Dilema Partai Kader

PSI terombang ambing antara idealisme dan kenyataan politik. Sebagai partai kader, PSI sangat ketat dalam merekrut anggota. Kalah massa tapi menang ide.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Dilema Partai KaderDilema Partai Kader
cover caption
Ketua Umum PSI Sutan Sjahrir berpidato dalam rapat umum PSI di Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955. (Perpusnas RI).

MALAM itu, 12 Februari 1948, di rumah ibunda Soebadio Sastrosatomo di Kliteran, Yogyakarta. Sekira sepuluh orang pengikut Sutan Sjahrir berkumpul: Soebadio, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Soegondo, Tedjasukmana, A. Halim, dan lain-lain. Mereka sepakat mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), terlepas dari Partai Sosialis yang dikuasai kaum komunis. 

Persoalan muncul, bagaimana dengan Sjahrir yang tak hadir karena sedang di Bukittinggi? Apakah tidak menunggu kabar darinya sebelum mendeklarasikan lahirnya partai baru ini, apalagi jika dia akan dijadikan ketuanya? 

Meski bukan anggota dan hanya simpatisan, A. Halim mengusulkan tidak perlu menunggu kabar dari Sjahrir, tetapi namanya ditempatkan nomor urut satu. Soebadio setuju, Djohan masih ragu khawatir Sjahrir tidak setuju. Halim hakulyakin Sjahirir pasti setuju. 

“...dengan begitu lahirlah Partai Sosialis Indonesia di Kliteran, Yogyakarta, dengan ketuanya di Bukittinggi,” tulis A. Halim, “Sjahrir yang Saya Kenal,” termuat dalam Mengenang Sjahrir. 

MALAM itu, 12 Februari 1948, di rumah ibunda Soebadio Sastrosatomo di Kliteran, Yogyakarta. Sekira sepuluh orang pengikut Sutan Sjahrir berkumpul: Soebadio, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Soegondo, Tedjasukmana, A. Halim, dan lain-lain. Mereka sepakat mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), terlepas dari Partai Sosialis yang dikuasai kaum komunis. 

Persoalan muncul, bagaimana dengan Sjahrir yang tak hadir karena sedang di Bukittinggi? Apakah tidak menunggu kabar darinya sebelum mendeklarasikan lahirnya partai baru ini, apalagi jika dia akan dijadikan ketuanya? 

Meski bukan anggota dan hanya simpatisan, A. Halim mengusulkan tidak perlu menunggu kabar dari Sjahrir, tetapi namanya ditempatkan nomor urut satu. Soebadio setuju, Djohan masih ragu khawatir Sjahrir tidak setuju. Halim hakulyakin Sjahirir pasti setuju. 

“...dengan begitu lahirlah Partai Sosialis Indonesia di Kliteran, Yogyakarta, dengan ketuanya di Bukittinggi,” tulis A. Halim, “Sjahrir yang Saya Kenal,” termuat dalam Mengenang Sjahrir. 

Sosialisme Kerakyatan

Selama masa bergejolak tahun 1948 dan 1949, mulai dari peristiwa Madiun, agresi militer Belanda kedua, sampai penangkapan dan penahanan Sjahrir oleh Belanda; PSI tidak punya banyak kesempatan memperhatikan soal-soal organisasi dan doktrin partai. 

“Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada Desember 1949 barulah PSI dapat menampilkan diri sebagai partai politik dengan keanggotaan, struktur yang terorganisasi, dan suatu program politik,” tulis John D. Legge dalam Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. 

Dewan Pimpinan Partai mengadakan sidang pertama di Yogyakarta pada 4–5 Februari 1950. Pemimpin partai memutuskan bahwa partai dibangun sebagai partai kader, partai bekerja sebagai organisasi tertutup yang selektif dalam merekrut anggota; baru setelah sekira dua tahun partai dapat membuka diri. 

“Sjahrir menekankan pentingnya penggodogan penganut sosialis yang sungguh-sungguh berkeyakinan, dibandingkan dengan bentuk satu partai massa beranggota banyak yang hanya sosialis di bibir saja,” tulis George McTurnan Kahin, termuat dalam Mengenang Sjahrir. 

Sidang juga memutuskan untuk memindahkan kantor pusat PSI dari Yogyakarta ke Jakarta. Sekretariatnya berkantor di Molenvliet Barat No. 188 (kini Jalan Gajah Mada), kemudian pindah ke kantor cukup megah di Gambir Barat (kini Jalan Medan Merdeka Barat), tidak jauh dari Istana Merdeka. 

“Saya dipanggil oleh Sjahrir, diminta supaya memindahkan PSI ke Jakarta. Setelah itu, kami mulai menyusun PSI dengan mengadakan kursus kader,” kata L.M. Sitorus, sekretaris jenderal PSI, dalam wawancara dengan Yuwono D.P. pada 6 September 1989. 

Kursus 36 kader terkemuka dari Jawa, Sumatra, Madura, dan Sulawesi diadakan di Jakarta pada Februari dan Mei 1950. Berikutnya, kursus 27 kader terkemuka dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi diadakan di Jakarta antara Maret–Mei 1951. Selain itu, konferensi regional berlangsung di Sumatra Utara dan Kalimantan Barat pada November 1951. 

Sebagai partai kader, PSI sangat ketat dalam merekrut anggota. “Untuk menjadi anggota butuh tiga jenjang. Seseorang berada di komunitas PSI bisa jadi tidak punya kartu anggota,” kata peneliti sosial, Fajar Pramono. Menurut Rusdi dalam tesisnya, “Partai Sosialis Indonesia dan Peran Kepolitikannya 1948–1960,” di Universitas Indonesia tahun 1997, ketatnya keorganisasian PSI tercermin dari peraturan untuk menjadi anggota PSI. 

Rusdi menulis, sebelum menjadi anggota seseorang harus menjadi calon anggota terlebih dahulu. Calon anggota adalah mereka yang masih menjalani penelitian dan pendidikan partai untuk dijadikan anggota. Setelah syarat-syarat calon anggota terpenuhi dan menyelesaikan masa penelitian dan pendidikan partai, baru disahkan menjadi anggota. 

Kantor PSI di Gambir Barat (sekarang Jl. Medan Merdeka Barat) No. 16, Jakarta Pusat. (Repro Sutan Sjahrir Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya).

Pada 1952, PSI memiliki 3.049 anggota tetap biasa disebut “PSI kartu” dan sekira 14.480 calon anggota. Ketika anggota PSI menjadi 50.000 pada 1955, anggota PKI sepuluh kali lebih banyak, bahkan anggota PNI dan Masyumi jutaan. 

PSI mengadakan kongres pertama pada 12–17 Februari 1952 di Bandung. Masalah pelik dalam kongres adalah mengenai Marxisme. Sjahrir mengusulkan agar Marxisme dihilangkan dari Anggaran Dasar. Menurutnya, Marxisme jangan dijadikan dogma, tetapi dipakai sebagai alat untuk menganalisis keadaan masyarakat. Oleh karena itu, tidak perlu dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar, cukup disebut saja pada Penjelasan Asas. 

“Alasan membuang Marxisme dari Anggaran Dasar PSI adalah karena banyak orang-orang PSI yang memakai teori Marxis tetapi tidak mau menyesuaikan dengan kondisi Indonesia,” tulis Rusdi. 

Sebagian besar anggota PSI tidak setuju dengan usul Sjahrir. Akhirnya, Marxisme tetap dicantumkan dalam Anggaran Dasar dan Penjelasan Asas bahwa “faham sosialisme yang dianut PSI disandarkan kepada ilmu pengetahuan Marx dan Engels sebagai alat pengupasan perkembangan dan susunan masyarakat kapitalis.” 

“Bukan ‘berdasar’ tapi ‘bersandarkan’ atas ilmu pengetahuan Marxis-Angels,” kata Fajar. “Artinya, bisa dipakai, bisa tidak.” 

Menurut Rosihan Anwar, pendiri koran Pedoman yang mendukung PSI, Sjahrir menamakan ideologi yang dipikirkan dan dianutnya “Sosialisme-Demokrasi” atau lebih sering digunakan “Sosialisme Kerakyatan”. Sejak menjadi mahasiswa di Belanda, Sjahrir serius mempelajari Marxisme. Dia mengamati dan menyadari bahwa ajaran Marx tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat Eropa. Kaum buruh tidak berperan sebagai kelas revolusioner dan tidak mengalami proses pemiskinan. Kapitalisme tidak runtuh sebagaimana diramalkan Marx. Kapitalisme mampu mengadopsi buruh. Maka perjuangan kelas yang merupakan sendi ajaran Marx tidak lagi relevan atau mengena. Sosialisme tidak perlu dicapai dengan cara revolusi tetapi bisa dengan cara demokratis. 

“Sjahrir dipengaruhi oleh aliran revisionisme yang mengkritik Marxisme,” tulis Rosihan. 

Revisionisme digagas kali pertama oleh Eduard Bernstein, pengikut Marx dari kalangan sosialis Jerman, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh Revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa. 

Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan.

Bernstein yang disebut Sjahrir dalam Sosialisme Indonesia Pembangunan sebagai “pahlawan terkemuka dari golongan revisionisme” membantah beberapa pikiran dan ajaran pokok Marxisme. Hal itu karena perkembangan pesat kapitalisme dan industri di Eropa, kaum buruh bertambah banyak dan standar kehidupan mereka menurun, namun kaum buruh dapat memperjuangkan perbaikan nasib melalui mogok dan hak memilih untuk perwakilan rakyat. Dengan hak pilih tersebut kaum buruh memiliki tanah air dan bangsa yang turut menjadi tanggung jawabnya. 

Dalam kongres pertama itu, PSI menerima Sosialisme Kerakyatan, “Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang... Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya.” 

Sosialisme Kerakyatan, kata Fajar, agak berbeda dengan Sosialisme Demokrat (Sosdem) di Eropa. Meskipun esensinya sama tetapi berangkat dari sejarah yang berbeda. Sosdem muncul dari proses ketidakadilan yang ditimbulkan oleh praktik kapitalisme, sedangkan Sosialisme Kerakyatan tumbuh dari proses ketidakadilan kolonialisme dan feodalisme. Sosdem berproses dalam negara modern dan berdemokrasi, sementara Sosialisme Kerakyatan berproses dalam negara yang baru lahir dan belajar demokrasi. 

Program PSI tahun 1952 menyatakan “supaya Sosialisme menjadi prinsip yang membentuk arah Republik Indonesia maka Partai Sosialis Indonesia harus memperoleh dukungan rakyat dalam pemilihan untuk semua badan perwakilan.” 

Namun, tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia, sampai Kongres II pada Juni 1955 di Jakarta, status PSI ke arah partai “terbuka” masih terus diperdebatkan. Dengan mendekatnya hari pemilihan, tekanan dalam internal partai meningkat agar PSI bergerak lebih dekat ke massa. 

Pada akhir 1954, Sjahrir menyatakan bahwa PSI kini memusatkan pada perekrutan pemimpin-pemimpin lokal karena mereka berakar di daerah dan di antara massa. “Akan tetapi sulit untuk menemukan sesuatu bahwa ini benar-benar dilakukan,” tulis Mrazek.

Kongres PSI II di Jakarta, 5-11 Juni 1955. (Suara Sosialis, Maret 1958).

Pengaruh dalam Pemerintahan

Menurut Legge, selama beberapa tahun PSI merupakan unsur berpengaruh dalam gelanggang politik Indonesia. Partai ini duduk di dalam pemerintahan, sebelum maupun setelah kemerdekaan. Anggota atau simpatisannya menduduki jabatan-jabatan senior di pemerintahan. Beberapa posisi antara lain sekretaris jenderal di kementerian dalam negeri dan kementerian pertahanan; serta di tingkat-tingkat atas dalam Angkatan Darat, seperti Jenderal TNI T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang) dan Mayor Jenderal TNI Suwarto (Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).

Dalam Kabinet Hatta yang dibentuk Januari 1948, PSI diwakili Supeno sebagai menteri pembangunan dan pemuda. Simpatisan PSI, Abdul Halim menjadi perdana menteri Republik Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Januari 1950, dan tiga anggota PSI menduduki kursi menteri: Hamdani (menteri sosial), Sugondo Djojopuspito (menteri pembangunan), dan Mr. Tandiono Menu (menteri perdagangan dan perindustrian). 

Setelah RIS bubar, dalam Kabinet Mohammad Natsir (September 1950–April 1951) Tandiono Menu menjabat menteri pertanian dan posisinya sebagai menteri perdagangan dan perindustrian digantikan oleh anggota PSI lainnya, Sumitro Djojohadikusumo. Lima anggota kabinet nonpartai disebut-sebut simpatisan PSI: Sultan Hamengkubuwono IX (wakil perdana menteri), Mr. Assaat (menteri dalam negeri), Abdul Halim (menteri pertahanan ad interim), Djuanda (menteri perhubungan), dan Bahder Djohan (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan). 

Sebagai menteri perdagangan dan perindustrian, Sumitro membuat program Rencana Urgensi Perindustrian. Sasarannya terutama pada pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung, dan percetakan. Kebijakan ini diikuti pula oleh usaha peningkatan produksi, pangan, perbaikan prasarana, dan penanaman modal asing. 

Kendati PSI tidak memiliki wakil dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo (April 1951–April 1952), namun “terdapat kesinambungan dalam beberapa kebijakan pemerintah, yakni terus melanjutkan rencana ekonomi Sumitro,” tulis Mrazek. 

PSI pun kemudian terkenal sebagai kumpulan orang-orang pintar tapi tidak punya massa.

Dalam Kabinet Wilopo-Prawoto (April 1952–Juni 1953), Sumitro menjabat menteri keuangan dan Lukman Wiriadinata sebagai menteri kehakiman. Dalam tempo enam bulan, Sumitro berhasil menyusun RAPBN. “Usaha-usaha menyusun APBN, sesungguhnya baru dilakukan ketika Sumitro memegang jabatan menteri keuangan dalam Kabinet Wilopo ini,” tulis Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. 

Sumitro dan Lukman kembali menduduki jabatan masing-masing pada Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955–Maret 1956), pengganti Kabinet Ali Sastroamidjojo (Juli 1953–Agustus 1955), di mana PSI dan Masyumi tidak memiliki wakil dan menjadi oposisi. 

Pada masa Kabinet Burhanuddin, langkah perbaikan ekonomi yang ditempuh Sumitro adalah menurunkan harga barang-barang konsumsi dengan mengimpornya dari luar negeri. Dalam waktu tidak terlalu lama, harga barang-barang mulai turun. “Keberhasilan ini sekaligus membantu taraf kesejahteraan rakyat, dan mungkin ini akan dikenang oleh masyarakat yang hidup di zaman itu,” tulis Hendra dan Heru. 

Selain program ekonomi Sumitro, menurut Mrazek, PSI juga berkampanye melawan korupsi dalam pemerintahan selama pertengahan pertama tahun 1950-an. Burhanuddin Harahap bersama Lukman Wiriadinata merancang RUU antikorupsi, yang menganut prinsip pembuktian terbalik dan berlaku surut. Rencananya, sejumlah pengadilan khusus antikorupsi akan dibentuk di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Sayangnya, RUU ini tidak pernah dibahas sampai Burhanuddin menyerahkan mandatnya. 

Tan Po Goan, anggota parlemen PSI dikenal kritis terhadap pemerintah. Dia melaporkan Djody Gondokusumo, menteri kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo I, menerima suap perpanjangan visa dari seorang warga Hongkong. Mahkamah Agung memvonis Djody satu tahun penjara dipotong masa tahanan. Grasi Presiden Sukarno mengurangi masa tahanan menjadi enam bulan, dipotong lima bulan tahanan yang dijalaninya sebelum vonis; jadi Djody hanya menjalani satu bulan hukuman. 

Pada masa Kabinet Sukiman, PSI menentang kebijakan perjanjian keamanan bersama dengan Amerika Serikat, MSA (Mutual Security Act) dan menentang ikut serta dalam Konferensi San Francisco tentang perjanjian perdamaian dengan Jepang. Dengan kebijakan itu, tulis Rosihan, berarti Indonesia memihak Amerika Serikat yang menandakan pula Indonesia tidak melaksanakan politik luar negeri bebas aktif dalam Perang Dingin. 

Dalam tahun yang sama, tulis Mrazek, PSI sama sekali tidak prokomunis dengan menjauhkan diri dari razia polisi yang diperintahkan Kabinet Sukiman terhadap orang-orang komunis. PSI menegaskan bahwa razia itu sebagai wujud kesediaan Kabinet Sukiman yang berlebihan untuk tunduk kepada Amerika Serikat. 

Lambang PSI (kiri) dalam Pemilu 1955. (ANRI).

Kalah dalam Pemilu

Dari 236 anggota Parlemen Sementara pada 1950, fraksi PSI diwakili 15 orang, nomor tiga terbanyak di bawah Masyumi (43 anggota) dan PNI (42 anggota), dari 17 partai yang diakui dalam parlemen. Keterwakilan tersebut didasarkan pada perkiraan kasar terhadap kekuatan partai-partai yang ada karena belum diadakan pemilihan umum. Pada Pemilu 1955, PSI hanya memperoleh dua persen dari seluruh suara yang masuk. Kursi parlemen yang diperolehnya anjlok menjadi lima kursi (2 dari Jawa Barat, 2 dari Bali, 1 dari Jawa Timur), padahal seluruh kursi parlemen berjumlah 257. 

Menurut Rosihan, PSI kalah karena berbagai alasan. Karena sifatnya partai kader, maka jumlah anggotanya di seluruh Indonesia tahun 1955 hanya 55.077 orang. Organisasinya terbatas pada daerah urban perkotaan, sedikit sekali menjangkau daerah pedesaan. Dana kampanye cekak. 

Selain itu, kata anggota PSI, Djoeir Moehamad, program kampanye PSI dimulai terlambat. Padahal partai-partai lain sejak lama dan teratur berkampanye. “Ibarat pacu lari, moment start kampanye PSI dilakukan tatkala pelari-pelari saingannya sudah jauh di depan, bahkan ada yang sudah dekat garis finish,” kata Djoeir dalam Memoar Seorang Sosialis. 

Menurut Legge, PSI tidak berhasil membangun organisasinya berbasis cabang-cabang lokal yang dapat menghimpun anggota dan memasok kekuatan dari lapisan terbawah. Kegagalan itu karena para anggota terkemuka partai selalu melihat peranan partai sebagai bersifat mendidik dan bukan mengorganisasi, walaupun mereka berasumsi bahwa upaya di bidang pendidikan dalam jangka panjang akan melahirkan basis massa. 

Pada hemat Sjahrir, tulis Rosihan, kelemahan PSI disebabkan oleh keliru menghitung kematangan dan kesadaran politik para pemilih, khususnya yang mudah didominasi oleh otoritas keagamaan dan kepamongprajaan. PSI juga gagal menyebarluaskan gagasan-gagasan Sjahrir. Hanya kelompok intelektual yang mampu memahaminya, sedangkan sebagian besar rakyat tak dapat mengikuti cara berpikir Sjahrir. 

Sebenarnya, kata Imam Yudotomo, yang dimaui Sjahrir adalah partai kader yang bisa memimpin massa. Dengan begitu gerakan rakyat jalan terus. Tapi istilah partai kader dikebiri pengikut- pengikutnya hanya sebagai orang yang pintar berdiskusi, berdebat, tapi tidak dibekali kemampuan mengorganisir massa. “PSI pun kemudian terkenal sebagai kumpulan orang-orang pintar tapi tidak punya massa,” kata Imam. 

Tokoh-tokoh PSI itu, menurut Djoeir, tidak bergairah beraksi massa. Mereka lebih suka berpikir, membaca, dan terlibat diskusi di rumah atau di warung. “Masing-masing enggan pidato di lapangan, apalagi mendengar siapapun yang berpidato, lebih-lebih kalau harus menahan panas terik dan hujan gerimis,” kata Djoeir. 

Orang PSI, sambung Djoeir, umumnya mengagumi Sukarno sebagai ahli pidato yang membius massa. “Akan tetapi, setahu saya tak seorang pun tokoh PSI yang sungguh-sungguh ingin menjadi ahli pidato hebat atau seorang Sukarno! Tidak mengherankan jika jarang sekali terdapat tokoh PSI yang bisa memukau massa dengan pidatonya.” 

Koran berbahasa Belanda di Jakarta, De Nieuwsgier, mengibaratkan kekalahan PSI dalam tajuk rencananya: “PSI mempunyai banyak perwira, tapi sedikit sekali serdadu infanteri.”*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65a639d04a2cf7cd1299caae