Drama Tiga Nama

Jika Usmar Ismail disebut sebagai Bapak Perfilman Indonesia, apa yang pantas disematkan pada Huyung? Sosok unik asal Korea ini punya peran penting dalam perfilman nasional.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Drama Tiga NamaDrama Tiga Nama
cover caption
Huh Young atau Huyung, sutradara asal Korea yang berperan dalam perfilman Indonesia. (Koleksi Sinematek).

JALAN hidupnya unik sekaligus kontroversial. Namanya tercatat dalam sejarah tiga negara: Korea, Jepang, dan Indonesia; sebagai Huh Young, Hinatsu Eitaro, dan Huyung. Dia melakukannya demi cita-citanya sebagai sutradara film; yang bisa membuatnya dicap sebagai seorang kolaborator, pembelot, pahlawan, atau semata orang yang naif dan pragmatis.

Huh Young (ada juga yang menulis Hae Young, Heo Yeong, atau Ho Yong), nama aslinya, lahir di Hamgyong, Korea, pada 21 September 1908. Tak ada catatan tentang keluarga dan masa kecilnya. Ketika beranjak dewasa, dia ingin jadi sutradara, dan mewujudkannya jadi soal sulit jika dia tetap berada di tanah airnya. Sejak 1910, dua tahun setelah dia lahir, Korea menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang.

JALAN hidupnya unik sekaligus kontroversial. Namanya tercatat dalam sejarah tiga negara: Korea, Jepang, dan Indonesia; sebagai Huh Young, Hinatsu Eitaro, dan Huyung. Dia melakukannya demi cita-citanya sebagai sutradara film; yang bisa membuatnya dicap sebagai seorang kolaborator, pembelot, pahlawan, atau semata orang yang naif dan pragmatis.

Huh Young (ada juga yang menulis Hae Young, Heo Yeong, atau Ho Yong), nama aslinya, lahir di Hamgyong, Korea, pada 21 September 1908. Tak ada catatan tentang keluarga dan masa kecilnya. Ketika beranjak dewasa, dia ingin jadi sutradara, dan mewujudkannya jadi soal sulit jika dia tetap berada di tanah airnya. Sejak 1910, dua tahun setelah dia lahir, Korea menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang.  

Huh Young memutuskan pergi ke Jepang untuk belajar film. Usianya masih 17 tahun. Di Tokyo, dia bekerja di studio film Makino Shozo, Bapak Perfilman Jepang, dengan menggunakan nama Hinatsu Eitaro. Masalah keuangan memaksa studio itu tutup pada 1931. Hinatsu lalu bekerja sebagai asisten sutradara di perusahaan film Shochiku. Pada periode ini pula Hinatsu bertemu lalu menikah dengan Hanako, gadis cantik kelahiran Shimane, sebuah provinsi yang juga dikenal sebagai Kyoto kecil, Jepang.

Karier Hinatsu menanjak. Pada 1933, dia menghasilkan film musikal yang berjudul Nure Tsubame. Namun, sebuah peristiwa nyaris menenggelamkan kariernya.

Suatu hari, di musim semi 1937, Hinatsu membuat adegan ledakan di depan Istana Himeji untuk film panjang Osaka Natsu No Jin (Pertempuran Musim Panas di Osaka) yang disutradarai Teinosuke Kinugasa. Salah memperhitungkan takaran bubuk mesiu, ledakan merusak sebagian bangunan istana, yang dianggap warisan budaya nasional. Dia sendiri terluka. Polisi menggiring Hinatsu ke kantor polisi dan menginterogasinya selama berjam-jam. Identitasnya sebagai orang Korea terbuka. Pekerjaannya hilang. Dia dinyatakan bertanggung jawab atas ledakan itu dan dihukum masa percobaan.

Di Tokyo, dia sempat bekerja di perusahaan Shinke Kinema, membantu beberapa produksi film, serta belajar film dan seni pertunjukan di Universitas Waseda. Setelah itu, tulis Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan, dia pulang ke Korea untuk mendramatisasikan kisah hidup Yi In-suk, seorang tentara sukarelawan Korea yang menjadi martir saat bertugas membela Kekaisaran Jepang.

Hinatsu Eitaro (kanan) dan Tanaka Tomotaka (tengah), sutradara film senior Jepang, pada pembuatan film You and I (Kimi to boku), 1941. (Koleksi Sinematek).

Psikologi Penjajah

Di Korea, dia mendapat tawaran untuk membuat You and I (Kimi to boku). Film ini dirancang sebagai “Proyek Kerjasama Film untuk Unifikasi Ibu Pertiwi dan Korea” dengan bantuan Kantor Gubernur Jenderal Korea dan Seksi Informasi Balatentara Jepang.  

Semula film itu akan dikerjakan sutradara film terkemuka Jepang, Tasaka Tomotaka, namun tiba-tiba dia mengundurkan diri dengan alasan pribadi. Hinatsu menggantikannya sebagai penulis skenario maupun sutradara.

Syuting film dilakukan di Koryo Film Studio yang seadanya, menggunakan kamera lawas dan peralatan tata pencahayaan yang didapat dengan susah payah dari tentara kolonial dan studio film lainnya. “Orang-orang di Ibu Pertiwi (Jepang) tak akan bisa membayangkan kondisi sederhana yang biasa dilakukan di sini untuk membuat film,” ujar Hinatsu seperti dikutip Peter B. High dalam The Imperial screen: Japanese film culture in the fifteen years’ war, 1931-1945.

Film ini jadi awal keterlibatan Hinatsu dalam program kebijakan film Jepang menjelang Perang Pasifik. Dan tokoh dalam You and I, bernama Kaneko Eisuke, ibarat cerminan dirinya. Eisuke seorang sukarelawan di kamp pelatihan militer di dekat Keijo, Seoul. Eisuke memilih jadi sukarelawan karena, “Pada saat krisis seperti ini, tak adil meletakkan semua tanggung jawab di pundak saudara-saudara kita di Ibu Pertiwi. Kita, pemuda Peninsula, juga harus memikul senjata untuk mengabdi pada Kekaisaran.”

Pemeran film Gadis Olahraga. Kiri-kanan: Titien Sumarni, Nana Madjo, dan Nancy Van de Staan. (Koleksi Sinematek).

Tapi motif Hinatsu mungkin tak semata pengabdian. Melihat cita-citanya, ini adalah pilihan logis untuk meningkatkan karier. Selain itu, tulis Peter B. High, Hinatsu punya motif lain: “psikologi” penjajah –dalam satu periode hidupnya dia tampil sebagai ultranasionalis Jepang. Sementara Michael Baskett melihat Huh Young sebagai hasil dari kebijakan imperialisme Jepang di Korea, sama seperti karakter Eisuke ciptaannya.

Baskett juga menulis, sumber-sumber (dokumen) Jepang dan Korea pascaperang memiliki pandangan berbeda tentang You and I. Sejarah film Jepang menyebut film itu meraih sukses besar, sementara sejarah film Korea menganggapnya sebagai propaganda buruk yang gagal. Namun, keduanya setuju film itu memotivasi Hinatsu untuk meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia pada 1942.

Hinatsu pun berlayar, meninggalkan Hanako, istrinya, dan Moeko, anak perempuannya yang sedang beranjak dewasa –anak lelakinya meninggal di usia 10 tahun.

Adegan ciuman dalam film Frieda yang menuai kecaman. (Koleksi Sinematek).

Antara Drama dan Film

Pada musim semi 1942, Hinatsu Eitaro tiba di Jawa sebagai bagian dari rombongan ahli kebudayaan Jepang yang bekerja untuk Kantor Propaganda Jepang (Sendenbu).

Sendenbu, organ utama pemerintah militer (Gunseikanbu) Jepang yang dibentuk pada Agustus 1942, bertanggung jawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil. Beberapa orang berbakat dan spesialis di bidang kesenian seperti Hinatsu direkrut.

Pendudukan Jepang membawa perubahan besar-besaran dalam produksi film dan sandiwara di Jawa. Pembikinan film (propaganda) dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Film-film Jepang, terutama yang berguna untuk propaganda, diimpor. Dalam bidang drama, Sendenbu membentuk sekolah dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok teater baru, yang kemudian berkumpul dalam Jawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD). Produksi drama meningkat, lahir dari karya seniman Indonesia seperti Abu Hanifah, Usmar Ismail, Armijn Pane, Idrus, dan Kotot Soekardi.

Hinatsu, yang memimpin POSD, menggalakkan penulisan dan pementasan drama. Kelompok sandiwara yang semula bermain tanpa naskah diharuskan mementaskan cerita tertulis, dengan melewati sensor POSD. Hinatsu akan marah jika ada yang menyalahi aturan. Kamadjaja, misalnya, pernah kena semprot karena nekat mengubah isi lakon teater Petjah sebagai Ratna karya Kotot Soekardi yang dipentaskan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer. Tapi akhirnya Hinatsu diam saja setelah menonton pementasan.

Usaha lainnya melalui sayembara penulisan skenario film, lakon sandiwara, syair, dan semboyan yang bertemakan pengerahan romusha. Hasil sayembara akan dibikin film, pementasan, dimuat di majalah dan suratkabar. Mohammad Hatta menjadi ketua panitia, dan Hinatsu menjadi wakilnya.

“Sayembara serupa ini perlu diadakan sebagai tindakan untuk menyempurnakan pengerahan Romusha dan untuk menyatakan penghargaan pada mereka,” ujar Hinatsu seperti dikutip Asia Raya, 4 Juni 1945.

Hinatsu sendiri rajin menulis naskah drama, yang kemudian dipentaskan di beberapa kota. Lakon musiknya Asia Gembira dipentaskan kelompok sandiwara Warnasari di Jakarta, yang menampilkan tarian, nyanyian, dan musik dari berbagai wilayah Asia Timur Raya. Ada juga pementasan akbar lakonnya Boenga Rampai Djawa Baroe, yang merangkai tarian, nyanyian, lelucon, sandiwara, dan pencak silat, untuk menyambut peringatan tiga tahun koran Djawa Baroe.

Poster film Frieda. (Koleksi Sinematek).

Karya terpopulernya, Fadjar Telah Menjingsing, dipentaskan di Jakarta dan Surabaya untuk peringatan hari jadi POSD sekaligus menyambut janji kemerdekaan Indonesia –yang disampaikan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Marsekal Terauci ketika bertemu Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat di markasnya di Dalat, Vietnam. Pemainnya: bintang-bintang sandiwara kenamaan dari berbagai kelompok sandiwara seperti Tjahaja Timoer, Warnasari, Noesantara, Bintang Soerabaja, dan Dewi Mada.

“POSD dengan demikian ingin membuktikan adanya gabungan dan persatuan di antara berbagai sandiwara di Jawa, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam riwayat sandiwara di Indonesia,” tulis Soeara Asia, 6 September 1944.

Keahliannya dalam bidang film dia terapkan dalam penyutradaraan film dokumenter Calling Australia (Goshu no Yobigoe) untuk menjawab kritik Sekutu soal kamp tahanan Jepang. Pembuatannya dilakukan di salah satu kamp, dengan pemeran tahanan perang sungguhan.

Film ini menggambarkan bagaimana para tahanan Sekutu menikmati kehidupan yang nyaman di kamp-kamp tahanan. Mereka mendapatkan perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, dan main biliar. Tahanan perempuan bahkan mengeluhkan kenaikan berat badan. Ketika film hampir rampung, pamflet dijatuhkan ke seantero Australia. Harapannya, semangat tentara Australia kendor dan mendorong mereka menyerah kepada Jepang.

Propaganda Jepang ternyata tak sebanding dengan kemampuan tempurnya dalam Perang Pasifik. Pada 1945, Jepang kalah perang. Film Calling Australia karya Hinatsu jatuh ke tangan Sekutu lalu dibikin ulang oleh sutradara Belanda Jaap Speijer untuk menunjukkan perlakuan kejam tentara Jepang dengan judul Nippon Presents. Calling Australia juga diputar di Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo pada 1945 sebagai bukti yang memberatkan para pemimpin militer Jepang.

Dalam situasi ini, sekali lagi Hinatsu mengambil keputusan sulit. Kepada seorang teman dekatnya, Hinatsu berkata: “Kalian (orang-orang Korea) semua datang ke sini (Indonesia) dalam sebuah kelompok yang bekerja untuk militer Jepang. Tapi saya atas inisiatif sendiri mencoba membujuk pemerintah kolonial Korea untuk membuat You and I dengan bantuan militer kolonial. Semua orang tahu tentang You and I. Semua orang tahu bahwa Hue Yong dan Hinatsu Eitaro adalah orang yang sama. Ditambah lagi bahasa Korea saya tak begitu bagus. Saya adalah seorang Korea yang hampir tak mengetahui apapun tentang sejarah Korea selain apa yang saya pelajari di Tokyo… Apabila saya kembali ke Korea, saya akan dicap sebagai antek Jepang,” ujarnya seperti ditulis Michael Baskett.

Hinatsu Eitaro memilih tetap tinggal di Indonesia, mengganti namanya menjadi Dr. Huyung, dan kemudian menikahi perempuan asal Tanggarai, Minahasa, Ina S. Lien Karuntu-Walanda, yang berusia delapan tahun lebih tua. Mulailah dia membangun dunia teater dan film Indonesia yang sedang berkembang.

Syuting film Antara Bumi dan Langit. (Koleksi Sinematek).

Guru Para Sineas

Pada Juli 1948, sebuah konferensi pers digelar Kementerian Penerangan di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik ketika agresi militer II. Isinya, Kementerian akan membuka sekolah film dan teater, Cine Drama Institute, di Manduretna, Notoprajan, Yogyakarta, untuk mendidik seniman Indonesia.

“Cine Drama Institute itu sifatnya dapat disamakan dengan Hollywood’s Quarterly atau Course Dunham School of Drama and Theatre di Amerika dan Soviet Film Academy di Rusia,” ujar Iskak, kepala bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi.

Huyung, yang jadi pegawai bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, mengatakan bahwa institut ini akan mengajarkan teknik film, teknik drama, pressphoto, musik, tari, ilmu kesusastraan, kesenian, serta bahasa Indonesia dan Inggris.

Di Yogya-lah terekam perjalanan kreatif Huyung. Dia sering memberi ceramah tentang sandiwara dan film. Di antara murid-muridnya tercatat nama Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional.

Pembentukan Cine Drama Institute sendiri tak lepas dari perannya. Sekolah ini menerima pemuda lulusan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) atau yang sederajat dan pegawai film yang sudah berpengalaman. Lama pendidikan: 1,5 tahun. Pemimpin umum sekolah adalah Mr. Sujarwo. Iskak dan Huyung menjadi kepala sekolahnya. Guru-gurunya antara lain Drs. Sigit, Ki Hajar Dewantara, Armijn Pane, Drs. Sumaji, dan Intojo. Salah seorang siswanya, Soemardjono, kelak menjadi sutradara terkemuka. Tapi institut itu tak bertahan lama. Huyung sendiri mengundurkan diri karena adanya konflik sesama pendiri.

Setahun kemudian dia mendirikan Stichting Hiburan Mataram, dengan R.M. Darjono dan R.M. Harjoto sebagai pucuk pimpinannya. Sticting Hiburan Mataram lalu melahirkan Kino Drama Atelier (KDA), bengkel pendidikan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh Huyung. S. Bono, kelak jadi aktor, merasakan pendidikan di sini. Huyung juga masih sempat membuat naskah drama Malam Sutji yang pementasannya diusahakan oleh Badan Persatuan Pendidikan Tionghoa Yogyakarta dan Kisah Pendudukan Yogya yang dipentaskan kelompok drama Ksatriya. Sukarno memuji pertunjukan dramanya.

Kru film Antara Bumi dan Langit dan Huyung (belakang kiri, berdiri di pintu). (Koleksi Sinematek).

Dia tak ingin perkembangan seni di Indonesia mandek. Dia sering berdiskusi dengan sejumlah seniman. Percakapannya dengan Sudjojono dan Sudarso Wirokusumo, misalnya dimuat di majalah Kesenian tahun 1950, lalu dijadikan brosur yang diterbitkan Kementerian Penerangan. Isinya membicarakan berbagai kesenian di Indonesia dan kemungkinan-kemungkinannya di masa datang.

Pada tahun itu juga, Huyung pindah ke Jakarta dan membikin film Antara Bumi dan Langit, produksi KDA. Naskah skenarionya dibikin sastrawan Armijn Pane. Ceritanya tentang kedudukan pribumi dan Belanda yang bagaikan bumi dan langit serta cinta yang tak tergapai antara Abidin (diperankan oleh S. Bono) dan Frieda (Grace), gadis blasteran. Dalam film itu, Huyung menyelipkan adegan ciuman –yang kelak dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah film Indonesia.

“Pemilihan pokok ceritanya memang aktual (persoalan Indo) tapi dalam pengubahan skrip tetap mengarah pada komersialisme… Antara Bumi dan Langit telah melakukan konsesi terhadap selera penonton-banyak, karena sexappeal dan nyanyiannya, seperti pernah ditulis sendiri oleh Armijn Pane bahwa memang sengaja memasukkan resep film Amerika: avontuur, spanning, romantik, tragik, nyanyian, dan sebagainya,” tulis Usmar Ismail dalam Mengupas Film.

Masalah muncul ketika adegan itu muncul di suratkabar. Kontroversi pun merebak. Demonstrasi menolak film ini terjadi. Film ini pun tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah revisi dan perubahan judul jadi Frieda. Revisi itulah yang membuat Armijn Pane menolak pencantuman namanya.

Film itu meraih sukses. Huyung lalu membuat film Bunga Rumah Makan (dari karya Utuy Tatang Sontani), Gadis Olahraga, dan Kenangan Masa. Tapi ajal keburu menjemputnya sebelum dia sempat menyumbangkan lebih banyak karya bagi perfilman Indonesia.  

Makam Huyung di TPU Petamburan, Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Pusara

Huyung meninggal dunia di Jakarta karena sakit di usia 43 tahun, pada 9 September 1952. Dia dimakamkan di TPU Petamburan, Jakarta. Istri keduanya, Ina S. Lien, yang meninggal dunia di Yogyakarta 20 tahun kemudian, dimakamkan di tempat yang sama.

“Keluarga almarhum Ibu Lien, ibu-ibu tua dari Manado, terakhir kali berkunjung tahun 2000, berziarah sekaligus melunasi pembayaran kontrak makam selama tiga tahun ke depan. Setelah itu tak ada satu pun yang datang berkunjung,” ujar Ramdani Luhur, penjaga makam.  

“Hanya ada seorang lelaki muda dari Jepang yang terkadang berziarah ke makam Dr. Huyung, dua kali setahun, tidak rutin.”

Lelaki muda itu adalah Reiko Nakanishi, anak Moeko, cucu Huyung. Reiko dan Moeko sempat mengunjungi Sinematek, Jakarta, untuk mengumpulkan artikel-artikel dan berita mengenai Huyung pada 2005.

Buku biografi Hinatsu Eitaro atau Huyung yang ditulis anaknya. (Koleksi Sinematek).

Moeko semula berpikir ayahnya gugur dalam perang. Lalu dia mendengar dari ibunya, yang membesarkan anaknya dengan bisnis rumah makan, bahwa sang ayah pergi ke Jakarta sebagai agen penerangan tentara Jepang dan tak diketahui rimbanya. “Seniman itu dingin. Kamu nikah sama orang biasa saja ya! Ya, ayah memang melakukan semuanya demi impiannya menjadi pembuat film,” ujar Hanako kepada anaknya. Hanako meninggal dunia pada 1960.

Usai perang Moeko lega ketika tahu ayahnya masih hidup, menikah lagi, dan punya anak dari istri keduanya. Dari film-film ayahnya, dia merasa bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga. Laman-lamannya, salah satunya http:// www.k5.dion.ne.jp/~moeko/, mewakili kerinduan dan kekaguman pada sosok sang ayah. Dia juga menulis buku tentang ayahnya, Ekkyo no eiga kantoku hinatsu eitaro (Hinatsu Eitaro: Sutradara Lintas Batas), terbit di Tokyo pada 2011.

Di Indonesia, sepeninggal Huyung, kelompok filmnya bubar. Para sineas dan dramawan Indonesia merasa kehilangan. Bagaimana pun Huyung sudah meletakkan dasar bagi perkembangan seni pentas dan film di Indonesia.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
677cc8db169ed0dd789a1c98