Petani menerima bantuan bibit dan sekop. (Hikmah, 17 Januari 1953).
Aa
Aa
Aa
Aa
UNTUK kesekian kalinya, buruh perkebunan dan pabrik kapas milik pemerintah di Delangu, Solo, melakukan aksi mogok menuntut perbaikan nasib. Namun, aksi kali ini pada Juli 1948, berujung ricuh. Terjadi bentrokan dengan anggota Sarekat Tani Islam Indonesia (STII).
Dalam pernyataan persnya, dikutip Pandji Ra’jat, 16 Juli 1948, STII menyebut beberapa petani STII yang bekerja di ladang dengan penjagaan anggota Hizbullah dikeroyok 500 pemogok. Mereka dipaksa menghentikan pekerjaan. Sementara SOBSI, onderbouw PKI, dan Front Demokrasi Rakyat mendukung aksi buruh Delangu sekaligus mencela tindakan STII.
Sekalipun pemerintah ambil tindakan, insiden ini masih berlanjut. Pada 13 September 1948, beberapa anggota STII diculik Pesindo. Penculikan ini merupakan bagian dari rangkaian kegentingan di Solo yang bermuara pada peristiwa Madiun 1948.
Insiden Delangu menjadi unjuk kekuatan Masyumi untuk menandingi PKI dan organisasi sayapnya.
UNTUK kesekian kalinya, buruh perkebunan dan pabrik kapas milik pemerintah di Delangu, Solo, melakukan aksi mogok menuntut perbaikan nasib. Namun, aksi kali ini pada Juli 1948, berujung ricuh. Terjadi bentrokan dengan anggota Sarekat Tani Islam Indonesia (STII).
Dalam pernyataan persnya, dikutip Pandji Ra’jat, 16 Juli 1948, STII menyebut beberapa petani STII yang bekerja di ladang dengan penjagaan anggota Hizbullah dikeroyok 500 pemogok. Mereka dipaksa menghentikan pekerjaan. Sementara SOBSI, onderbouw PKI, dan Front Demokrasi Rakyat mendukung aksi buruh Delangu sekaligus mencela tindakan STII.
Sekalipun pemerintah ambil tindakan, insiden ini masih berlanjut. Pada 13 September 1948, beberapa anggota STII diculik Pesindo. Penculikan ini merupakan bagian dari rangkaian kegentingan di Solo yang bermuara pada peristiwa Madiun 1948.
Insiden Delangu menjadi unjuk kekuatan Masyumi untuk menandingi PKI dan organisasi sayapnya.
Kerjasama
Menurut Gerrit Huizer dalam Peasant Mobilization and Land Reform in Indonesia, mulanya para petani tergabung dalam organisasi tunggal Barisan Tani Indonesia (BTI). Karena kian radikal dan kuatnya pengaruh ide-ide Marxis, para pemimpin muslim meninggalkannya dan bergabung dengan saingan mereka, STII.
STII adalah organisasi petani Masyumi yang dibentuk di Yogyakarta pada 26 Oktober 1946. Ketuanya Abu Umar. Soekoso menggantikannya dalam rapat di Purwokerto pada November 1946. “Sebagian besar dari mereka ini adalah anggota dari PSII,” tulis Merdeka, 9 November 1946.
Di awal, STII tak segan bekerjasama dengan BTI. “Di bawah tekanan dari kedua organisasi ini, Komisi Tanah Konversi dibentuk pada 1948, dan sebuah kampanye diluncurkan untuk menghapus praktik konversi dan melindungi kepentingan para petani versus perkebunan,” tulis Gerrit Huizer.
Di bawah kepemimpinan Mohammad Sardjan, mantan menteri pertanian, STII berkembang pesat.
Pada 22–23 November 1949, STII, BTI, dan Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani) dari PNI menghelat konferensi petani seluruh Indonesia. Mereka menuntut penyelesaian masalah konversi lahan hingga penyerahan tanah perkebunan yang diduduki rakyat kepada petani atau penduduk desa.
Kegiatan STII antara lain mengumpulkan zakat dari para pemilik tanah dan membuat koperasi untuk membantu petani. Di Kediri, tulis George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, koperasi berjalan baik sehingga dalam dua tahun petani dapat lepas dari jerat para rentenir. Sebaliknya, di Mojokuto, seperti ditulis Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi, pabrik penggilingan beras STII justru menyerap tenaga pemimpin teknis sehingga unit-unit STII terabaikan.
Menurut Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional, STII lebih aktif di tempat-tempat menantang seperti daerah perkebunan Sumatra Utara.
Pesat
Ketika melakukan riset untuk disertasinya, Bashir Ahmad Khan bertemu para petani dari Kalimantan yang datang ke Jakarta untuk meminta bantuan pimpinan pusat STII mendirikan koperasi karet.
Di bawah kepemimpinan Mohammad Sardjan, mantan menteri pertanian, STII berkembang pesat. Koperasi STII membantu petani pupuk di Tapanuli, Sumatra Utara, dan petani cengkeh di Sumatra Tengah. Kendati terbatas, koperasi berjalan di Sumatra Selatan, Sulawesi, dan Maluku.
STII juga memperkenalkan teknik serta jenis tanaman di sejumlah wilayah di Sumatra dan Jawa. “Koperasi di bidang pertanian di bawah naungan STII menyebabkan pengenalan metode pertanian modern,” tulis Bashir Ahmad Khan, “The Political and Social Position of Indonesia in Its Souteast Asian Setting”, disertasi di University of Punjab tahun 1959.
Namun, tetap saja STII kalah pamor ketimbang BTI. Selain minim aktivitas dan dikuasai pemilik tanah, penggunaan agama untuk menarik petani justru berdampak merugikan. “Dibanding dengan Barisan Tani Indonesia yang di bawah lindungan PKI, STII kurang menumbuhkan citra sebagai pembela para petani,” tulis Deliar Noer.