Hamka saat menghadap Presiden Sukarno, 3 Desember 1950. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
HAMKA baru saja pulang dari Masjid Agung Al-Azhar ketika empat polisi mendatangi rumahnya di Kebayoran Baru. Rusydi Hamka, anak ketiga Hamka, membuka pintu seraya menanyakan maksud sang tamu. Hamka yang sedang beristirahat beranjak bangun dan menyambangi tamunya.
Tanpa berpanjang lebar, salah seorang polisi langsung menunjukkan surat perintah penahanan Hamka. Untuk beberapa saat, Hamka terkesiap dibuatnya. “Jadi saya ditangkap?” tanya Hamka kepada polisi itu, sebagaimana diingat Rusydi dan dimuat dalam bukunya Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka.
“Ya,” jawab polisi tadi seraya meminta izin kepada Hamka untuk memeriksa rumahnya.
Siti Raham, istri Hamka, sedang sakit, kaget ada polisi di rumahnya. Hamka menjelaskan apa yang tengah terjadi dan seketika pula pecah tangis Siti Raham, diikuti tangisan anak-anak mereka.
HAMKA baru saja pulang dari Masjid Agung Al-Azhar ketika empat polisi mendatangi rumahnya di Kebayoran Baru. Rusydi Hamka, anak ketiga Hamka, membuka pintu seraya menanyakan maksud sang tamu. Hamka yang sedang beristirahat beranjak bangun dan menyambangi tamunya.
Tanpa berpanjang lebar, salah seorang polisi langsung menunjukkan surat perintah penahanan Hamka. Untuk beberapa saat, Hamka terkesiap dibuatnya. “Jadi saya ditangkap?” tanya Hamka kepada polisi itu, sebagaimana diingat Rusydi dan dimuat dalam bukunya Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka.
“Ya,” jawab polisi tadi seraya meminta izin kepada Hamka untuk memeriksa rumahnya.
Siti Raham, istri Hamka, sedang sakit, kaget ada polisi di rumahnya. Hamka menjelaskan apa yang tengah terjadi dan seketika pula pecah tangis Siti Raham, diikuti tangisan anak-anak mereka.
Penggeledahan selesai sesaat sebelum azan zuhur berkumandang. Sebuah foto Hamka sedang berpose dengan Perdana Menteri Malaya Tunku Abdul Rahman Putera tahun 1959 ikut disita. Usai salat zuhur, polisi menggelandang Hamka tanpa memberi tahu keluarga akan ke mana dia dibawa.
Siti Raham tak kuasa menahan sedihnya. Sementara tangisan anak-anak Hamka tak henti-hentinya meratapi penangkapan ayah mereka. “Dengan sebuah mobil Morris ayah pun dibawa ke Markas Kepolisian. Kami mengantarnya sampai di pintu. Begitu mobil bergerak, Ummi yang berdiri di teras rumah jatuh pingsan. Saya mengangkatnya dan membawanya ke kamar,” tulis Rusydi.
Esoknya mereka ke Mabes Polri untuk menanyakan keberadaan Hamka. Tapi jawaban yang mereka dapat hanyalah perintah menunggu sampai ada berita lebih lanjut. Siti Siti Raham terpukul.
Ternyata Hamka dibawa ke Cimacan lalu Ciloto dan ditahan di Bungalow Harlina milik Kepolisian. Empat hari dibiarkan tanpa penjelasan, Hamka lalu dipindah ke Bungalow Harjuna sesaat untuk kemudian dibawa ke Sekolah Kepolisian di Sukabumi. Di sanalah Hamka mulai diperiksa secara maraton sejak 1 Februari 1964. Hamka menuliskannya dalam catatan harian, yang dilampirkan dalam buku Rusydi.
Para interogator menuduh Hamka terlibat dalam rencana upaya pembunuhan Sukarno sehingga terjerat Penpres No. 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Ada tiga perkara yang membuat Hamka menjadi pesakitan: terlibat dalam rapat gelap di Tangerang mengenai rencana pembunuhan presiden, turut dalam rencana kudeta, dan menerima uang dari PM Malaysia Tunku Abdul Rahman Putera; memberi ceramah subversif di Pontianak; dan memberi kuliah subversif di IAIN Ciputat.
Menurut Hamka semua tuduhan itu tidak berdasar. Ceramahnya di Pontianak pada 31 Agustus 1963 berkebalikan dari tuduhan yang diterimanya, karena isi ceramahnya justru mendukung pemerintah Indonesia untuk melawan Malaysia. Demikian pula dengan kuliah di IAIN Ciputat, Hamka menyerukan semangat para mahasiswa untuk terus berjuang. Dalam berjuang, katanya, hendaknya mereka harus menghindarai jalan orang-orang kalah seperti PRRI atau DI/TII. Adanya kata “PRRI” dan “DI/TII” ditafsirkan sebagai penghasutan untuk melawan pemerintah.
Hamka mengutip tuduhan pemeriksanya yang mengatakan kalau dia turut makar melawan penguasa. Gondo, nama pemeriksa itu, kata Hamka dalam catatan hariannya, “mengatakan bahwa saya sebagai orang Masyumi tentu anti-Pancasila”.
Penangkapan Hamka terjadi setelah penangkapan beberapa kawannya dari Masyumi dan beberapa tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kedua partai itu dibubarkan pemerintah pada Agustus 1960 karena beberapa anggotanya terlibat dalam PRRI/Permesta.
Penangkapan mereka bermula pada 18 Agustus 1961, ketika beberapa tokoh PSI dan Masyumi antara lain Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Anak Agung Gde Agung, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Isa Anshary memenuhi undangan dari Anak Agung Gde Agung untuk menghadiri upacara palebon (kremasi) ayahnya yang mantan raja Gianyar. Mantan Wapres Mohamad Hatta juga datang bersama mereka.
Tak jelas siapa yang memerintah Hasan Suri untuk bermain sandiwara memfitnah Hamka.
Empat bulan kemudian, Biro Pusat Intelijen (BPI) di bawah Soebandrio menemukan dokumen yang mengungkap organisasi mereka bernama Vereenidge Ondergondse Corps (VOC), yang memiliki kaitan dengan percobaan pembunuhan Presiden Sukarno di Makassar, Januari 1962. Sukarno memerintahkan penyelidikan. Pada 16 Januari 1962, kecuali Hatta, para tokoh yang menghadiri palebon ditangkap dan ditahan. Soebandrio dan A.H. Nasution yang menandatangani surat penangkapannya.
Banyak kalangan mencurigai BPI dan Angkatan Darat menjadi aktor utama di balik penangkapan Sjahrir cum suis. “Di kalangan teman-teman Sjahrir, Soebandrio kemudian dianggap sebagai penjahat utama di balik apa yang kemudian terjadi dengan Sjahrir,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.
Hamka ditahan dua tahun kemudian atas tuduhan serupa. Dia menjalani hari-hari berat di dalam tahanan: pemeriksaan nonstop disertai intimidasi psikis. Dalam surat rahasianya kepada Rusydi, Hamka berkisah, “Selama sebulan ayah diperiksa oleh satu team polisi dengan sorot lampu, dituding, dihina sejadi-jadinya,” tulis Rusydi mengutip keterangan ayahnya.
Hamka memang tak sempat merasakan disetrum pemeriksa, tetapi tangannya kerap disundut rokok. Pernah suatu kali setelah dibentak-bentak dia ditelanjangi hingga tinggal mengenakan kolor. Akibatnya, pada suatu pagi, ujar Hamka sebagaimana dimuat dalam buku Rusydi, dia sampai menangis ketika berdoa lantaran merasa tak pernah melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan.
Keadaan mulai berubah setelah Hamka membuat keterangan tertulis sesuai yang diinginkan pemeriksa. Keterangan palsu itu dibuat demi menghindari siksaan fisik. Hamka melakukannya setelah dibujuk Kolonel Nasuhi, perwira Siliwangi yang terlibat penggranatan kantor PKI pada 1957, yang juga ditahan di tempat sama.
Pada 24 Maret 1964 keadaannya mulai berubah. Tim pemeriksa mendapatkan kesimpulan sementara, semua tuduhan kepada Hamka hanyalah fitnah. Sumbernya berasal dari Hasan Suri, anggota Pemuda Rakyat di Ciganjur yang menyamar jadi anggota Gerakan Angkatan Pembela Islam (GAPI) di mana Hamka disebut menjadi salah satu pengurus.
Kabarnya Hasan adalah orang yang pertama kali memberikan keterangan tentang rapat gelap di Tangerang. Pengakuan itu menimbulkan kecurigaan polisi setelah dikonfrontir kepada para tahanan lain. Selain itu, seperti tertulis dalam buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo, 75 Tahun, “Ternyata dia (Hasan Suri, red.) sengaja diperintahkan bermain sandiwara ikut ditahan untuk menjebak dan menyempurnakan fitnah terhadap pemimpin-pemimpin Islam.” Tak jelas siapa yang memerintah Hasan Suri untuk bermain sandiwara memfitnah Hamka.
Atas kesalahan itu, Inspektur Siregar, pemimpin tim pemeriksa, meminta maaf kepada Hamka. “Seluruh anggota Team Pemeriksa telah sampai kepada suatu kesimpulan, setelah memeriksa seluruh perkara ini, bahwa semua perkara ini tidak ada. Harap Pak Hamka sabar, dan khusus saya sendiri, meminta maaf sebesar-besarnya kepada Pak Hamka kalau ada sikap saya yang kasar,” ujar Siregar sebagaimana dikutip Hamka.
Hamka mengalami beberapa kali pindah tempat penahanan sebelum akhirnya ditempatkan di RS Persahabatan, Rawamangun akibat kondisi kesehatannya yang menurun. Dia belum dinyatakan bebas karena masih menunggu proses pengadilan. Sampai rezim berganti dari Sukarno ke Soeharto, pengadilan Hamka tak pernah ada.
“Saya rasa Pak Hamka tidak akan sampai dihadapkan ke muka pengadilan, sebab perkara ini tidak ada! Ini adalah urusan politik,” ujar AKBP Supartojo, polisi yang menjemput Hamka ketika hendak dipindahkan tahanan ke Megamendung, sebagaimana dikutip Hamka.
Penahanan Hamka selama lebih dari dua tahun itu sempat membuat kehidupan keluarganya terseok-seok. Untuk memutar roda ekonomi keluarga, Siti Raham melepas perhiasan-perhiasannya. “Ada yang digadaikan, ada yang digadai nggak bisa ditebus, dijual, dan segala macam,” ujar Irfan Malik Hamka, putra kelima Hamka. “Saya ini tugas utamanya menggadaikan barang. Dulu gadai cuma ada di Gang Ketapang, Jalan Gajah Mada. Ke sana saya itu, ngantri,” kata dia melanjutkan.
Akhirnya masa pembebasan Hamka tiba. Saat Sukarno mulai tumbang dan Soeharto merangkak naik ke puncak kekuasaan, Hamka keluar dari tahanan pada Mei 1966. Buah dari pemenjaraan itu bukan hanya pengalaman pahit melainkan pula berjilid-jilid buku tafsir Al-Qur’an yang dinamainya Tafsir Al Azhar.*