Adik dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo. Dokter ahli malaria yang menjabat Inspektur Kesehatan, jabatan tertinggi bagi dokter pribumi. Dipancung Jepang.
Soemarno Sosroatmodjo, dokter rumah sakit Kandangan, Kalimantan Selatan, mengambil cuti dengan berkunjung ke Banjarmasin. Bersama keluarganya, dia menginap di rumah R. Sosrodoro Djatikoesoemo, seorang dokter partikelir. Selagi duduk santai, datang seseorang menyampaikan surat kepada tuan rumah. Ternyata surat edaran permintaan sumbangan sebagai hadiah Natal untuk orang-orang Belanda yang menjadi interniran dan tawanan Jepang.
Ketika disodori surat edaran itu oleh Sosrodoro, Soemarno teringat kebaikan C.M. Vischer, kepala rumah sakit zending di Barimba, Kuala Kapuas, yang tengah diinternir. Dia banyak belajar darinya sehingga muncul keinginan untuk memberikan bantuan.
“Saya mengerti bahwa di antara teman-teman lama timbul keinginan hendak mengirim paket Natal. Dalam hati saya pun timbul keinginan berjumpa dengan bekas bos waktu saya bekerja di rumah sakit zending Barimba dulu,” kata Soemarno dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.
Soemarno Sosroatmodjo, dokter rumah sakit Kandangan, Kalimantan Selatan, mengambil cuti dengan berkunjung ke Banjarmasin. Bersama keluarganya, dia menginap di rumah R. Sosrodoro Djatikoesoemo, seorang dokter partikelir. Selagi duduk santai, datang seseorang menyampaikan surat kepada tuan rumah. Ternyata surat edaran permintaan sumbangan sebagai hadiah Natal untuk orang-orang Belanda yang menjadi interniran dan tawanan Jepang.
Ketika disodori surat edaran itu oleh Sosrodoro, Soemarno teringat kebaikan C.M. Vischer, kepala rumah sakit zending di Barimba, Kuala Kapuas, yang tengah diinternir. Dia banyak belajar darinya sehingga muncul keinginan untuk memberikan bantuan.
“Saya mengerti bahwa di antara teman-teman lama timbul keinginan hendak mengirim paket Natal. Dalam hati saya pun timbul keinginan berjumpa dengan bekas bos waktu saya bekerja di rumah sakit zending Barimba dulu,” kata Soemarno dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.
Namun, Soemarno mengurungkan niatnya karena teringat pada peristiwa pemenggalan orang-orang Belanda di Kandangan oleh serdadu Jepang. “Saya harus selalu berhati-hati,” kata Soemarno yang kelak menjadi gubernur DKI Jakarta. Soemarno pun tidak jadi mencatatkan namanya dalam daftar penyumbang.
“Tidak menyokong?” tanya Sosrodoro.
“Tidak, Mas, saya pribadi tidak kenal siapa pengurus panitia yang mengedarkan surat ini,” jawab Soemarno.
Sosrodoro pun ragu-ragu dan tidak jadi memberi sumbangan. “Lain kali saja,” katanya kepada pembawa surat edaran itu.
Soemarno sepintas membaca daftar nama penyumbang dalam surat edaran itu. Ada nama dr. Soesilo, Inspektur Kesehatan merangkap dokter Karesidenan di Banjarmasin.
Dokter Ahli Malaria
Raden Soesilo lahir di Bojonegoro pada 19 Maret 1891. Dia adalah adik dari dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo. Dia mengenyam pendidikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), kemudian masuk School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia), sekolah dokter untuk bumiputra di Batavia.
Lulus dari Stovia pada 22 Juli 1913, Soesilo ditugaskan di sebuah tempat di pantai barat Pulau Sumatra. Pada 1916, dia menikah dengan Mary Purvis dari keluarga Inggris kelahiran Padang. Mereka memperoleh dua anak: Brenthel Soesilo dan Lillah Soesilo.
Pada 1922, Soesilo melanjutkan pendidikan di Universitas Amsterdam, Belanda, mengambil spesialisasi dalam bidang bakteriologi dan kesehatan. Dia meraih gelar dokter pada 1923. Dua tahun kemudian, di bawah bimbingan W.A.P. Schuffner, peneliti epidemiologi malaria, dia meraih doktor kedokteran. Disertasinya mengenai parasit yang ditemukan pada tikus di kota Amsterdam dan sekitarnya dengan judul “Vergelijkende studie van enkele pathogene leptospiren en de leptospiren afkomstig van de rattenbevolking van Amsterdam en omgeving”.
Sekembalinya ke Hindia, Soesilo bekerja di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setelah itu, dia bekerja di Centraal Geneeskundig Laboratorium atau Laboratorium Pusat Medis pada 1925 hingga 1928. Laboratorium ini kemudian diresmikan menjadi Eijkman Instituut (Lembaga Eijkman) pada 1938.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/624557d225b6cc7cf07c90ef_pic2.jpg" alt="img"></div><figcaption>Pintu masuk utama menuju Laboratorium Kesehatan Rumah Sakit Sipil Pusat (CBZ) di Weltevreden, Batavia, antara tahun 1920 dan 1925. (Tropenmuseum).</figcaption></figure></div>
Penelitian di Lembaga Eijkman tidak terbatas pada ranah nutrisi tapi juga ancaman penyakit tropis seperti malaria. Penyakit ini sudah menyerang penduduk Eropa di Batavia sejak abad ke-18. Hingga seabad selanjutnya, penyakit yang kemudian dikenal sebagai malaria itu menjadi momok mengerikan bagi penduduk Hindia Belanda.
Namun, upaya pemberantasan dan preventif penyakit malaria masih bersifat sporadis dan tidak terencana. Baru pada abad ke-20, mulai dipikirkan secara serius dengan didahului penelitian mendalam, terutama mengenai tempat perkembangbiakan larva anopheles.
Riset dan pengendalian malaria yang berpusat di Laboratorium Pusat Medis menarik perhatian ahli patologi terkemuka dunia. Robert Koch, ahli bakteriologi dari Jerman, dan Samuel Taylor Darling, ahli malaria dari Amerika dan anggota Komisi Malaria Liga Bangsa-Bangsa (kini, Perserikatan Bangsa-Bangsa),misalnya, melakukan survei mikroskopis malaria di Jawa. Mereka bekerja sama dengan ilmuwan Belanda seperti W.A.P. Schuffner, Nicholas H. Swellengrebel, dan lain-lain. Kontribusi penelitian mereka dalam karakter nyamuk anopheles, taksonomi, dan epidemiologi malaria telah mempelopori malariologi di Asia.
Menurut J. Kevin Baird, direktur Eijkman-Oxford Clinical Research Unit di Jakarta, dan Sangkot Marzuki, mantan direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944–1945, yang lebih luar biasa dan tidak ada bandingannya di mana pun di zaman itu, Laboratorium Pusat Medis (Lembaga Eijkman) memiliki ilmuwan pribumi yang bekerja sebagai sesama peneliti dan berkontribusi penuh. Salah satu ilmuwan pribumi itu adalah Soesilo, yang kemudian memimpin kelompok riset pemberantasan malaria di Lembaga Eijkman hingga tahun 1934.
<div class="quotes-center font-g">Malaria tetap menjadi momok setelah Indonesia merdeka. Pada 3 Mei 1958, untuk menghormati perjuangan Soesilo, Kementerian Kesehatan meresmikan cabang Lembaga Malaria untuk Sumatra Selatan di Telukbetung, Lampung, yang diberi nama “Lembaga dr. Soesilo”.</div>
Soesilo bersama para gurunya, seperti W.A.P. Schuffner, Nicholas H. Swellengrebel, E.W. Walch, J.C. van Hell, dan J. Bonne-Wepster, mempelopori kerja yang melelahkan untuk meneliti varietas spesies nyamuk anopheles pembawa malaria yang mengancam seantero kepulauan Hindia Belanda.
“Dengan penelitian itu, mereka memasukkan identitas spesies nyamuk ke dalam sains dan kesehatan masyarakat –suatu elemen penting dalam kedokteran dan higienis tropis hingga kini,” tulis Kevin dan Sangkot.
Untuk menangani malaria, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Centrale Malaria Bureau atau Biro Pusat Malaria, yang merupakan subbagian dari Dinas Kesehatan Masyarakat, pada 1924. Agar upaya itu berjalan efektif, cabang Biro Pusat Malaria dibuka di Surabaya pada 1929 untuk melayani kawasan timur dan kemudian Medan untuk seluruh Sumatra.
Dalam beberapa kesempatan, Soesilo dikirim ke daerah-daerah yang diserang malaria. Misalnya, dia dikirim pemerintah untuk meneliti perkembangan malaria di Pulau Nias dan Pulau Simaloer (Sinabang). “Mudah-mudahan saja pengutusan pemerintah dan pekerjaan dokter itu membawa kepada kegirangan hendaknya,” tulis Pertjatoeran, 22 Januari 1927.
Soesilo juga dikirim ke Nieuw Guinea untuk tugas yang sama. Dari sana dia datang ke Surabaya, “di mana tabib itu nanti berlaku seperti kepala dari kantor yang baru didirikan buat pembasmian malaria di sebelah timur,” tulis Swara Publiek, 7 Agustus 1929.
Karier Soesilo melesat cepat. Pada 1931, dia ditunjuk untuk memimpin pemberantasan malaria di seluruh Hindia Belanda. Dia kemudian menggantikan Dr. J.G. Overbeek sebagai kepala Divisi Pengendalian Malaria Jawatan Kesehatan Masyarakat pada 1935.
Bukan hanya meneliti dan mengidentifikasi nyamuk anopheles, Soesilo menerapkan metode pengendalian malaria yang disebut “sanitasi spesies”. Sanitasi spesies mencakup identifikasi spesies nyamuk, bagaimana ia hidup di alam, dan pada akhirnya mencari tahu kelemahannya. Dalam “Malariabestrijding in den Oost-Indischen archipel”, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië Feestbundel: 45-72, 1936, Soesilo mengulas program sanitasi spesies dan menyebutkan bahwa dari 40 spesies anopheles yang diketahui, sebelas spesies harus dianggap berbahaya.
Sebagai kepala Divisi Pengendalian Malaria, Soesilo juga berhubungan dengan banyak orang. Termasuk ahli-ahli kesehatan yang mengikuti kursus malariologi yang diadakan Liga Bangsa-Bangsa pada 1935. Kursus ini diikuti oleh tujuh orang.
“Semua pengaturan untuk perjalanan, hotel, dan lain-lain dibuat untuk kami dengan sangat baik dan ekonomis oleh dr. Soesilo,” tulis Mayor W.J.F. Craig dari Royal Army Medical Corps (RAMC) dalam laporan berjudul “Malaria Prevention Methods in Java”, dimuat di Journal of the R.A.M.C., Vol. 67, No. 4, 1936.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/624557e3264ca65426b504ca_pic4.jpg" alt="img"></div><figcaption>Lembaga Malaria dr. Soesilo di Telukbetung, Lampung, yang diresmikan pada 3 Mei 1958. (Repro Mendjelang Dua Tahun Kabinet Karya, 9 April 1957-9 April 1959).</figcaption></figure></div>
Craig dan peserta kursus lainnya bertemu dengan Soesilo, yang menguraikan metode-metode pengedalian malaria yang dilakukan oleh sub-departemennya. Menurut Craig, Divisi Pengendalian Malaria sangat tersentralisasi serta memiliki kantor pusat dan laboratorium penelitian di Batavia. Kantor pusat mengirimkan petugas ahli malaria dan tim terlatih ke distrik epidemi di mana saja di pulau itu ketika mereka dipanggil, dan hasilnya dikoordinasikan di kantor pusat.
“Sistem ini mungkin merupakan metode yang paling efisien saat ini untuk menangani wabah malaria di koloni tropis yang begitu luas ini,” tulis Craig.
Pada 1936, Soesilo memimpin pertemuan delegasi Indonesia di Sumatra dengan tim ahli malaria dari Liga Bangsa-Bangsa yang dikepalai Emilio Pampana, seorang ahli malaria dengan reputasi internasional.
Soesilo punya reputasi sebagai ahli malaria terkemuka. Kerjanya dalam penelitian malaria diabadikan dalam anopheles yang disebut Anopheles papuae var. soesiloi. Dia juga rajin menulis artikel mengenai malaria.
“Selama periode 1926 hingga 1936, dia menulis banyak artikel khususnya tentang malaria,” tulis Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia, yang disunting Leo van Bergen, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave.
Malaria tetap menjadi momok setelah Indonesia merdeka. Pada 3 Mei 1958, untuk menghormati perjuangan Soesilo, Kementerian Kesehatan meresmikan cabang Lembaga Malaria untuk Sumatra Selatan di Telukbetung, Lampung, yang diberi nama “Lembaga dr. Soesilo”.
Jabatan Tertinggi
Pada 1938, Soesilo ditugaskan sebagai Inspektur Kesehatan di Palembang, Sumatra Selatan. Setahun kemudian, dia pindah tugas ke Banjarmasin.
“Jabatan [Inspektur Kesehatan] yang tinggi itu jarang dapat diduduki oleh dokter Indonesia, meski dia Arts, lulusan Nederland,” kata Soemarno.
Buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Volume 1 menjelaskan, dokter-dokter pribumi umumnya bekerja dalam eselon bawah dan menengah. Sedangkan fungsi tertinggi untuk dokter pribumi seperti Inspektur Kesehatan hanya diberikan kepada dua orang dokter, yaitu Soesilo di Banjarmasin dan Mangkoewinoto di Palembang.
Inspektur Kesehatan bekerja sama dengan dokter-dokter Karesidenan yang memimpin usaha-usaha kesehatan di kabupaten dan kota. Banyak dokter pribumi yang menjadi dokter-dokter Karesidenan.
Selain bekerja sebagai dokter, Soesilo terlibat dalam pergerakan dengan masuk Partai Indonesia Raya (Parindra). Dia bergabung dengan Parindra; kemungkinan karena partai ini didirikan dan dipimpin oleh kakaknya, Soetomo. Semua organisasi dan partai politik dibekukan, termasuk Parindra, dibekukan pada masa pendudukan Jepang.
Soesilo masih menjabat Inspektur Kesehatan di Banjarmasin. Karena dr. Kalthoven, dokter Karesidenan di Banjarmasin, tidak diketahui beritanya, kemungkinan besar diinternir, jabatan dokter Karesidenan pun dirangkap oleh Soesilo.
Soesilo sempat mengatur kepindahan dr. Kariyadi dari Martapura dan dr. Sutopo dari Barabai ke Jawa. Untuk menggantikan dr. Kariyadi dipilih Soemarno. Namun, guncho (wedana) Kandangan, Nadalsyah, mempertahankannya. Sehingga, dr. Rahardjo yang kemudian dipindahkan ke Martapura. Soemarno tetap di Kandangan.
Pada awalnya pendudukan Jepang terlihat baik-baik saja. Namun, semua berubah dengan cepat begitu militer Jepang menunjukkan watak bengisnya. Maka, Soesilo ikut menyusun perlawanan rakyat di Banjarmasin, yang dipimpin oleh Gubernur Kalimantan B.J. Haga.
Setelah Belanda menyerah, Haga berencana mengungsi ke Jawa. Namun, Jepang dengan cepat menguasai kota-kota di Kalimantan Selatan. Haga tidak mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan pengungsian ke Jawa. Dia memutuskan untuk melarikan diri ke Puruk Cahu di hulu Sungai Barito.
Tidak lama di Puruk Cahu, Haga beserta pengikutnya menyerahkan diri kepada Jepang di Banjarmasin awal April 1942. Pertimbangannya perempuan dan anak-anak tidak mampu bertahan lebih lama lagi, apalagi menjadikan Puruk Cahu sebagai basis perlawanan hanya akan berakibat fatal. Mereka kemudian diinternir di Banjarmasin.
Wajidi Amberi, peneliti sejarah di Balitbangda Kalimantan Selatan yang menulis buku Penumpasan Komplotan Gubernur B.J. Haga oleh Tentara Pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan 1943-1944, mengatakan bahwa pada mulanya mereka diperlakukan agak baik. Penjagaan tentara Jepang tidak begitu keras sehingga mereka bisa berhubungan dengan pihak luar. Perlakuan yang agak longgar ini dimanfaatkan oleh Haga.
“Haga beserta pengikutnya dari kalangan sipil dan militer diam-diam kembali mengkonsolidasikan kekuatan untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang dengan bantuan Amerika dan Inggris yang berdasarkan kontak spionase akan membombardir kota Banjarmasin dari udara,” kata Wajidi.
Karena penjagaan yang longgar, dokter bisa keluar-masuk kamp interniran. Yang kerap kali keluar-masuk kamp adalah Soesilo dan dr. Vischer, utusan International Committee of the Red Cross (ICRC) atau Palang Merah Internasional dan kepala Misi Baseler, organisasi misionaris Swiss yang mendirikan rumah sakit di Barimba, Kuala Kapuas.
Untuk membantu Haga dan para interniran, Soesilo terlibat dalam Santi Pereira Fund (Dana Santi Pereira). Sesuai namanya, penggalangan dana ini diinisiasi oleh A. Santiago “Santi” Pereira, seorang Belanda-Eurasia yang pernah bekerja sebagai pegawai negeri di Inspektorat Keuangan Hindia Belanda.
Menurut sejarawan Belanda, L. de Jong dalam The Collapse of a Colonial Society: The Dutch in Indonesia During the Second World War, A. Santiago “Santi” Pereira mendirikan Dana Santi Pereira atas seizin pihak berwenang Jepang untuk menampung bantuan dari orang Belanda-Eurasia, Tionghoa, Arab, bahkan seorang dokter Jepang. Dalam Dana Santi Pereira turut serta kelompok kecil yang menyelundupkan uang, perbekalan, dan obat-obatan ke dalam kamp.
“Kelompok ini dipimpin oleh perawat C.J.M. Reichert, kepala rumah sakit jiwa, termasuk Inspektur Kesehatan setempat Raden Soesilo, dan seorang India bernama Abdullah yang berhasil membawa uang dan barang ke kamp sekitar sepuluh kali,” tulis de Jong.
Dengan cermat Santi Pereira mengelola uang yang disimpan dalam Dana karena itu dimaksudkan untuk diganti oleh pemerintah kolonial setelah perang. “Dia menyimpan daftar nama dan alamat setiap orang yang telah menyumbangkan uang beserta jumlahnya,” tulis de Jong.
Selain Soesilo dan Vischer, kontak juga terjalin dengan Ir. A.A.G.P. Makaliwij yang bekerja sebagai nomu kakaricho (kepala seksi pertanian). Sebelum masa perang, dia merupakan seorang ahli teknik pertanian dan kehutanan di balai penyelidikan pertanian di Banjarmasin yang merangkap pekerjaan dalam Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik.
Bersama Makaliwij, Soesilo datang ke Pontianak untuk bertemu para pemimpin gerakan bawah tanah. Mereka mengabarkan situasi di Banjarmasin sekaligus berdiskusi mengenai upaya perlawanan melawan Jepang.
Semua berjalan baik-baik saja sampai gerakan perlawanan ini terendus penguasa Jepang.
Penangkapan
Gerakan anti-Jepang yang disebut Komplotan Haga dibongkar oleh Iwao Sasuga, kepala polisi Jepang. Dia memimpin penggeledahan dan penangkapan besar-besaran.
Pada 10 Mei 1943, di kamp wanita, polisi Jepang menyita semua dokumen dan menangkap sekelompok wanita, termasuk istri Haga. Ini diikuti oleh tiga gelombang penangkapan pada Juni dan Agustus. Penangkapan terbesar pada Juni, di mana tank Jepang meluncur di jalanan Banjarmasin dan pesawat pengebom terbang di atas kota; semua ini untuk mengintimidasi.
“Total sekitar 250 orang ditangkap, termasuk Santi Pereira, perawat Reichert, dan Soesilo,” tulis de Jong.
Dari penangkapan itu, polisi Jepang menemukan beberapa barang bukti: kontak klandestin dengan tahanan, radio, bendera Belanda, dan senjata api. Bukti-bukti itu belum cukup kuat untuk menuntut mereka ke pengadilan. Namun, Sasuga memberi tahu atasannya bahwa dia yakin sebuah pemberontakan anti-Jepang sedang direncanakan secara diam-diam di Kalimantan, yang akan pecah begitu Sekutu mendarat di sana. Sasuga, catat de Jong, memerintahkan bawahannya untuk menggali apa yang disebut bukti pemberontakan.
Dokumen-dokumen Haga mengenai kontak dengan pihak Sekutu memang tidak dapat dirampas Jepang. Namun, menurut buku Republik Indonesia: Propinsi Kalimantan, Nyonya Haga beberapa hari sebelum dibunuh mengakui rencana komplotan ini. “Rencana itu ialah bahwa pada Juni 1943 Banjarmasin akan dibom tentara Sekutu, dan yang demikian adalah suatu tanda untuk melakukan pemberontakan terhadap Jepang,” tulis buku terbitan Kementerian Penerangan itu.
Polisi Jepang akhirnya mendapatkan apa yang dianggap sebagai bukti-bukti pemberontakan. Antara lain, catat de Jong, surat-surat rahasia berisi petunjuk untuk pemberontakan; radio rusak dan bagian-bagiannya yang diduga dipakai sebagai pemancar dan telepon; sebuah buku harian berisi karikatur Jepang; dan sepucuk surat milik istri gubernur Haga berisi laporan: “Beritanya sangat bagus, pertahankan keberanian Anda”.
Sementara di kamp pria, Haga bersama sepuluh pejabat lainnya diduga menulis dokumen tentang reformasi administrasi Kalimantan pascaperang. Jadi, dia juga mengandalkan pendaratan Sekutu.
Bukti pemberontakan lain adalah uang sebesar 40.000 gulden yang diserahkan Vischer kepada bendaharanya untuk membiayai pemberontakan. Sebagian dana ini merupakan subsidi dari Basel, Swiss dan sebagian lagi uang pemerintah kolonial. Ketika menggerebek rumah sakit di Barimba, tentara Jepang menemukan 400 pucuk senjata.
“Jadi sangat beralasan jika Visher dikatakan berpihak kepada Belanda, yang dalam aturan Jepang, bisa dikenakan hukum penggal,” kata Wajidi.
Menurut Wajidi, Jepang menyatakan bahwa Vischer dan Soesilo bersahabat karib sejak lama dengan Haga. Vischer dan Soesilo bergabung ke dalam komplotan melawan Jepang dan menjadi pemimpin atau kepala badan spionase.
“Disebutkan bahwa kegiatan spionase dilakukan melalui kedok kegiatan perawatan, keagamaan, dan pendidikan yang berpusat di Barimba,” kata Wajidi.
Selain dengan Visher, Soesilo dituduh melakukan spionase dengan Makaliwij. “Jepang menyebut Soesilo dan Makaliwij menjadi penghubung antara komplotan anti-Jepang di Kalimantan Selatan dengan komplotan anti-Jepang di Kalimantan Barat,” kata Wajidi.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62455805fe9636425494a6d9_podcast-left.jpg" alt="img"></div><figcaption>Lokasi pemakaman massal korban eksekusi tentara Jepang di Lapangan Terbang Ulin, Banjarmasin. (Dok. Wajidi Amberi).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6245580b2eb71a34686b5fca_podcast-right.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="url_mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Wajidi Amberi</b><br>Peneliti Sejarah di Balitbangda Kalimantan Selatan.</span></div></div></div>
Disiksa dan Dipancung
Untuk mendapatkan pengakuan, penguasa Jepang menyiksa para tahanan secara brutal. Menendang, memukul dengan tongkat dan gagang pistol, menyetrum, dan menyiksa dengan air. Soesilo tak terkecuali.
Seorang sipir yang memberikan kesaksian dalam persidangan Iwao Sasuga, mantan kepala polisi Jepang, di pengadilan Mahkamah Militer Batavia pada 1948, mengatakan: “Saya mendengar interogasi Soesilo di balik pintu tertutup. Suara pemukulan bisa terdengar melalui pintu. Memohon belas kasihan, suara Soesilo terus terdengar melalui teriakan.”
“Akui atau kamu akan mati!” kata interogator.
“Kemudian saya dipanggil dan dokter yang terbaring tak sadarkan diri di lantai itu disiram air. Dia diseret pergi... Setelah interogasi lain ... Soesilo pingsan setelah kembali ke selnya,” kata sipir itu. “Pada banyak kesempatan saya melihat para tahanan membiru dan bengkak setelah mereka diinterogasi.”
Setiap pengakuan paksa menyebabkan penangkapan baru, bahkan di tempat-tempat yang jauh, seperti Surabaya, Tarakan, dan Balikpapan.
Komplotan Haga dipanggil ke pengadilan Angkatan Laut. Haga jatuh pingsan kena serangan jantung pada hari pertama persidangan. “Dia meninggal dunia karena sebelumnya telah mendapat siksaan yang demikian kejam dari Jepang,” kata Wajidi.
Sedangkan 25 orang lainnya divonis hukuman mati dan dipenggal di Lapangan Terbang Ulin (kini, Bandara Internasional Syamsuddin Noor) di Banjarmasin pada 20 Desember 1943. “Termasuk Pereira, Soesilo, sepuluh pejabat Belanda, Vischer dan istrinya, mekanik radio Indonesia, istri Haga, perawat Reichert dan dua wanita lainnya,” tulis de Jong.
Menurut Kevin dan Sangkot, Jepang memenggal kepala Soesilo dengan tuduhan pelanggaran yang tampaknya tidak mungkin: bertukar pesan dengan kapal selam Amerika yang bersembunyi di Sungai Barito, Kalimantan Timur. Ada kemungkinan Jepang memandang Soesilo dan para dokter Stovia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai pemikir politik yang cerdas dan karenanya berbahaya.
“Akibatnya, mereka bernasib buruk dan sangat menderita selama masa pendudukan Jepang. Jepang mengeksekusi setidaknya 19 dokter Stovia,” tulis Kevin dan Sangkot.
De Jong menyebut bahwa kasus Haga, dengan atau tanpa putusan pengadilan, telah menelan korban jiwa sekitar 150 orang, termasuk 33 orang Tionghoa, sejumlah orang Arab di antaranya pemimpin komunitas Arab di Banjarmasin dan kedua putranya, dan 12 orang Ambon dan Manado.
Sementara itu, buku Republik Indonesia: Propinsi Kalimantan menyebut di Lapangan Terbang Ulin ditemukan 150 tengkorak, 30 orang mati karena disiksa di penjara, 26 orang termasuk lima orang perempuan dan sebelas orang pegawai pemerintah yang dieksekusi pada 20 Desember 1943. Jumlah orang Belanda yang dieksekusi tidak kurang dari 250 orang, sedangkan dari kalangan Indonesia, Tionghoa, India, dan Arab, yang jumlahnya besar tidak diketahui pasti.
Hukuman mati terhadap Komplotan Haga kemudian diumumkan di Borneo Shimbun pada 21 Desember 1943.
Soemarno mengatakan, di harian yang diterbitkan Jepang di Banjarmasin itu disebutkan mereka mendapatkan hukuman yang berat karena mengadakan komplotan hendak menjatuhkan pemerintah. Pada harian itu juga dimuat gambar sebaris senjata api yang disita dari komplotan itu.
Soemarno kaget ketika mendengar kabar semua orang yang tercantum dalam daftar penyumbang di surat edaran itu ditangkap dan dieksekusi Jepang. “Semuanya dibunuh termasuk dr. Soesilo,” kata Soemarno.
“Tuhan masih melindungi saya sekeluarga,” kata Soemarno, “keraguan saya untuk menuliskan nama saya sebagai penyumbang ternyata menyelamatkan diri saya.”*