Di Radio, Aku Dengar...

Menelusuri sejarah negeri ini melalui radio. Bernostalgia dengan radio kuno tak lekang ditelan waktu.

OLEH:
Wenri Wanhar
.
Di Radio, Aku Dengar...Di Radio, Aku Dengar...
cover caption
Didi Sumarsidi, kolektor dan ketua komunitas pecinta radio kuno. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

DIDI Sumarsidi tampak asyik dengan radio Philips seri Kompas di ruang tamu rumahnya di kawasan Sayidan, Yogyakarta. Dia mendengarkan siaran berita berbahasa Inggris yang dipancarkan stasiun radio Malaysia sembari sesekali menyeruput teh hangat. Dia lalu putar tuning. Terdengar suara kresek-kresek sebelum akhirnya mengudara suara penyiar membawakan berita berbahasa Mandarin. Didi menyimak siaran itu. 

Saban hari Didi bermain-main dengan radio kuno. Biasanya sore atau malam hari. Di ruang tamu atau ruang tengah. “Buat orang seusia saya, ini namanya bernostalgia,” ujar Didi Sumarsidi, berusia 64 tahun, yang menjabat ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya. 

Philips seri Kompas adalah satu dari dua koleksi radio kesayangannya. Satu lagi radio Philips seri Gatotkaca yang dilengkapi gramofon untuk menyetel piringan hitam. “Kondisinya prima. Suaranya bagus. Ini yang paling sering saya nyalakan,” katanya. “Keduanya produksi tahun 1950.” 

DIDI Sumarsidi tampak asyik dengan radio Philips seri Kompas di ruang tamu rumahnya di kawasan Sayidan, Yogyakarta. Dia mendengarkan siaran berita berbahasa Inggris yang dipancarkan stasiun radio Malaysia sembari sesekali menyeruput teh hangat. Dia lalu putar tuning. Terdengar suara kresek-kresek sebelum akhirnya mengudara suara penyiar membawakan berita berbahasa Mandarin. Didi menyimak siaran itu. 

Saban hari Didi bermain-main dengan radio kuno. Biasanya sore atau malam hari. Di ruang tamu atau ruang tengah. “Buat orang seusia saya, ini namanya bernostalgia,” ujar Didi Sumarsidi, berusia 64 tahun, yang menjabat ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya. 

Philips seri Kompas adalah satu dari dua koleksi radio kesayangannya. Satu lagi radio Philips seri Gatotkaca yang dilengkapi gramofon untuk menyetel piringan hitam. “Kondisinya prima. Suaranya bagus. Ini yang paling sering saya nyalakan,” katanya. “Keduanya produksi tahun 1950.” 

Didi Sumarsidi di samping radio Philips Gatotkaca produksi Belanda tahun 1953.

Didi mulai mengoleksi radio kuno sejak 1980-an sewaktu dinas di Mataram, Lombok, sebagai dokter tentara. Mulanya dia mendapatkan dua radio multiband merek Siemens buatan Jerman. Radio kuno itu sontak menyeret ingatannya pada masa kanak-kanak, yang gemar menyalakan radio merek Comet produksi Jerman kesayangan ayahnya. 

Didi tak tahu jumlah pasti koleksi radionya. Di rumah Sayidan saja ada sekitar 40-an unit, bertengger rapi di setiap sudut ruangan. Belum lagi di rumahnya yang lain. Koleksi tertuanya adalah Philips Tombstone buatan 1940. “Ini radio yang paling dicari kolektor.” 

Tombstone merupakan radio generasi pertama. Dan jenis ini pula yang kali pertama masuk ke Hindia Belanda. 

Philips Tombstone produksi Belanda tahun 1930-1940-an.

Produksi Massal

Sejumlah orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Mata mereka tertuju pada Ir. Sarsito Mangunkusumo yang tampak hati-hati mencari gelombang pada radio tombstone merek Philips seri 703 A. Begitu Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun tak terdengar jelas, pendengar senang dan tertawa. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat dan mendengarkan radio. 

Hari itu, 11 Maret 1927, Radio Nederland Wereldomroep di Belanda sedang melakukan uji coba siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. 

Philips Kompas produksi Belanda tahun 1946.

Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah-wilayah koloninya, termasuk Hindia Belanda. Dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939), Sarsito menceritakan, malam itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito. 

Pesawat radio yang diperdengarkan di Pura Mangkunegaran diberikan Belanda secara cuma-cuma. Kabarnya, setelah itu, Mangkunegaran acap kali dikirim radio produk terbaru. “Tak diketahui apakah itu beli atau hadiah,” ujar Hari Wiryawan, penulis buku Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia

Merujuk catatan arsip perpustakaan Mangkunegaran, sedikitnya ada sembilan radio: Philips 703 A, Philips 332 A, Philips 296 A, Philips 951 A, Erres KY 110, Midwest Radio Corp C 8206, Pelof, dan Philips SK 282 A. Satu radio lagi tak terdata merek dan serinya. Hanya tertera keterangan: damelan pijambak asli saking toewan van naersen; buatan sendiri asli dari Tuan van Naersen –mungkin merujuk pada Residen Gresik. 

Behring produksi Jerman tahun 1952.

Menyusul sukses pidato Ratu Wilhelmina, Philips mulai memproduksi radio secara massal. Produksi merambah Hindia Belanda. 

“Kotak-kotak radio merupakan daya tarik sempurna di pameran-pameran kolonial Hindia Belanda sepanjang tahun-tahun itu. Bagi masyarakat Hindia Belanda, benda itu pernik-pernik baru yang sensasional. Perabotan baru yang fantastis. Tanpa perabotan listrik ini, rumah modern tak dianggap lengkap,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land

Philips BX326U produksi Belanda tahun 1953.

Radio diiklankan di laman-laman surat kabar, lengkap dengan label harga dan data teknis. Hingga 1 Januari 1941, terdapat 101.868 pemilik radio terdaftar di seluruh Hindia Belanda. 

Radio memang masih barang mewah. Bahkan, di awal kemerdekaan, orang harus inden untuk membeli radio. Sekalipun bisa dibeli secara tunai maupun dicicil, syaratnya berat. “Selama 12 bulan, pembeli tidak diperkenankan menjual, menyewakan atau meminjamkan, ataupun mengangkut pesawat itu keluar daerah pabean Indonesia, kecuali kalau mereka mendapat surat izin dari cabang ‘Borsumij’,” tulis Soeloeh Ra’jat, 16 November 1946. Yang melanggar diwajibkan mengganti f.750. 

Philips 431AS produksi Belanda tahun 1939.

Demam Radio

Apapun mereknya, radio generasi pertama berbentuk vertikal. Orang menyebutnya tombstone. Sementara orang Jawa menyebutnya radio bandoso. Secara harfiah tombstone dan bandoso memiliki arti serupa: peti mati. Hampir seluruh radio jenis ini mengudara di gelombang pendek SW. 

Secara teknis, mesin radio tombstone menggunakan teknologi tabung berukuran besar. “Tabung ini sebagai receiver dan komponen amplifier,” Didi menjelaskan seraya memperlihatkan jeroan radio tombstone Philips miliknya. 

Erres Sabak produksi Belanda.

Memasuki 1940-an, bentuk radio berubah jadi horizontal. Ini bisa dilihat di radio merek Senator, Erres seri Sabak, Philips seri 431 AS, dan L4X66 BT; seluruhnya produk pabrikan Belanda. Maklum, kendati beberapa negara juga memproduksi radio, produk Belanda merajai pasar Hindia Belanda yang merupakan koloninya. Bahkan, pabrik Philips di Surabaya yang semula memproduksi lampu mulai merakit radio. 

Philips buatan Belanda berbeda dari buatan Hindia Belanda. Terlihat dari nama-nama kota yang tertera di baris pencari gelombang. Misal, di radio Philips seri Aida tertulis nama-nama kota: Bandoeng, Pontianak, Medan, Makassar, Batavia, Pekalongan, Cheribon, Semarang, Soekaboemi, dan lain-lain. Sementara di baris gelombang Philips seri H4X73A pabrikan Belanda tertulis nama-nama kota seperti Paris, Italie, Algerie, Bordeaux, Oslo, Milan, dan lain-lain. Seri H4X73A juga dilengkapi gramofon pemutar piringan hitam. 

Pada masa itu, radio produksi Jepang juga mulai merambah Hindia Belanda. “Pesawat radio Jepang yang dibuat di Jepang harganya murah dan ukuran saku. Mudah dibawa ke mana saja. Bukan perabotan seperti produk Belanda,” tulis G.A. van Bovene dalam Nieuws! Een Boek Over Pers, Film en Radio, terbit tahun 1941, dikutip Mrazek. 

Telesonic NT802 produksi Jepang.

Radio bikinan Jepang itu antara lain merek Telesonic seri NT903 dan seri NT802. Selain menggunakan gelombang SW, radio ini bergelombang MW (mediumwave). Secara teknis, shortwave alias SW berkembang menjadi FM yang audionya jernih. Sedangkan MW berkembang menjadi AM yang juga membaik dari segi audio. 

Selain Telesonic, Jepang memasok radio merek Sharps dan Sanyo. Sanyo seri RP8700 dilengkapi pemantau indikator baterai, tone bass-treble. Gelombangnya lengkap, dari SW1 hingga SW4. Bahkan MW, AM, dan FM. 

Radio produksi 1940 hingga 1950-an masih menggunakan tabung tapi ukurannya lebih kecil. Hingga akhirnya muncul radio transistor. 

Sanyo RP8700 produksi Jepang tahun 1975.

Radio dan Nasionalisasi

Setelah mendapatkan paten, Bell Laboratories menggelar konferensi pers pada 30 Juni 1948 untuk menunjukkan prototipe radio transistor. Perlahan tapi pasti tabung radio yang berfungsi sebagai penangkap gelombang dan amplifier tergeser oleh transitor. 

Samaun Samadikun kali pertama melihat transistor semasa kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung –kini Institut Teknologi Bandung– pada 1950-an. Kendati mengikuti perkembangan transistor, “kita semua terheran-heran mengagumi penampilannya yang mungil,” ujarnya kepada wartawan Yuti Ariani, dimuat dalam buku Profesor Samaun Samadikun: Sang Petani Silikon Indonesia yang disunting Kinarti Aprilani Soegiarto dkk. Samadikun kelak mendapat julukan “Bapak Elektronika Indonesia”. 

Philips L4X66BT produksi Belanda tahun 1956.

Menurut Didi, radio transistor punya banyak kelebihan. Radio tabung, dari off ke on, harus menunggu beberapa waktu sampai panas. “Bila sudah panas, bagus dia. Sedangkan radio transistor begitu on, langsung panas,” ujarnya. Lebih dari itu, radio tabung memerlukan voltase listrik yang tinggi. Makanya butuh 20–30 baterai. Di Sumatra, orang mengistilahkan radio jenis ini “radio 99 batarai”. Sedangkan radio transistor tak sebanyak itu. Ukuran radio transistor juga lebih kecil. Harganya pun lebih murah. 

Dengan kemunculan radio transistor, orang biasa mulai berharap punya radio. Dalam rubrik “Soedoet Atom”, Pandji Ra’jat edisi 30 Juli 1948 menyentil bahwa di zaman kolonial, orang hanya boleh membeli radio merek Phillips atawa Erres, “dengan harga potong-leher lantaran monopoli...!” Di zaman merdeka, mereka berharap hal itu tak terjadi lagi karena hadirnya “radio-radio dari Amerika yang kecil, cantik, molek dan amat modern yang harganya murah-murah...” 

Philips H4X73A produksi Belanda tahun 1956/1957.

Toh pabrik Phillips masih bertahan di Indonesia hingga akhirnya dinasionalisasi menjadi Perusahaan Nasional Radio Listrik Indonesia (PN Ralin) pada pertengahan 1950-an. 

Produknya Ralin Kompas, Ralin 4 Band 9 Transistor, dan Ralin M431BT. Yang belakangan disebut data teknisnya: radio transistor 3 band, produksi 1960, terbuat dari kayu dengan dimensi 47 x 23 x 19 cm. 

National Tjawang produksi Indonesia tahun 1956.

Perusahaan lain yang memproduksi radio adalah PT Transistor Radio Mfg. Co. yang didirikan Thayeb Gobel. Pabriknya berada di Cawang, sehingga radio produksinya dipasarkan dengan merek Tjawang. Ada juga radio merek Bence. “Pabrik Bence di Jalan Dinoyo, Surabaya. Desain dan kayunya dari kita. Komponennya dari Philips campur dengan kompenen produk lain,” kata Didi. 

Dari segi desain, Bence lebih keren ketimbang radio buatan Indonesia lainnya. Dan tampaknya mereka punya angan menembus pasar internasional. Buktinya, nama-nama kota yang tertera di kolom pencari gelombang tak hanya kota-kota di Indonesia tapi juga Singapore, Bombay, Colombo, Delhi, Shanghai, Saigon, Manila, dan sebagainya. 

Bence produksi Indonesia tahun 1950-an.

Zaman berubah, radio pun berganti. Ketika Indonesia cukup dekat dengan Blok Timur, radio buatan Rusia dan Chekoslovakia pun berdatangan. Pada 1970-an mulai marak radio buatan Jepang dan Amerika. “Situasi politik memang membawa pengaruh,” tandas Didi. 

Karena kemajuan teknologi, radio akhirnya bukan lagi menjadi barang mewah. Ia menghiasi rumah-rumah di Indonesia dan memberi asupan informasi maupun hiburan bagi penghuninya.* 

Foto-foto oleh Micha Rainer Pali/Historia.ID

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
659b7d51b4149680ddcfef86