Detik-detik Latief Hendraningrat

“Sayalah yang bertanggung jawab atas keamanan, berlangsungnya upacara yang sangat penting itu yang meresmikan lahirnya suatu negara baru: Indonesia Merdeka.”

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Detik-detik Latief HendraningratDetik-detik Latief Hendraningrat
cover caption
Ilustrasi: M. Awaludin Yusuf

SEBUAH kehebohan terjadi pada bulan Agustus 2008. Seseorang bernama Ilyas Karim mengaku sebagai pengibar bendera dalam upacara proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pengakuan itu membuat gusar Citroseno Hadiningrat. Dia tak ingin anak-cucu keliru melihat sejarah proklamasi kemerdekaan.

“Kami berusaha untuk meluruskan ajalah. Karena ini sejarah, ya,” kata Citroseno, putra dari Abdul Latief Hendraningrat.

Peristiwa proklamasi dan pengibaran bendera itu diabadikan fotografer Frans Mendur. Foto-foto itu terpasang di buku-buku sejarah. Dalam foto pengibaran bendera, tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Fatmawati, dan SK Trimurti. Wajah Latief Hendraningrat, yang berseragam perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA), terlihat jelas. Sementara wajah pengibar bendera lainnya, seorang pemuda bercelana pendek, tidak terlihat karena membelakangi kamera. Pemuda itu adalah Soehoed Sastrokoesoemo dari Barisan Pelopor.

Dalam pengakuannya, Ilyas Karim menyebut dirinya bersama Latief Hendraningrat sebagai pengibar bendera merah putih dalam peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi bukan Soehoed.

Keterangan Ilyas Karim diragukan banyak pihak. Namun pengakuannya, menurut Citroseno, telah membuat beberapa pihak menjadi salah langkah.

“Anaknya (Soehoed) saya kenal. Dia juga tidak mau mengungkit-ungkit,” ujar Citroseno.

Pengakuan Ilyas Karim tak mengubah narasi sejarah. Latief dan Soehoed tetap diakui sebagai pengibar bendera pusaka.

Keberadaan Latief dalam proklamasi di rumah Sukarno bukanlah kebetulan. Dia adalah tokoh pemuda yang punya pasukan bersenjata.

SEBUAH kehebohan terjadi pada bulan Agustus 2008. Seseorang bernama Ilyas Karim mengaku sebagai pengibar bendera dalam upacara proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pengakuan itu membuat gusar Citroseno Hadiningrat. Dia tak ingin anak-cucu keliru melihat sejarah proklamasi kemerdekaan.

“Kami berusaha untuk meluruskan ajalah. Karena ini sejarah, ya,” kata Citroseno, putra dari Abdul Latief Hendraningrat.

Peristiwa proklamasi dan pengibaran bendera itu diabadikan fotografer Frans Mendur. Foto-foto itu terpasang di buku-buku sejarah. Dalam foto pengibaran bendera, tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Fatmawati, dan SK Trimurti. Wajah Latief Hendraningrat, yang berseragam perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA), terlihat jelas. Sementara wajah pengibar bendera lainnya, seorang pemuda bercelana pendek, tidak terlihat karena membelakangi kamera. Pemuda itu adalah Soehoed Sastrokoesoemo dari Barisan Pelopor.

Dalam pengakuannya, Ilyas Karim menyebut dirinya bersama Latief Hendraningrat sebagai pengibar bendera merah putih dalam peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi bukan Soehoed.

Keterangan Ilyas Karim diragukan banyak pihak. Namun pengakuannya, menurut Citroseno, telah membuat beberapa pihak menjadi salah langkah.

“Anaknya (Soehoed) saya kenal. Dia juga tidak mau mengungkit-ungkit,” ujar Citroseno.

Pengakuan Ilyas Karim tak mengubah narasi sejarah. Latief dan Soehoed tetap diakui sebagai pengibar bendera pusaka.

Keberadaan Latief dalam proklamasi di rumah Sukarno bukanlah kebetulan. Dia adalah tokoh pemuda yang punya pasukan bersenjata.

Mulanya Seorang Guru

Latief Hendraningrat lahir di Meester Cornelis (kini, Jatinegara) pada 11 Februari 1911. Dia adalah anak dari pasangan Raden Mas Mochamad Said Hendraningrat dan Siti Hairani. Ayahnya menjabat asisten wedana Meester Cornelis (kini, Jatinegara). Ibunya meninggal dunia ketika usia Latief belum genap setahun. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Mimi, cucu bupati Garut, dan mendapatkan tiga anak, Rukmiati, Rukmito Hendraningrat, dan Siti Salamah.

Sebagai pangrehpraja, karier Said Hendraningrat terbilang moncer. Dia pernah menjabat jaksa di Blora sebelum pindah tugas ke Batavia (Jakarta) sebagai wakil kepala jaksa Meester Cornelis, asisten wedana, dan kemudian wedana Batavia.

Pemandangan Jatinegara, Batavia, sekitar tahun 1900-an, tempat Latief Hendraningrat dilahirkan. (Geheugen Delpher).

Tumbuh dari keluarga priyayi, Latief punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sekolah dasarnya ditempuh di Europese Lagere School (ELS) di Jakarta, Pasuruan, dan Cianjur. Kemudian dia masuk sekolah menengah pertama (MULO) di Bandung. Di sana Latief mondok di rumah pamannya, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, salah satu tokoh pendiri Perhimpunan Nasional Indonesia yang kemudian jadi Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama Sukarno, Mr. Sartono, Mr. Sunario Sastrowardoyo, dan lain-lain.

“Dari mereka saya mendapat pendidikan kebangsaan. Saya juga masuk dalam organisasi kepanduan National Padvinder Organisasi (NPO) di bawah pimpinan Mr. Soenario yang semakin menumbuhkan semangat kebangsaan saya,” kata Latief dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II.

Pada 1920, prahara menerpa keluarga besar Hendraningrat. Ayahnya tak lagi menjabat sebagai wedana. Koran De locomotief 25 Maret 1920 memberitakan bahwa Raden Hendraningrat diberhentikan dengan hormat dari dinas negara karena kurang tekun. Namun, Rukminto Hendraningrat, adik Latief sebapak tapi lain ibu, dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II menyebut ayahnya dipecat karena berseberangan dengan pemerintah kolonial.

Tak lagi menjadi pegawai pemerintah, Said Hendraningrat memboyong keluarganya dan menetap di Desa Glenmore, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi –sekarang Glenmor sudah menjadi kecamatan. Said kemudian melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Rukminto menyebut, bersama dr Slamet Sudibyo, Soekirman Kartosoediro, AD Kansil dan beberapa orang lain, Said terjun dalam Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) sekitar 1933. PBI kemudian fusi dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).

Latief masih bisa menyelesaikan MULO, yang ditamatkannya di Malang. Dia kemudian masuk sekolah menengah atas Algeemene Middelsbare School (AMS) di Malang. Sebagai pemuda yang senang berorganisasi, Latief giat di Jong Java dan Perkumpulan Indonesia Moeda.

Rechts Hogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, tempat Latief Hendraningrat menimba ilmu. (Wikimedia Commons).

Latief lulus AMS bagian B pada 1933. Setelah itu dia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di Rechts Hogeschool (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Latief hanya setahun kuliah. Ayahnya tak sanggup lagi membiayai kuliahnya.

“Saya selanjutnya giat dalam bidang pendidikan, saya menjadi guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah. Bersama perguruan kebangsaan Taman Siswa,” ujar Latief.

Selain mengajar, Latief aktif di Soeryawirawan, kelompok kepanduan Parindra. Di organisasi kepemudaan ini, Latief pernah menjadi kepala pasukan dan wakil ketua cabang Jakarta.

Di Perguruan Rakyat, Latief mengembangkan minatnya pada kesenian. Dalam sebuah pertunjukan di Jakarta pada Februari 1935, Latief menjadi penulis naskah sandiwara yang berkisah tentang kuasa iblis mempermainkan jiwa manusia. Pertunjukan ini, yang dihadiri wakil-wakil PID, meraih sambutan hangat. “Para pelaku dalam nomor ini semua sempurna. Tukang karangnya pun, tuan Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat, boleh berbesar hati dan diberi pujian,” ulas koran Oetoesan Indonesia, 21 Februari 1935.

Pertunjukan itu diisi tari Jawa, lagu Sunda, lagu Indonesia Raya dengan suling bambu, dan toneel. “Permainan yang memuaskan ini, semuanya diatur dan dipimpin oleh Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat, guru Perguruan Rakyat. (Di PR ia lebih terkenal dengan nama Latief saja). Pujian yang besar sudah sepatutnya disampaikan padanya. Ia lah seseorangnya yang membanting tulang dengan tidak mengenal lelah,” tulis Oetoesan Indonesia, 22 Februari 1935.

Karena kemampuannya berbahasa Inggris dan pengetahuannya mengenai kesenian, Latief ditunjuk oleh pemerintah kolonial untuk memimpin rombongan kesenian dalam event New York World Fair I di Amerika Serikat tahun 1939. Rombongan kesenian ini terdiri dari 11 orang, dua di antaranya perempuan. Latief bertugas menerangkan mengenai kebudayaan Indonesia yang sedang dipamerkan itu kepada para pengunjung.

Dalam event itu, kerajaan Belanda memiliki paviliun yang dibagi dalam tiga bagian: Kerajaan Belanda sendiri, Hindia Belanda, dan wilayah Suriname dan Curacao di Amerika Selatan. Di sana rombongan Latief menampilkan kesenian Jawa: membatik, tatah kulit, ukir kayu, musik gamelan, dan sendratari.

“Jadi Gatotkaca dia,” ujar Citroseno tentang Latief yang bisa menari dan suka dengan wayang.

National Padvinder Organisasi, tempat Latief Hendraningrat aktif dalam kepanduan. (Wikimedia Commons).

Selain menjadi guru, Latief menjadi penerjemah atau juru bahasa di Konsulat Jepang yang berkantor di Jalan Budi Kemuliaan Jakarta. Pekerjaannya sebagai penerjemah, disebut Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam Sumanang: Sebuah Biografi, kemudian ditawarkan kepada Sumanang, salah satu pendiri kantor berita Antara. Riwayat pekerjaannya di Konsulat Jepang ternyata berbuntut panjang.

“Tatkala Perang Dunia II pecah dan merembet ke Pasifik, bersama banyak orang pergerakan lain saya diinternir Belanda di Garut (Jawa Barat). Alasannya mungkin karena saya pernah menyambi bekerja di Konsulat Jepang di Jakarta sebagai penterjemah koran,” ujar Latief.

Situasinya berubah setelah Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Latief dibebaskan dan menikmati zaman baru di era pendudukan Jepang.

Pelatihan Pemuda

Pendudukan Jepang memberi kesempatan bagi para pemuda Indonesia untuk mendapatkan pelatihan semimiliter. Kesempatan itu pula yang diambil Latief.

Menurut penuturan Latief dalam biografinya, yang disusun menantunya, Nidjo Sandjojo, setelah dibebaskan, dia ditawari pekerjaan oleh pihak Jepang. Dia menerimannya dan mengusulkan pembentukan Pusat Pelatihan Pemuda. Alasannya, saat itu intelektual sudah banyak tapi kekurangan tenaga yang militan. Usulannya disetujui Jepang.

Para pemuda mendapat pelatihan militer dari Jepang. (Wikimedia Commons).

Pusat Pelatihan Pemuda didirikan pada April 1942 dan dipimpin Latief. Anggota rombongan pertama terdiri dari 15 orang bekas anggota kepanduan yang dipilih Latief. Termasuk di antaranya Rukminto dan Kemal Idris.

“Pada waktu itu kakak saya meminta agar saya ikut serta mendapatkan pendidikan kepemudaan, ini berhasil saya diterima di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrensho),” ujar Rukminto. Dalam pelatihan ini Rukminto mengenal Kemal Idris, yang mencapai puncak karier militer sebagai Pangkostrad. Rukminto sendiri pernah menjabat panglima pertama Kodam XIII/Merdeka yang membawahi Sulawesi Tengah dan Utara. Rukminto pensiun sebagai letnan jenderal TNI.

Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid 6, mula-mula Jepang membentuk Seinen Kunrensho (Pelatihan Pemuda). Di sana, para pemuda yang pernah turut dalam salah satu organisasi, semisal kepanduan, mengikuti latihan selama satu setengah bulan. Selain pendidikan yang berhubungan dengan disiplin dan semangat, diajarkan pula pekerjaan praktis sehari-hari seperti memasak, membersihkan rumah, berkebun, dan bahasa Jepang.

Situasi Perang Pasifik mendorong pemerintah militer Jepang untuk intens mendapatkan dukungan tenaga Indonesia. Mereka membentuk organisasi Seinendan untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya.

Untuk menyukseskan Seinendan, pemerintah militer Jepang memperluas Seinen Kunrensyo menjadi Cuo Seinen Kunrensyo (Pusat Pelatihan Pemuda). Di lembaga inilah kader-kader pimpinan Seinendan daerah dilatih. Di sini mereka mendapat latihan dasar kemiliteran. Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, di Seinendan, kaum nasionalis menanamkan pengaruh dan semangat nasionalisme kepada para pemuda. Bahkan di markas besar Seinendan duduk beberapa nasionalis muda seperti Sukarni dan Latief Hendraningrat.

Pembela Tanah Air (PETA) merupakan kesatuan tentara sukarela yang dibentuk Jepang. (Wikimedia Commons).

Pusat Pelatihan Pemuda menempati sebuah gedung yang terletak di Jalan Bidara Cina, persis di muka Jalan Oto Iskandar Dinata. Pusat pendidikan ini dipimpin beberapa orang Jepang sipil yang dimiliterisir, dibantu beberapa orang Indonesia di antaranya Latief.

Untuk menghadapi kemungkinan serangan Sekutu, Jepang berusaha mengambil hati rakyat Indonesia. Tak mengherankan jika tentara Jepang di Jawa membuka lowongan perwira dalam tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA), yang dibentuk pada 3 Oktober 1943. Latief dan Rukminto mengambil kesempatan itu.

Rukminto dilatih di Boei Gyugun Rensentai Bogor untuk menjadi komandan peleton di PETA. Rukminto kemudian ditempatkan di Pacitan. Sedangkan Latief ikut pelatihan calon perwira PETA dan menjadi komandan kompi (Chudancho) dengan penempatan di Jakarta.

Markas PETA Jakarta terletak di Jaga Monyet, kawasan antara Harmoni dan Petojo yang kini jadi Jalan Sukardjo Wiryopranoto. Komandannya adalah Daidancho (komandan batalyon) Mr. Kasman Singodimedjo.

Para perwira PETA, termasuk Latief, kerap memberikan latihan kemiliteran untuk mahasiswa Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba) atau Sekolah Tinggi Islam. Dari sinilah komunikasi terjalin antara PETA dan kelompok mahasiswa, yang berlanjut di hari-hari penting menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Ramalan Jayabaya benar adanya. Jepang menyerah kepada Sekutu, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Kabar itu sampai ke telinga para mahasiswa dan pemuda yang bermimpi besar tentang kemerdekaan Indonesia. Tak heran jika pada pemuda itu lalu bergerak.

Kondisi kota Nagasaki yang hancur dibom atom oleh Sekutu, sehingga Jepang menyerah pada 1945. (Wikimedia Commons).

Kiprah Komandan Kompi

15 Agustus 1945, sekira pukul 18.00, Latief dan rekan-rekannya baru kembali di Jagamonyet setelah mengadakan latihan di luar asrama. Kedatangan mereka sudah ditunggu Jusuf Kunto, seorang tokoh pemuda, yang membawa berita mengejutkan: Jepang telah menyerah.

“….dan kita… belum merdeka!”

“Itulah masalahnya sekarang,” ujar Jusuf Kunto sambil mengangguk-angguk. Jepang menjalankan perintah Sekutu untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Jusuf juga mengatakan para pemuda/mahasiswa berkumpul di Menteng 31 untuk membicarakan kemungkinan mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya.

Sementara itu, sehari sebelumnya, Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat, Vietnam, untuk membahas perihal kemerdekaan Indonesia dengan Jenderal Terauchi Hisaichi.

Rupanya, desakan proklamasi mendapat penolakan. Maka, dibantu beberapa anggota PETA, para pemuda membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Januari, pukul 03.00. Mula-mula mereka tinggal di asrama PETA, kemudian pindah ke rumah Djauw Kie Siong di tepi Sungai Citarum, tak jauh dari asrama.

Pada hari itu, Latief sebagai combat chudancho tertua diserahi tanggungjawab atas Daidan Jakarta. Komandannya, Kasman, berangkat ke Bandung untuk menghadiri rapat Daidancho seluruh Jawa dan Madura. Dalam biografinya Hidup Itu Berjuang, Kasman menyebut dia menugaskan Latief untuk “mengambil kebijakan dan kalau perlu mengadakan tindakan yang agresif menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul di Jakarta.”

Latief Hendraningrat saat menjadi tentara PETA. (Repro Dok. Keluarga/Fernando Randy/Historia.ID).

Latief belum mengetahui apa yang dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Dia baru dilaporkan sesudah Bung Karno dan Bung Hatta berada di Rengasdengklok. Kendati demikian, Latief berpendapat bahwa Bung Karno dan Hatta tidak diculik melainkan dijauhkan dari Jakarta agar tidak dipengaruhi oleh militer Jepang. Latief lebih suka menggunakan istilah “pengamanan”.

“Kami sendiri tidak melihat gejala-gejala penculikan sebagaimana lazimnya perbuatan seperti itu yang kita kenal/ketahui. Unsur paksaan sebetulnya ‘tidak ada’. Kedua pemimpin (Sukarno-Hatta) sebetulnya dengan rela mengikuti kehendak pemuda,” ujar Latief.

Pagi itu, dengan menyaru latihan “gerak jalan”, Latief dan rekan-rekannya keluar asrama untuk mencari informasi tentang maksud para pemuda. Di Kebun Binatang Cikini, yang letaknya berdampingan dengan Asrama Cikini 71, mereka beristirahat. Ternyata para pemuda berada di sana. Dibatasi pagar, Latief bicara dengan Chaerul Saleh.

Dalam biografinya, Chaerul Saleh menyebut para pemuda yang diwakili Chairul Saleh mengadakan pertemuan dengan Daidan PETA Jakarta yang diwakili Latief di Kebon Binatang Cikini. Keduanya kemudian mengadakan pembicaraan rahasia di restoran kamar bola. Sedangkan para pemuda yang lain berpencar di luar untuk menjaga keamanan. Hasil dari pembicaraan itu, diputuskan untuk mengkoordinasi kekuatan pemuda, PETA, dan rakyat di sekitar Jakarta.

Latief membantah rapat tersebut. “Chaerul dan kami hanya berbicara di waktu pasukan kami sedang istirahat, dus di luar Gedung/ruangan.”

Dalam pertemuan itu, Chaerul menjelaskan maksud para pemuda mengamankan Sukarno-Hatta serta rencana menguasai Jakarta. Untuk menguasai Jakarta, kata Latief, terlebih dulu harus melucuti tentara Jepang. Namun pasukan PETA sedikit dengan persenjataan ringan. Butuh bantuan Heiho untuk “menyerang” dari dalam.

Rumah di Rengasdengklok tempat Sukarno-Hatta diasingkan oleh para pemuda. (Fernando Randy/Historia.ID).

Setelah pertemuan itu, Latief menugaskan anak buahnya untuk mencari kontak dengan Heiho. Upaya ini gagal.

Sore harinya, datanglah Dr. Moewardi, pemimpin Barisan Berani Mati, ke markas PETA untuk mencegah rencana menyerbu asrama-asrama Jepang. Moewardi pula yang mengingatkan agar lebih baik memikirkan nasib para pemimpin yang disembunyi anggota PETA dan para pemuda.

Latief cemas dan mencari tahu bagaimana keadaan kedua pemimpin tersebut. “Saya dan dokter Moewardi khawatir akan keselamatan kedua pemimpin tadi maka saya berdua kemudian menyusul ke Rengasdengklok. Ternyata mereka bersama Mr. Soebardjo sudah kembali ke Jakarta dan langsung menyusun teks Proklamasi,” ujar Latief.

Sesampai di Rengasdengklok, Latief melihat tentara Jepang sudah menjadi tahanan. “Saya melihat tentara Jepang yang ada di sana sudah ditahan. Rakyat, polisi dan pamong praja bersatu padu,” kata Latief. Latief juga menyaksikan peristiwa menarik lainnya di Renggasdengklok. Dalam ceramah berjudul “Tanggal 15 dan 16 Agustus 30 Tahun yang Lampau” di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, dia menyebut bahwa pada 16 Agustus 1945 sekitar pukul 18.00, bendera Merah Putih telah berkibar di Rengasdengklok.

Pengibaran bendera Merah Putih dilakukan di depan Kantor Kawedanan 00 dan dihadiri oleh seluruh masyarakat. Hal itu dilakukan setelah Bung Karno menyatakan kesediaan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sepulang dari Rengasdengklok, Latief dan Moewardi mencari tempat rapat penyusunan teks proklamasi. Mereka akhirnya tahu tapi tak masuk ke dalam rumah Laksamana Maeda.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/latief/Latief-video.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/latief/Latief-video.mp4"></video></div>

Detik-detik Bersejarah

Sementara Sukarno merumuskan naskah Proklamasi, Latief bertambah sibuk dan juga tegang. Dia kembali ke asrama Daidan untuk mempersiapkan pengamanan upacara proklamasi.

Setahu Latief ada rencana proklamasi dibacakan di Lapangan Ikada, yang kini menjadi lapangan Monumen Nasional (Monas). “Suatu kenyataan di lapangan Ikada tanggal 17 Agustus sejak pagi banyak sekali Jepang bersenjata lengkap,” ujar Latief. Upacara pun dipindahkan ke rumah kediaman Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 –kini, Jalan Proklamasi.

“Atas permintaan dokter Moewardi sebagai usaha menjamin keamanan telah saya persiapkan satu regu pasukan PETA bersenjata api yang menjaga upacara tersebut,” ujar Latief.

Selain tentara PETA, rumah Sukarno dijaga oleh dua kelompok pemuda. Barisan Pelopor dipimpin oleh Soediro mengamankan halaman depan rumah. Barisan Berani Mati dipimpin Dr. Moewardi mengamankan halaman belakang rumah.

Selain itu, dengan dalih melakukan latihan pertahanan kota, Latief menempatkan beberapa anggota PETA di beberapa tempat untuk berjaga-jaga jika ada gangguan dari tentara Jepang.

“Sebetulnya rencana kami semula ialah untuk menutup semua jalan masuk Pegangsaan Timur 56,” ujar Latief dalam tulisannya “Pengalaman Pribadi di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945”.

Suasana saat ini di bekas rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda tempat perumusan naskah Proklamasi. (Fernando Randy/Historia.ID).

Setelah memberikan instruksi-instruksi, Latief berangkat ke kediaman Sukarno di Pegangsaan. Di halaman rumah sudah ramai orang.

Sukarno sudah berada di rumahnya sesuai semalaman merumuskan naskah proklamasi. Karena lelah, dia merebahkan diri di dalam kamar. Tapi dia tak bisa tidur. Dalam otobiografinya, Sukarno menyebut setiap orang mendesaknya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun dia masih dapat berpikir dengan tenang. “Hatta tidak ada,” ujarnya. “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalua Hatta tidak ada.”

Kepada dr Soeharto, dokter pribadinya, Sukarno menyampaikan pesan agar menjemput Hatta. Pesan itu diteruskan kepada Daidancho Abdul Kadir dan sampai ke telinga Latief yang baru tiba.

Latief bergerak cepat. Bersama Abdul Kadir, dia menjemput Hatta di kediamannya di Jalan Syowa Dori (sekarang Jalan Diponegoro), tak jauh dari rumah Sukarno.

Meski tubuhnya tak begitu segar, karena bergadang semalam suntuk untuk merumuskan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda dan sedang berpuasa, Hatta ikut bersama Latief dan Abdul Kadir ke Pegangsaaan. Sesampai di Pegangsaan, Hatta menuju kamar Sukarno.

Tak lama, dengan mengenakan seragam PETA berwarna hijau dekil dan pedang panjang, Latief mendatangi kamar Sukarno. Latief melaporkan bahwa upacara telah siap. Latief melaporkan bahwa upacara telah siap.

“Apa Bung Karno sudah siap?” tanya Latief.

Sukarno yang dalam keadaan lemah hanya bisa mengangguk. Begitu juga yang lain. Sukarno dan Hatta lalu berjalan ke depan rumahnya. Fatmawati juga ikut. Di pekarangan rumah sudah banyak orang menanti.

“Saya mendampingi Bung Karno di sebelah kanannya. Ketika sudah dekat mikrofon Bung Hatta berhenti sehingga beliau tidak lagi berdampingan dengan Bung Karno sedangkan kami masih tetap di sebelah kanan beliau,” ujar Latief.

Latief segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Sukarno dan Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon.

Latief Hendraningrat (kanan berseragam PETA) saat mendampingi Sukarno membacakan naskah Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. (Repro Dok. Keluarga/Fernando Randy/Historia.ID).

Dengan suara mantap dan jelas, Sukarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.

“Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam zaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri.

“Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.”

“Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami.”

“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.”

“Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi  yang mengikat tanah air kita dan bangsa  kita! Mulai saat  ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”

Latief Hendraningrat (berseragam PETA) dan Soehoed Sastrokoesoemo (bercelana pendek) mengibarkan Bendera Pusaka Merah Putih setelah pembacaan naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945. (IPPHOS).

Setelah naskah proklamasi selesai dibacakan, acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Sukarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang bambu.

SK Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, tapi dia menolak: “Lebih baik saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia dari PETA.”

Latief maju ke dekat tiang bendera. Seorang perempuan membawa baki berisi bendera Merah-Putih hasil jahitan tangan Fatmawati Sukarno mendatanginya.

“Tanpa ragu-ragu saya menerima bendera itu dan dengan bantuan seorang pemuda bercelana pendek (yang kemudian saya ketahui bernama Suhoed), saya mengikatkan pada tali yang kasar dan mengerek atau mengibarkannya di sebuah tiang bambu yang sederhana dan bersamaan itu nyanyian Indonesia Raya oleh para hadirin mengiringi berkibarnya bendera tersebut,” ujar Latief.

Latief Hendraningrat (berseragam PETA) dan Soehoed Sastrokoesoemo (bercelana pendek) mengibarkan Bendera Pusaka Merah Putih setelah pembacaan naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945. (IPPHOS).

Setelah acara selesai, Latief tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, dia lupa menelpon Soetarto dari Produksi Film Negara (kini, Perusahaan Film Negara) untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Alex dan Frans Mendur.

Sebagai kepala Bagian Foto Domei, Alex Mendur tahu rencana proklamasi dari Zahrudi, temannya di Domei. Pagi-pagi sekali dia bergegas ke Pegangsaan bersama adiknya, Frans Soemarto Mendur yang bekerja sebagai wartawan foto Asian Raya. Keduanya mengabadikan peristiwa penting itu dengan kamera Leica.

Setelah acara selesai, Alex kembali ke kantor dan memproses filmnya. Betapa kecewanya karena film yang sedang dikeringkan itu dirampas tentara Jepang.

“Sebenarnya Alex Mendur yang paling banyak memotret detik-detik proklamasi,” ujar Lexi Rudolp Mendur atau bisa disebut L.R. Mendur, anak Alex Mendur, kepada Wiwi Kuswiah dalam biografi Alexius Impurung Mendur (Alex Mendur).

Tidak seperti Alex, Frans memilih mengubur plat filmnya, yang tinggal tiga lembar, di halaman rumah dan baru memprosesnya setelah keadaan aman. Tiga foto itulah yang mengabadikan peristiwa bersejarah tentang proklamasi; yakni saat Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.

Latief, Soehoed, dan pembawa baki (yang tidak dikenal) tentunya layak dikenang sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pertama dalam sejarah Indonesia. Paskibraka yang menjalankan tugas tanpa skenario dan latihan. Paskibraka yang digerakkan oleh semangat kemerdekaan.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-title="HARI KEMERDEKAAN" data-url="4dvmzvxj-hari-kemerdekaan" data-w="720" data-h="1126" data-domain="my"></div></div>

Kembali Jadi Guru

Sehari setelah Proklamasi, PETA dibubarkan. Markas Batalyon PETA Jakarta dikepung tentara Jepang. Senjata dan amunisinya disita. Melihat hal itu, Latief menangis dan merasa bersalah. Namun komandannya, Kasman Singodimedjo, tak menyalahkan Latief.

Lima hari setelah Proklamasi, Latief terlibat dalam pendirian Badan Keamanan Rakyat (BKR). Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Di Markas Tertinggi TKR saya duduk di Staf Pendidikan dan yang menyusun peraturan yang menyeragamkan aba-aba, pakaian dan sebagainya,” ujar Latief. Ketika berubah jadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Latief ditunjuk sebagai wakil ketua panitia penyusunan Pedoman APRI.

Latief Hendraningrat (kiri) bersama Ir. Sudarto saat hadir dalam acara perploncoan Akademi Zeni Angkatan Darat. (Wikimedia Commons).

Ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, Latief diangkat komandan Komando Militer Kota (KMK) Yogyakarta. Dalam posisi itu, Latief tak punya pasukan besar untuk mempertahankan kota Yogyakarta. Tak heran jika dalam hitungan jam tentara Belanda mampu menduduki ibukota RI, yang menandai dimulainya agresi militer Belanda II. Latief pun harus bergerilya. Pada masa ini, untuk konsolidasi Markas Besar Komando Djawa (MBKD), Latief juga ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf Umum (WKSU) untuk daerah Jawa Timur.

Sebelumnya, pada tahun yang sama, meletus Peristiwa Madiun yang dilancarkan Front Demokrasi Rakyat (FDR), front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri. Peristiwa ini antara lain dipicu kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (ReRa) angkatan perang. Perlawanan itu bisa diatasi. Dicatat David Charles Anderson dalam Kudeta Madiun 1948, Latief mengusulkan pembentukan sebuah pengadilan khusus untuk membersihkan angkatan bersenjata dari sisa-sisa simpatisan FDR. Dia juga memandang Peristiwa Madiun sebagai kesempatan untuk melanjutkan penyelesaian program ReRa.

Setelah perang berakhir, Latief meneruskan karier militernya. Dia menjadi atase militer di beberapa negara, komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kemudian menjadi Seskoad, deputi Peperpu, kepala staf pribadi militer panglima tertinggi, dan sekretaris Militer Presiden.

Latief Hendraningrat sempat menjadi atase militer di beberapa negara serta komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. (Wikimedia Commons).

Ketika melepaskan jabatannya sebagai komandan SSKAD, Latief menekannya tantangan zaman yang harus dihadapai TNI. Menurutnya, dicatat Merdeka, 27 Juli 1959, TNI sanggup menghadapinya seperti halnya tahun 1945. Syaratnya ialah kejujuran, iman yang teguh dan rela. Kita “harus jujur terhadap diri kita sendiri, terhadap cita-cita terhadap negara.”

Latief pensiun pada September 1966 dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal. Sebelum pensiun, Latief sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dari Golongan Karya Angkatan Darat. Dia juga menjabat kepala protokol Asian Games IV di Jakarta tahun 1962.

Selepas pensiun, Latief diangkat menjadi rektor Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta –kini Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Menyusul penempatan Latief sebagai rektor IKIP, terbit Keputusan Presiden No. 372 tahun 1965 yang membebaskan Latief dengan hormat dari jabatannya sebagai anggota DPRGR.

Ada pengalaman kurang menyenangkan yang dialami Latief ketika peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Tanpa sebab dan proses pengadilan, Latief ditahan dari Februari hingga Juni 1966.

Selepas dari tahanan, Latief menjadi seorang wiraswastawan dengan mengelola biro perjalanan Tambora Pariwisata Indah yang berlokasi di Blok M. Selain itu dia aktif di Yayasan Perguruan Rakyat, klub olahraga Indonesia Muda, dan Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA). Di Yayasan Perguruan Rakyat, tempat dulu dia mengajar, Latief bahkan terpilih sebagai ketua umum.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/63034e3443a912de4c132eb7_abdul-latief-saat-mendampingi-sukarno-copy.jpg" alt="img"></div><figcaption>Latief Hendraningrat (kiri) mendampingi Sukarno saat Proklamasi pada 17 Agustus 1945. (Repro Dok. Keluarga/Fernando Randy/Historia.ID).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6303482e9f02db50a5a0629b_putra-latief-citroseno%20Small.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/latief/podcast-Latief.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Citroseno Hadiningrat, </b><br>putra Latief Hendraningrat, saat ditemui di rumahnya di kawasan Jakarta Timur. (Fernando Randy/Historia.ID).</span></div></div></div>

Keturunan Latief

Latief menikah dengan Shopia binti Aboe Wiroatmodjo pada 24 Maret 1943. Shopia, yang di masa mudanya dikenal sebagai “Rosse van Kepu”, juga berasal dari keluarga pangrehpraja. Dari perkawinan itu lahir Tjitraningsih atau dikenal sebagai Tuning Sukobagyo, Tjitrawati, Tjitraseno, dan Siti Nurhayati.

Tak satu pun anak Latief berkarier di ketentaraan. Namun kedua menantunya mencapai pangkat kolonel ketika pensiun, Nidjo Sandjojo di Angkatan Darat dan Abdul Muis di Angkatan Udara.

Latief Hendraningrat (kiri) bersama kolega di militer. (Repro Dok. Keluarga/Fernando Randy/Historia.ID).

Keluarga Latief tidak menjadi keluarga tentara, melainkan keluarga guru. Anak laki-laki satu-satunya dan yang juga merupakan anak ketiga, Tjitraseno, adalah seorang insinyur teknik dan dosen. Tjitraningsih juga seorang dosen dan pernah menjadi penyiar Radio Elshinta. Tjitrawati pernah menjadi guru kursus kepribadian. Sedangkan Siti Nurhayati pernah menjadi guru pendidikan anak usia dini. Jejak guru pada Latief saat ini masih diteruskan oleh cucunya, Aryo Tohjoyo, guru senirupa di sekolah bergengsi.

Darah seni mengalir ke keturunan Latief. Bukan hanya Ario Tohjoyo yang lulusan Senirupa ITB. Anak pertama Latief, Tjitraningsih alias Tuning Subagyo, sebagai penyiar dekat dengan seni sejak muda.

“Mbak Tuning itu kan kalau ke suatu acara didaulat nyanyi,” ujar Citroseno.

Dua anak Tuning, cucu Latief, malah terjun ke dunia seni. Muhammad Gunawan Hendromartono adalah aktor dan presenter sohor di masa mudanya pada era 1990-an. Dia dikenal sebagai Gugun Gondrong.

Latief Hendraningrat (kiri) bersama istri, anak, dan orang tuanya. (Repro Dok. Keluarga/Fernando Randy/Historia.ID).

Adik Gugun, Lulu Ratna, dikenal sebagai pembuat film dan pernah menjadi manajer kelompok musik Slank di masa transisi dengan bergabungnya Abdee Negara dan Ridho Hafidz.

Kesehatan Latief merosot pada awal Maret 1983 dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta. Latief mulanya menjalani perawatan jantung, namun penyakit usus buntunya terlambat diketahui.

Pada 14 Maret 1983, Abdul Latief Hendraningrat tutup usia di RSPAD Gatot Subroto. Dengan pangkat kemiliteran terakhir Brigadir Jenderal dan dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, jenazah Latief Hendraningrat disemanyamkan di kediamannya di Jalan Mangunsarkoro Jakarta Pusat sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63033b0f7785d0582758b0bd