SETELAH setengah abad lebih berlalu, film Tiga Dara hadir kembali untuk menyapa penikmat film Indonesia. Ini berkat kerja keras SA Films yang sudi mereparasi dan merestorasi film musikal garapan Usmar Ismail ini, yang rusak di sana-sini. Hasilnya di luar dugaan. Dengan format 4K, gambar yang dihasilkannya begitu tajam, bahkan beberapa detail kecil terlihat jelas.
Bagaimana proses reparasi dan restorasi Tiga Dara? Berikut penuturan Alex Sihar dari SA Films kepada Historia.
SETELAH setengah abad lebih berlalu, film Tiga Dara hadir kembali untuk menyapa penikmat film Indonesia. Ini berkat kerja keras SA Films yang sudi mereparasi dan merestorasi film musikal garapan Usmar Ismail ini, yang rusak di sana-sini. Hasilnya di luar dugaan. Dengan format 4K, gambar yang dihasilkannya begitu tajam, bahkan beberapa detail kecil terlihat jelas.
Bagaimana proses reparasi dan restorasi Tiga Dara? Berikut penuturan Alex Sihar dari SA Films kepada Historia.
Kenapa Tiga Dara? Bukankah ada banyak film lawas yang apik?
Tiga Dara merupakan karya penting Usmar Ismail yang dianggap sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Ini karya ke-11 Usmar Ismail yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Karya ini komersial, populis, dan di zamannya berhasil bertahan lebih dari delapan minggu di bioskop-bioskop Indonesia.
Apa kendala utama selama proses restorasi?
Di Indonesia, kita tidak memiliki sumber daya dan infrastruktur yang mumpuni untuk melakukan reparasi fisik seluloid 35mm. Karena itulah kami melibatkan dua orang Indonesia dalam seluruh proses di laboratorium L’immagine Ritrovata. Lintang Gitomartoyo terlibat dalam tim reparasi fisik, sementara Lisabona Rahman dalam proses komparasi dan rekonstruksi materi. Melalui cara ini terjadi transfer pengetahuan, sehingga mudah-mudahan di kesempatan lain kita bisa melakukan seluruh proses restorasi di Indonesia.
Kendala teknis terutama pada tingginya tingkat kerusakan fisik dan vinegar syndrome yang sudah cukup parah. Vinegar syndrome sudah sampai memicu terjadinya pengkerutan medium seluloid sehingga proses digitalisasi berjalan sangat lambat.
Sementara kendala nonteknisnya, sulit meyakinkan berbagai pihak, perusahaan swasta dan perorangan, untuk menjadi sponsor. Beruntung, pada tahap akhir ada dua perusahaan menyatakan komitmen sebagai sponsor. Untuk proses administrasi pengiriman dan penerimaan film ke dan dari Italia, kami dibantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Alex Sihar dari SA Films. (Dok. pribadi).
Kenapa memilih format 4K?
Saat analisis fisik materi dan kemudian dilakukan scanning (digitalisasi) awal –sebelum reparasi fisik dilakukan– dalam format 2K di Jakarta, tim restorasi digital (PT Render Digital Indonesia) memberikan masukan kepada SA Films. Menurut analisis mereka, sebaiknya digitalisasi dilakukan dalam format 4K. Sebab, mereka menemukan banyak detail kerusakan yang akan lebih mungkin diperbaiki apabila digitalisasi dilakukan dalam resolusi setinggi mungkin.
Atas masukan tersebut, kami meminta pihak L’immagine Ritrovata sebagai laboratorium reparasi fisik seluloid melakukan digitalisasi dalam format 4K setelah proses reparasi fisik selesai. Ternyata keputusan itu tepat. Dengan format tersebut, banyak informasi detail didapat dan proses perbaikan image menjadi semakin akurat.
Adakah perubahan terhadap isi film?
Sesuai kaidah restorasi, tidak diperbolehkan mengubah, menambah, atau mengurangi isi (badan) film yang direstorasi. Yang dilakukan adalah memperbaiki keadaan film yang rusak karena dimakan waktu ke keadaan semula. Kami juga berusaha menjaga agar jangan sampai ada perubahan dalam isi atau badan film sehingga tidak mengubah arti/maksud film yang dibuat Usmar Ismail 60 tahun lalu.
Penambahan hanya di awal film berupa frame restoration credit, kredit yang menjelaskan siapa saja pihak yang mendukung, mensponsori, dan melakukan restorasi. Ini praktik yang lazim di dunia restorasi film internasional. Penambahan ini juga merupakan etiket yang memberi tanda kapan sebuah film direstorasi, oleh siapa, dan dilakukan atas materi awal yang mana.
Untuk kepentingan pemutaran di bioskop komersial, kami “terpaksa” mengubah moda audio, dari mono menjadi pseudo dolby. Sebab, infrastruktur bioskop saat ini jauh berbeda dari saat pertama kali film ini diputar untuk publik. Bila hal ini tidak dilakukan, audio mono di bioskop hanya akan keluar entah di speaker kiri-depan, atau tengah, atau bahkan kanan-belakang.
Tapi, nantinya untuk kepentingan preservasi dan menjaga kaidah restorasi, hasil restorasi digital 4K ini akan dicetak kembali ke media seluloid 35mm dengan audio mono, baik master negatif maupun copy positif. Pencetakan preservation copy ini belum kami lakukan, melihat kondisi tempat penyimpanan yang layak dan memadai untuk arsip film belum ada. Film vault Sinematek Indonesia masih dalam keadaan mengenaskan. Perpustakaan Nasional tidak punya film vault. Sementara film vault Arsip Nasional Republik Indonesia sudah penuh. Pemerintah, melalui Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berjanji akan membangun film vault yang layak dalam 1-2 tahun ke depan. Maka, setelah film vault itu tersedia, baru kami berani mencetak kembali preservation copy. Kalau tidak, kan percuma saja dicetak dan kembali rusak atau terkena vinegar syndrome.
Poster film Tiga Dara. (SA Films).
Bagaimana agar bisa tayang di jaringan bioskop 21?
SA Films mengajukan kerja sama pemutaran komersial kepada pihak Studio XXI. Studio XXI menyambut kerja sama tersebut. Penentuan jumlah layar dan lokasi pemutaran merupakan hak Studio XXI, dengan memperhatikan proposal pihak SA Films.
Bagaimana dengan hak cipta dan royalti?
Merujuk pada Undang-Undang Hak Cipta, film Tiga Dara tidak termasuk dalam masa perlindungan hak cipta –50 tahun sejak karya sinematografi tersebut dipublikasikan untuk pertama kalinya. Jadi, film ini sudah menjadi public domain, yang secara legal boleh dieksploitasi siapapun.
Meski demikian, karena proses restorasi ini membutuhkan master negatif asli dari film tersebut, yang hanya dimiliki keluarga Usmar Ismail, SA Films mengajukan peminjaman master film dan izin untuk melakukan restorasi atas master tersebut. Sebagai iktikad baik, bukan kewajiban yang diharuskan UU, kami memberikan apresiasi. Kami juga akan memberikan sebagian royalti kepada keluarga Usmar Ismail dari pendapatan pemutaran di bioskop komersial.
Apa harapan Anda dengan penayangan restorasi Tiga Dara?
Harapan utamanya, film ini bisa diakses sebanyak mungkin penonton, terutama generasi muda Indonesia. Karena ini merupakan kali pertama proses restorasi film di Indonesia dilakukan dengan skema pembiayaan swasta. Kami berharap respons publik yang besar, sehingga ke depannya semakin banyak pihak swasta tertarik untuk membantu berbagai inisiatif restorasi film yang dilakukan berbagai pihak di Indonesia.*