Darul Islam Mencederai Masyumi

Ikut mendirikan Masyumi, S.M. Kartosoewirjo kemudian memproklamasikan Darul Islam di Jawa Barat. Beban ini harus ditanggung Masyumi.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Darul Islam Mencederai MasyumiDarul Islam Mencederai Masyumi
cover caption
Laskar Hizbullah di depan pengurus pusat Masyumi di alun-alun Yogyakarta, Mei 1946. (Perpusnas RI).

TAK ada kertas tulis. Mohammad Natsir pun menulis di kertas berkepala surat “Savoy Homann Hotel”, tempat dia menginap. Dia lalu meminta Ahmad Hassan, ulama utama Persatuan Islam (Persis) yang menjabat Menteri Agama di Negara Pasundan, untuk menyampaikan suratnya kepada S.M. Kartosoewirjo. Harapannya, surat itu bisa sampai karena Kartosoewirjo menghormati Hassan.

Natsir datang ke Bandung pada awal Agustus 1949. Sebagai ketua komisi untuk penyelesaian masalah Darul Islam, dia diutus Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk membujuk Kartosoewirjo agar mengurungkan niat mendirikan Negara Islam atau Darul Islam. Hatta sendiri sudah membujuk Kartosoewirjo tapi tak berhasil, sementara pada 6 Agustus dia bertolak ke Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Setelah melalui jalan berliku, Hassan sampai di markas Kartosoewirjo di sekitar pegunungan Bayongbong. Namun, dia tak diperbolehkan masuk. Penjagaan begitu ketat. Hassan diminta menunggu di suatu tempat, sekira dua ratus meter dari markas. Akibatnya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari kemudian, setelah Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam pada 7 Agustus 1949.

TAK ada kertas tulis. Mohammad Natsir pun menulis di kertas berkepala surat “Savoy Homann Hotel”, tempat dia menginap. Dia lalu meminta Ahmad Hassan, ulama utama Persatuan Islam (Persis) yang menjabat Menteri Agama di Negara Pasundan, untuk menyampaikan suratnya kepada S.M. Kartosoewirjo. Harapannya, surat itu bisa sampai karena Kartosoewirjo menghormati Hassan.

Natsir datang ke Bandung pada awal Agustus 1949. Sebagai ketua komisi untuk penyelesaian masalah Darul Islam, dia diutus Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk membujuk Kartosoewirjo agar mengurungkan niat mendirikan Negara Islam atau Darul Islam. Hatta sendiri sudah membujuk Kartosoewirjo tapi tak berhasil, sementara pada 6 Agustus dia bertolak ke Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Setelah melalui jalan berliku, Hassan sampai di markas Kartosoewirjo di sekitar pegunungan Bayongbong. Namun, dia tak diperbolehkan masuk. Penjagaan begitu ketat. Hassan diminta menunggu di suatu tempat, sekira dua ratus meter dari markas. Akibatnya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari kemudian, setelah Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam pada 7 Agustus 1949.

“Surat Natsir terlambat sampai ke tangan Kartosoewirjo karena para pengawal Kartosoewirjo terlambat mengenali Ustaz Hassan. Padahal, hubungan Natsir-Hassan- Kartosoewirjo sangat akrab,” kata Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi, kepada Historia.

Selain itu, menurut buku Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, diduga Kartosoewirjo saat itu ragu-ragu dan bertanya-tanya kenapa surat Natsir ditulis di atas kertas Hotel Savoy Homann.

Kartosoewirjo menitipkan surat balasannya untuk Natsir kepada Hassan. Surat balasan itu pendek, ditulis tangan, dengan kata-kata penuh hormat. Isinya, dia tak bisa membatalkan proklamasi itu.

“Kalau pada saat itu Kartosoewirjo mau mengalihkan langkahnya, masih bisa,” kata Natsir. Namun, Kartosoewirjo berpendirian keras. Dia tak mau menjilat ludahnya sendiri.

Laskar Hizbullah di depan pengurus pusat Masyumi di alun-alun Yogyakarta, Mei 1946. (Perpusnas RI).

Ikut Mendirikan Masyumi

Kartosoewirjo termasuk pendiri Masyumi dalam kongres pada 7 November 1945. Sebagai anggota Dewan Pengurus Pusat, dia ditunjuk sebagai satu dari lima wakil Masyumi di komite eksekutif Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) saat sidang kelima di Malang pada Februari–Maret 1947.

Dia menyatakan kesetiaannya pada Masyumi saat Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dihidupkan kembali lalu keluar sebagai anggota istimewa Masyumi dan menjadi bagian dari Kabinet Amir Sjarifuddin –sementara Masyumi memilih beroposisi.

Bahkan, Kartosoewirjo menolak jabatan Wakil II Menteri Pertahanan. Alasannya, seperti dijelaskan dalam suratnya kepada Perdana Menteri yang baru dan presiden, dia “belum terlibat di dalam kepengurusan PSII, dan merasa memiliki kewajiban kepada Masyumi.”

“Atas nama Masyumi pula Kartosoewirjo membentuk Masyumi cabang Garut dan Tasikmalaya Jawa Barat pada November 1947,” tulis Remy Madinier dalam Partai Masjumi, Antara Godan Demokrasi & Islam Integral. 

Dengan persetujuan pemimpin Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Hizbullah, dan Sabilillah, Kartosoewirjo kemudian membekukan kepengurusan Masyumi Jawa Barat setelah terbentuk Majelis Islam Pusat, dengan Kartosoewirjo sebagai imam. Majelis ini terbentuk dari pertemuan pemimpin umat Islam se-Jawa Barat di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya pada Februari 1948. Dalam pertemuan ini juga mencuat gagasan mendirikan Negara Islam, namun dengan mendahulukan pembentukan Tentara Islam Indonesia yang berintikan laskar Hizbullah dan Sabilillah.

Surat Natsir terlambat sampai ke tangan Kartosoewirjo karena para pengawal Kartosoewirjo terlambat mengenali Ustaz Hassan.

Penandatanganan Perjanjian Renville membuat Kartosoewirjo kecewa kepada pemerintah Indonesia. Perjanjian itu mengharuskan kantong-kantong Republik di dalam garis van Mook dikosongkan. Kartosoewirjo dan pasukannya, laskar Hizbullah dan Sabilillah, menolak mengikuti Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Meski kecewa, menurut Lukman, Kartosoewirjo masih mengakui dan menjalin hubungan dengan pemerintah Indonesia di Yogyakarta.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menawan para pemimpin Republik, Kartosoewirjo memaklumatkan kejatuhan negara Republik Indonesia dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia juga menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto Negara Islam Indonesia. 

Setiap pasukan dan kekuatan lain yang melalui wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan Tentara Islam Indonesia atau dilucuti. Pada saat yang sama, Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat. Kontak senjata pun tak terhindarkan. 

Menurut Remy, di daerah kekuasaan Kartosoewirjo, infrastruktur partai menjadi wadah asal para pemberontak. Pengurus pusat Masyumi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk merombak kepengurusan cabang setempat di bawah kepemimpinan Isa Anshary, ketua Persis.

Kartosoewirjo dalam perjalanan menuju Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, untuk dieksekusi, 12 September 1962. (Koleksi Fadli Zon).

Klarifikasi Masyumi

Dalam konferensi Masyumi di Yogyakarta, Desember 1949, untuk kali pertama Masyumi membahas mengenai Darul Islam. Para pembicara membela dan memuji Kartosoewirjo atas perannya melindungi Jawa Barat, melemahkan Belanda sekaligus memperkuat posisi diplomasi Republik. Beberapa delegasi bertanya-tanya mengapa Republik bisa bekerja sama dengan negara-negara boneka “pengkhianat” yang disponsori Belanda, tetapi tidak menemukan metode kompromi dengan Darul Islam?

Seorang pembicara, Munawar Cholil, salah satu ulama paling berpengaruh di kalangan Masyumi, bahkan menyatakan keberadaan “bermacam-macam DI”. Misalnya, ada gerakan Darul Islam bernama Darussalam, yang dengan bantuan Belanda, menghantam Darul Islam. Apakah perkumpulan itu ada kaitannya dengan Masyumi? Para pembicara bungkam mengenai hal ini seraya menegaskan bahwa situasi di daerah itu memang simpang siur. 

Konferensi mengeluarkan resolusi mengenai Darul Islam. Isinya, Masyumi mengecam segala bentuk gerakan separatis di Indonesia, namun tetap mendesak pemerintah agar membentuk tim pencari fakta sebelum memutuskan cara penyelesaiannya. Setelah resolusi itu, wacana yang dikumandangkan Masyumi terkait Darul Islam masih bernada pembelaan. 

Masyumi akhirnya menyadari beratnya risiko yang harus dipikul akibat keterkaitannya dengan Darul Islam, yang di mata publik dianggap sebagai pemberontakan melawan Republik Indonesia. Penangkapan terhadap anggota-anggota Darul Islam kian menguatkan hubungan Masyumi dengan Darul Islam. “Setiap anggota Darul Islam dari laskar Hizbullah dan Sabilillah yang tertangkap, di saku pakaiannya ditemukan kartu anggota Masyumi,” ujar Lukman. 

Masyumi berjuang lewat jalan demokratis parlementer dan tak menggunakan jalan kekerasan dengan membentuk negara dalam negara.

Mulailah Masyumi menarik garis pemisah yang lebih tegas. Pada 20 Januari 1951, Masyumi mengumumkan sebuah deklarasi mengenai perbedaan antara Masyumi dan Darul Islam. Jusuf Wibisono, penjabat ketua umum Masyumi, menyatakan Masyumi berjuang lewat jalan demokratis parlementer dan tak menggunakan jalan kekerasan dengan membentuk negara dalam negara. 

Setahun kemudian, Natsir sebagai ketua umum Masyumi mengingatkan para anggota partai, terutama kaum muda, agar mewaspadai “upaya-upaya mendirikan negara dalam negara oleh aliran-aliran ekstrem yang beraneka warna, kanan maupun kiri (Darul Islam di daerah Priangan dan Republik Rakyat Indonesia di sekitar Cirebon).” 

Garis pemisah antara Masyumi dan Darul Islam menjadi kebijakan partai hingga bertahun-tahun kemudian. Namun, sebagian besar pendukung Masyumi dari akar rumput di Jawa dan Sumatra tak bisa membedakannya, yang menegaskan kecurigaan tentara bahwa mereka sebenarnya satu dan sama. 

Namun, sekalipun menjadi duri dalam daging, para pemimpin Masyumi cenderung bersimpati pada gerakan Kartosoewirjo sehingga selalu mendesak pemerintah untuk mengedepankan solusi politik daripada militer. Desakan Masyumi ini memperpanjang hidup Darul Islam. 

Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Operasi Militer

Pemerintah sendiri tak bisa mengambil tindakan tegas. Terlebih ketika Masyumi berkuasa. Ketika menjabat sebagai perdana menteri, Natsir menyebut Darul Islam sebagai bagian dari masalah umum gerilya. Dia hanya mengimbau anggota-anggota Darul Islam mengintegrasikan diri dengan Republik Indonesia yang masih muda dan mencapai tujuan mereka dengan cara damai. 

Kartosoewirjo bergeming. Hubungannya dengan Natsir tetap baik. “Namun, sesudah Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Sukiman Wirjosandjojo, Kartosoewirjo berkata, ‘dari sekarang tidak ada lagi hubungan dengan RI’,” ujar Lukman. 

“Kendati Sukiman mengambil garis tegas terhadap Darul Islam ketimbang Natsir, dia terus menekankan pendekatan aksi militer dan diplomasi, dengan penekanan pada yang terakhir,” tulis Robert E. Lucius, “A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950–1956),” disertasi di Naval Postgraduate School, tahun 2003. “Namun, pendekatan ini adalah salah satu yang paling dibenci pemimpin tentara karena dipandang sebagai campur tangan politisi dalam apa yang dalam pandangan mereka adalah urusan militer.”

Lawan-lawan politik Masyumi, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI), menggunakan kegagalan Masyumi mengatasi masalah Darul Islam demi keuntungan politik. Mereka juga menuntut tindakan tegas terhadap Darul Islam.

Pada 26 Juni, di tengah-tengah krisis kabinet, 3.000 anggota serikat buruh kereta api berbaris di depan Istana Presiden untuk menuntut operasi militer besar-besaran terhadap Darul Islam. Sebabnya, banyak kereta api tergelincir dan ditembak senapan mesin di wilayah Darul Islam. 

“Beberapa pengamat percaya bahwa demonstrasi itu didorong oleh nasionalis dan kiri sebagai sarana memaksa pembentukan kabinet tanpa partisipasi Masyumi,” tulis Amry Vandenbosch dalam “The Indonesian Political Scene”, dimuat Far Eastern Survey, Oktober 1953. Upaya ini tidak berhasil karena Masyumi masih mendudukkan orang-orangnya di pemerintahan. 

PKI juga menjadikan keterkaitan antara Masyumi dan Darul Islam sebagai amunisi untuk menyerang Masyumi. “Sebagai bagian dari propaganda PKI, topik keterlibatan Masyumi dalam pergerakan-pergerakan Islam revolusioner dipopulerkan dengan slogan ‘Masyumi = DI’ yang menghiasi setiap pertemuan politiknya,” tulis Remy. 

Masyumi kemudian terjerembab dalam petualangan lain: PRRI/ Permesta, yang berdampak pada pelarangan Masyumi. Setelah itu, militer melancarkan operasi militer untuk melumpuhkan Darul Islam. Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi pada 1962.

“Pengasosiasian ‘Masyumi = DI’ bergema jauh melebihi lingkup kalangan komunis,” tulis Remy. “Hal itu menjadi salah satu argumen terpenting yang diajukan Jenderal Soeharto pada 1969, ketika menolak permintaan para pemimpin partai untuk merehabilitasi kedudukan mereka dan partainya.”*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65bc2442bc7a19da71ecbedb