Lukisan sidang pemecatan Soetomo di ruang pamer gedung STOVIA. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
WAHIDIN Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa dari priayi rendahan, sama sekali tak bermaksud singgah ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah untuk Pendidikan Dokter Bumiputra) di Batavia.
Pada akhir 1907, dia hanya ingin rehat setelah melakukan perjalanan kampanye mencari beasiswa bagi anak-anak muda bumiputra yang pandai. Ditemani Pangeran Ario Notodirodjo, putra Pakualam V, dia mendatangi para priayi yang lebih tua dan tinggi untuk menyampaikan gagasannya itu.
Wahidin tiba-tiba diundang Soetomo dan Soeradji, siswa STOVIA, untuk berceramah mengenai pentingnya pendidikan sebagai kunci kemajuan.
Wahidin mengungkapkan gagasannya untuk mewujudkan sebuah lembaga beasiswa bagi pemuda bumiputra agar dapat melanjutkan studinya dengan baik.
WAHIDIN Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa dari priayi rendahan, sama sekali tak bermaksud singgah ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah untuk Pendidikan Dokter Bumiputra) di Batavia.
Pada akhir 1907, dia hanya ingin rehat setelah melakukan perjalanan kampanye mencari beasiswa bagi anak-anak muda bumiputra yang pandai. Ditemani Pangeran Ario Notodirodjo, putra Pakualam V, dia mendatangi para priayi yang lebih tua dan tinggi untuk menyampaikan gagasannya itu.
Wahidin tiba-tiba diundang Soetomo dan Soeradji, siswa STOVIA, untuk berceramah mengenai pentingnya pendidikan sebagai kunci kemajuan.
Wahidin mengungkapkan gagasannya untuk mewujudkan sebuah lembaga beasiswa bagi pemuda bumiputra agar dapat melanjutkan studinya dengan baik.
“Dalam diskusi dua generasi anggota masyarakat kedokteran ini dibicarakan hal-hal umum tentang masa depan kebangsaan serta perlunya agen-agen perubahan (agent of changes) untuk mempelopori pembangunan kebangsaan,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918 menyebut Soetomo dan Soeradji lebih terkesan oleh perangai, pikiran, dan semangat pengabdian Wahidin ketimbang rencana-rencananya.
“Barangkali ia pun tidak berbicara tentang beasiswa sama sekali, tetapi kata-katanya tergores mendalam di lubuk hati dua anak muda itu,” catat Nagazumi. “Sekali dirasuki oleh gagasan-gagasan Wahidin, Soetomo segera larut dalam kegiatan mendirikan suatu perkumpulan di dalam STOVIA.”
Untuk merealisasikan pembentukan perkumpulan tersebut, Soetomo dibantu rekannya: Soeradji, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembrek, Mohammad Saleh, dan Soelaeman.
Pendirian Boedi Oetomo
Rabu, 20 Mei 1908, pukul sembilan pagi. Puluhan anak muda berkumpul di aula STOVIA –Abdurrachman Surjomihardjo dalam Budi Utomo Cabang Betawi menyebut ruang anatomi. Selain siswa STOVIA, turut pula hadir siswa-siswa dari sekolah pertanian (landbouw school) dan kehewanan (veeartsnij school) di Bogor; sekolah pamongpraja (OSVIA) di Magelang dan Probolinggo; sekolah menengah petang (hogere burger school) di Surabaya; serta sekolah pendidikan guru bumiputra (normaalschool) di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.
Dalam pertemuan itu mereka sepakat mendirikan organisasi. Nama Boedi Oetomo sudah ditetapkan sejak awal. Soeradji mengutipnya dari pujian Soetomo kepada Wahidin: “Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami (Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi).”
Aktivitas Soetomo dan kawan-kawannya ternyata mendatangkan masalah. Tak semua guru STOVIA suka terhadap aktivitas siswa-siswanya itu. Soetomo hampir dikeluarkan karena dituduh hendak melawan pemerintah. Aksi solidaritas pun menyeruak. Goenawan dan teman-temannya mengancam akan keluar jika Soetomo dikeluarkan.
Dr. F.H. Roll, direktur STOVIA yang berpikiran maju dan melawan arus, turun tangan membela Soetomo. Dalam sidang para guru untuk memutuskan nasib Soetomo, Roll melempar pertanyaan: “Tidak adakah seorang pun di antara Anda sekalian yang hadir di sini yang seradikal seperti Soetomo ketika Anda berumur 18 tahun?”
Memang kenyataannya tak semua guru STOVIA berpandangan segaris dengan pemerintah kolonial. Menurut Rushdy, ada beberapa guru yang mencintai kebebasan dan kebenaran. Paham-paham liberalisme sebagai warisan Revolusi Prancis bukan tidak mungkin menjadi bahan diskusi sehari-hari yang disampaikan kepada para murid.
Pernyataan Roll mempengaruhi jalannya sidang sehingga Soetomo dibebaskan dari tuduhan dan tidak jadi dikeluarkan. Roll juga memberi bantuan berupa pinjaman uang untuk keperluan kongres pertama Boedi Oetomo.
Menurut Surjomihardjo, para pemuda juga menjual arloji, kain panjang, ikat kepala, dan menyumbangkan tunjangan pribadi mereka untuk bulan puasa demi membiayai kongres pertama. “Namun, Sutomo menyesali sikap angkatan lebih tua pada umumnya yang belum dapat menghayati cita-cita dan kemauan angkatan muda,” tulis Surjomihardjo.
Menyerahkan Kepada Kaum Tua
Para siswa STOVIA mencurahkan tenaga untuk merebut hati rekan-rekan dari sekolah lanjutan lainnya. Dengan cepat cabang Boedi Oetomo berdiri di tiga dari delapan sekolah yang hadir saat pembentukan: OSVIA di Magelang, sekolah pendidikan guru bumiputra di Yogyakarta, dan sekolah menengah petang di Surabaya. Sehingga, jumlah anggota Boedi Oetomo pada Juli 1908 mencapai 650 orang. Dari keseluruhan, anggota dari STOVIA relatif kecil karena jumlah siswanya sedikit.
“Kendati demikian selama tahun-tahun pertama STOVIA tetap merupakan pusat kegiatan Boedi Oetomo,” tulis Nagazumi.
Sadar bahwa kemajuan kaum bumiputra masih bergantung pada sikap kaum priayi, tokoh-tokoh pendiri Boedi Oetomo mengikuti pendekatan yang ditempuh Wahidin. Mereka menghubungi para priayi tinggi yang telah tergugah hatinya seperti bupati Tuban, Temanggung, Jepara, Demak, Karanganyar, Kutoarjo, dan Serang; serta Pangeran Ario Notodirodjo dari Pakualaman. Mereka juga menghubungi “putri-putri Jepara”, yakni adik-adik R.A. Kartini.
Ketiga kelompok tersebut merupakan “titik pusat dalam jaringan cita-cita kemajuan di Jawa,” sebut Surjomihardjo. “Kelompok pelajar STOVIA dengan teman-temannya dan sekolah lain merupakan kelompok keempat yang mendorong golongan tua untuk mengadakan kongres.”
Menjelang kongres, Boedi Oetomo sudah memiliki delapan cabang: Batavia, Bogor, Bandung, Yogyakarta I, Yogyakarta II, Magelang, Surabaya, dan Probolinggo. Jumlah anggotanya meningkat dari 650 menjadi 1.200 anggota, di mana 700 anggota di antaranya “pejabat dan orang-orang pribumi” (bukan siswa). Dengan meningkatnya persentase anggota yang bukan siswa, “pengaruh para siswa pun berangsur-angsur menjadi semakin lemah,” tulis Nagazumi.
Dalam pertemuan pada 8 Agustus 1908, para pemimpin Boedi Oetomo memutuskan Yogyakarta sebagai tempat kongres pertama. Penetapan ini, menurut Nagazumi, bukan karena Yogyakarta merupakan tempat kelahiran Wahidin tetapi karena Yogyakarta dipandang sebagai tempat denyut jantungnya Jawa.
Dengan demikian, menurut Surjomihardjo, mereka makin sadar bahwa pelaksanaan cita-cita mereka diserahkan kepada angkatan tua.*