Dokter Mata Bung Besar

Dokter mata dengan segudang karya. Dipenjara dan menjadi eksil pascaperistiwa G30S 1965.

OLEH:
Andri Setiawan
.
Dokter Mata Bung BesarDokter Mata Bung Besar
cover caption
Ilustrasi: Awaludin Yusuf

Seorang lelaki berusia 76 tahun mendapat pertanyaan dari platform Quora, “Siapa Liang-Hai Sie dan bagaimana dia bisa sampai ke Belanda?” Sie Liang Hai, namanya, menjawab bahwa ia adalah mahasiswa kedokteran di Universitas Ghent, Belgia, ketika Gerakan 30 September 1965 meletus di Indonesia.

“Saya seorang agnostik generasi ke-6 etnis Tionghoa, lahir di Indonesia, berangkat ke Belgia untuk belajar pada tahun 1963 pada usia 17 tahun,” kata pensiunan dokter penyakit dalam itu.

Sie Liang Hai bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi apapun yang dianggap berhubungan dengan PKI. Ia hanyalah anak seorang dokter mata bernama Sie Boen Lian. Dan ayahnya bukan dokter mata biasa, melainkan dokter mata Presiden Sukarno.

“Setelah pembunuhan massal 1965-66 di Indonesia, almarhum ayah saya yang tidak aktif secara politik dipenjara secara tidak adil (untungnya tidak disiksa atau dibunuh seperti begitu banyak yang lain) selama 3 bulan, sebelum seseorang yang ramah menjulurkan lehernya dan membantunya keluar, dengan saran untuk diam-diam pergi setelah membiarkan beberapa waktu berlalu,” rinci Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian berhasil kabur ke Belanda. Menjadi dosen dan membuka praktik di sana. Menjalani sisa hidupnya bersama istri dan anak-anaknya.

Seorang lelaki berusia 76 tahun mendapat pertanyaan dari platform Quora, “Siapa Liang-Hai Sie dan bagaimana dia bisa sampai ke Belanda?” Sie Liang Hai, namanya, menjawab bahwa ia adalah mahasiswa kedokteran di Universitas Ghent, Belgia, ketika Gerakan 30 September 1965 meletus di Indonesia.

“Saya seorang agnostik generasi ke-6 etnis Tionghoa, lahir di Indonesia, berangkat ke Belgia untuk belajar pada tahun 1963 pada usia 17 tahun,” kata pensiunan dokter penyakit dalam itu.

Sie Liang Hai bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi apapun yang dianggap berhubungan dengan PKI. Ia hanyalah anak seorang dokter mata bernama Sie Boen Lian. Dan ayahnya bukan dokter mata biasa, melainkan dokter mata Presiden Sukarno.

“Setelah pembunuhan massal 1965-66 di Indonesia, almarhum ayah saya yang tidak aktif secara politik dipenjara secara tidak adil (untungnya tidak disiksa atau dibunuh seperti begitu banyak yang lain) selama 3 bulan, sebelum seseorang yang ramah menjulurkan lehernya dan membantunya keluar, dengan saran untuk diam-diam pergi setelah membiarkan beberapa waktu berlalu,” rinci Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian berhasil kabur ke Belanda. Menjadi dosen dan membuka praktik di sana. Menjalani sisa hidupnya bersama istri dan anak-anaknya.

Perkumpulan Pelajar

Sie Boen Lian, yang lahir di Madiun pada 24 Agustus 1902, adalah dokter mata terkenal pada masanya. Pendidikan dokter ditempuhnya di Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) Surabaya pada 1917. Setelah lulus ia bekerja sebagai dokter pemerintah (DVG) yang ditempatkan di sebuah rumahsakit di Surabaya. 

“Angan-angannya belajar penyakit dalam, tetapi mereka membutuhkan dokter bedah, ya sudah, terpaksa,” kata Sie Liang Hai.

Sebagai pemuda berpikiran maju, Sie Boen Lian menceburkan diri dalam organisasi. Ia bergabung dengan Chung Hsioh, perkumpulan pelajar Tionghoa. Menurut Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese, Sie Boen Lian aktif dalam Chung Hsioh sejak di NIAS Surabaya. 

Pada April 1927, mewakili Chung Hsioh, ia menjadi salah satu pembicara dalam kongres Chung Hwa yang diadakan di Hotel Du Pavillion (sekarang Hotel Dibya Puri) Semarang, Jawa Tengah. Kongres ini melahirkan ide pembentukan Chung Hwa Hui (CHH), yang direalisasikan dalam kongres kedua di Semarang setahun kemudian. CHH beranggotakan pedagang peranakan dan kaum intelektual Tionghoa berpendidikan Belanda.

Kemudian, pada September 1927, Sie Boen Lian menghadiri kongres Chung Hsioh di Solo. Dalam kongres, ia dimajukan sebagai kandidat ketua oleh Chung Hsioh Surabaya dan Bondsbestuur lama. Terpilihlah kembali ia sebagai ketua Chung Hsioh. 

Tampak luar gedung Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya. Tempat dimana Sie Boen Lian mempelajari berbagai ilmu tentang kedokteran. (tropenmuseum/wikimedia commons)

“Sesungguhnya pilihan itu ada di tempat yang betul dan ia punya cara bekerja ada mengagumkan, karena meskipun ia musti belajar banyak buat ia punya examen toh ia masih bisa bekerja begitu banyak,” catat Soera Publiek, 29 Desember 1927.

Pada sesi terakhir, Caroline Valentine Tan (Tan Souw Lien), pengurus CHH, diberi kesempatan untuk memberikan kuliah. Caroline adalah istri dari Yap Hong Tjoen, seorang ophthalmologist atau dokter spesialis mata terkemuka.

Dr. Yap adalah salah seorang pendiri CHH ketika kuliah di Belanda. Ia juga dikenal karena mendirikan klinik atau rumahsakit mata yang dikenal sebagai Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders (sekarang, Rumah Sakit dr. Yap) serta Vorstenlandsch Blinden Instituut atau yayasan perawatan dan pendidikan keterampilan bagi penyandang tunanetra di Yogyakarta. 

Sie Boen Lian kemudian bersinggungan dengan dr. Yap. Pada 1929, ia direkrut oleh dr. Yap untuk bekerja di kliniknya.

Sie Boen Lian pun pindah ke Yogyakarta. Ia membantu dr. Yap sambil belajar menjadi dokter mata. Tak hanya itu, karena kekurangan dokter, ia kadang membantu orang melahirkan dan memberikan pelayanan medis lainnya.

Para siswa Indonesia saat belajar ilmu kedokteran di Nederlands-Indische Artsenschool Surabaya. Dimana sekolah ini juga menjadi tempat Sie Boen Lian dalam menimba ilmu tahun 1917. ( tropenmuseum/wikimedia commons )

Suatu ketika, klinik dr. Yap kedatangan pasien, remaja Pekalongan yang kornea mata kirinya terluka dan menghalangi penglihatannya.

Namanya Souw Lian Kie. Luka di kornea matanya pernah sembuh tapi ia tetap tak bisa melihat. Ia kemudian dipanggil “Mari” yang dalam bahasa Jawa artinya sembuh. Namun orang Belanda mengira namanya Marie, variasi dari nama Maria. Ketika matanya sakit, Mari dibawa ke klinik dr. Yap.

Sie Boen Lian menangani Mari. Selama beberapa tahun mereka semakin dekat. Karena ayah Mari ternyata tengah mengalami kesulitan ekonomi, Sie Boen Lian membiayai pendidikan Mari di Huishoudschool, sekolah untuk perempuan yang mengajarkan ketrampilan rumah tangga.

“Termasuk aturan atau etiket menyusun pisau, sendok, garpu di meja jika mengundang tamu. Sesuai kedudukan ayah sebagai dokter mata,” ujar Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian kemudian menikahi Mari pada 1929. Mereka dikaruniai empat anak: Sie Chin Mei, Sie Liang Ho, Sie Liang Hai, dan Sie Chin Ling.

Untuk memperdalam pengetahuannya, Sie Boen Lian pergi ke Praha, Cekoslowakia, pada 1930. Ia magang sebagai ahli mata tanpa dibayar. Wartawan Tionghoa terkemuka Kek Beng Kwee dalam 50.000 Kilometer dalam 100 Hari menyebut Sie Boen Lian memilih ibukota Ceko itu bukan hanya sebagai spesialis mata tapi juga penggemar musik (biola).

Sie Boen Lian tak bisa lepas dari biola. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter, meneliti dan organisasi, ia gemar main biola. “Main biola hanya pada hari Minggu jika ada waktu,” kenang Sie Liang Hai.

Setahun belajar di Praha, ia pulang ke tanah air dan kembali menjalani profesinya sebagai dokter di Yogya. 

Tampak depan dari Hotel Du Pavillon Semarang. Tempat dimana Sie Boen Lian menjadi perwakilan organisasi Chung Hsioh pada kongres Chung Hwa tahun 1927. (KITLV)


Operasi yang Terkenal

Tak hanya sibuk dengan praktik, Sie Boen Lian rajin melakukan penelitian. Pada 1928 dan bulan-bulan pertama tahun 1929, ia melihat lebih dari 200 pasien keratomalacia di rumahsakit mata di Yogya, empat di antaranya bayi, akibat kekurangan vitamin A. Hasil penelitiannya dimuat Geneeskundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 69 (1929) dengan judul “Avitaminose A bij Inlandsche zuigelingen”. 

Keratolamacia kerap dimulai sebagai xerophthalmia, yakni kekeringan parah pada kornea dan konjungtiva. Jika tidak diobati bisa berkembang menjadi rabun senja, bahkan merusak kornea mata dan menyebabkan kebutaan.

Dari hasil penelitiannya, Sie Boen Lian menyebut xerophthalmia mempengaruhi sebagian besar balita pada usia 2 dan 3 tahun akibat kekurangan vitamin A dalam makanan ibu hamil, ibu menyusui, bayi yang disapih, dan anak kecil. 

Penyakit mata lainnya yang umum diderita masyarakat Hindia Belanda adalah trachoma. Penyakit infeksi pada mata yang bisa menyebabkan kebutaan ini menular dan mudah menyebar, terutama di daerah miskin yang padat penduduk dan airnya tidak bersih. Hal ini pula yang mendorong dr. Yap mendirikan rumahsakit mata di Yogya.

Sie Boen Lian menangani banyak pasien trachoma. Ia melakukan operasi massal entropion, yakni operasi pada pelupuk mata yang terluka sehingga berbalik ke dalam bagian mata karena infeksi trachoma. Bulu mata menggesek kornea mata yang bisa menyebabkan peradangan kronis hingga kebutaan. Ia menemukan cara mengatasi ini dengan memotong tulang rawan pelupuk mata lalu dibalik keluar dan dijahit. 

Sie Boen Lian menerbitkan artikel tentang operasi tersebut pada Klinische MIonatsblitter fuir Atugentheilkitutde, jurnal kesehatan mata yang terbit di Jerman, pada Februari 1931. 

Prosedur yang dilakukan Sie Boen Lian itu kemudian terkenal dengan sebutan operasi “Sie Boen Lian”. Namun ada mempertanyakan orisinalitasnya. Kisah itu diutarakan E. Raubitschek dalam “David’s Authorship of the So-Called Sie-Boen-Lian Operation for Entropion, and Suggested Improvement”, dimuat The British Journal of Ophthalmology, Desember 1950. 

Seorang warga saat melintas ditengah banjir besar yang melanda Tiongkok tahun 1931. Saat itu Sie Boen Lian terjun langsun ke sana untuk membantu para korban bencana alam tersebut. (wikimedia commons)

Raubitschek menyebut artikel mengenai operasi entropion oleh Sie Boen Lian. Beberapa tahun sebelumnya, ia diperlihatkan oleh dr. J. David salinan artikelnya tentang topik itu yang dimuat di Arch. Ophtal, Paris, tahun 1923. Ia pun berkomunikasi dengan Sie Boen Lian, yang tetap mengklaim sebagai pencetus teknik operasi tersebut. Namun dua bulan kemudian, pada April 1931, koreksi diterbitkan Klinische MIonatsblitter fuir Atugentheilkitutde yang menyebut gagasan itu sebagai milik dr. J. David. Kendati demikian, operasi tersebut tetap disebut operasi Sie Boen Lian

“Ada surat yang mengklaim operasi ini sebelumnya sudah dilakukan dr. David, seorang dokter umum Inggris. Ayah selalu katakan tidak perlu bertengkar, diamkan saja,” kata Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian bersikap rendah hati. Katanya, kemungkinan ditemukan operasi serupa sangat masuk akal karena sebenarnya itu teknik sederhana yang bisa dikembangkan dokter lain secara mandiri.

Sie Boen Lian tak patah arang. Ia tetap meneliti di samping kesibukannya sebagai dokter. Selain membantu dr. Yap, ia membantu melayani pasien di sebuah klinik Tionghoa yang dipimpin oleh Tan Sien Tjoan. 

Ia juga punya kesibukan organisasi. Sejak Juli 1931, ia ditunjuk sebagai sekretaris/bendahara Chung Hsioh Studiefonds. Selain itu ia menjadi penasehat Middenstands-vereeniging, sebuah perkumpulan untuk kaum saudagar, pemilik rumah-rumah sewa, rentenir, dokter partikelir, dan lain-lain yang didirikan di Yogya pada 1931. Ketuanya adalah Tan Sien Tjoan.

Sebagai anggota komunitas Tionghoa, Sie Boen Lian pun terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk kepentingan orang banyak. Ketika banjir besar melanda Tiongkok, ia terlibat dalam kegiatan hoofdcomite Penoeloeng Bahaja Bandjir di Tiongkok. Selain menggalang dana untuk membantu para korban, komite ini mengirimkan tim medis ke sana. Mereka adalah Sie Boen Lian, Tan Kim Hong, dan Njo Tiong Tjiat.

“Dr. Sie sudah tinggalkan ia punya pekerjaan dalam klinik di Yogya. Dr. Tan sudah tinggalkan ia punya pekerjaan dalam Jang Seng Ie dan Tuan Njo sudah tinggalkan ia punya studi dalam Mediche Hooegeschool dengan maksud buat melakukan kewajiban yang lebih penting di negeri leluhur dan buat wakilin pemerintah Belanda dalam pekerjaan menolong Tiongkok,” catat Sin Tit Po, 11 Desember 1931.

Setelah hampir tiga bulan, mereka pulang ke tanah air. Di daerah-daerah banjir sudah cukup banyak dokter dan rumahsakit yang bekerja dengan baik. 

Untuk menyambut kepulangan mereka, hoofdcomite menggelar perjamuan di Jakarta. Dalam acara malam itu, mereka membagikan pengalaman selama di Tiongkok. Sie Boen Lian, Sin Tit Po, 14 Desember 1931, merasa bangga melihat pekerjaan dokter-dokter dari bangsa sendiri yang sempurna.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/35-sie-boen-lian/SIE_BOEN_LIAN.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/35-sie-boen-lian/SIE_BOEN_LIAN.mp4"></video></div>

Buka Praktik

Setelah cukup matang sebagai dokter di Yogya, Sie Boen Lian memutuskan pindah ke Jakarta. Ia membuka praktik di rumahnya di Jalan Gadjah Mada No. 138. Letaknya berada di samping rumah Majoor der Chinezen (Gedung Candranaya). Buka enam hari seminggu dari pukul sembilan hingga tiga sore. 

Potret dari Dokter Kwa Tjoan Sioe pendiri rumah sakit Jang Seng Le tempat Sie Boen Lian menimba ilmu. Sosok yang dianggap oleh Sie Boen Lian punya peran besar dalam sejarah kedokteran di Tanah Air.

Selain itu ia membantu klinik Jang Seng Ie (kinia Rumah Sakit Husada di Jalan Mangga Besar), yang didirikan oleh Kwa Tjoan Sioe tahun 1924. Setiap pagi, sekira pukul enam, ia biasanya telah berada di Jang Seng Ie untuk menjalankan operasi mata. Ia juga harus memeriksa pasien-pasien pascaoperasi.

Di Jang Seng Ie, Sie Boen Lian bersama beberapa rekannya mengumpulkan dana untuk membiayai ongkos rawat inap pasien yang kurang mampu. Bahkan operasi mata juga seringkali dilakukan secara gratis.

“Untuk beliau pekerjaan dokter mata sangat penting, tetapi juga mengamal, dan terus melakukan penyelidikan (penyakit mata) sehingga luas bidang perhatiannya,” ujar Sie Liang Hai.

Pengalaman bekerja di Jang Seng Ie sangat berkesan baginya. Dalam Java Critic, majalah yang dpimpin Kwee Kek Beng, terbitan 10 November 1948 Sie Boen Lian menyebut sejarah Jang Seng Ie tidak bisa tidak harus menyebut nama dr. Kwa Tjwan Sioe. Sosok ini memiliki angan-angan untuk “adakan satu tempat (ie), untuk memelihara (jang) kesehatan atawa penghidupan (seng). Buat mencapai tujuan ini, sebagai pokok telah didirikan rumah sakit, dalam mana juga ada kutika untuk mendidik juru rawat (suster). Dalam rumah sakit juga ada poliklinik umum dan specialistisch.

Selara dengan angan-angan dr. Kwa, “Ja Seng Ie buka pintunya untuk segala bangsa. Yang dirawat dalam klinik Jang Seng Ie, yang ditolong dalam berbagai polikliniknya, tidak saja orang Tionghoa, tetapi juga bangsa Indonesia, Belanda, Arab, dan lain-lain.”

“Dalam salah satu kamar dari Jang Seng Ie Hospitaal, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, itu nasionalis Indonesia yang terkenal, lepaskan napasnya yang penghabisan sebab nyatakan sungkan menutup mata di lain tempat. Soetan Sjahrir pernah beberapa kali masuk ruangan Jang Seng Ie, untuk diperiksa dan diobati.”

Selain sebagai dokter, Sie Boen Lian bekerja pada bagian mata di Geneeskundige Hoogeschool (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran –kini Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia menjabat sebagai hoofd assistant atau setara associate professor Mulock Houwer yang memimpin sekolah itu.

Atas saran Houwer, ia menempuh ujian doktor di GHS. Disertasinya yang berjudul “Polytaenean bij Verschillende Oogzichten” membuatnya mendapat gelar doktor tahun 1933. Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, ia menjadi ahli operasi yang bisa memakai tangan kanan dan kiri.

Beberapa perempuan saat memasuki Rumah Sakit Jang Seng Le tempat dimana dokter Sie Boen Lian menjalankan praktik operasi mata. Kini RS Jang Seng Le berubah nama menjadi Husada. (ANRI)


Kebudayaan Peranakan

Setelah menyelesaikan studi doktor, Sie Boen Lian mengurangi kegiatannya sebagai ketua Chung Hsioh. Sebuah malam perpisahan digelar Chung Hsioh di Yogyakarta pada 1934. Sie Boen Lian dianggap telah berjasa menggerakkan Chung Hsioh; “tidak hanya kekuatan pendorong asosiasi, tetapi juga seseorang yang berkomitmen pada gerakan Chung Hsioh dengan hati dan jiwa,” tulis Algemeen Handelsblaad voor Nederlandsch-Indie, 16 Agustus 1934. 

Bukan berarti kesibukannya berkurang. Sie Boen Lian masih menjabat presiden kehormatan Chung Hsioh. Ia juga terlibat dalam Groot Batavia, sebuah asosiasi yang bertujuan mengembangkan kota Batavia agar lebih layak huni dan menarik bagi pelancong. Asosiasi ini didirikan tahun 1937 dengan ketuanya Chr. A. de Vries dari kantor berita Aneta.

Orang Tionghoa berada didepan toko miliknya di daerah Jawa Tengah. Pada tahun 1930an Sie Boen Lian menulis bahwa orang Tionghoa sudah berbaur dengan masyarakat Jawa.

Demi memajukan kebudayaan Tionghoa, Sie Boen Lian menggagas pembentukan China Instituut. Dengan mengundang beberapa orang, sebuah pertemuan pun digelar di rumah Kwa Tjoan Sioe untuk membicarakan pendirian China Instituut. 

“Menurut satu surat kabar di Batavia, itu niatan ada keluar dari Dr. Thung Tjeng Hiang dari Klaten dan Toean Sie Boen Lian Yogya dan akan gunakan De Chineesche Revue sebagai organnya,” catat Swara Publiek, 22 Agustus 1929.

De Chineesche Revue adalah majalah tiga bulanan berbahasa Belanda yang diterbitkan Sin Po pada Januari 1927. Inisiatornya adalah Kwee Kek Beng. Organ China Instituut kemudian digantikan Mededeelingen van het China Instituut pada Oktober 1936 yang dikelola Kwee Kek Beng, Nio Joe Lan, dan Sie Boen Lian.

Potret Sie Boen Lian, salah satu sosok penting dalam dunia kedokteran di Indonesia. Selain itu beliau juga pernah menjadi dokter mata presiden Indonesia Sukarno. ( Dok Keluarga )

Melalui China Instituut, Sie Boen Lian menyalurkan minatnya pada kebudayaan peranakan. Ia menulis “Gambang Kromong Muziek” dalam jurnal Mededeelingen van het China Instituut 2 1938, yang mulai menurun peminatnya. Tulisan lainnya antara lain “’Bewerkingen van de ‘San Kuo Chi’ in het Javaansch” (1936) dan “Tjita-tjita Pengajaran Tionghoa di Indonesia” (1950).

Sie Boen Lian tampaknya mendukung integrasi sosial orang Tionghoa di Indonesia. Pada 1936, ia menulis bahwa orang Tionghoa yang tinggal di desa-desa telah membaur selayaknya orang Jawa.

“Melihat orang Tionghoa yang telah beberapa keturunan bertempat jauh di desa-desa sukarlah dikenali mereka itu orang Tionghoa, kecuali nama dan hiolonya. Baik kelakuan dan pekerjaannya maupun cara hidup dan jalan pikirannya, mereka adalah orang Jawa semata-mata,” terang Sie Boen Lian.

Organisasi-organisasi sosial Tionghoa redup pada masa pendudukan Jepang.

Zaman Baru

Minggu, 20 Januari 1946, sekira 40 orang Tionghoa berkumpul di lantai dua kantor harian Sin Po di Jalan Asemka. Hari itu, mereka secara resmi mendirikan perkumpulan sosial Sin Ming Hui yang artinya Perkumpulan Sinar Baru. 

“Pembentukan organisasi ini atas prakarsa para tokoh Tionghoa peranakan yang merasa prihatin dan peduli akan keadaan dan nasib orang Tionghoa yang banyak menderita akibat penjajahan Jepang,” tulis Beny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik. 

Sin Ming Hui didirikan karena karena ketiadaan organisasi sosial Tionghoa pascaperang. Sing Ming Hui membangun klinik kesehatan, sekolah, hingga panti asuhan. Semula Sing Ming Hui berada dalam naungan Chung Hua Tsung Hui (CHTH). Kemudian pada 1948 keluar dari naungan CHTH dan berkembang menjadi organisasi yang lebih berkiblat ke Republik Indonesia.

Dr. Sie boen lian bersama para jajaran dokter baik dari Indonesia maupun Belanda dalam satu pertemuan di Batavia. ( Bataviaasch Niuwsblad )

Sie Boen Lian dan saudaranya yang juga dokter, Sie Boen Liep, adalah dua di antara para pendiri Sing Ming Hui.

Bukan hanya di organisasi. Sejak Indonesia merdeka, Sie Boen Lian terlibat dalam beragam organisasi profesi dan keilmuan, bahkan jadi ketuanya. Antara lain Chinese Medical, Dental and Pharmaceutical Association; Dewan Ilmu Alam; perwakilan Pacific Science Association untuk Indonesia; serta Organization for Scientific Research in Indonesia atau Organisasi Penyelidikan Ilmu Pengetahuan Alam.

Jabatan lain yang diembannya adalah sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) semasa ketua umum dr. Soeharto tahun 1950. Sie Boen Lian juga aktif dalam Balai Penjelidikan Trachoma dan Penjakit Mata Lain-lain, yang didirikan di Jakarta pada April 1952. 

Ketika organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) mendirikan Universitas Baperki (kemudian menjadi Res Publica dan kini Trisakti) pada 1950-an, Sie Boen Lian menjadi dosen penyakit mata secara cuma-cuma. 

Sejak 1957 hingga 1966, Sie Boen Lian menjabat sebagai ketua Jajasan Pendidikan dan Pengajaran (JPP). Yayasan itu mendirikan sekolah Pahoa JPP yang menampung siswa-siswa Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia. Gedung JPP kini difungsikan sebagai SMA Negeri 19 Jakarta.

“Kami empat anak juga mantan murid Pahoa/JPP,” terang Sie Liang Hai. 


Meneliti dan Menulis

Sie Boen Lian memiliki satu ruangan laboratorium sederhana di Jang Seng Ie untuk melakukan penyelidikan virus mata. Hasil penyelidikannya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional di bidang kesehatan mata.

“Sewaktu saya kecil, karena sudah belajar mengetik dengan 10 jari, saya yang mengetik karangannya untuk dikirim ke jurnal tersebut,” kenang Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian punya jaringan para peneliti mata di luar negeri seperti di Tiongkok dan Italia. Di Guangzhou, ia menyumbangkan alat medis untuk rekan-rekannya yang membuatnya diuang menjadi mahaguru tamu penyakit mata tropika Universitas Sun Yat Sen.

Ia kemudian juga menerbitkan buku penyakit mata tropis dalam bahasa Tionghoa dan menghadiahkan hak penerbitan buku itu kepada tuan tamunya pada bagian mata rumah sakit universitas.

Liesbeth Hesselink dalam tulisannya “Para Penulis Hindia” yang termuat dalam Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia:Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 menyebut Sie Boen Lian sebagai satu dari beberapa penulis paling produktif untuk jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI). Ia telah menulis 15 artikel rentang 1928 hingga 1942.

“Sungguh merupakan ambisi luar biasa dapat menerbitkan tulisan sebanyak itu dalam iklim tropis sembari menjalankan pekerjaan purnawaktu,” tulis Liesbeth.

Dokter Sie Boen Lian bersama para dokter lainnya saat bertugas di Batavia. Di masa itu dia aktif untuk menulis jurnal ilmiah yang kemudian diterbitkan hingga ke luar negeri. ( Dok Keluarga Sie Boen Lian )

Dalam situs perpustakaan National Institutes of Health, Amerika Serikat, setidaknya terdapat 16 judul penelitian Sie Boen Lian dalam rentang tahun 1947 hingga 1971 (diterbitkan setahun setelah meninggal dunia).

Menurut Sie Liang Hai, ayahnya menganggap penelitian bagi seorang dokter begitu penting. Padahal ia melakukannya secara mandiri dan dengan biaya sendiri.

“Kebanyakan dokter nonakademis terlalu sibuk, tiada kesukaan penyelidikan (seperti saya sendiri), tidak melakukan penyelidikan. Itu sih hanya untuk beberapa rekan yang bekerja di RS universitas saja,” ungkapnya.

Sie Boen Lian pernah menyinggung soal kerja-kerja penelitian ini setelah ia mengunjungi Tiongkok pada 1957. Kala itu, ia keliling Wuhan, Chengdu, Shanghai, dan Kwangchow atas undangan memberi ceramah di depan dokter-dokter mata Tiongkok.

“Belum pernah saya mendapat perasaan pekerjaan saya di kalangan penyelidikan dihargai dan diperhatikan begitu banyak seperti di Tiongkok,” tulisnya dalam majalah Sin Tjun 1957-2508.

Sie Boen Lian juga memberi catatan bahwa di Tiongkok, pemerintah memberikan dukungan dana yang besar untuk penelitian. Segala kebutuhan penelitian juga disediakan. Gaji dokter yang meneliti. Gaji dokter yang meneliti juga dinaikkan.

“Inilah salah satu jalan, yang ditempuh oleh pemerintah Tiongkok, untuk mewujudkan angan-angan untuk mempertinggi derajat ilmu pengetahuan di Tiongkok, hingga derajat ini dalam dua belas tahun sama tingginya dengan derajat internasional,” tulisnya.

Dokter Mata Sukarno

Reputasi Sie Boen Lian sebagai dokter mata tak diragukan lagi. Beberapa pasiennya adalah tokoh-tokoh terkenal. Ia mengoperasi mata Siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki, di Jang Seng Ie pada 1951 ketika ia ditahan pasca Razia Agustus. Ia pernah merawat istri Oei Tjoe Tat, menteri di era Sukarno. 

Sie Boen Lian juga menangani penyakit mata menahun Gatot Mangkupradja, tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), akibat penyiksaan Belanda/NICA di penjara Glodok dan Pulau Onrust. Dilansir suratkabar Merdeka, 21 April 1956, atas biaya Presiden Sukarno, Gatot Mangkupradja menjalani operasi dan perawatan di RS Jang Seng Ie. Operasi yang dilakukan oleh Sie Boen Lian berjalan sukses dan Gatot pun sembuh.

Dokter Sie Boen Lian saat berlibur bersama keluarganya saat akhir pekan. ( Dok Keluarga )

Salah satu pasien yang rutin mendapat penanganannya adalah Sukarno.

Sie Boen Lian terdeteksi radar Sukarno pada 1950. Ia diundang oleh Sukarno pada pesta-pesta yang diadakan di Istana Negara. “Pada mulanya sering diundang pesta di Istana Negara, tetapi ya tidak mesra ya. Setelahnya jika konsultasi mata saja,” ingat Sie Liang Hai. 

Sie Boen Lian kemudian diangkat sebagai dokter mata pribadi Sukarno. Menurut Sie Liang Hai, menjadi dokter mata Sukarno tak membuat ayahnya jadi kaya. Apalagi ayahnya tak mau memanfaatkan kedekatan dengan Sukarno. 

“Sebetulnya ayah rugi. Seharian tidak bisa praktik, lalu Bung Karno membantu dengan percuma seperti layaknya!” terang Sie Liang Hai.

Rumah di Jalan Gajah Mada memang di lengkapi dengan kulkas dan televisi hitam putih. Ada pembantu yang memasak, pembantu kebersihan, serta seorang tukang kebun. Meski demikian, sebenarnya rumah tersebut bukan miliknya. Sie Boen Lian menyewa dari kawan baiknya yang juga seorang dokter di Jang Seng Ie.

“Kalau tidak salah marga Souw,” ingat Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian punya rumah kayu sederhana di Puncak untuk beristirahat di akhir pekan. Rumah itu dibeli patungan dengan kakak iparnya. Biasanya, hari Sabtu atau Minggu sekeluarga berlibur ke rumah itu.

Mereka bisanya naik mobil sedan Opel Kapitän tahun 1958. Sie Boen Lian tak punya motor. Sie Liang Hai dan saudara-saudaranya biasa naik sepeda untuk bersekolah atau kuliah.

“Adik wanita diantar jemput ke dan dari sekolah. Tiada mobil kedua, tiada rumah lux, tiada kolam renang, air conditioner dan sebagainya yang lazim sekarang di Jakarta di kalangan dokter,” ujar Sie Liang Hai.

Sebagai dokter mata Sukarno, Sie Boen Lian mengalami masa-masa genting. Sie Liang Hai, mengingat, pada 1960-an ketika kondisi keamanan Sukarno semakin terancam, ayahnya harus menutup praktik di rumahnya seharian. Petugas keamanan dan intelijen juga turut dalam rombongan.

Mendekati tahun 1965, karena alasan keamanan, Sie Boen Lian bahkan harus didatangkan ke Istana Bogor menggunakan helikopter Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Lebih-lebih, Sukarno seringkali mendapat ancaman pembunuhan.

Selama menjadi dokter Sie Boen Lian banyak menangani tokoh-tokoh penting negeri ini salah satunya adalah Bung Karno. Pada 1950 Sukarno resmi menunjuk Sie Boen Lian sebagai dokter pribadinya. (Wikimedia Commons)


Tersandung G30S

Sie Liang Hai tengah berada di Belgia ketika ia mendapat kabar ayahnya di Indonesia dipanggil ke kantor polisi pada 1966. Tak ada yang tahu apa sebabnya. Yang jelas pemanggilan ini berkaitan dengan G30S.

Pekerjaan Sie Boen Lian sebagai dokter mata Sukarno tampaknya jadi alasan utama. Ia juga dosen Universitas Baperki, ketua JPP serta punya riwayat dekat dengan tokoh-tokoh kiri. 

Sie Boen Lian kemudian dijebloskan ke penjara. Sie Boen Lian tak pernah mengatakan di mana dan berapa lama ia ditahan. Hanya ia dan istrinya Mari yang tahu di mana dan berapa lama ia ditahan. 

Menurut Sie Liang Hai, saat itu ibunya masih bisa mengantar makanan. Sie Boen Lian dan tahanan lain juga secara bergiliran memberi ceramah mengenai keahlian masing-masing.

Rombongan Dokter Sie Boen Lian dan keluarga saat berlibur bersama di Tiongkok. Usai bebas dari penjara tahun 1966 Sie Boen Lian kemudian pergi ke Belanda untuk membuka praktik dokter disana. ( Dok Keluarga Sie Boen Lian )

Mari kemudian menghubungi siapa saja yang bisa membantu membebaskan suaminya. Seseorang kemudian bersedia. “Entah siapa, kan berbahaya untuknya jika diceritakan siapa,” kata Sie Liang Hai.

Sie Boen Lian akhirnya dibebaskan. Ia kemudian berpura-pura pergi ke Singapura untuk berlibur. Sie Boen Lian meninggalkan semua harta bendanya di Indonesia. Anak pertamanya Sie Chin Mei, yang kemudian menggunakan nama Mariana, tidak ikut karena sudah menikah.

Dari Singapura Sie Boen Lian langsung menuju Belanda. Karena ijazahnya dikeluarkan pada masa Hindia Belanda, Sie Boen Lian diterima sebagai dosen di Universitas Amsterdam. Ia juga bekerja di RS Wilhelmina Gathuis.

Sie Liang Hai, yang kala itu kuliah di Belgia, turut pindah ke Belanda. Ia melanjutkan tahun ketiga kuliah di Amsterdam setelah mendapat dispensasi khusus dari Kementerian Pendidikan Belanda.

Pada 1967, Sie Boen Lian mulai membuka praktik di Beethoven Straat. Namun, setelah dua tahun dan praktiknya mulai berjalan dengan baik, Sie Boen Lian jatuh sakit. Pada 9 November 1970, Sie Boen Lian meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker pankreas.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
638768422bc6765cbc749da5