Imam DI/TII SM Kartosoewirjo dieksekusi mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. (Koleksi Fadli Zon).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 4 Juni 1962, satu kompi batalyon Kujang II Siliwangi menyergap dan menangkap Imam Negara Islam Indonesia (NII), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dan pengikutnya di daerah Gunung Sangkar dan Gunung Geber di Jawa Barat.
Bermain kucing-kucingan dengan Tentara Nasional Indonesia selama masa pengejaran, termasuk bersembunyi dan bertahan di dalam hutan, membuat tubuhnya jadi renta dan tak terawat. Saat tertangkap, dia diserang berbagai penyakit. Badannya kurus. Rambut dan kumisnya memutih. Dia terlihat lebih tua dibanding usianya saat itu: 57 tahun.
PADA 4 Juni 1962, satu kompi batalyon Kujang II Siliwangi menyergap dan menangkap Imam Negara Islam Indonesia (NII), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dan pengikutnya di daerah Gunung Sangkar dan Gunung Geber di Jawa Barat.
Bermain kucing-kucingan dengan Tentara Nasional Indonesia selama masa pengejaran, termasuk bersembunyi dan bertahan di dalam hutan, membuat tubuhnya jadi renta dan tak terawat. Saat tertangkap, dia diserang berbagai penyakit. Badannya kurus. Rambut dan kumisnya memutih. Dia terlihat lebih tua dibanding usianya saat itu: 57 tahun.
Usai ditangkap, Kartosoewirjo menjalani persidangan selama 14–16 Agustus 1962. Dia dikenai tiga tuduhan: memimpin dan mengatur penyerangan, hendak merobohkan pemerintahan Republik Indonesia yang sah, dan membunuh presiden. “Tuntutan kedua dan ketiga ditolak oleh Kartosoewirjo,” kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu Sang Imam.
Pengadilan Mahkamah Militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman mati. Upaya terakhir dengan meminta grasi gagal; Presiden Sukarno menolak grasinya. Dia pun harus menjalankan takdirnya.
Pada 12 September 1962, sebelum eksekusi, Kartosoewirjo mendapat kesempatan berkumpul bersama keluarga, satu dari empat keinginan terakhirnya. Hadir dalam pertemuan tersebut, istrinya, Dewi Siti Kalsum, putri tokoh Persatuan Serikat Islam Indonesia (PSII) cabang Malangbong, Ardiwisastra, yang telah memberikannya 12 anak –hanya tujuh yang hidup hingga tahun 1962. Hadir pula kelima anaknya: Tahmid Basuki Rahmat, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, dan Danti.
Momen-momen terakhir Kartosoewirjo terekam dalam buku Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII yang disusun politisi Fadli Zon. Buku ini diluncurkan di Gedung Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, September 2012, bertepatan dengan 50 tahun eksekusi Kartosoewirjo. Selain pameran, ada diskusi dengan pembicara Sardjono Kartosoewirjo, sejarawan Muhammad Iskandar, dan Fadli Zon.
“Saya membelinya sekitar dua tahun lalu. Saya dapatkan dari seorang kolektor, orang Indonesia juga. Saya pikir akan lebih baik jika foto-foto tersebut tidak lari ke luar negeri, maka saya membelinya,” kata Fadli Zon tanpa mau menyebut nama si kolektor.
Kartosoewirjo lahir di Cepu pada 7 Januari 1905 dari keluarga seorang mantri candu. Dia mengenyam pendidikan sekolah ala Barat. Bahkan sempat kuliah di Nederlands Indische Artsen School (Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya, meski hanya empat tahun. Dianggap terlibat gerakan politik, karena bergabung dengan Jong Java, dia dikeluarkan. Pamannya, Mas Marco Kartodikromo, adalah orang yang mengenalkannya pada gerakan nasionalis dan marxisme.
Tak lagi kuliah, Kartosoewirjo jadi editor di koran Fadjar Asia. Di Surabaya, dia berguru kepada “Raja Jawa tak bermahkota” HOS Tjokroaminoto bahkan menjadi sekretaris pribadinya. Dia juga menjalin pertemanan dengan murid Tjokroaminoto lainnya, Sukarno –yang kelak bersimpangan jalan dengannya. Ketika bergabung dalam komisioner Persatuan Serikat Islam Indonesia (PSII) Jawa Barat, dia menjalin hubungan dengan Ajengan Yusuf Taujiri, mentor dan guru spiritualnya.
Pemikiran Kartosoewirjo semakin radikal setelah dia mengetengahkan konsep hijrah pada kongres PSII tahun 1936. Kartosoewirjo dan pendukungnya kemudian membuat faksi baru yang disebut Komite Pembela Kebenaran dan mendirikan Suffah Institut, lembaga pendidikan kader dengan meniru pola pesantren, khususnya pesantren yang ada di Malangbong, Garut, kampung mertuanya. Namun ide ini tak mendapat restu dari ajengan Yusuf. Suffah Institut pun tak berlanjut; beberapa dari mereka kembali ke desa masing-masing.
Saat Jepang masuk ke Indonesia, Kartosoewirjo bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Jawa Hokokai. Bahkan dia aktif membina gerilyawan-gerilyawan di sekitar Banten dan memimpin sebuah Laskar Hizbullah yang berbasis di Malangbong, “Laskar-laskar binaan Kartosoewirjo ini tidak pernah dirangkul pemerintah saat itu,” kata Fadli Zon.
Pada 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik. Saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, Kartosoewirjo yang kecewa dengan hasil keputusan Perjanjian Renville mendirikan sebuah negara Islam pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampak, kecamatan Cilugalar, kabupaten Tasikmalaya. Upaya ini dinilai pemerintah sebagai pemberontakan, dan segera mengambil langkah strategis guna menumpasnya.
Mendeklarasikan berdirinya sebuah negara Islam, sebetulnya sudah menderu dalam jiwa Kartosoewirjo sejak mendengar Jepang kalah atas Sekutu, 6 Agustus 1945. Deklarasi direncanakan pada 14 Agustus 1945. Saat itu Kartosoewirjo yang sudah pindah ke Jakarta meminta Kiai Yusuf untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII), namun ditolak Kiai Yusuf. Tahun 1946, Kartosoewirjo yang aktif sebagai wakil Masyumi daerah Priangan tetap konsisten sikap politiknya dengan nonkooperatif pada penjajah. Dia menolak Perjanjian Linggarjati dan Renville. Dia dan Laskar Hizbullah yang dibentuknya menolak meninggalkan Jawa Barat untuk hijrah ke Yogyakarta. Lalu bersama Laskar Hizbullah dari Cirebon, Cicalengka, dan Blubur-Garut yang berada di bawah pimpinan Zainal Abidin, dia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).
Saat Republik Indonesia Serikat bubar pada 17 Agustus 1950, Kartosoewirjo yang setahun sebelumnya telah mendeklarasikan NII yakin itu sebagai bentuk kegagalan sistem pemerintahan yang sekuler bernama Republik Indonesia. Melalui suratnya kepada Presiden Sukarno, dia mengajak untuk menjadikan Islam sebagai landasan negara, tapi tidak ditanggapi. Pada 1950-1952 pihak DI/TII kemudian banyak melakukan inistiatif serangan pada pemerintah Republik Indonesia. Kota-kota atau pos polisi diserang, tidak hanya malam tapi juga siang hari. Butuh waktu sebelum akhirnya gerakan DI/TII ini dilumpuhkan oleh TNI, dan Kartosoewirjo berhasil dibekuk.
Kartosoewirjo mengenakan kemeja lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Sebatang rokok tak pernah lepas dari himpitan jemarinya. Di pertemuan itu, dia dan keluarga bersantap siang. Bila sang istri dan anak-anaknya melahap menu daging rendang khas masakan Padang yang disajikan, Kartosoewirjo enggan memakannya.
Usai santap siang, mereka bersenda gurau. Anak-anak Kartosoewirjo terlihat begitu tabah ketika oditur militer meminta ayah mereka memberi pesan terakhir. Kartosoewirjo berpikir sejenak dan lalu berbicara kepada keluarga.
“Saya tidak ikut, waktu itu usia saya baru lima tahun. Tapi tak ada pesan penting yang disampaikan bapak waktu itu, karena pertemuan itu kan juga dijaga sama tentara,” kata Sardjono.
Lalu keluarga itu berkumpul untuk pengambilan gambar. Kartosoewirjo duduk sebanjar dengan istri, lalu tiga putrinya, Kartika, Komalasari, dan Danti. Di belakangnya berdiri dua putra mereka, Tahmid Basuki Rahmat dan Dodo Mohammad Darda. Begitu kaku. Darda dan Komalasari membuang tatapan mereka dari lensa kamera, sedang Dewi Siti Kalsum tampak terpejam, mungkin karena pengaruh blitz.
Usai pertemuan, Kartosoewirjo melakukan salat taubat. Setelah itu seorang tentara, mungkin seorang imam dari seksi kerohanian TNI, memberikan wejangan. Kartosoewirjo menyimaknya dengan memejamkan mata.
Seorang petugas datang, memborgol tangannya, dan membawanya ke sebuah ruang tunggu. Jam tangan Rolex-nya dilepas, dan sejumlah barang lain diserahkan ke keluarga. Di ruang tunggu yang lebih mirip gudang itu, Kartosoewirjo masih sempat menikmati sebatang rokok, sebelum mobil tahanan membawanya menuju kapal PGM.
Di atas kapal PGM, Kartosoewirjo berbaring di ranjang. Kepalanya diganjal bantal. Seorang petugas dengan baret duduk di sisi ranjangnya. Di ujung ranjang ada dua petugas bersenjata. Kartosoewirjo menatap langit-langit. Dia mengatupkan dua tangannya yang terborgol dan menaruhnya di atas perut.
Tak lama, Kartosoewirjo dibawa petugas untuk pindah ke kapal LCM (Landing Craft Mechanized), kapal yang membawa dirinya ke Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, tempat dia diekseksusi dan dimakamkan. “Melalui rangkaian foto ini setidaknya bisa diketahui kalau Kartosoewirjo dimakamkan di Pulau Ubi bukan di Onrust seperti yang diyakini selama ini,” kata Fadli Zon.
Selain itu, foto ini menepis kabar tak sedap yang menyebutkan kalau Kartosoewirjo diperlakukan secara tak Islami ketika dieksekusi mati. “Ternyata dia diperlakukan secara Islami, disalatkan. Dengan foto ini, kontroversi dan imajinasi yang mengawang-awang tersingkap,” kata Mohammad Iskandar.*