Di Bawah Panji Muhammadiyah

Muhammadiyah jadi motor pembaruan Islam di Minangkabau. Hamka salah satu pengemudinya.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Di Bawah Panji MuhammadiyahDi Bawah Panji Muhammadiyah
cover caption
Hamka bersama mubalig Muhammadiyah dari Minangkabau dan Solo saat menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, 1931. (Repro Kenang-kenangan Hidup Jilid II).

PEMBARUAN Islam di Minangkabau terjadi saat Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang datang dari Makkah pada 1803. Mereka berikhtiar memurnikan Islam dari praktik ritual yang mencemari agama, antara lain takhayul (mistik), bidah (melakukan ritual yang tak dicontohkan Rasulullah) dan khurafat (percaya kepada kekuatan gaib selain Allah).

Rintangan pertama ikhtiar itu datang dari kaum adat, pemegang teguh tradisi leluhur di Minangkabau. Genderang perang ditabuh. Belanda campur tangan sehingga menyulut perang terbuka antara dua kaum tersebut. Kelak perang itu dikenal sebagai Perang Paderi, berlangsung sejak 1803 sampai 1837 dengan kemenangan di pihak kaum adat.

Kekalahan Perang Paderi mendorong mereka mengirim anak cucunya belajar Islam ke Makkah. Seabad setelah kepulangan tiga haji itu, pembaruan Islam dilakukan murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Mohammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul). Tidak hanya keras terhadap adat, mereka juga menentang aliran Islam tasawuf.

PEMBARUAN Islam di Minangkabau terjadi saat Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang datang dari Makkah pada 1803. Mereka berikhtiar memurnikan Islam dari praktik ritual yang mencemari agama, antara lain takhayul (mistik), bidah (melakukan ritual yang tak dicontohkan Rasulullah) dan khurafat (percaya kepada kekuatan gaib selain Allah).

Rintangan pertama ikhtiar itu datang dari kaum adat, pemegang teguh tradisi leluhur di Minangkabau. Genderang perang ditabuh. Belanda campur tangan sehingga menyulut perang terbuka antara dua kaum tersebut. Kelak perang itu dikenal sebagai Perang Paderi, berlangsung sejak 1803 sampai 1837 dengan kemenangan di pihak kaum adat.

Kekalahan Perang Paderi mendorong mereka mengirim anak cucunya belajar Islam ke Makkah. Seabad setelah kepulangan tiga haji itu, pembaruan Islam dilakukan murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Mohammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul). Tidak hanya keras terhadap adat, mereka juga menentang aliran Islam tasawuf.

“Pada tahun 1906 mereka telah menyatakan bantahan keras kepada ajaran Ilmu Tasawwuf ‘Wihdatul Wujud’ yang telah menyeleweng jauh dari ajaran Tauhid,” tulis Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau.

Haji Rasul menuangkan pemikiran-pemikiran pembaruan Islam di majalah Al-Munir yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1911. Majalah yang hanya terbit lima tahun ini, dibaca para pembaru Islam di Jawa. Ketika ke Jawa pada 1917, Haji Rasul disambut gembira oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Islam modern Muhammadiyah, dan murid-muridnya.

“Dan beliau sendiri pun amat tertarik melihat bagaimana Kiyahi H.A. Dahlan memimpin murid-muridnya,” tulis Hamka. “Peti-peti tempat kaleng minyak tanah dijadikan bangku-bangku tempat belajar.”

Haji Rasul juga melihat usaha Ahmad Dahlan mengajarkan agama Islam di Kweekschool Gubernement (sekolah guru pemerintah). Sekembalinya ke Padang Panjang, dia menerapkan apa yang dilakukan Ahmad Dahlan. Dia sempat mengajar agama Islam di Normaalschool (sekolah guru) dan mendirikan Sumatra Thawalib dengan sistem pendidikan modern: kelas bertingkat, menggunakan meja tulis, menekankan bahasa Arab untuk mempelajari sumber-sumber Islam, memakai bahan-bahan pelajaran dari Mesir, serta tambahan pelajaran seperti ilmu bumi dan sejarah.

Thawalib dibuka di lima tempat dan masing-masing menerbitkan majalah: Al-Munir (Padang Pandang), Al-Basyir (Tanjung Sungayang), Al-Bayan (Parabek), Al-Iman (Padang Jepang), dan Al-Ittiqaam (Maninjau).

Menurut Azyumardi Azra dalam Islam Subtantif, kaum pembaru, khusus angkatan Haji Rasul dan Abdullah Ahmad menganggap bahwa surau-surau hanyalah sumber bidah, khurafat, dan takhayul karena memang di sana banyak dilakukan praktik tasawuf. Mereka menganggap surau itu ketinggalan zaman dan harus dibuat sekolah-sekolah Islam. “Muncullah Diniyah, Thawalib, dan lain-lain yang merupakan sekolah-sekolah Islam modernis,” tulis Azra.

Pada 1920, ulama-ulama pembaru yang disebut “kaum muda” berhimpun dalam Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Namun, pada 1922, gerakan mereka mendapat tantangan dari guru Thawalib sendiri, yakni Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, yang membawa paham komunis dari Jawa dan berhasil menyebarkannya di kalangan murid Thawalib. Bahkan, Haji Rasul terusir dari Thawalib dan mengajar sendiri di rumahnya di Gatangan, Padang Panjang sejak 1923 sampai gempa bumi mengguncang pada 28 Juni 1926.

Hamka setelah bertugas jadi mubalig Pengurus Besar Muhammadiyah di Makassar, 1934. (Repro Kenang-kenangan Hidup Jilid II).

Mendirikan Muhammadiyah

Pada 1925, Haji Rasul berkunjung ke Pekalongan untuk menengok putri sulungnya, Fatimah, istri Sutan Mansur. Sekalian dia temui adiknya, Ja’far Amrullah dan anak lelakinya, Hamka.

Sepeninggal Ahmad Dahlan, ada tujuh orang tokoh Muhammadiyah terkemuka salah satunya Sutan Mansur yang memimpin Muhammadiyah cabang Pekalongan, Pekajangan, dan Kedung Wuni. Alasan Sutan Mansur masuk Muhammadiyah, menurut Hamka, karena “selama ini dia merasa di Minangkabau Islam hanya dipelajari sebagai ilmu belaka. Tetapi tidak ada gerakan buat mengamalkan!”

Haji Rasul terkesan dengan kegiatan menantunya dalam Muhammadiyah. Dia juga meninjau Muhammadiyah di Yogyakarta. Dia kembali ke Minangkabau bersama Ja’far Amrullah dan Marah Intan, anggota Muhammadiyah. Tak lama setelah tiba, dia menganjurkan pendirian Muhammadiyah di Sungaibatang, Tanjungsani.

“Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman yang ketuanya adik beliau sendiri Haji Yusuf Amrullah langsung ditukar namanya jadi Muhammadiyah, minta diakui sebagai cabang dari Yogyakarta,” tulis Hamka.

Haji Rasul kemudian menganjurkan murid-murid Thawalib yang berasal dari Sungaibatang Tanjungsani mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumahnya di Gatangan, Padang Panjang. Tujuannya mempersiapkan mereka sebagai mubalig dan guru Muhammadiyah. Hamka yang kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925, langsung terlibat dalam Tabligh Muhammadiyah. Seminggu sekali diadakan latihan tablig. Hamka membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus dimuat majalah Khatibul Ummah dengan tiras 500 eksemplar. Hamka jadi pemimpin redaksinya. Majalah ini hanya terbit tiga nomor karena alasan keuangan.

Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman yang ketuanya adik beliau sendiri Haji Yusuf Amrullah langsung ditukar namanya jadi Muhammadiyah.

Jauh sebelum Muhammadiyah masuk ke Sumatra, sejak 1923 propaganda komunis menyerang Muhammadiyah sebagai PEB (Penjilat Ekor Belanda), plesetan dari PEB (Politicsche Ekonomische Bond), partai politik kanan pembela pemerintah kolonial yang umumnya beranggota pegawai-pegawai pemerintah. Muhammadiyah juga disebut Sarekat Hijau. Hijau (warna penghinaan) lawan dari merah (warna revolusioner). Alasan propaganda ini diperkuat lagi karena Muhammadiyah di Yogyakarta menerima subsidi dari pemerintah kolonial untuk sekolah-sekolah yang didirikannya.

Menurut Hamka, berdirinya Muhammadiyah atas prakarsa Haji Rasul menjadi bahan hasutan orang-orang komunis. Oleh sebab itu, Muhammadiyah hanya berkembang di kampung, yaitu ke Sungaibatang, Tanjungsani, tepi danau Maninjau, kampung halaman Haji Rasul; ke Batipuh dan Pitalah atas prakarasa Sutan Mangkuto yang mendirikan Muhammadiyah cabang Padang Panjang di rumah Haji Rasul. Begitu pula dengan Tabligh Muhammadiyah, pesertanya hanya berasal dari Sungaibatang, Tanjungsani, itu pun menurut Hamka disusupi oleh beberapa orang komunis.

Untuk menangani masalah tersebut, pada pengujung 1925 pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur pergi ke Minangkabau. Dia menggunakan pendekatan yang lunak terhadap masyarakat. Ketika berpidato dia tak pernah menyinggung masalah adat dan khilafiyah (perbedaan pendapat dalam persoalan beragama) yang bertahun-tahun membuat panas hubungan “kaum muda” dan “kaum tua.” Dia menghargai para pemangku adat, penghulu, dan ninik-mamak; serta merangkul anak muda, bahkan berhasil menarik mereka dari paham komunis.

“Semua dihargainya, semua digalakkannya,” tulis Hamka. “Lantaran caranya ‘membuat kawan’ (kalimat ungkapan Sutan Mansur sendiri) yang seperti itu maka timbullah disekelilingnya murid-murid yang setia dan pemimpin-pemimpin yang berkepribadian.”

Hamka (kiri) bersama Sukarno dan Oei Tjeng Hien, konsul Muhammadiyah di Bengkulu, akhir Januari 1941. (Perpusnas RI).

Hamka dan Muhammadiyah

Hamka selalu mendampingi Sutan Mansur pergi berdakwah dan mendirikan cabang Muhammadiyah. “Di dalam memimpin Muhammadiyah. Banyak dia (Hamka, red.) mendapat pelajaran dari beliau (Sutan Mansur, red.). Semangatnya naik, rasa anti penjajahan telah tumbuh,” demikian dimuat otobiografi Hamka, Kenang-kenangan Hidup Jilid II.

Bersama Sutan Mansur, Hamka ikut mendirikan Muhammadiyah Pagar Alam, Sumatra Selatan; Lakitan, Pesisir Selatan dan Kurai Taji, Pariaman, Sumatra Barat. Hamka jadi wakil ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Ketuanya Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho. Setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Pekalongan tahun 1927, Syekh Mohammad Jamil Jaho dan Syekh Muhammad Zain, ketua Muhammadiyah cabang Simabur, baru tahu kalau keduanya yang beraliran “kaum tua” salah masuk organisasi: Muhammadiyah itu sama dengan “kaum muda” di Sumatra Barat.

Sepulang dari Makkah pada 1928, pada usia 21 tahun Hamka diangkat jadi ketua cabang Muhammadiyah Padang Panjang dan memimpin sekolah Tabligh School di Padang Panjang. Pengajarannya setiap selasa malam di gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang, dihadiri banyak orang. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain.

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi, Hamka berpidato tentang “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Baru kali ini seorang pembicara mencoba mempertautkan adat dengan agama dalam kongres yang bersifat nasional. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 di Yogyakarta, Hamka menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Pidatonya membuat hadirin menitikan air mata. Itulah sebabnya pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengangkatnya menjadi mubalig di Makassar sampai digelarnya Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar pada pertengahan 1932. Sebelum ke Makassar, dia mendirikan Muhammadiyah cabang Bengkalis.

Hamka kembali ke Padang Panjang pada 1933. Dia mendirikan Kulliyatul Mubalighin Muhammadiyah yang mengajari murid-muridnya mengarang dan bertablig. Pada 1934 dia diangkat menjadi anggota majelis konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah (meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau). Dua tahun kemudian dia memenuhi undangan Haji Asbiran Ya’kub, ketua Yayasan Al-Busyra, penerbit mingguan Pedoman Masyarakat. Asbiran Ya’kub, mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis, meminta Hamka memimpin Pedoman Masyarakat.

Setelah H.R. Mohammad Said meninggal dunia tidak lama setelah Kongres Muhammadiyah ke-28 tahun 1939 di Medan, Hamka terpilih menjadi konsul Muhammadiyah Sumatra Timur. Ketika Jepang datang, dia berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran seperti halnya Muhammadiyah di Palembang yang masjidnya dijadikan asrama tentara Jepang. Kepala Gunseibu, Letnan Kolonel Makagawa mengizinkan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, dan Nasyiah berkegiatan seperti biasa. Sebagai imbalan, Hamka menjadi penasihat Jepang untuk masalah pemerintahan dan keislaman. Akibatnya, pasca-Jepang hengkang, Hamka mendapatkan cemoohan dari banyak orang, sehingga dia lari dari Medan ke Padang Panjang, di mana dia menjadi ketua majelis pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat dari 1946–1949.

Pada Kongres Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Hamka ikut menyusun Anggaran Dasar dan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Sejak Kongres Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia selalu terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhirnya mengundurkan diri pada 1971.

Muhammadiyah diperkenalkan di Minangkabau oleh Abdul Karim Amrullah –uniknya dia tidak pernah menjadi anggota–, disebarkan menantunya, Sutan Mansur dan anaknya, Hamka. Sejak itu, menurut Ahmad Syafii Maarif, ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2000–2005, dalam Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah radius Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

“Maka tidaklah berlebihan pendapat yang mengatakan Muhammadiyah lahir di Yogyakarta, tapi berkembang di Minangkabau dan diubah wataknya menjadi gerakan yang bercorak nasional oleh etnis Minang itu.”*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d5bf035afb16909fa8e964