Pembukaan Kongres Lembaga Kebudayaan Nasional pertama di Solo. (Arsip Provinsi Jawa Tengah).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH upacara seremonial di halaman kantor Dewan Pimpinan Pusat PNI, yang dihadiri tokoh-tokoh terkemukanya, regu Front Marhaenis membawa panji-panji Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Rencananya, panji-panji itu akan dibawa secara estafet menuju tempat tujuan: Solo.
Panji-panji itu tiba di Surakarta pada 20 Mei 1959, bertepatan dengan pembukaan kongres Lembaga Kebudayaan Nasional Seluruh Indonesia, yang dihelat di Gedung Chuan Min Kung Hui, Sorogenen. Kongres dihadiri utusan dari 21 daerah dan berlangsung selama tiga hari. Dimeriahkan pula dengan pertunjukan kesenian.
“Pada kesempatan Kongres LKN itu aku berbahagia bisa menyaksikan tarian karya rekaan paling akhir Kang Bagong,” tulis novelis N.H. Dini dalam memoarnya, Kemayoran.
Bagong Kussudiardja, yang disebut N.H. Dini, adalah koreografer, penari, dan pelukis terkemuka dari Yogyakarta yang kemudian jadi pengurus LKN. Dalam kongres itu, Bagong membawakan tarian Bermain Layang-Layang. Selain N.H. Dini, sejumlah seniman terkemuka seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Ajip Rosidi juga menghadiri kongres.
SETELAH upacara seremonial di halaman kantor Dewan Pimpinan Pusat PNI, yang dihadiri tokoh-tokoh terkemukanya, regu Front Marhaenis membawa panji-panji Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Rencananya, panji-panji itu akan dibawa secara estafet menuju tempat tujuan: Solo.
Panji-panji itu tiba di Surakarta pada 20 Mei 1959, bertepatan dengan pembukaan kongres Lembaga Kebudayaan Nasional Seluruh Indonesia, yang dihelat di Gedung Chuan Min Kung Hui, Sorogenen. Kongres dihadiri utusan dari 21 daerah dan berlangsung selama tiga hari. Dimeriahkan pula dengan pertunjukan kesenian.
“Pada kesempatan Kongres LKN itu aku berbahagia bisa menyaksikan tarian karya rekaan paling akhir Kang Bagong,” tulis novelis N.H. Dini dalam memoarnya, Kemayoran.
Bagong Kussudiardja, yang disebut N.H. Dini, adalah koreografer, penari, dan pelukis terkemuka dari Yogyakarta yang kemudian jadi pengurus LKN. Dalam kongres itu, Bagong membawakan tarian Bermain Layang-Layang. Selain N.H. Dini, sejumlah seniman terkemuka seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Ajip Rosidi juga menghadiri kongres.
Dalam kongres, LKN menyatakan dengan tegas sebagai wadah kebudayaan PNI. Kongres menetapkan Sitor Situmorang sebagai ketua umum, setelah berjuang mengalahkan saingannya, Ny. Supeni.
“Terpilihnya Sitor sebagai ketua umum LKN secara aklamasi adalah hal yang wajar. Hal ini disebabkan keaktivan Sitor dalam ranah kebudayaan dan juga politik,” tulis Muhammad Adi Nugroho dalam skripsi di Universitas Indonesia berjudul “Sejarah Lembaga Kebudayaan Nasional dalam Kesusastraan Indonesia”.
Sitor Situmorang adalah sastrawan terkemuka di zamannya. Sadar akan tugas seniman di tengah masyarakat, dia terjun ke gelanggang politik sebagai anggota PNI pada 1954. Sejak itu, tulis J.J. Rizal dalam Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924–2014, Sitor mulai memikirkan konsep seni yang menghadirkan ciri khas dan jiwa zaman Indonesia dan relevan bagi masyarakat. Dia juga mempelajari pemikiran-pemikiran Sukarno. Dia akhirnya menuliskannya dalam Marhaenisme dan Kebudayan Indonesia (1956).
Dalam tulisan di Republik, 15 Juli 1959, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menjuluki Sitor “panglima kebudayaan marhaenis”.
Mendukung Sukarno
Pelaksanaan Kongres LKN I merupakan keputusan DPP PNI pada Desember 1958 di Jakarta, yang bertujuan melaksanakan dan mewujudkan “tidak adanya suasana keragu-raguan” dari PNI dalam mendukung gagasan Presiden Sukarno di bidang kebudayaan, yang disampaikan dalam pidato 17 Agustus 1957.
Sitor mengatakan, kongres ini dimaksudkan menyatukan organisasi-organisasi kebudayaan dan kesenian atau perseorangan yang sejalan dengan PNI di lapangan kebudayaan. Namun, tulis Ferby Eko Saputra dalam “Dinamika Politik Lembaga Kebudayaan Nasional pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959–1965”, skripsi di Universitas Sebelas Maret, “Sitor membantah pernyataan bahwa berdirinya LKN ini ialah untuk menandingi lembaga-lembaga yang telah ada di Indonesia.”
LKN memang bukan lembaga kemarin sore. Sebelumnya ia sudah tumbuh di daerah-daerah dengan nama yang sama. Menurut Sitor, golongan nasionalis (Mangunsarkoro) pada 1954 mendirikan LKN di Solo. Pada 1957, kaum nasionalis di Sumatra Utara mendirikan LKN pula secara lokal atas asas marhaenis.
“Di tahun 1959, LKN itu oleh kaum nasionalis diperluas menjadi gerakan yang bersifat nasional, sebelum Manipol, atas asas Konsepsi Presiden dengan pangestu Presiden Sukarno,” tulis Sitor dalam Sastra Revolusioner.
Pembentukan LKN yang berinduk pada partai politik (PNI) mengecewakan teman-teman Sitor. Menurut Ajip Rosidi, kawan-kawan yang diundang Sitor tak tahu bahwa kongres itu diselenggarakan PNI.
“Agaknya Sitor, seperti juga kepadaku, kepada kawan-kawan yang lain pun mengatakan bahwa ia hendak membentuk organisasi kebudayaan independen untuk mengimbangi kekuatan Lekra,” tulis Ajip Rosidi dalam suratnya kepada N.H. Dini, termuat dalam Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980–2002. “Apalagi ketika kemudian sepak terjang Sitor bukannya mengimbangi (dalam arti menandingi), melainkan malah mengikuti irama tarian Lekra.”
Dalam banyak hal, LKN memang sejalan dengan Lekra. Bahkan, Kongres LKN I melahirkan ketetapan bahwa LKN berpedoman pada “Kesenian adalah Rakyat” dan “Seni untuk Rakyat”. Konsep ini diimplementasikan dalam karya-karya mereka. Sebagai sebuah lembaga kebudayaan, LKN kerap menggelar pameran lukisan, pementasan teater, dan terutama kegiatan sastra.
Menurut Muhammad Adi Nugroho, sejak berdiri, LKN mengalami perkembangan pesat. Cabang-cabangnya tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Hingga Kongres II pada September 1963, LKN sudah memiliki 175 cabang yang meliputi 20 daerah swantara tingkat (daswati) –kini daerah tingkat (dati).
Lawan Manikebu
Pada 17 Agustus 1963, Manifest Kebudayaan (Manikebu) diproklamasikan. Reaksi datang dari berbagai lembaga kebudayaan, terutama Lekra dan LKN. Keduanya bahkan kerap bekerja sama. Bagi LKN, sikap Manikebu untuk tidak menyatukan kebudayaan dengan politik adalah sikap tidak mau tahu nasib buruh dan tani Indonesia.
Sitor mengatakan, Manikebu memulai gerakan bukanlah dimulai dengan sekadar omong-omong terbatas di antara seniman atau pengarang. Wiratmo Soekito, konseptor Manikebu, sudah sejak setengah tahun sebelumnya berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mensosialisasikan gagasannya yang coba diwujudkan melalui Konfrensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KK PSI). Bahkan, Sitor menyebut salah satu rencana strategisnya: secara provokatif mendekati kalangan LKN, terutama di daerah, yang saat itu tengah mempersiapkan Kongres II.
Indikasi Sitor terbukti di Bali. Alih-alih bersekutu dengan Lekra, LKN Bali menunjukkan dukungan terbuka kepada Manikebu. “Penulis muda Bali dan aktivis sastra seperti Raka Santeri dan Judha Paniek menjadi tertarik pada Manikebu karena mereka melihat kelompok ini akan mendukung mereka dalam perlawanan mereka terhadap Lekra Bali,” tulis I Nyoman Darma Putra, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, dalam A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century.
Raka Santeri, Judha Paniek, dan Gde Mangku menerima mandat untuk mempromosikan dan mempopulerkan prinsip-prinsip Manikebu di Bali. Selain itu, mereka ditunjuk sebagai koordinator daerah untuk pelaksanaan KK PSI. Sontak, mereka mendapat serangan dari Lekra. Perintah untuk menarik dukungan terhadap Manikebu juga dikeluarkan LKN Jakarta.
“Oposisi kuat ini akhirnya memaksa Raka Santeri, Judha Paniek dan Gde Mangku menarik dukungan mereka,” tulis I Nyoman Darma Putra. Tekanan itu tak meredakan konflik antara Lekra dan LKN, sebaliknya kian meningkat. Meningkatnya polarisasi politik antara PKI dan PNI menambah bara konflik.
Di Jakarta, dengan sokongan Angkatan Darat, kelompok Manikebu sukses menghelat KK PSI pada Maret 1964. Desakan membubarkan Manikebu pun kian kencang. Akhirnya, pada Mei 1964, ia dibubarkan Presiden Sukarno.
Selain soal Manikebu, LKN juga menyuarakan penolakan terhadap film impor, yang sudah dirumuskan dalam kongres LKN I dan II. LKN menganggap perfilman Indonesia tak akan berkembang baik apabila film impor masih berkuasa. Film impor juga pada akhirnya mengalahkan kesenian rakyat. LKN menyebutnya sebagai kondisi semikolonial.
Aksi pemboikotan film impor dimulai sehari setelah Presiden Sukarno membubarkan Manikebu. Ini ditandai dengan berdirinya Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). “Aksi pemboikotan film ini adalah ujung dari usaha LKN yang terus memberikan saran kepada pemerintah, tetapi sayangnya tak juga direalisasikan,” tulis Muhammad Adi Nugroho.
Peristiwa 1965 mengakhiri aktivitas kebudayaan yang berbau kiri. Lekra dilumpuhkan. LKN memang masih aktif, terutama di Bali, tetapi mereka menghindari konten politik dalam kegiatan seni agar sesuai dengan kebijakan budaya pemerintah baru.
Peristiwa 1965 juga menandai berakhirnya karier politik Sitor Situmorang. Dia ditangkap pada 1967 dan tanpa peradilan dijebloskan ke penjara Salemba, Jakarta. Delapan tahun kemudian dia dibebaskan.*