Pejuang Indonesia ditangkap tentara Belanda. (NIOD).
Aa
Aa
Aa
Aa
KETIKA berpatroli dengan mendaki sebuah pegunungan di Jawa Tengah, serdadu Belanda dari kesatuan 4-6 Resimen Infanteri bertemu dengan lima orang berpakaian hitam. Sang komandan yang berpangkat mayor meminta senjata kepada Harrie Krol, prajurit penembak bren, dan kemudian terdengar: “tar-tar-tar…” Kelima orang Indonesia itu tewas tanpa melawan.
Tak jauh dari situ, mereka bertemu lagi dengan dua orang berpakaian hitam. Sang mayor menebas kepala mereka dengan kelewang. Masih jelas terbayang dalam benak Harrie Krol bagaimana kepala-kepala itu menggelinding dan darah muncrat.
“Yang terjadi hanyalah balas dendam. Mayor itu sangat marah karena dia menemukan dua anak buahnya tewas tanpa alat kelamin,” kata Harrie Krol dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950 karya Gert Oostindie.
KETIKA berpatroli dengan mendaki sebuah pegunungan di Jawa Tengah, serdadu Belanda dari kesatuan 4-6 Resimen Infanteri bertemu dengan lima orang berpakaian hitam. Sang komandan yang berpangkat mayor meminta senjata kepada Harrie Krol, prajurit penembak bren, dan kemudian terdengar: “tar-tar-tar…” Kelima orang Indonesia itu tewas tanpa melawan.
Tak jauh dari situ, mereka bertemu lagi dengan dua orang berpakaian hitam. Sang mayor menebas kepala mereka dengan kelewang. Masih jelas terbayang dalam benak Harrie Krol bagaimana kepala-kepala itu menggelinding dan darah muncrat.
“Yang terjadi hanyalah balas dendam. Mayor itu sangat marah karena dia menemukan dua anak buahnya tewas tanpa alat kelamin,” kata Harrie Krol dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950 karya Gert Oostindie.
Pengakuan lain datang dari Barend van Houwelingen, prajurit kesatuan 3-10 Resimen Infanteri yang bertugas di Jawa Barat. Dia mengatakan, “Jika salah satu dari kami jatuh ke tangan musuh, maka kami tidak mengalami kematian biasa. Mata dicukil dan alat kelamin dipotong dan dimasukkan ke mulut adalah hal yang normal di sini. Dan juga penyiksaan mengerikan yang mendahului kematian itu.”
Kekejaman itu telah membalikkan persepsi tentara Belanda mengenai keramahan orang Indonesia. “Alat kelamin dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut korbannya. Mereka menambah siksaan pada orang yang sudah mati. Itulah salah satu sisi kejam masyarakat Indonesia, kekejaman mendadak yang tidak mengenal batas. Hal yang seperti itu sama sekali tidak ada di rakyat lain,” kata Giovanni Hakkenberg, anggota intelijen Dinas Keamanan Brigade Angkatan Laut (Veiligheidsdienst Marinierbrigade).
Tindakan kejam memutus kelamin tentara Belanda sukar ditemukan dalam buku-buku sejarah atau memoar para pejuang Indonesia. Mengungkapnya dianggap akan mencederai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Namun, sejarawan Rushdy Hoesein pernah mendengar pengakuan seorang perjuang yang menuturkan kekerasan di luar batas itu.
“Pemutilasian alat kelamin yang dilakukan pihak Indonesia terjadi di daerah ommelanden (daerah pinggiran Jakarta),” kata Rushdy kepada Historia.
“Pemutilasinan ini,” lanjur Rushdy, “bertujuan menimbulkan kengerian di kalangan tentara Belanda dan juga penghinaan. Pemutilasian ini tidak sebanyak yang dikatakan pihak Belanda. Namun, bagi militer Belanda itu dijadikan alasan untuk melakukan pembalasan dan mencap pihak Indonesia lebih kejam.”
Balas Dendam
Konvensi Jenewa melindungi warga sipil dan para tentara korban luka atau yang ditawan. Namun, dalam perang kemerdekaan (1945–1950) hukum perang itu tak dipatuhi.
“Perang memang selalu mengubah seseorang,” kata Gert Oostindie. Dalam bukunya, Oostindie memuat pengakuan tentara-tentara Belanda yang berubah akibat kekejaman dalam perang. Misalnya, Adriaan de Winter, prajurit Stroottroepen (Resimen Pasukan Raider) yang bertugas di Sumatra Tengah, mengatakan, “Dalam masa perang di mana hanya berlaku struggle for life (mempertahankan hidup), orang cuma menjadi binatang.”
Dalam usaha mempertahankan hidup, kata Oostindie, para tentara Belanda berpegang pada semboyan better safe than sorry (lebih baik dia daripada saya); membunuh agar tidak dibunuh. Ungkapan ini paling sering digunakan sebagai pembenaran tindakan kekerasan dalam situasi mendesak. Misalnya, mereka menembak warga sipil yang dianggapnya bersenjata.
Menurut Oostindie, tindakan kekerasan eksesif atau di luar batas jelas terkait balas dendam. Apabila lawan bertindak melewati batas, tindakan itu harus dibalas setimpal. Pembenarannya mungkin masih dapat ditemukan dalam istilah militer: “Kami harus memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka tidak bisa main-main dengan kami; jika kami menyerang kembali dengan keras, maka musuh akan berpikir dua kali sebelum mereka menyerang kami sekali lagi.” Tetapi sering kali yang terjadi lebih sederhana dan emosional: karena apa yang menimpa kawan-kawan mereka.
Tentu saja saya kadang-kadang ragu akan kebenaran dari hal-hal yang kami lakukan dan juga tentang kehadiran kami di Indonesia.
“Ketika salah seorang kawan kami pada waktu patroli kena perangkap, terluka dan diamputasi hidup-hidup alat vitalnya oleh para perampok sebelum dia meninggal, banyak prajurit kami yang tak terkendali. Saat itu yang ada adalah mata ganti mata dan gigi ganti gigi,” kata Jan van den Bersselaar, prajurit pasukan 4-7 Resimen Infantri yang bertugas di Sumatra Selatan dan Jawa Tengah.
Cees de Boer, prajurit 4-1 Resimen Infanteri, menunjukkan pembalasannya: “Kami penggal saja mereka. Kalau kami tidak melakukannya, maka mereka yang akan melakukannya terhadap kami. Kalau kami yang jatuh ke tangan mereka, kami juga akan dicincang.” Cincang bahkan menjadi kosakata baru dalam kamus orang Belanda: getjintjangd untuk menunjukkan banyaknya orang Belanda yang dicincang.
Koos Claus, komandan peleton Brigade Marinir di Jawa Timur, yang anggotanya, Wiebe Bruinsma, tewas dengan luka berat, merasa sulit membayangkan kekejaman pejuang Indonesia yang disebutnya teroris. “Teror lawan mengusik kami untuk melakukan pembalasan. Itulah titik mula tindakan keras kami,” kata Claus.
Membakar Rumah
Pembalasan dendam tentara Belanda tidak hanya diarahkan kepada para pejuang. Mereka kerap melampiaskannya kepada warga sipil. “Jika di suatu kampung rekan kami ditembak mati, berarti kampung itu harus kami tindak,” kata Marinus Bolscher, prajurit 43 AAT (Aan- en Afvoertroepen atau Pasukan Perbekalan dan Angkutan) yang bertugas di Jawa Barat.
Mereka pun segera menyambar jerigen-jerigen untuk membakar rumah-rumah penduduk. Celakalah para penghuni kampung itu. “Pembakaran termasuk cara kekerasan yang sangat biasa dilakukan tentara Belanda. Dalam dokumen ego ada 50 kali pengakuan terkait pembakaran itu,” tulis Oostindie. Dokumen ego adalah dokumen subjektif berupa buku harian, surat, kesaksian, dan memoar tentara Belanda yang diteliti oleh Oostindie.
Dendam boleh saja terbalas tuntas. Namun, ada di antara tentara Belanda yang merenungi perang ini sebagai kesalahan besar.
“Setelah pernah mengalami kehilangan kawan-kawan, rasa kebencian akan muncul dan kemudian terjadi pembalasan,” kata Kopral Maarten Schaafsma dari kesatuan 4 Garde Regiment Grenadiers (Resimen Garda Infantri). “Tentu saja saya kadang-kadang ragu akan kebenaran dari hal-hal yang kami lakukan dan juga tentang kehadiran kami di Indonesia. Tetapi saya sekarang berada dalam situasi perang seperti itu dan memangnya ada yang rela dibunuh begitu saja? Itu adalah awal dari kesalahan besar.”*