ini. Gara-gara membeli mobil bekas milik Jusuf, ia lantas diisukan masuk dalam deretan simpanan Jusuf. “Saya syok! Tambah syok lagi setelah tahu ternyata siaran radio dan TVRI juga mengudarakan berita dugaan affair saya dan Jusuf Muda Dalam. Indonesia menggosipkan saya,” ujar Titik dalam biografinya, A Legendary Diva.
Titik sendiri akhirnya terbukti tak bersalah. Tapi hal itu tak membuat masyarakat gampang memberi maklum. Gelombang hujatan kepada artis berlanjut. “Pemuda-pemudi pecinta piringan hitam di Pekanbaru dewasa ini dengan tandas meminta agar piringan hitam artis-artis tersebut distop pemutarannya di seluruh studio RRI pusat dan daerah, serta dinyatakan sebagai piringan hitam yang terlarang tuk diedarkan, disiarkan, dan disimpan,” tulis Kompas, 1 Oktober 1966. Butuh waktu lama menenangkan masyarakat.
Barangkali hujatan masyarakat pula yang membuat semua istri Jusuf minta cerai. Selama mendekam di penjara, hanya Sutiasmi binti Sujono, istri pertama yang masih setia menjenguknya sekali seminggu di rumah tahanan.
Setelah kasasinya dan grasinya ditolak, Jusuf seperti tinggal menunggu eksekusi di rumah tahanan. Memang bukan penjara biasa, tapi rumah tahan khusus VIP. Lokasinya dirahasiakan negara.
Di rumah tahanan, Jusuf mengisi waktu menanam jagung. Ia juga mencuci pakaian dan seprai sendiri. Kendati demikian sifatnya tak banyak berubah. Pada suatu malam, ia dipanggil petugas untuk dimintai keterangan. Dasarnya orang cengengesan, ia berseloroh: “Malam-malam terang bulan begini harus diperiksa, mendingan Sari yang datang.” Sari yang ia maksud tak lain Sari Narulita, mantan istrinya. Setelahnya Jusuf tak pernah lagi diperiksa malam hari.
Bukan pelor, bukan pula tiang gantungan yang membunuh Jusuf Muda Dalam. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Cimahi pada 26 Agustus 1976 setelah terserang tetanus. Ia tak pernah menemui algojonya.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 13 Tahun II 2013.