Robert Wolter Mongisidi diapit dua kawan seperjuangannya. (Koleksi keluarga M.A. Kamah).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEMASA hidupnya, Maulwi Saelan kerap terlihat geram jika membahas kematian sahabatnya, Robert Wolter Mongisidi. Bagi pejuang kemerdekaan asal Sulawesi Selatan itu, sejatinya nyawa Bote, panggilan akrab Wolter, masih bisa diselamatkan andaikan para pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) memohonkan amnesti kepada Ratu Juliana di Den Haag, Belanda.
“Nyatanya mereka tidak pernah memiliki niat baik itu karena bagi para pejabat NIT, Bote tak lebih sebagai penjahat biasa yang harus dienyahkan,” ungkap Saelan kepada Historia.
Wolter ditembak mati oleh tim eksekusi dari Polisi Militer Belanda di sebuah lapangan yang masuk ke wilayah Tello, Makassar, pada 5 September 1949. Sebelumnya, pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Mr. Dr. B. Damen meluluskan tuntutan tim oditur militer untuk memberikan vonis mati kepada pemuda kelahiran Malalayang, Sulawesi Utara, pada 14 Februari 1925 itu.
“Dia dipersalahkan telah melakukan pembunuhan dan aksi teror sepanjang ‘zaman bersiap’,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid X.
SEMASA hidupnya, Maulwi Saelan kerap terlihat geram jika membahas kematian sahabatnya, Robert Wolter Mongisidi. Bagi pejuang kemerdekaan asal Sulawesi Selatan itu, sejatinya nyawa Bote, panggilan akrab Wolter, masih bisa diselamatkan andaikan para pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) memohonkan amnesti kepada Ratu Juliana di Den Haag, Belanda.
“Nyatanya mereka tidak pernah memiliki niat baik itu karena bagi para pejabat NIT, Bote tak lebih sebagai penjahat biasa yang harus dienyahkan,” ungkap Saelan kepada Historia.
Wolter ditembak mati oleh tim eksekusi dari Polisi Militer Belanda di sebuah lapangan yang masuk ke wilayah Tello, Makassar, pada 5 September 1949. Sebelumnya, pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Mr. Dr. B. Damen meluluskan tuntutan tim oditur militer untuk memberikan vonis mati kepada pemuda kelahiran Malalayang, Sulawesi Utara, pada 14 Februari 1925 itu.
“Dia dipersalahkan telah melakukan pembunuhan dan aksi teror sepanjang ‘zaman bersiap’,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid X.
Maulwi Saelan (memakai baret) sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara. (Dok. Maulwi Saelan).
Pemuda Pemberani
Kisah diburunya Wolter sebagai penjahat bermula dari aksi-aksi nekatnya yang kerap membikin pihak militer Belanda di Makassar kalang kabut. Sebagai komandan kelompok Harimau Indonesia, bagian dari LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), dia tak pernah mengenal kata mundur jika terjadi bentrok dengan militer Belanda.
Ketika terjadi pertempuran besar di wilayah Kassi-Kassi pada 23 Juli 1947, pasukan Belanda nyaris menghabisi para pejuang LAPRIS. Tercatat 16 pejuang gugur dan puluhan lainnya luka-luka hingga harus diselamatkan ke garis belakang. Namun, alih-alih mengikuti gerak mundur kawan-kawannya, grup Harimau Indonesia pimpinan Wolter malah menyelinap masuk kota.
“Tujuannya memukul kembali musuh dan membunuh para serdadunya sebanyak mungkin untuk membalas kekalahan yang diderita,” kata Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.
Ini membuktikan NIT yang dipimpin oleh mereka tak lebih sebagai negara bonekanya Belanda.
Saelan juga menjadi saksi pada suatu hari Wolter dengan mengendarai sebuah jip rampasan dari seorang perwira Belanda, nekat memasuki markas Belanda dan menghamburi mereka dengan peluru. Akibatnya banyak serdadu Belanda yang tewas dan luka-luka.
“Makanya wajar jika sepak terjang Bote terus-menerus diamati oleh intelijen Belanda,” ujar Saelan.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Pada 28 Februari 1949, Wolter disergap puluhan polisi dan tentara Belanda di gedung SMP Nasional. Begitu tertangkap, kedua tangannya langsung diborgol dan kedua kakinya dirantai. Usai mengalami penyiksaan hebat, dia diisolasi dalam sel di KIS Kampement, tempat yang pernah dia serbu.
Wolter diinterogasi nyaris setiap hari. Kendati mendapat penyiksaan dahsyat, dia tak pernah sepatah kata pun “bernyanyi”. Kepada para interogator, dia menyatakan bahwa semua tindakan pasukannya merupakan tanggung jawabnya. Singkatnya, dia mengaku sebagai pelaku utama dalam setiap aksi penyerangan terhadap militer Belanda di Makassar.
Pihak Belanda akhirnya menyerah. Pada 26 Maret 1949, palu hakim memutuskan Wolter bersalah dan harus menghadapi regu tembak.
Ilustrasi Robert Wolter Mongisidi dan Emmy Saelan berjuang bersama. (M.A. Yusuf/Historia.ID).
Dianggap Kriminal
Begitu vonis mati ditetapkan, semua sanak keluarga dan kawan-kawan Wolter tak tinggal diam. Sang ayah Petrus Mongisidi langsung terbang dari Manado dan berupaya meminta grasi untuk Wolter. Begitu juga para tokoh masyarakat dan partai-partai politik memintakan keringanan hukuman bagi Wolter kepada pemerintah NIT.
Alih-alih dikabulkan, permohonan tersebut malah kandas. Baik Presiden Tjokorde Soekawati, Perdana Menteri Anak Agung Gde Agung maupun Menteri Kehakiman Dr. Soumokil menolak mentah-mentah permohonan tersebut. Mereka sepenuhnya menganggap kasus Wolter tak lebih sebagai kasus kriminal biasa yang memang harus mendapat ganjaran setimpal.
“Ini membuktikan NIT yang dipimpin oleh mereka tak lebih sebagai negara bonekanya Belanda,” kata Saelan.
Menurut Nasution, pemerintah Republik Indonesia sangat menyesalkan keputusan NIT tersebut. Hukuman mati tersebut dianggap menodai semangat persetujuan politik yang justru harus melenyapkan rasa dendam di kedua pihak.
“Seolah-olah mereka mengabaikan begitu saja perundingan yang sedang berlangsung mengenai pembebasan para pejuang yang mereka tahan, yang telah sama-sama disetujui akan dilepaskan selekas mungkin,” kata Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid XI.
Wolter sendiri tak pernah menulis atau mengeluarkan kata-kata yang mengarah kepada permintaan ampun kepada pemerintah NIT dan pemerintah Belanda. Dia sepenuhnya yakin bahwa kematiannya untuk sebuah keyakinan yang benar, sesuai kata-kata terakhirnya yang dia tulis dalam secarik kertas sebelum peluru tajam menghunjam tubuhnya: setia hingga terakhir dalam keyakinan.
Kepada kawan-kawan seperjuangannya, Wolter masih sempat menuliskan pesan dalam sepucuk surat:
“Dengan bantuan Tuhan, aku menjalani hukuman mati ini. Aku tidak mempunyai rasa dendam kepada siapapun, juga tidak kepada mereka yang menjatuhkan hukuman mati ini. Tetapi aku yakin, segala pengorbanan, air mata dan darah para pemuda kita akan menjadi pedoman yang kuat untuk tanah air Indonesia yang kita cintai ini.”*