BERSAMAAN didirikannya Masyumi pada 7 November 1945, dibentuk pula wadah bagi anggota partai perempuan, yaitu Masyumi Muslimat. “Pada masa revolusi, di bidang sosial pada kaum Muslimat diserahkan tugas pekerjaan yang bersifat seperti Palang Merah dan bagian penyediaan (supply) kebutuhan pangan dan pakaian para pejuang militer,” tulis Hamzah Wiryokusukarto dalam Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot Dr. Soekiman Wirjosandjojo 1898–1974.
Muslimat memiliki tiga ranah perjuangan: melawan ketunaksaraan, menuntut pemberlakukan UU Perkawinan yang sesuai ajaran Islam, dan mempertahankan akhlak.
Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, ketiga tujuan itu terkait satu sama lain. Kesulitan kaum perempuan menyetarakan status sosial dengan kaum lelaki lantaran pendidikan mereka rendah; hukum Islam dalam urusan perkawinan dianggap paling menghormati hak-hak perempuan; dan penyimpangan akhlak dianggap penyebab yang menjerumuskan perempuan sebagai korban.
BERSAMAAN didirikannya Masyumi pada 7 November 1945, dibentuk pula wadah bagi anggota partai perempuan, yaitu Masyumi Muslimat. “Pada masa revolusi, di bidang sosial pada kaum Muslimat diserahkan tugas pekerjaan yang bersifat seperti Palang Merah dan bagian penyediaan (supply) kebutuhan pangan dan pakaian para pejuang militer,” tulis Hamzah Wiryokusukarto dalam Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot Dr. Soekiman Wirjosandjojo 1898–1974.
Muslimat memiliki tiga ranah perjuangan: melawan ketunaksaraan, menuntut pemberlakukan UU Perkawinan yang sesuai ajaran Islam, dan mempertahankan akhlak.
Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, ketiga tujuan itu terkait satu sama lain. Kesulitan kaum perempuan menyetarakan status sosial dengan kaum lelaki lantaran pendidikan mereka rendah; hukum Islam dalam urusan perkawinan dianggap paling menghormati hak-hak perempuan; dan penyimpangan akhlak dianggap penyebab yang menjerumuskan perempuan sebagai korban.
Tujuan-tujuan tersebut direalisasikan melalui kegiatan pelatihan di tingkat nasional dan lokal. Pada April 1954, Muslimat membentuk pusat pelatihan untuk membantu pendidikan kaum perempuan agar mampu menata rumah tangga dan memahami lingkungan di sekitarnya. Pelaksanaan pelatihan berlangsung enam bulan dan mencakup pelajaran memasak hingga pendidikan spiritual, pengenalan politik, dan pengetahuan umum.
Muslimat juga membina para perempuan yang terjerumus ke lembah hitam. Mingguan Hikmah, 12 Januari 1952, memberitakan kegiatan Muslimat cabang Jakarta dalam membantu perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai prostitusi. Mereka memberikan pelatihan kerajinan tangan dan keterampilan, penerangan batin dan buta huruf, bahkan mencarikan pasangan hidup.
Kegiatan Muslimat terus berkembang. Dalam bidang ekonomi, Muslimat membangun koperasi simpan-pinjam untuk membantu pedagang kecil. Dari pelatihan kesehatan menjadi pengelolaan rumah sakit, dan dari bimbingan belajar menjadi universitas. Muslimat cabang Bandung, misalnya, pada 1950-an mendirikan beberapa koperasi simpan pinjam, dua rumah sakit, dan turut mendirikan Universitas Islam Bandung (Unisba).
Muslimat cabang Jakarta dalam membantu perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai prostitusi.
Dalam bidang politik, untuk membuktikan kesungguhannya menghadapi pemilihan umum, Muslimat menerbitkan program perjuangan dan program urgensi sendiri. Muslimat juga berkehendak untuk berperan dalam semua persoalan politik (seperti menuntut UUD baru), ekonomi (nasionalisasi bank sentral), dan hubungan internasional (keanggotaan Indonesia dalam PBB). Bahkan, dalam kongres tahun 1949, mereka mendirikan Partai Muslimat.
“Sejauh pengetahuan kami, Partai Muslimat tidak mengajukan calon peserta pemilihan umum daerah dan pemilihan umum legislatif maupun konstituante tahun 1955, karena calon Muslimat disatukan dengan calon Partai Masyumi,” tulis Remy.
Muslimat sempat bergabung dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang dibentuk pada 1947, namun keluar bersama organisasi perempuan Islam lainnya karena menentang keanggotaan Kowani dalam Women International Democratic Federation (WIDF), yang dikendalikan kaum komunis. Pada 1950, Muslimat kembali bergabung dengan Kongres Wanita Indonesia (KWI) –singkatan Kowani kembali dipakai pada 1964.
Menurut Saskia E. Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, setelah tahun 1959 pengaruh politik Sukarno dalam Demokrasi Terpimpin mengikat kuat gerakan perempuan. Karena Gerwani menjadi organisasi perempuan paling dekat dengan presiden, hal itu memberikan pengaruh besar terhadap KWI/Kowani. “KWI kian ke kiri mengikuti politik Sukarno. Muslimat dikeluarkan dari KWI,” tulis Saskia.
Selain menjadi anggota Pengurus Besar Masyumi sejak 1949, Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito terpilih menjadi ketua umum Muslimat terlama, yaitu sejak 1951 hingga pembubaran Masyumi dan Muslimat pada 1960.*