Basri Masse dan putrinya, 1981. (Repro Tempo, 27 Januari 1990).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEJUMLAH negara bereaksi. Mereka menempuh sejumlah cara untuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi mati warga negaranya karena kasus narkoba di Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia bergeming. Eksekusi tetap akan dilaksanakan dengan dalih narkoba adalah kejahatan yang luar biasa.
Setiap pemerintah tentu akan berusaha melindungi setiap warga negaranya. Begitu pula pemerintah Indonesia dalam kasus Basri Masse.
Basri Masse (37 tahun), seorang imigran gelap asal Parepare, Sulawesi Selatan, yang bekerja di Kinibalu, Sabah, Malaysia. Pada 16 Februari 1983, dia bersama Abdul Patta Lubing asal Maros, Sulawesi Selatan ditangkap polisi di sebuah taksi yang diparkir di Jalan Terawi, Putatan, Kinabalu. Bersama mereka diamankan barang bukti 935 gram ganja kering dibungkus koran Utusan Malaysia dalam kantung plastik. Tiga tahun kemudian Majelis Tinggi Kota Kinabalu memvonis Basri hukuman gantung. Dia dikenakan pasal 39B Akta Dadah (Narkotika) Berbahaya 1952.
SEJUMLAH negara bereaksi. Mereka menempuh sejumlah cara untuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi mati warga negaranya karena kasus narkoba di Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia bergeming. Eksekusi tetap akan dilaksanakan dengan dalih narkoba adalah kejahatan yang luar biasa.
Setiap pemerintah tentu akan berusaha melindungi setiap warga negaranya. Begitu pula pemerintah Indonesia dalam kasus Basri Masse.
Basri Masse (37 tahun), seorang imigran gelap asal Parepare, Sulawesi Selatan, yang bekerja di Kinibalu, Sabah, Malaysia. Pada 16 Februari 1983, dia bersama Abdul Patta Lubing asal Maros, Sulawesi Selatan ditangkap polisi di sebuah taksi yang diparkir di Jalan Terawi, Putatan, Kinabalu. Bersama mereka diamankan barang bukti 935 gram ganja kering dibungkus koran Utusan Malaysia dalam kantung plastik. Tiga tahun kemudian Majelis Tinggi Kota Kinabalu memvonis Basri hukuman gantung. Dia dikenakan pasal 39B Akta Dadah (Narkotika) Berbahaya 1952.
Sebelumnya Ramli Kechik (40), seorang nelayan asal Langkat, Sumatra Utara, menjadi orang Indonesia pertama yang digantung di Malaysia. Dia ditangkap karena membawa 15,6 kg opium mentah di Kuala Perlis pada Juli 1982. Eksekusi dilakukan di penjara Taiping, Malaysia, pada Agustus 1986. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Penang berusaha membantunya, tetapi tak melakukan protes sebagaimana ditempuh pemerintah Australia atas eksekusi mati dua warga negaranya di Malaysia sebulan sebelumnya.
Kendati bukan yang pertama, kasus Basri Masse menyebabkan kegemparan di Indonesia. Mengapa?
Kejanggalan Hukum
Menurut Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam Making Money off Migrants: The Indonesian Exodus to Malaysia, kegemparan muncul karena sejumlah kejanggalan seputar kasus Basri Masse. Pasal yang menjerat Basri diperbarui tahun 1980, tetapi berlaku efektif pada 15 April 1983, dua bulan setelah Basri ditangkap –artinya berlaku surut. Basri menggugat melalui kasasi ke Mahkamah Agung Malaysia, tetapi ditolak.
Kejanggalan lainnya, polisi menjerat Abdul Patta Lubing dengan pasal serupa tetapi kemudian diubah menjadi pidana biasa. “Hal itu tidak pernah jelas mengapa Patta menerima dakwaan lebih rendah,” tulis Sidney Jones. Bahkan, Patta dibebaskan setelah orang tak dikenal memberikan uang jaminan dan menghilang. Padahal, Basri mengaku Patta-lah pemilik ganja itu.
Di sisi lain, kesaksian polisi yang menangkap Basri serta sopir taksi tidak konsisten dan kontradiktif. “Tapi hakim tetap percaya mereka,” tulis Tempo, 27 Januari 1990. Upaya Basri melarikan diri, tetapi gagal jadi dalih hakim bahwa Basri “sudah merasa bersalah”.
KJRI atau pemerintah Indonesia tak pernah diberi tahu pemerintah Malaysia. Mereka baru mengetahui ketika Basri menyelundupkan surat tertanggal 21 Juni 1988 ke KJRI di Kota Kinabalu.
Setelah mendengar kabar itu, Konsul Jenderal (Konjen) untuk Serawak dan Sabah, Widodo Suparto menemui Ketua Menteri Sabah Dato Pairin Kitingan. Hasilnya, disarankan agar Basri menulis surat permohonan keringanan hukuman kepada Lembaga Pengampunan Negeri Sabah (Pardon’s Board). Sidang Pardon’s Board pada 26 Februari dan 31 Maret 1989 memutuskan hukuman gantung Basri tak bisa diubah lagi. Namun, pelaksanaan eksekusi ditunda dua kali pada 1 Maret dan 22 Mei 1989.
Kasus Basri Masse menjadi headline di berbagai media di Indonesia selama berbulan-bulan, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan hukuman mati.
Upaya Pemerintah Indonesia
Kendati menghormati kedaulatan hukum Malaysia, pemerintah Indonesia menyayangkan kejanggalan proses hukum Basri. Pada 9 Januari 1990, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Abu Hassan Omar dan Yang Dipertuan Negeri Sabah (semacam gubernur) Tan Sri Dato Haji Mohamad Said Bin Keruak.
Dalam suratnya, sebagaimana dilaporkan Kompas, 19 Januari 1990, Ali meminta keputusan hukuman gantung ditinjau kembali atas dasar “penilaian adanya beberapa kekurangan dalam proses hukum yang mengadili Basri Masse”.
Imbauan juga datang dari kalangan pejabat, politisi, mahasiswa, sampai organisasi. Unjuk rasa digelar berbagai pihak di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Kasus ini membuat acara Dialog Pemuda Indonesia-Malaysia di Cisarua, Bogor, pada Januari 1990, berlangsung kaku dan tegang. Bahkan, acara berakhir sehari lebih cepat, karena delegasi Malaysia mendapat ancaman melalui telepon. Dalam dialog, peserta dari Indonesia meminta Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia Dato Megad Junaid menangguhkan hukuman mati. Megad Junaid menyarankan pemerintah Indonesia menghubungi Yang Dipertuan Negeri Sabah, satu-satunya orang yang masih bisa menyelamatkan nyawa Basri.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Soenarso Djajusman dan kemudian wakilnya, Junizar Jacob, mencoba menemui Yang Dipertuan Negeri Sabah di Wisma Sabah tetapi gagal.
Upaya pemerintah Indonesia pun kandas. Pada 19 Januari 1990, Basri Masse digantung di Penjara Kepayan, Kota Kinabalu, Sabah.
Kemarahan dan kecaman pun menyeruak. Kepada pers, Mahathir Mohamad mengatakan tak mengerti atas kehebohan tersebut. “Saya khawatir ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memburukkan hubungan kita dengan Indonesia dengan mengangkat isu ini, meski saya tidak punya kecurigaan apapun,” ujar Mahathir dikutip New Straits Times, 4 Februari 1990.
Standar Ganda
Lima tahun kemudian, giliran pemerintah Indonesia mengeksekusi mati warga negara Malaysia, Chan Ting Chong alias Steven Chan atas kepemilikan 420 gram heroin.
Kasus ini bermula dari penangkapan Maniam Manusamy, seorang warga Malaysia, di Hotel City, Jakarta pada 1985. Manusamy mengaku melakukannya karena dibayar Chan Ting Chong, seorang pengusaha Malaysia. Sekalipun menyangkal keterlibatannya, Chan ditangkap dan divonis hukuman mati pada Januari 1986. Sementara Manusamy dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Pada Agustus 1986, Manusamy mengirim surat ke Mahkamah Agung, menyatakan bahwa dia memberikan keterangan palsu. Namun, bukti baru ini tak mempengaruhi hukuman mati. Upaya banding Chan ditolak Mahkamah Agung pada 1990 dan grasinya ditolak pada 1991.
“Banyak orang Indonesia dan Malaysia percaya bahwa eksekusi Chan Tin Chong sebagai balasan atas eksekusi Basri Masse,” tulis Sidney Jones.
Chan Ting Chong dieksekusi regu tembak pada 13 Januari 1995 di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Dia adalah orang pertama yang dihukum mati di Indonesia sejak UU Narkotika diperkenalkan pada 1976.
Menurut Poengky Indarti, direktur eksekutif Imparsial, lembaga nonpemerintah yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dalam rilisnya 18 Januari 2015, sejak Chan Tien Chong, pemerintah Indonesia terus melakukan eksekusi mati dalam kasus narkoba. Namun, Indonesia menerapkan standar ganda. Di dalam negeri pemerintah mempraktikkan hukuman mati, sedangkan di luar negeri mengajukan pengampunan jika ada warganya dihukum mati.
“Ini justru merugikan Indonesia dalam diplomasi internasional untuk melindungi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati,” ujar Poengky.*