Kapten Raymond Westerling, komandan pasukan komando Belanda di Indonesia. (Ministerie van Defensie).
Aa
Aa
Aa
Aa
“WAJAHNYA seperti serigala, sorot matanya tajam,” kata pengamat militer Salim Said yang sempat mewawancarai Westerling untuk majalah Ekspress pada Juni 1970. Setelah berhari-hari mencari kontak Westerling, akhirnya Salim berhasil mendapatkan nomor telepon rumah mantan kapten pasukan komando Belanda yang kontroversial itu.
“Tapi saya tak mau diwawancarai di rumah. Rumah saya acak-acakan, kita di restoran saja,” kata Westerling kemudian menunjuk sebuah restoran di mana dia dan bekas anak buahnya selalu berkumpul.
“Saya datang ke restoran itu, di depan restoran seorang lelaki berbadan besar sudah menunggu. Dia memelototi saya, seolah tak percaya kalau saya wartawan,” ujar Salim yang lantas dipersilakan masuk ke restoran setelah pengawal Westerling itu yakin kalau dia wartawan.
“WAJAHNYA seperti serigala, sorot matanya tajam,” kata pengamat militer Salim Said yang sempat mewawancarai Westerling untuk majalah Ekspress pada Juni 1970. Setelah berhari-hari mencari kontak Westerling, akhirnya Salim berhasil mendapatkan nomor telepon rumah mantan kapten pasukan komando Belanda yang kontroversial itu.
“Tapi saya tak mau diwawancarai di rumah. Rumah saya acak-acakan, kita di restoran saja,” kata Westerling kemudian menunjuk sebuah restoran di mana dia dan bekas anak buahnya selalu berkumpul.
“Saya datang ke restoran itu, di depan restoran seorang lelaki berbadan besar sudah menunggu. Dia memelototi saya, seolah tak percaya kalau saya wartawan,” ujar Salim yang lantas dipersilakan masuk ke restoran setelah pengawal Westerling itu yakin kalau dia wartawan.
Dalam wawancara yang berlangsung selama sejam lebih itu Westerling menjawab semua pertanyaan Salim, termasuk soal jumlah korban tewas di Sulawesi Selatan selama operasinya berlangsung. Salim menggambarkan pertemuan itu “menegangkan” pada awalnya, namun suasana semakin cair saat Westerling menjawab ramah setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Salim. “Meja tempat kami duduk jadi pusat perhatian, karena semua mata anak buah Westerling yang hadir di sana melihat kami,” kenang Salim ketika ditemui Historia di kampus Universitas Pertahanan Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat.
Westerling memang dielu-elukan para pendukungnya. Mereka kebanyakan terdiri dari mantan pasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang memilih hengkang pulang ke Belanda. Mereka tetap menjalin kontak dengan Westerling. “Sebagian di antara mereka orang Ambon,” kata Salim.
Setelah gagal memimpin sebuah upaya kudeta pada 23–24 Januari 1950 terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat, Westerling melarikan diri. Sebuah konspirasi elite Belanda menyelamatkannya dari penangkapan pihak Indonesia. Setelah sempat bersembunyi di rumah keluarga De Nijs di Kebon Sirih No. 62A, Jakarta Pusat dan di beberapa keluarga Belanda lainnya, Westerling menjalin kontak dengan pihak Belanda di Indonesia untuk mengupayakan pelariannya. “Pelarianku dari Indonesia diatur oleh beberapa kawan dekatku,” ujar Westerling dalam memoarnya, Challenge to Terror.
Menurut Poncke Princen, mantan tentara KL (Tentara Kerajaan Belanda) yang menyeberang ke pihak Republik, Westerling tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan politik yang berlangsung di Indonesia. Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 dan berlakunya bentuk negara federal Republik Indonesia Serikat, ada begitu banyak gerakan yang ingin kembali kepada negara kesatuan (unitaris). “Tetapi dia tidak mau tunduk pada perkembangan dan pembubaran negara-negara bagian,” kata Poncke dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih.
Gagal dengan petualangannya, Westerling kabur ke Eropa. Sempat singgah di Singapura dan dicokok oleh otoritas Inggris di sana. Namun kemudian dia berhasil terbang kembali ke Belgia, di mana dia bersembunyi di sana untuk beberapa waktu lamanya sebelum akhirnya kembali ditangkap dan masuk ke Amsterdam, Belanda.
Kendati banyak diberitakan sebagai buronan dan jagal sadis dalam peristiwa Sulawesi Selatan, Westerling tetap mendapatkan dukungan dari bekas tentaranya dan sebagian besar orang Belanda yang masih dilanda rasa frustrasi karena kehilangan bekas tanah jajahannya. Westerling digadang-gadang sebagai pahlawan buat orang Belanda saat itu.
Masa kecil
Westerling lahir di Istanbul, Turki pada 31 Agustus 1919 dari pasangan Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Satu-satunya keterangan mengenai masa kecil Westerling terdapat dalam tujuh halaman awal memoarnya sendiri. Dalam memoarnya itu, dia mengaku suka menjinakkan binatang. Di kamarnya, Westerling kecil (lima tahun) memelihara beberapa ekor ular, sepasang tikus yang katanya begitu ketakutan pada ular-ular dan beberapa ekor kadal peliharaannya.
Westerling mengaku lebih maju ketimbang anak-anak seusianya pada zaman itu. Dia baru menginjak enam tahun saat merasa bosan pada cerita bajak laut atau cerita koboi Wild West. Padahal, katanya, anak-anak lain masih suka pada cerita-cerita itu sampai menjelang 20 tahun. Dia justru tertarik pada cerita-cerita detektif, terutama yang paling berdarah-darah. Setiap kali mendapati hal-hal yang menurutnya tidak masuk akal dan katanya hal semacam itu banyak dalam cerita detektif, maka dia segera menanyakan hal itu pada ayahnya, sampai sang ayah benar-benar kesulitan karena pertanyaan-pertanyaan detilnya. Entah mengapa, Westerling menganggap ayahnya ahli di bidang pembunuhan atau kejahatan lain. Inilah yang diakuinya sebagai kesalahan, melebih-lebihkan apa yang dianggap mampu oleh ayahnya.
Begitu menginjak usia tujuh tahun, Westerling menyatakan dirinya sudah pandai menembak. Dia mengaku tidak ingat lagi bagaimana bisa memperoleh izin dari orang tuanya untuk bermain senjata pada usia itu. “Aku bisa menembak uang logam dari jarak 18 meter dengan senapan kaliber 6 milimeter,” kenang Westerling.
Bukan hanya ketangkasan fisik yang dimiliki oleh Westerling pada masa kecilnya, dia juga menguasai paling tidak tiga bahasa. Walaupun keluarganya berdarah Belanda, mereka sudah menetap selama tiga generasi di Istambul. Ayahnya, Paul Westerling, yang berprofesi sebagai pedagang barang antik dan meubel, fasih berbahasa Inggris, Prancis, Jerman dan Italia. Selain itu di tempat kerja dia masih berbahasa Turki dan berbahasa Yunani dengan istrinya, ibu Westerling.
Percintaan
Sebelum masuk dinas ketentaraan, Westerling sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis Turki yang tak disebut namanya dalam memoarnya. Namun saat berada di Kairo, Mesir, di mana dia menunggu penugasannya ke Eropa, Westerling jatuh cinta pada seorang gadis Mesir. “Aku punya pacar di Turki, tapi kali ini aku merasakan hal yang berbeda. Dia adalah gadis dalam hidupku saat itu. Gadis yang tak bisa kutinggalkan,” kata Westerling.
Westerling memutuskan untuk menikahi perempuan itu. Semua hal telah disiapkan untuk melaksanakan acara pernikahan yang akan dilakukan secara Katolik. Namun hubungan percintaan itu kandas di tengah jalan saat panggilan tugas tiba. “Sehari sebelum acara dilangsungkan, tanpa pemberitahuan, aku menerima penugasan. Aku ditugaskan bergabung dengan unit pasukan Australia yang ditempatkan di gurun,” ujarnya lirih.
Namun sumber Biografisch Woordenboek van Nederland 4 yang ditulis oleh J.A. de Moor menyebutkan kalau Westerling pernah menikahi perempuan yang bernama Marjorie Edna Lilian Sowter sekira tahun 1942. Dalam memoarnya sendiri Westerling tak menyebut nama perempuan itu: apakah dia perempuan yang ditemuinya di Kairo atau bukan?
Kesibukannya bertugas sebagai pasukan komando di tengah menjalankan aksi militernya tak berarti halangan buat Westerling mencari pasangan. Pada 1946, untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Yvonne Fournier, perempuan Indo-Prancis, anak seorang pemilik hotel di Bandung, Jawa Barat. Ayah Yvonne lelaki Prancis yang telah tinggal di Indonesia selama 30 tahun lebih. Westerling memutuskan untuk menikahi Yvonne yang telah punya dua anak dari perkawinan sebelumnya. “Aku bukan suami pertamanya. Dia sudah punya dua anak dari perkawinan sebelumnya dan kemudian dia menjadi ibu dari anak perempuanku, Cecilia,” kata Westerling.
Yvonne membawa ketenangan dalam hidupku setelah beberapa lamanya melewati waktu sebagai seorang serdadu.
Cecilia yang lahir pada 1948 itu kini menetap di Friesland, Belanda. Melalui suaminya, Hans Veldhuis, Cecilia menolak diwawancarai Historia ihwal sepak terjang mendiang ayahnya selama bertugas di Indonesia. Cecilia enggan berkomentar agaknya karena kontroversi Westerling yang mencuat kembali setelah beberapa bulan lalu stasiun televisi Belanda menyiarkan rekaman wawancaranya pada 1978. Dalam wawancara itu ayahnya mengakui telah membunuh paling tidak 400 orang Indonesia semasa bertugas di Sulawesi Selatan.
Pernikahan Westerling dengan Yvonne, seperti diakuinya sendiri, “membawa ketenangan dalam hidupku setelah beberapa lamanya melewati waktu sebagai seorang serdadu,” kata Westerling. Setelah melewati tahun-tahun yang berat, mereka menetap di Friesland, Belanda Utara. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Tak stabilnya kehidupan ekonomi Westerling serta gaya hidupnya yang mulai ketergantungan pada alkohol menjadi penyebab perceraiannya dengan Yvonne. Selang enam tahun setelah bercerai dengan Yvonne, Westerling menikahi Adriana Martina Vleesch Dubois pada 1971. Mereka kemudian tinggal di Purmerend, wilayah permukiman di utara Amsterdam, di mana dia menjalankan usaha toko buku bekas.
Akhir hidup Westerling tidaklah segemilang apa yang dielu-elukan oleh orang-orang Belanda di tahun 1950-an. Di rumahnya itulah dia semakin larut dalam kekecewaannya: sebagai serdadu yang berjuang untuk negerinya namun dianggap angin lalu saat perubahan politik berembus. Westerling, yang secara gagah perkasa mengakui telah membantai gerilyawan Indonesia itu, berakhir sebagai orang tua yang kesepian dan nestapa. Dia wafat di Purmerend pada 26 November 1987.*