MASA tuanya di Negeri Belanda berisikan kemalangan. Ada kenyataan yang tidak bisa dia terima di masa mudanya. Kedaulatan Republik Indonesia atas Nusantara yang dulunya disebut Hindia Belanda tidak dapat diterimanya.
“Jika itu tidak terjadi, saya tidak akan berada di sini hari ini. Maka tidak akan ada orang kulit putih yang kembali dari Indonesia,” kata laki-laki tua itu di koran Nieuwsblad van het Noorden tanggal 27 April 1991.
Maksudnya dia akan tetap berada di Indonesia, tepatnya di Jawa. Dia merasa Jawa tanah airnya juga.
Dia satu dari sekian ribu orang Belanda kelahiran Indonesia yang terpaksa tinggal di Belanda dan tidak bisa lagi kembali ke Indonesia. Ketika terlahir dan tumbuh besar di Hindia Belanda dulu, kebanyakan dari mereka hidup layak. Orangtua mereka punya penghidupan yang jauh lebih baik daripada kebanyakan orang Indonesia.
MASA tuanya di Negeri Belanda berisikan kemalangan. Ada kenyataan yang tidak bisa dia terima di masa mudanya. Kedaulatan Republik Indonesia atas Nusantara yang dulunya disebut Hindia Belanda tidak dapat diterimanya.
“Jika itu tidak terjadi, saya tidak akan berada di sini hari ini. Maka tidak akan ada orang kulit putih yang kembali dari Indonesia,” kata laki-laki tua itu di koran Nieuwsblad van het Noorden tanggal 27 April 1991.
Maksudnya dia akan tetap berada di Indonesia, tepatnya di Jawa. Dia merasa Jawa tanah airnya juga.
Dia satu dari sekian ribu orang Belanda kelahiran Indonesia yang terpaksa tinggal di Belanda dan tidak bisa lagi kembali ke Indonesia. Ketika terlahir dan tumbuh besar di Hindia Belanda dulu, kebanyakan dari mereka hidup layak. Orangtua mereka punya penghidupan yang jauh lebih baik daripada kebanyakan orang Indonesia.
Merindukan Zaman Manisnya Gula
Willem Herman Meindert Colson, lelaki tadi, merupakan anak François Joseph Colson dan Antonia Dorothea Maria Schavers yang lahir di Jawa tepat sehari sebelum Natal dirayakan. Seminggu setelah kelahirannya, suratkabar De Indische Courant tanggal 30 Desember 1925 memberitakan kelahirannya pada 24 Desember 1925 di Perkebunan Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Dia kemudian biasa disapa Pim.
Pim bukan satu-satunya anak Colson-Schavers. Pim punya adik bernama François Antoine Colson, yang lahir 6 Januari 1928 juga di Klaten. François Antoine belakangan biasa disapa sebagai Frans.
Keluarga Colson tinggal di Klaten dan menjadi bagian dari industri gula di Jawa. Sang ayah, François Joseph, adalah pengusaha perkebunan di sana.
Hidup nyaman keluarga Colson berakhir setelah tentara Jepang menduduki Indonesia. Antara 1942 dan 1945, keluarga Belanda ini pun di dalam pengawasan tentara Jepang sehingga tak bebas lagi berkeliaran.
Awal pendudukan Jepang sudah cukup berkesan bagi Pim. Suatu hari di akhir April 1942, Pim dan Frans sedang berada di sekitar Stasiun Klaten, yang berukuran tidak besar.
“Yang mengejutkan kami, kami menemukan bahwa di beberapa gerbong barang terbuka terdapat keranjang bambu yang ditumpuk satu sama lain berisi tawanan perang yang babak belur dan lutut terangkat,” ujar Pim dikutip De Telegraaf, 11 Agustus 1990.
Apa yang dilihat Pim dan Frans itu adalah tentara Australia yang kelelahan setelah ditawan. Mereka tertangkap pada Maret 1942 dan kemudian menjadi tawanan tentara Jepang yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian tentara Australia itu tampak kesal dengan perlakuan tentara Jepang yang tidak manusiawi.
“Monyet kuning kotor, kotor,” teriak sebagian tentara Australia itu dalam bahasa Inggris.
Tentara Australia yang berteriak itu seolah berharap untuk ditembak agar terbebas dari kesengsaraan yang mereka alami. Pim tak bisa melupakan pemandangan itu.
Pim yang berusia 16 tahun itu pun membenci Jepang. Antara 1942–1945, Pim dan keluarganya harus sengsara di dalam kamp interniran yang dikelola dengan kejam oleh tentara Jepang. Biasanya orang Belanda yang ditawan itu ditempatkan di kota yang berbeda dari kota tempat tinggalnya. Menurut Pim, pada 1942 Jepang telah merampas kehidupan orang-orang Belanda di Indonesia.
Setelah Jepang kalah pada 1945, Pim dan tawanan lain yang masih hidup pun terbebas dari kamp tawanan Jepang. Namun, pilihan hidup mereka tetap terbatas meski sudah bebas. Pim kemudian masuk militer dan berdinas di Militaire Politie (MP) atau Polisi Militer.
Ketika dirinya bebas, Pim harus melihat kenyataan bahwa ada revolusi kemerdekaan Indonesia. Para pelaku revolusi itu adalah para pemuda dan tokoh yang sejak lama mendengung-dengungkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pim tidak kaget karena sudah sejak 1936 dia melihat denyut pergerakan sebagian orang Indonesia.
“Saya sama sekali tidak terkejut dengan hal itu. Sebagian dari keluarga saya adalah orang Indonesia dan orang-orang berbicara di kalangan itu,” aku Pim Colson di Nieuwsblad van het Noorden.
Di tengah revolusi yang bahkan tak bisa dikendalikan para pemimpin Republik Indonesia itu, ada kekacauan dan kebencian di dalamnya. Pim dan banyak orang Belanda lain melihat dan merasakan kengerian-kengerian dari liarnya revolusi tersebut.
“Ada geng-geng berkeliaran di mana-mana yang mengincar orang kulit putih. Dan meskipun ada perlindungan, masih banyak yang dibunuh,” kenang Pim yang akhirnya juga tidak suka kepada Republik Indonesia.
Ketika Republik Indonesia sudah didukung dunia internasional yang memaksa Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, Pim dan Frans tidak tinggal diam. Keduanya tak bisa membiarkan geng berbahaya berkuasa dan juga mengakhiri sejarah keluarganya yang kaya di Klaten.
Pim berusaha mengumpulkan bekas anggota tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang sudah keluar. Setidaknya Pim menemui Willem Hendrik Manoch, seorang Indo kelahiran Jatinegara.
Manoch juga pernah menjadi Polisi Militer Belanda. Ketika ditemui Pim, Manoch sedang bekerja sebagai penjaga pintu di General Motors Jakarta. Bersama Pim, Manoch lalu terlibat dalam gerakan bekas Kapten Raymond Westerling. Gerakan itu dikenal sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Gerakan APRA yang membunuhi tentara Indonesia dari Divisi Siliwangi (Jawa Barat) itu akhirnya tak berhasil mencapai tujuan. Setelah gerakan itu gagal, Pim dan Frans pergi ke Belanda.
Mencelakai Pahlawan Revolusi
Waktu keluarga Colson menjadi tawanan perang di Indonesia, tentara Jepang melatih banyak pemuda Indonesia menjadi perwira dan prajurit tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Salah satunya Mas Tirtodarmo Harjono.
Setelah 1945, Harjono masuk Tentara Keamanan Rakjat (TKR) dan menjadi kepala Kantor Penghubung di Jakarta. Waktu Konferensi Meja Bundar (KMB) dihelat di Den Haag pada 1949, tulis Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Harjono diperbantukan ke dalam delegasi Indonesia mewakili Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution.
Setelah pengakuan kedaulatan usai KMB, Letnan Kolonel M.T. Harjono ditugaskan menjadi atase militer RI untuk Belanda, kurun 24 Juli 1950–Oktober 1954. Tugas Harjono tidak selalu mulus. Bahkan, di sana Harjono pernah mengalami hal paling berbahaya.
Suatu hari, Maine Pot dan Frans Colson mendatangi rumah Harjono dengan membawa senjata api. Koran Het Parool edisi 27 Mei 1952 menyebut keduanya ingin merampas dokumen ekstradisi Westerling. Pot menembakkan tiga peluru ke arah Harjono, sementara Frans menembak dua kali tapi peluru memantul.
Mereka tak mau Westerling diadili di Indonesia atas kasus di Sulawesi Selatan maupun kasus-kasus lainnya. Kapten Westerling lalu membantah jika dia berada di balik aksi Frans Colson dan Meine Pot itu.
“Tindakan Colson dan Pot kurang persiapan dan tidak berdasar. Itu adalah tindakan anak-anak,” kata Westerling dikutip De Telegraaf tanggal 24 Desember 1952.
Frans dan Pot akhirnya divonis penjara lebih dari 3 tahun. Pim sendiri sempat dijadikan tersangka sebelum dibebaskan karena dianggap tidak tahu rencana tersebut. Menurut Pim, tindakan adiknya hanya mempersulit Westerling saja.
Pim kala itu disebut-sebut sebagai ajudan Westerling. Colson bersaudara terkait dengan Landelijke Organisatie van Oud-Illegale Strijders (LOOIS) alias Organisasi Nasional Mantan Pejuang Ilegal.
Letnan Kolonel M.T. Harjono –perwira kelahiran Surabaya, 20 Januari 1920– yang selamat dari penembakan tersebut kemudian bertugas di Jakarta. Dia pernah menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat dan akhirnya Deputi III Menteri Panglima Angkatan Darat, jabatan terakhir yang diembannya hingga wafat pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh kelompok Gerakan 30 September. Dia dikenang sebagai Pahlawan Revolusi.*