Destinasi di Ceruk Gempa

Wallace mencatat gempa dan tsunami di Lombok. Pulau ini memang kerap dilanda bencana. Bahkan berabad-abad lalu terjadi letusan gunung berapi salah satu yang terbesar di dunia.

OLEH:
Buyung Sutan Muhlis
.
Destinasi di Ceruk GempaDestinasi di Ceruk Gempa
cover caption
Pemandangan kawah Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Tropenmuseum).

ALFRED Russell Wallace datang ke Lombok bertepatan dengan musim telih kembang komak. Cukup lama naturalis Inggris ini berkeliaran di Pulau Lombok, yaitu sejak 17 Juni hingga 29 Agustus 1856. Meski ia sudah terbiasa dengan iklim di negerinya yang bertemperatur rendah, namun ia sempat merasa tersiksa saat berada di Kopang, Lombok Tengah. Udara dingin menusuk kulit, menembus hingga ke belulang. 

Musim telih (dingin, bahasa Sasak) di Lombok datangnya hampir selalu bersamaan dengan komak (jenis kacang-kacangan) yang sedang bekembang (berbunga). Inilah awal musim kering yang selalu menjadi momok para petani di Lombok Tengah bagian selatan.

Tak jarang kemarau berkepanjangan, sehingga menjadi penyebab malapetaka. Tanaman-tanaman mengering sebelum waktu panen tiba. Potret buram di kawasan ini merebak menjadi isu nasional, ketika paceklik diikuti wabah kelaparan akibat kekeringan masif di tahun 1970 hingga 1980-an.

ALFRED Russell Wallace datang ke Lombok bertepatan dengan musim telih kembang komak. Cukup lama naturalis Inggris ini berkeliaran di Pulau Lombok, yaitu sejak 17 Juni hingga 29 Agustus 1856. Meski ia sudah terbiasa dengan iklim di negerinya yang bertemperatur rendah, namun ia sempat merasa tersiksa saat berada di Kopang, Lombok Tengah. Udara dingin menusuk kulit, menembus hingga ke belulang. 

Musim telih (dingin, bahasa Sasak) di Lombok datangnya hampir selalu bersamaan dengan komak (jenis kacang-kacangan) yang sedang bekembang (berbunga). Inilah awal musim kering yang selalu menjadi momok para petani di Lombok Tengah bagian selatan.

Tak jarang kemarau berkepanjangan, sehingga menjadi penyebab malapetaka. Tanaman-tanaman mengering sebelum waktu panen tiba. Potret buram di kawasan ini merebak menjadi isu nasional, ketika paceklik diikuti wabah kelaparan akibat kekeringan masif di tahun 1970 hingga 1980-an.

Wisata ilmiah Wallace di musim telih kembang komak itu tak hanya seputar serangga dan burung-burung yang menegaskan dirinya sebagai naturalis. Tiga bab tentang Lombok dalam The Malay Archipelago, buku yang mengantarkan namanya masyhur di seluruh dunia, adalah bukti Lombok sebagai lokasi sangat penting selama delapan tahun pengembaraannya di Nusantara.

Di luar kunci teori evolusi melalui garis imajiner Wallace yang kesohor itu –temuan dari hasil pengidentifikasian sejumlah spesies yang memberi sebuah kesimpulan bahwa Lombok dan Bali seolah terpisah satu benua– pria brewokan dan berjanggut lebat ini juga mengamati kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan kondisi perairan. Bahkan, Wallace pun  menyinggung tentang mayat-mayat orang-orang hukuman di tempat terbuka, hingga soal hantu dan siluman.

Sejak sekunar yang Wallace tumpangi merapat ke Ampenan, di ujung barat Pulau Lombok, ia merasakan adanya keanehan. Saat laut dalam keadaan tenang, gelombang naik secara tiba-tiba. Kedahsyatannya setara badai puting beliung. Penduduk setempat senantiasa bangga mengatakan laut mereka selalu lapar. Akan selalu menginginkan korban. Lidah gelombang tak hanya menjilati pasir tepi pantai, tapi mengempas apa pun yang menghalangi lajunya. Ganasnya ombak menghancurkan perahu-perahu nelayan yang ditambatkan di pantai.

Deskripsinya tentang laut Ampenan itu disebut gelombang internal dalam oseanologi atau ilmu kelautan. Inilah respons pertama dunia dari pengamatan seorang ilmuwan tentang fenomena di Selat Lombok. Sebuah selat yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia.

Hingga pada suatu malam di bulan Juli 1856, Wallace mencatat terjadinya gelombang seismik. “Saya mendengar bunyi gemuruh aneh. Di saat yang sama rumah sedikit bergoyang. Tadinya saya mengira itu petir,” tulis Wallace. 

Malam itu Wallace sedang menginap di rumah Encik Daud di Labuhan Tereng, Lembar, Lombok Barat. Kejadian itu ia tanyakan kepada pemilik rumah.

“Itu gempa bumi,” jawab Encik Daud.

Beberapa waktu kemudian Wallace mendengar kabar naiknya gelombang setinggi dua meter, dari Mr. Carter, kenalannya orang Inggris yang tinggal di Ampenan. Gelombang itu menerjang kediaman Mr. Carter dan rumah-rumah penduduk yang berada di pesisir Pantai Ampenan.

Catatan detail Wallace tentang gemuruh gelombang, rumah yang bergoyang, lalu gelombang laut yang naik dua meter di Ampenan itu, dikutip Carl Ernst Arthur Wichmann, geolog Jerman, dalam The Earthquakes of the Indian Archipelago until the Year 1857, yang dipublikasikan tahun 1918. Bahwa di tahun 1856 di Lombok pernah terjadi tsunami, yang diistilahkan Wallace sebuah gelombang arus.

Alfred Russel Wallace sekitar tahun 1895. (Wikimedia Commons).

Letusan Gunung Berapi

Tetapi, ada semacam kotak hitam alam yang jauh lebih tua dibanding catatan Wallace. Bukti-bukti ilmiah, termasuk penanggalan radiokarbon dari tulang 15.000 kerangka mayat di London dan data geologi dari seluruh dunia, menunjukkan bahwa di abad ke-13 pernah terjadi letusan gunung berapi besar di dunia.

Adanya peristiwa vulkanik besar persisnya di tahun 1257 itu, juga teridentifikasi dari data di inti es berikut catatan abad pertengahan di belahan bumi bagian utara.

Di tahun 1980-an, para ilmuwan menemukan adanya lonjakan konsentrasi sulfat yang terkait dengan endapan abu rhyolitik di inti es Pulau Kreta, yang terletak di selatan Yunani. Inti es ini menunjukkan lonjakan sulfat besar yang diletuskan tahun 1257, terbesar dalam 7.000 tahun dan dua kali ukuran sulfat dari letusan Tambora di tahun 1815.

Sejak itulah upaya untuk menemukan sumber vulkanik di tahun 1257 dimulai. Tentu saja, itu pekerjaan besar yang sangat rumit. Ada sederetan nama gunung di sejumlah negara yang meletus antara tahun 1256 sampai 1258, antara lain Gunung Okataina di Selandia Baru, El Chichón di Meksiko, Quilotoa di Ekuador, dan Samalas di Indonesia. 

Sebelumnya, sebuah gunung berapi yang meletus di tahun 1256 di Harrat al-Rahat, sebelah Madinah, masuk dalam daftar periset. Namun, setelah melewati penelitian saksama, disimpulkan bahwa erupsi gunung ini terlampau kecil untuk mampu memicu lonjakan sulfat seperti yang ditemukan.

Butuh waktu 30-an tahun untuk memastikan sumber erupsi. Akhirnya, di tahun 2012, setelah Franck Lavigne bersama tim peneliti dari Universitas Pantheon-Sorbonne, Paris, menggabungkan data historis, bukti geokimia, penanggalan karbon, dan data fisik, sampai pada sebuah kesimpulan: Gunung Samalas di Pulau Lombok adalah pemilik sulfat di inti es Pulau Kreta. Sedangkan Gunung Okataina, El Chichón, dan Quilotoa di Ekuador, tidak sesuai dengan chemistry lonjakan belerang.

“Mereka berhasil menggabungkan data historis, bukti geokimia, penanggalan karbon, dan data fisik untuk sampai pada kesimpulan. Pernyataan mereka untuk menerangkan tentang Samalas sangat menarik,” kata Erik Klemetti, ahli geosains di Universitas Denison yang dikutip laman theconversation.com.

Ritual persembahan di danau Segara Anak di kawah Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, sekitar tahun 1920. (Tropenmuseum).

Riset tim Lavigne beranggotakan peneliti dari Prancis, Swiss, Inggris, dan Indonesia. Mereka didukung Kementerian Riset RI, Universitas Gadjah Mada, Universitas Mataram, Laboratoire de Géographie Physique, Universitas Paris 1-Panthéon-Sorbonne, Center National pour la Recherche Scientifique, proyek ECRin (AO-INSU-2013), dan Institut de Physique du Globe de Paris.

Menurut Lavigne, dalam menggambarkan data vulkanologi fisik, stratigrafi, dan geomorfik, penanggalan radiokarbon presisi tinggi, geokimia tephra, dan pada tafsir teks sejarah, timnya menyajikan bukti baru yang menguatkan kejadian yang digambarkan dalam Babad Lombok. Tanpa informasi dari “puisi di atas daun palem” itu, kerja timnya akan mengalami kebuntuan tak berkesudahan.

Teks-teks Jawa Kuno yang tertera di lembar-lembar lontar Babad Lombok, menceritakan gemuruh banjir batu menerjang negeri Pamatan. Kota itu dilanda gempa dahsyat selama tujuh hari tujuh malam. Babad Lombok mempertegas keadaan dua gunung, Rinjani dan Samalas, yang berperan dalam melenyapkan Pamatan. Gunung Rinjani yang longsor, bersamaan dengan keruntuhan Gunung Samalas, membuat rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa aliran piroklastik menyerupai lumpur, menjadi penyebab tewasnya ribuan warga kota negeri Pamatan.

Mereka yang berhasil lolos dari kematian, termasuk sisa-sisa kerabat kerajaan, menyelamatkan diri ke Jeringo, Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, Pasalun, Serowok, Piling, Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit. Sebagian lagi menuju ke Pundung, Buak, Bakang, Tanak Beaq, Lembuak, Bebidas, Kembang, Kekerang, Pengadangan, hingga ke Langko dan Pejanggik.

Dari gambaran itu, betapa orang-orang Sasak telah akrab dengan bencana alam sejak lebih dari tujuh abad lampau.

Petaka di Jumat Siang

Sejak empat puluh tahun sebelum bencana gempa Lombok 2018, orang-orang Dusun Awang di kawasan Mandalika, Lombok Tengah mendapat pelajaran baru. Bahwa setiap terjadi gempa, warga serentak berlarian ke bukit-bukit terdekat. Ini terkait erat dengan kejadian pada 19 Agustus 1977.

Di Jumat siang itu, tercatat gempa berkekuatan 8,3 SR yang berpusat di lokasi 118,6° BT dan 11,8° LS dan pada kedalaman 33 meter di bawah permukaan laut barat daya Pulau Sumba.

Dari Southeast Asian Studies, Vol. 17 No. 1, Juni 1979, disebutkan sejumlah wilayah yang paling terdampak gempa saat itu. Di Bali, gempa mengguncang Nusa Dua, Kosamba, dan Benoa. Di Sumbawa, wilayah yang juga mengalami tsunami terjadi di Desa Aik Ketapang, Lunyuk. Guncangan gempa kuat juga terjadi di dua wilayah di Lombok, yaitu Labuhan Haji dan Dusun Awang.

Di Awang sendiri, untuk pertama kalinya warga merasakan bencana yang berbeda dibanding gempa-gempa sebelumnya. Air laut tiba-tiba menerjang dusun itu, begitu guncangan berlalu.

Trauma akibat bencana itu membuat warga selalu waspada. Hampir setiap tahun warga memperingatinya.

Sekelompok pria di tepi danau kawah Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, antara tahun 1934 dan 1938. (Tropenmuseum).

Arsitektur Rumah Sasak

Bencana demi bencana boleh jadi membuat mental semakin kuat. Tapi, tentu tidak hanya kesiapan nyali yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di kawasan lingkaran cincin api. 

Sebagian komunitas Sasak tinggal di rumah-rumah bermotif lumbung yang beratap alang-alang. Bangunan-bangunan yang ramah lingkungan, serta lebih tahan guncangan dibanding bangunan permanen yang menggunakan material semen.

Menariknya, menurut filolog dan budayawan Lombok H. Lalu Agus Fathurahman, usia arsitektur lumbung alang-alang alam yang ada di Lombok bagian selatan itu, sudah ada sejak tahun 3.500 SM. “Kalau kita tarik 3.500 tahun ke belakang, itu eranya Nabi Nuh,” jelas Agus.

Jawaban Agus barangkali klarifikasi tentang adanya klaim yang menyatakan orang-orang Sasak keturunan nabi pemilik bahtera penyelamat segala makhluk hidup itu. Keberadaan para keturunan sang nabi di Lombok juga disebutkan dalam kitab lontar yang digunakan Lavigne untuk menguak misteri di abad 13 itu.

Jika diperhatikan saksama desain atap alang-alang di Lombok, kata Agus, “Itu seperti perahu yang terbalik.”

Agus tak mengatakan seperti bahtera Nuh. Ia juga tak menyebut atap itu bisa mengapung, dan dapat diandalkan menjadi penyelamat ketika terjadi bah atau tsunami. Tapi tentu bukan lantaran itu orang-orang Sasak terus bertahan dan beranak-pinak di pulau yang secara geografis rentan berbagai bencana. Dan orang-orang luar terus berdatangan ke pulau eksotik ini. Pulau molek yang tak putus dikunjungi, meski berada di ceruk gempa.*

Penulis pernah menjadi wartawan di beberapa media cetak dan online. Kini penulis lepas dan telah menulis beberapa buku.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65310a5119e6658364bbfedf