Dua Satu Tiga Puluh

Kebanggaan nasional tidak murah harganya. Pengembangan pesawat jet buatan anak negeri perlu kucuran dana gotong royong.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Dua Satu Tiga PuluhDua Satu Tiga Puluh
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina/Historia.ID

BEBERAPA rak buku besar merapat di dua bidang dinding ruang kerja yang cukup luas di sebuah bangunan kayu berlantai. Dua meja besar membentuk “L” menyesaki salah satu sudut sikunya. Dari office seat-nya itu, Rahardi Ramelan bisa memandang lurus ke sudut ruangan lainnya ke arah sebuah miniatur pesawat komersial bermesin jet sekira 60 cm dan berskala 1:100.

Miniatur pesawat itu mendongak ke atas dengan ditopang sebuah stand mic berkaki tiga. Livery atau corak miniatur pesawat dominan putih polos dengan lima gradasi warna biru di bagian bawah perutnya. Di dua sisi badan, dekat jendela kokpit, tertera tulisan “DSTP”. Sementara pada sirip ekornya yang tertera “N2130”.

“Kalau lihat modelnya, ini bukti bahwa saya pernah jadi direkturnya, direktur DSTP,” celetuk Rahardi diiringi tawa renyah. Rahardi waktu itu menjabat wakil kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

DSTP adalah singkatan dari Dua Satu Tiga Puluh, sebuah perusahaan swasta yang didirikan untuk pengembangan, rekayasa, dan rancang bangun N-2130, pesawat terbang komersial bermesin jet kelas 100 dan 130 penumpang. Untuk pengerjaannya, PT DSTP bermitra dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) –kini PT Dirgantara Indonesia atau PT DI.

BEBERAPA rak buku besar merapat di dua bidang dinding ruang kerja yang cukup luas di sebuah bangunan kayu berlantai. Dua meja besar membentuk “L” menyesaki salah satu sudut sikunya. Dari office seat-nya itu, Rahardi Ramelan bisa memandang lurus ke sudut ruangan lainnya ke arah sebuah miniatur pesawat komersial bermesin jet sekira 60 cm dan berskala 1:100.

Miniatur pesawat itu mendongak ke atas dengan ditopang sebuah stand mic berkaki tiga. Livery atau corak miniatur pesawat dominan putih polos dengan lima gradasi warna biru di bagian bawah perutnya. Di dua sisi badan, dekat jendela kokpit, tertera tulisan “DSTP”. Sementara pada sirip ekornya yang tertera “N2130”.

Replika pesawat N-2130 di ruangan kerja Rahardi Ramelan di kawasan Cibubur. (Fernando Randy/Historia.ID).

“Kalau lihat modelnya, ini bukti bahwa saya pernah jadi direkturnya, direktur DSTP,” celetuk Rahardi diiringi tawa renyah. Rahardi waktu itu menjabat wakil kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

DSTP adalah singkatan dari Dua Satu Tiga Puluh, sebuah perusahaan swasta yang didirikan untuk pengembangan, rekayasa, dan rancang bangun N-2130, pesawat terbang komersial bermesin jet kelas 100 dan 130 penumpang. Untuk pengerjaannya, PT DSTP bermitra dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) –kini PT Dirgantara Indonesia atau PT DI.

Sejarah mencatat, megaproyek itu layu sebelum berkembang. Belum genap dua tahun, menyusul krisis moneter, PT DSTP dilikuidasi. Program N-2130 pun masuk liang kubur. Nasibnya lebih buruk dari pendahulunya, pesawat turboprop N-250, yang sudah berbentuk dua purwarupa (prototype) dan salah satunya sudah uji terbang.

“Seperti N-250, IPTN dibunuh oleh kita sendiri. Enggak ada pembelanya,” ujar Rahardi.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ambisi Habibie

Fajar Harry Sampurno duduk santai di sofa kantornya, MDS Coop, sebuah koperasi milenial. Dia berbagi cerita tentang keterlibatannya dalam pengembangan N-2130. Pada 1990-an, dia menjadi asisten Giri Suseno, wakil kepala Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Dari sinilah dia diajak masuk PT DSTP sebagai manajer umum untuk kegiatan perhumasan, promosi, perencanaan, hingga administrasi dan SDM.

Menurut Fajar, pengembangan N-2130 tak lepas dari filosofi transfer teknologi yang disebut “Berawal dari akhir dan berakhir dari awal”. Filosofi ini dijabarkan Habibie dalam empat fase transfer teknologi.

Fajar Harry Sampurno. (Fenando Randy/Historia.ID).

“Pertama itu pengenalan. Kedua penggabungan, integrasi. Ketiga pengembangan. Keempat riset. Ini sebenarnya reverse engineering. Jadi Pak Habibie bukan pembuat teknologi an sich. Pak Habibie adalah seorang marketer, businessman. Makanya membuat program itu dimulai dari bisnisnya dulu kemudian mundur ke riset,” ujar Fajar.

Dalam makalah untuk kongres ke-18 International Council of the Aeronautical Sciences (ICAS) di Beijing tahun 1992 berjudul “Spanish-Indonesian Cooperation in the Development, Production, Certification and Marketing of CN-235 Commuter Aircraft”, yang ditulis bersama E. de Guzman, Habibie menyebutnya sebagai strategi transformasi industri. Keempat fase itu bukan hanya diterapkan dalam industri aeronautika atau kedirgantaraan. Tapi juga industri maritim dan galangan kapal, transportasi darat, telekomunikasi dan elektronika, energi, rekayasa, pertanian dan alat berat, sistem pertahanan, dan industri lainnya.

Di IPTN, Habibie memulai fase pertama dengan proyek NC-212 melalui perjanjian lisensi dengan pabrikan Spanyol, CASA (Construcciones Aeronáuticas SA), pada 1974. Setelah itu IPTN melakukan pengembangan NC-212. Hingga 2014, 103 unit NC-212 sudah dibuat dan dipasarkan oleh IPTN, baik versi sipil maupun militer. Meliputi varian NC-212-200, NC-212-400, dan NC-212i.

“NC-212 di Asia jadi pasarnya kita, CASA Eropa,” ujar Rahardi.

Selain itu, catat Sören Eriksson dalam “The Aircraft Industry as a Tool for Economic and Industrial Development – the Case of Indonesia”, dimuat Clusters and Economic Growth in Asia yang disuntingnya, IPTN mengerjakan helikopter MBB Bo 105 Jerman, helikopter Puma Aérospatiale SA 330, helikopter Bell 412, dan helikopter MBB/Kawasaki BK-117 –dua yang terakhir dihentikan.

“Setelah NC-212, Habibie kan berpikirnya terus ya. Jangan lupa dia adalah orang aeronautics, orang design. Orang design itu kalau pesawat sudah terbang, dia akan cari desain baru. Enggak mungkin dia berhenti. Muncullah ide dengan CASA membuat CN-235,” sambung Rahardi.

B.J. Habibie, sosok penting di balik proyek N-2130. (Bogaerts, Rob Anefo/Arsip Nasional Belanda).

Pembuatan pesawat CN-235, yang diumumkan pada Oktober 1979, adalah perwujudan fase kedua. Proyek ini dijalankan lewat pembentukan joint venture, Aircraft Technologies Corporation (AIRTEC) yang berbasis di Madrid, Spanyol. CN-235 menghasilkan beberapa versi, di antaranya CN-235-10, CN-235-100 dan CN-235-200.

CN-235 ditujukan untuk pasar pesawat regional, kendati berkompromi antara kebutuhan komersial dan militer.

“Kita harus melihat sebenarnya CN-235 itu dibuat untuk apa. Selain untuk logistik seperti angkut beras ke daerah, Pak Harto minta supaya juga bisa untuk militer. Makanya, walau dipakai (maskapai) Merpati, tentu TNI AU ada, TNI AL ada. Secara desain tidak untuk penerbangan sipil an sich. Yang fully penerbangan (sipil) itu N-250,” ujar Fajar.

N-250 dilontarkan Habibie pada 1987 dalam rapat pimpinan teras IPTN. Saat itu Habibie memberi nama N-230, pesawat berkapasitas 30 kursi. Pada 1988 diubah menjadi 50 kursi sehingga diberi nama N-250. Kode “N”, yang berarti Nusantara, menunjukkan bahwa rancang bangunnya murni dikerjakan orang Indonesia.

“Dalam kerangka transformasi industri, program N-250 untuk Indonesia merupakan manifestasi dari tahap ketiga,” tulis Habibie dan E. de Guzman dalam makalah ICAS 1992 Beijing. Dalam makalah itu, Habibie juga menampilkan gambar pengembangan N-250 menjadi N-224, N-240, N-270, hingga N-2130.

Pada Juni 1993, mengikuti kebutuhan pasar, Habibie meninggalkan desain 50 kursi demi versi yang diperpanjang, yakni N-270 dengan 64-68 kursi, yang didesain ulang menjadi N-250-100.

N-250 dibangun dengan teknologi baru fly-by-wire, sebuah sistem kendali yang menggunakan sinyal elektronik dalam memberikan perintah kendali pesawat.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62f60541270e0c57940c7638_presiden-soeharto-yang-mendukung-proyek-n2130.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Presiden Soeharto yang mendukung proyek N-2130. (Koch, Eric Anefo/Arsip Nasional Belanda).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62f60b7485742f0d5eb01844_H-SAMPURNO.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/iptn/PODCAST_H_SAMPURNO.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Fajar Harry Sampurno</b><br></span></div></div></div>

“Tahun 1990-an semua pesawat, (pengembangan) dari tahun 1940-an, dikendalikan pakai kabel. Nah fly-by-wire sudah elektronik dan saat itu belum ditaruh di pesawat karena mahal,” terang Fajar.

Teknologi fly-by-wire digunakan Airbus A320 pada 1984 dan Boeing B-777 pada 1994. Bedanya, A320 dan B-777 bermesin jet, sedangkan N-250 adalah pesawat baling-baling. Jadi, N-250 merupakan pesawat terbang paling canggih di kelasnya.

Menurut Sören Eriksson, biaya pengembangan N-250 antara lain diperoleh dengan memanfaatkan Dana Reboisasi sebesar $185 juta. Jumlah ini setara hampir setengah dari dana yang dihabiskan untuk proyek tersebut.

N-250 akan dibuat empat purwarupa atau prototype aircraft (PA). Pada 10 November 1994, purwarupa pertama (PA-1) N-250 keluar dari hanggar IPTN. Presiden Soeharto memberi nama Gatotkaca.

Gatotkaca sukses menjalani uji coba terbang perdana pada 10 Agustus 1995, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Memanfaatkan euforia, Habibie mengumumkan proyek pesawat jet bermesin ganda 100-130 penumpang yang dikenal sebagai N-2130.

Presiden Soeharto, yang duduk di sebelah Habibie, menyampaikan dukungannya. Soeharto mengajak rakyat Indonesia untuk menjadikan N-2130 sebagai proyek nasional. N-2130 yang diperkirakan menelan dana dua milyar dollar, tandasnya, akan dibuat secara gotong-royong.

“Kalau pembuatan pesawat baru itu menjadi suatu kenyataan, maka nanti pada tahun 2003 kita akan mengalami keadaan seperti hari ini, yakni penerbangan perdana N-2130. Mudah-mudah ini dapat menjadi kenyataan, dan mudah-mudahan Tuhan meridhoinya,” ujar Soeharto, dikutip Kompas 11 Agustus 1995.

B.J. Habibie bersama Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan Presiden Soeharto dalam pesawat terbang. Habibie berharap mendapat dukungan dari Soeharto dalam industri pesawat terbang. (De Telegraf/Delpher).

Proyek Gotong Royong

Kebutuhan dana untuk desain, prototype, dan sertifikasi N-2130 sebesar dua milyar dollar memunculkan skeptisisme. Dana sebesar itu hampir empat kali lipat anggaran awal N-250. Risiko gagal juga lebih besar.

Dicatat Sulfikar Amir dalam The Technological State in Indonesia, Soeharto dan Habibie sadar bahwa IPTN tak bisa lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Apalagi menggunakan Dana Reboisasi seperti N-250 yang telah merusak nama baik IPTN di mata publik. Soeharto berjanji kepada pers, “Pembangunan N2130 tidak akan ditanggung oleh APBN karena masih banyak program pengentasan kemiskinan lainnya yang perlu diprioritaskan.” Proyek ini juga tidak mencari modal dari pinjaman komersial.

Untuk mengumpulkan dana bagi N-2130, Soeharto melontarkan ide untuk mendirikan perusahaan swasta yang kemudian diberi nama PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP). Soeharto berasumsi jika setiap warga negara Indonesia berpartisipasi dengan membeli saham, maka dananya cukup untuk menyelesaikan program tersebut.

“Kalau zaman sekarang itu namanya crowd financing. Pokoknya semua orang ikut membiayai, gotong-royong,” ujar Rahardi.

Rahardi Ramelan saat ditemui di rumahnya di kawasan Cibubur. Rahardi pernah menjadi ketua dari perusahaan PT DSPT. (Fernando Randy/Historia.ID).

Berdasarkan akta pendiriannya, DSTP didirikan pada 16 Februari 1996. Namun peresmiannya dilakukan sehari kemudian di Istana Merdeka. Dikutip Dharmasena Maret 1996, enam pendiri, yaitu Jenderal (Purn) Soeharto, Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusumah, Letjen (Purn) Sudharmono, Saadilah Mursjid, Rahardi Ramelan dan Giri Soeseno mendirikan DSTP di depan Notaris Koesbiono Sarmanhadi.

Para pendiri DSTP merupakan orang-orang kuat di negeri ini. Soeharto (presiden), Umar Wirahadikusumah dan Sudharmono (mantan wakil presiden), Saadilah Mursjid (Menteri Negara Sekretaris Kabinet), Rahardi Ramelan (wakil ketua Bappenas), Giri Soeseno (wakil ketua BPIS).

Pendirian DSTP dicatat dalam Akta Notaris No. 66 tahun 1996, diumumkan dalam Berita Negara RI Nomor 24 tanggal 22 Maret 1996, dan disetujui melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: C2-3.810 HT.01.01.

Tabel para pemegang saham DTSP.

DSTP didirikan dengan modal dasar sebesar Rp 920 milyar yang dibagi dalam 400.000 saham. Jumlah saham itu terdiri dari 100.000 saham prioritas (seri A) dan 300.000 saham biasa (seri B). Tiap saham, baik prioritas maupun biasa, bernilai 1.000 dolar atau Rp2,3 juta.

Seluruh saham prioritas diambil oleh para pendiri. Presiden Soeharto memiliki saham mayoritas sebesar 44,92 persen atau 44.950 saham. Sebagian kepemilikan saham prioritas dari para pendiri itu, termasuk milik Soeharto, kemudian dialihkan kepada 11 investor.

Rapat Umum Pemegang Saham pada 12 Juni 1996 menetapkan Saadilah Mursjid sebagai direktur utama, ditemani Rahardi Ramelan (direktur I) dan Giri Suseno Hadihardjono (direktur II). Sedangkan Presiden Soeharto sebagai pemrakarsa menjadi komisaris utama, dibantu Umar Wirahadikusumah dan Sudharmono sebagai komisaris

Untuk mendapatkan modal tambahan, DSTP mencari sumber-sumber pendanaan dari konglomerat, perusahaan swasta, hingga BUMN. Penempatan saham BUMN di DSTP sebenarnya melanggarkan ketentuan Menteri Keuangan yang melarang BUMN menempatkan saham di luar core business-nya. Kala itu hal semacam itu seolah lumrah saja. Apalagi kalau presiden yang berkehendak dan memberikan arahan.

Arahan presiden ditindaklanjuti menteri-menterinya. Dalam surat kepada Presiden Soeharto tertanggal 7 Maret 1996, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad mengutarakan pertemuannya dengan para direktur utama bank-bank pemerintah. Dalam pertemuan itu dia menyampaikan agar bank-bank pemerintah atau yayasan yang bernaung di bawahnya mengambil bagian dalam pendanaan N-2130 bersama Yayasan BI, sehingga akan terkumpul US $ 50.000.000.

Hal serupa disampaikan Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah dalam surat tertanggal 30 April 1996. Isi surat mengenai tambahan penyertaan/pembelian saham dari BUMN di Lingkungan Departemen Pertanian (PT Perkebunan Nusantara IX, X, XI, XII), sehingga jumlah saham menjadi 32.200 saham.

Sementara Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengirimkan surat kepada 127 perusahaan/BUMN mengenai penawaran saham PT DSTP.

Sama seperti N-250, pengembangan N-2130 menggunakan Dana Reboisasi, yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan diperuntukkan reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana yang semestinya dipakai untuk mencetak sawah sejuta hektar di Kalimantan Tengah, dipakai untuk membeli saham DSTP.

Untuk keperluan modal tambahan, DSTP melakukan private placement, kegiatan menerbitkan saham baru dan menjualnya kepada investor dan institusi yang telah dipilih. Dalam tulisannya berjudul “The Funding of PT DSTP, A High-Technology Project: Lofty Goals, Defined Task”, dimuat Indonesia's Technological Challenge yang disunting Hal Hill dan Thee Kian Wie, Saadilah Mursjid menyebut untuk private placement awal, diterbitkan 100.000 saham, masing-masing senilai sekitar $1.000, sehingga menghasilkan sekitar $100 juta (Rp 2,3 miliar). Saham prioritas ini dibeli oleh 15 individu, dua perusahaan, dan delapan yayasan.

“Kami menganggap para pemegang saham ini sebagai anggota pendiri kami,” tulisnya.

Rahardi Ramelan (kiri) bersama Presiden Soeharto mendirikan PT DSTP tahun 1996. (Dok. Rahardi Ramelan).

Hasil dari private placement tentu saja menggembirakan. Tapi DSTP masih menghadapi tugas berat untuk mengumpulkan $1,9 miliar lagi. Untuk itulah DSTP bersiap menetapkan sejumlah saham dalam satuan Rp5.000 per saham agar bisa diakses jutaan warga Indonesia.

Presiden Soeharto ikut melakukan sosialisasi. Dalam Rapat Koordinasi Bupati dan Walikota se-Indonesia di Gedung Granadi, Jakarta, pada 13 Juni 1996, Soeharto juga meminta para bupati/walikota untuk mengumpulkan Rp 5.000 dari tiap jiwa penduduk di wilayah masing-masing untuk membeli saham DSTP.

Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selaku Pembina Bank Pembangunan Daerah (BPD) memfasilitasi kegiatan sosialisasi penawaran saham. Dengan begitu DSTP bisa menjalin kerjasama dengan 27 BPD di seluruh Indonesia. BPD bertugas menyalurkan dan memfasilitasi masyarakat dalam pembelian saham biasa seri B. Depdagri berdalih penjualan saham ini bukanlah semacam sumbangan wajib ataupun iuran pembangunan namun hubungan usaha atas dasar sukarela dan saling menguntungkan.

Bukan hanya itu. Melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 575/3655/PUOD tanggal 29 Oktober 1996, dibentuk Tim Penggerak Partisipasi Masyarakat untuk mendukung pembuatan N-2130 baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pelaksanaannya berkoordinasi dengan Depdagri dan DSTP.

Gaji Guru

DSTP menempati kantor di Gedung Granadi, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, yang diresmikan pada 20 Mei 1996. Setelah itu manajemen DSTP mulai bekerja.

Pada 1 Oktober 1996, Saadilah Mursjid menandatangani nota kerjasama dengan BJ Habibie, direktur utama IPTN, untuk pengembangan, rekayasa, dan rancang bangun pesawat N-2130.

Ada beberapa poin penting kerjasama tersebut. Tugas DSTP adalah mengumpulkan dana $2 miliar atau Rp4,4 triliun untuk kegiatan IPTN dalam mendesain hingga sertifikasi pesawat. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), derivatif pesawat, dokumen-dokumen, dan purwarupa yang dihasilkan IPTN tetap jadi milik DSTP.

“Tanggung jawab IPTN adalah memproduksi dan memasarkan pesawat, dan DSTP akan menerima royalti untuk setiap pesawat yang dijual. Dengan kata lain, pemegang saham DSTP akan berhak atas aliran royalti yang dihasilkan dari penjualan pesawat N-2130 oleh IPTN,” tulis Saadilah Mursjid.

DSTP akan menerima royalti dalam dua tahap. Pembayaran royalti tahap pertama akan dimulai dengan penjualan pesawat komersial pertama oleh IPTN, dan berlanjut hingga titik impas. Tahap kedua melibatkan 'royalti murni - yaitu pembayaran oleh IPTN atas penggunaan hak kekayaan intelektual DSTP atas N-2130.

Rahardi Ramelan berpose bersama replika pesawat N-2130 di ruangan kerjanya. (Fernando Randy/Historia.ID).

Jika IPTN tidak memenuhi komitmen yang tertuang dalam perjanjian kerjasama, IPTN wajib mengembalikan seluruh sisa dana, ditambah bahan dan peralatan yang telah dibeli dengan dana DSTP. Jika DSTP gagal memenuhi komitmen, IPTN diizinkan untuk mencari dana dari pihak ketiga, dan DSTP diharuskan melepaskan hak kekayaan intelektualnya dan semua royalti masa depan yang ada di dalamnya.

“Jadi DSTP itu hanya financial, menyediakan uang. Pemilik design DSTP tapi yang mengerjakan IPTN. IPTN semua yang ngitung-ngitung (desain) untuk N-2130,” urai Rahardi.

Presiden Soeharto menyaksikan acara penandatanganan tersebut. Berdiri di samping Soeharto, beberapa konglomerat seperti Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaja, Sudwikatmono, Henry Pribadi, dan Prajogo Pangestu.

Seusai penandatanganan, Soeharto menyatakan pengembangan pesawat N-2130 bukan proyek mercusuar, tetapi didasarkan pada kebutuhan pesawat di masa depan, terutama di hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Natal.

“Dalam waktu 10, 20, 30 tahun yang akan datang pasti kekurangan itu akan terasa makin berat,” kata Soeharto.

Secara garis besar, pengembangan N-2130 terdiri atas dua tahap. Tahap pengembangan hingga memperoleh sertifikasi membutuhkan waktu sekitar 13 tahun. Tahap komersial, yaitu tahap pembuatan dan penjualan pesawat diperkirakan dimulai tahun 2005. Kewajiban DSTP dalam proyek ini berakhir setelah sertifikasi penuh N-2130 oleh otoritas penerbangan Indonesia dan internasional, yang diharapkan tahun 2008.

Pada 29 Januari 1997, DSTP menggelar rapat pemegang saham. Saat itu, tulis Saadilah Mursjid, DSTP telah menempatkan 291.466 saham seri B, senilai sekitar $290 juta, dengan 175 individu, yayasan, koperasi dan badan hukum lainnya.

Pada rapat itu pula para pendiri menetapkan tujuan DSTP, yakni “menciptakan wahana guna mendorong kegiatan inovasi, pengembangan dan persiapan teknologi serta melakukan investasi jangka pendek atau jangka panjang dalam menguasai dan menerapkan teknologi antara lain di bidang kedirgantaraan, maritim, dan perhubungan.”

Untuk mengumpulkan dana dari masyarakat selaku investor di lantai bursa, lewat Akta No. 19 tanggal 29 Januari 1997, PT DSTP berubah status menjadi PT DSTP Tbk. Perubahan ini dikuatkan lewat Keputusan Menteri Kehakiman RI No.C2-830 HT.01.04 Tahun 1997.

Setelah itu komisaris dan direksi PT DSTP Tbk melakukan “mini ekspose” di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka pengajuan pendaftaran penawaran saham. Pada 4 Maret 1997 Bapepam mengeluarkan surat persetujuan Penawaran Umum Saham PT DSTP Tbk.

Fajar Harry Sampurno saat diwawancarai di Kuningan, Jakarta Selatan. (Fernando Randy/Historia.ID).

Untuk mempermudah kontribusi “wong cilik”, saham biasa seri B senilai Rp2,3 juta dipecah menjadi 460 pecahan saham atas tunjuk dengan nominal Rp5.000 per pecahan.

“Itu kecil (jumlahnya). Tapi yang penting itu kan semangatnya,” ujar Fajar.

Presiden Soeharto rajin berkeliling tanah air untuk mengajak masyarakat untuk ambil bagian dalam pendanaan N-2130. Begitu juga para direksi DSTP. Saat HUT RI 17 Agustus 1997 DSTP menggelar pameran program N-2130 di semua ibukota provinsi.

“Jadi kita muter 27 provinsi. Dibagi tigalah, sembilan-sembilan. Itu Pak Rahardi provinsi mana, Pak Giri di mana, Pak Saadilah di mana. Masing-masing gubernur kita sosialisasikan,” ujar Fajar.

Konsepnya sukarela tapi realisasinya penuh paksaan. Keluhan antara lain disampaikan guru-guru di Kabupaten dan Kotamadya Semarang, Jawa Tengah. Katanya pemotongan gaji guru secara sukarela sudah dimusyawarahkan Kanwil Depdikbud dan Korpri Jawa Tengah. “Tetapi dalam prakteknya memang tidak secara sukarela. Gaji guru langsung dipotong,” lansir Tempo Interaktif, 1997.

Besarnya potong bervariasi; golongan I Rp2.500, golongan II Rp5.500, golongan III Rp8.500, dan golongan IV Rp11.000.

Keluhan dan kritik tak menyurutkan langkah DSTP untuk merealisasikan megaproyek N-2130.

Proyek Menguasai Pasar

Kendati diumumkan pada 1995, proyek N-2130 sejatinya sudah direncanakan tiga tahun sebelumnya. Proyek ini diluncurkan pada Oktober 1994 dengan studi pasar dan definisi produk. Pekerjaan ini harus diselesaikan pada Maret 1997, dengan penyusunan persyaratan dan tujuan desain pesawat. Setelah itu memasuki proses desain awal yang akan selesai tahun 2000.

Studi pasar berpegang pada data Ditjen Perhubungan Udara tahun 1995 dan studi kelaikan IPTN untuk program N-2130 tahun 1996. Menilik Prospektus, yang mengambil dua studi itu, pesawat kategori 100-130 penumpang masih terisi Avro Aerospace RJ100, McDonnell Douglas DC9, hingga Boeing 737-200 yang notabene pesawat-pesawat model lama.

“Nah 737 sudah kewalahan. Boeing sudah enggak kepikir karena pengin murah, kan? Jadi udah enggak bikin lagi. Ya sudah pakai yang dari tahun 1960, 737, cuman diperbaiki tapi kan desainnya enggak bisa efisien seperti pesawat baru lagi,” ujar Fajar.

Pada pertengahan 1997, DSTP menggandeng jasa konsultan Price Waterhouse dari Rusia untuk melakukan studi pasar lebih dalam lagi sebagai salah satu aspek dalam proses DR&O dan PD. Kenapa dari Rusia?

“Kita enggak mau Eropa tahu. Kita enggak mau Amerika tahu. Itu bikin kajian totalnya, bagaimana kondisi (pasar) pesawat penumpang 80-150 (pax) dan dari kajian itu kita tahu juga bahwa kategori itu bakal paling laku. Kajian ini dilakukan secara secret 1996-1997,” ujar Fajar.

Dari kajian itu diketahui pada dekade 2000-an Boeing hingga Airbus belum akan mengisi kategori itu dengan pesawat model baru. Diperkirakan pula pada kurun 2005-2025 dunia membutuhkan 3.790 pesawat, 17 persen di antaranya di Asia.

Pesawat N-250 yang pembuatannya kurang maksimal karena perhatian dan tenaga para insinyur mengerjakan proyek pesawat N-2130. (Wikimedia Commons).

Proyek N-2130 dipimpin oleh Ilham Akbar Habibie, putra sulung Habibie. Ilham lahir dan sekolah di Jerman. Dia meraih gelar Sarjana, Master, dan Ph.D. dalam desain pesawat dari Universitas Teknik Muenchen, Jerman. Dia juga pernah magang di markas besar Boeing di Seattle, Amerika.

Menurut Sulfikar Amir, Ilham yakin N-2130 akan meningkatkan reputasi IPTN dalam pasar global tanpa harus bersaing di ranah yang dikuasai dua raksasa, Boeing dan Airbus.

Boeing dan Airbus telah memantapkan dominasi di pasar pesawat lintas benua. Sedangkan N-2130, kata Ilham, dimaksudkan untuk melengkapi produk IPTN yang terkonsentrasi di kelas penerbangan regional jarak menengah. Ini adalah ceruk pasar yang disasar produsen pesawat lebih kecil seperti Bombardier (Kanada) dan Embraer (Brasil).

“Filosofi desain ‘big aircraft in a small plane’ yang diadopsi oleh IPTN sejak awal, mendorong program N-2130 untuk mencapai fungsionalitas dan efisiensi tinggi dengan integrasi teknologi canggih di bidang aerodinamika, material dan struktur, sistem penggerak, dan sistem pesawat,” tulis Ilham Habibie dan A. Riza Wahono dalam makalah berjudul “N2130: A New Regional Airliner for the 21st Century”, yang dipresentasi pada General Lecture III pada 17 September 1998.

Proyek N-2130 membuat para insinyur IPTN sibuk bukan kepalang. Konsentrasi mereka terpecah dengan pengerjaan N-250.

PA2 Krincingwesi, prototipe kedua N-250 untuk 70 penumpang, sudah terbang perdana pada 11 Desember 1996. Prototipe ketiga, PA3 Koconegoro, yang berkapasitas 70-76 penumpang, masih dalam proses.

Dicatat Sulfikar, proyek N-2130 dianggap oleh sejumlah insinyur IPTN kurang tepat. Sebab, N-250 masih membutuhkan sumber daya yang besar. Pembangunan prototipe ketiga, yang akan diajukan untuk mendapatkan sertifikasi, bisa tersendat karena sebagian sumber daya dialihkan ke proyek N-2130.

Agar fokus, proyek N-2130 mendatangkan “pasukan khusus” insinyur muda yang baru rampung pendidikan dan bekerja di luar negeri. Selain itu, menurut Fajar, pengerjaan N-2130 mengikutsertakan beberapa insinyur muda lokal lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga Universitas Brawijaya. Mereka direkrut khusus oleh DSTP.

“Ini spesial tim N-2130, orang-orang baru, di luar yang ngerjain N-250. Jadi kita buat tim sendiri, kepalanya Pak Ilham,” ujar Fajar.

DSTP juga menyediakan perangkat tambahan dan fasilitas baru seperti komputer Cray untuk desain dan pembuatan wind tunnel di Puspiptek. “Jadi (fasilitasnya) kita yang biayai. Kita cuma numpang taruh tempat wind tunnel yang untuk (pesawat) jet di Puspiptek,” ujar Fajar.

Kendati demikian, proses desain N-2130 tetap membutuhkan bantuan beberapa insinyur veteran N-250. Agus Pribadi Muhardjanto salah satunya. Lulusan teknik fisika ITB itu urun tangan karena pengalamannya sebagai desainer environmental control systems (ECS) untuk prototipe N-250 Gatotkaca. Sistem ini meliputi pasokan oksigen, deteksi asap, pencegahan kebakaran, dan lain-lain.

“Itu manajemen sih yang ngatur. Jadi ada penugasan khusus, termasuk saya. Kalau di area saya sih, saya terlibat langsung di oxygen system, fire protection, dan fire safety,” ujar Agus.

Kolaborasi tim baru dan para veteran N-250 menghasilkan Design Requirements and Objectives (DR&O). Itu baru tahap awal karena proses hingga tercipta purwarupa masih butuh waktu lama.

“Desainnya lama karena harus sesuai sama spec pesawat. Pesawat itu mau ditargetkan terbang untuk ketinggian berapa, engine-nya apa,” ujar Agus. “DR&O baru sepertujuh dari tujuh tahap. Lainnya ada Preliminary Design, Preliminary Design Review, dan Critical Design Review. Kemudian detail instalasi, tes-tesnya, baru kemudian dites terbang.”

Kendati memiliki pengalaman dengan N-250, Agus tetap harus belajar dari nol lagi. N-2130 sama sekali beda dari N-250. Semisal untuk ESC, dia harus membuat lagi design philosophy-nya untuk N-2130. Pun demikian insinyur lain dengan aneka spesialisasi pada aspek lain dalam desain pesawat.

Rencananya, IPTN membangun N-2130 dengan tiga ukuran berbeda: 80, 100, dan 130 kursi penumpang. Namun, konsultasi selanjutnya dengan maskapai penerbangan mengungkapkan sedikit dukungan untuk kabin berkapasitas 80 kursi atau lima sejajar. Maka, pada 1997 IPTN membatalkan rencana untuk mengembangkan versi 80 kursi dan fokus pada pesawat yang lebih besar dengan enam kursi sejajar untuk 104 dan 132 penumpang.

Menurut Fajar, N-2130 lebih kompetitif dibanding misalnya Boeing 737. Ada beberapa keunggulan yang belum ada pada pesawat lain. Misal, sistem elektronis yang baru, bukan seperti 737 dari tahun 1960. Kemudian flight deck system (kokpit), sistem entertainment, dan yang terpenting fly-by-wire, sistem kontrol yang computerized. Sistem manajemen penerbangan pun jadi lebih mudah karena semuanya terkontrol, semisal untuk pendaratan.

“Itu adalah keunggulan yang kita yakin akan mengungguli atau menjadi baru,” ujar Fajar.

N-2130 diyakini bakal menguasai pasar dalam kategori pesawat komuter jet regional jarak menengah, sesuatu yang dipikirkan Habibie sebelum mencetuskan N-2130.

Pada gelaran Indonesia Air Show (IAS) 1996, yang digelar 22 Juni, IPTN memperkenalkan N-2130. Saat itulah konon Airbus pernah mengajukan tawaran kepada Habibie: “Why not N2130 become smallest family of Airbus?” Habibie menolak tawaran tersebut –penolakan yang kelak disesalinya.

Airbus buru-buru meng-contracted pesawat A320 menjadi A319. Sebelumnya A320 punya kapasitas 150-186 pax lalu diperkecil menjadi A319 dengan kapasitas 124-156 pax.

“Jadi dia duluan ngeluarin A319 karena (N-2130) ini. Habis itu enggak produksi lagi. A320 sangat tidak efisien. Pesawat itu yang biasanya di-stretched (diperbesar, red), dia malah di-contracted. Itu lucunya Airbus,” ujar Fajar.

Boeing juga tertarik. Pada pertengahan 1997, petinggi Boeing bertemu dengan Presiden Soeharto dan bilang siap membantu pemasaran N-2130 di Negeri Paman Sam. Bagi Fajar, itu dalih semata.

“Enggak, enggak ada. Enggak ada satupun yang akan bantu. Apalagi Boeing. Mau membunuh, iya. Jadi Boeing tentu akan bekerjasama karena enggak punya desain baru pengganti 737. Dia aja matiin McDonnell Douglas supaya 737 aman,” ujar Fajar.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/iptn/DUA-SATU-TIGA-PULUH.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/iptn/DUA-SATU-TIGA-PULUH.mp4"></video></div>

Meregang Nyawa

Berdasarkan kajian pasar, N-2130 punya prospek cerah. Ada harapan yang membumbung tinggi bahwa pesawat buatan anak negeri ini tak lama lagi akan berseliweran di langit Nusantara.

Menurut rencana, dua purwarupa N-2130 sudah bisa maiden flight pada 2002. Lantas masuk proses sertifikasi oleh Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan, Badan Otoritas Penerbangan Eropa (JAA)/Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA), hingga Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA). Setelah mendapat sertifikasi yang ditargetkan selesai 2008, N-2130 memasuki tahap produksi massal.

“Yang paling lama adalah sertifikasi. Selalu,” ujar Fajar. Sertifikasi dari DKPPU jelas wajib, sementara yang lain tergantung pasar yang dibidik. “Kalau kita hanya Eropa, enggak perlu FAA. Kalau FAA seolah-olah semua mengakui. Tapi kalau N-2130 kita maunya semua.”

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Di saat pengerjaan N-2130 baru memasuki tahap rancang bangun pesawat (Preliminary Design), krisis moneter menghantam negeri ini.

Krisis ekonomi jelas menghambat tugas DSTP dalam penggalangan dana. Pada September 1997, DSTP mengumpulkan 25 persen dari biaya pengembangan N-2130. Pencapaian target $2 miliar pada 2002 menjadi tidak pasti. Tapi asa masih mereka genggam.

Dalam makalah untuk General Lecture III, September 1997, Ilham Habibie meyakini perekonomian Asia akan kembali menguat setelah tahun 2000. “Karena bisnis diprediksi akan booming lagi, pasar N-2130 akan mendapatkan momentum. Menyadari visi tersebut, PT DSTP, perusahaan pendanaan swasta, telah memutuskan bahwa program tersebut harus terus berjalan dengan hanya beberapa penyesuaian kecil.”

<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62f615cb7ff2dd722313b1ee_michel-camdessus-presiden-soeharto-large.jpg" alt="img"></div><figcaption>Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan IMF untuk Indonesia di Jalan Cendana, Jakarta, 15 Januari 1998. (Wikimedia Commons).</figcaption></figure></div>

Presiden Soeharto sendiri kesulitan mengatasi krisis sehingga meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Untuk memperoleh pinjaman, pemerintah harus mematuhi syarat-syarat dari IMF. Pada titik inilah nasib IPTN juga dipertaruhkan.

Menyitat laman resmi IMF, pada tengah hari 15 Januari 1998, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus menyampaikan Nota Kesepahaman (LoI) kedua. Poin ke-13 LoI menyebutkan bahwa anggaran yang bersumber dari APBN maupun non-APBN yang dipergunakan untuk program IPTN dihentikan.

Menurut Sulfikar Amir, ketika hendak menemui Camdessus untuk membahas LoI, Soeharto sudah meminta agar IMF tak mengintervensi IPTN. Di luar dugaan, IMF justru memotong semua subsidi untuk IPTN. Usai pertemuan, Soeharto terlihat kesal dan kecewa.

Namun Soeharto tak bisa berbuat apa-apa. Soeharto menandatangani kesepakatan tersebut. Kemudian meneken Inpres No. 3 Tahun 1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN. Artinya, pemerintah tak lagi membantu IPTN dalam menyelesaikan prototipe ketiga N-250, yang akan diajukan untuk mendapatkan sertifikasi.

Proyek N-2130 juga masuk dalam klausul IMF. Butir 4 Proyek Swasta C pada LoI berbunyi: “Dana anggaran maupun non anggaran yang digunakan untuk program IPTN dihentikan. Pendanaaan Proyek N-2130 segera dibuka bagi investasi asing dan perbankan.”

Fajar Harry Sampurno berpendapat harusnya IMF tidak ikut campur karena PT DSTP adalah perusahaan swasta. (Fernando Randy/Historia.ID).

“Padahal enggak ada hubungannya (sama IMF),” sesal Fajar. “DSTP kan (perusahaan) private. IMF mestinya enggak bisa gangguin, dong?”

DSTP mencoba realistis. Mereka mempertimbangkan untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dalam 5-6 tahun dan pada akhirnya mengizinkan investasi asing. Namun suara yang menghendaki DSTP dilikuidasi juga bermunculan. Dikutip majalah Ummat, Arifin Panigoro, bos Medco Group yang juga salah satu pemegang saham DSTP, mengusulkan likuidasi DSTP. Dia menyebut pendirian DSTP dahulu mengandung unsur pemaksaan.

Sekitar 10 bulan setelah terbit LoI IMF kedua, DSTP menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk membahas alternatif arah masa depan serta kelangsungan kegiatan perusahaan, termasuk kemungkinan pembubaran dan likuidasi.

Menurut Fajar, dalam RUPSLB, semua sepakat untuk menghentikan proyek N-2130, tapi DSTP tetap beroperasi untuk membiayai N-250, LRT (Light Rapid Transit), dan lain-lain. “DSTP ini sebenarnya untuk crowd funding, untuk penguasaan teknologi masa depan Indonesia. Jadi bukan hanya di pesawat terbang,” ujar Fajar.

Namun, RUPSLB pada 15 Desember 1998 akhirnya memutuskan: DSTP dilikuidasi. Dana yang sudah dikeluarkan untuk proses desain N-2130 yang mencapai USD70 juta dianggap sunk-cost. Adapun sisa rupiah dikembalikan berangsur-angsur kepada para pemegang saham, termasuk yang memiliki saham pecahan Rp5.000.

Menyusul pembubaran, seluruh kekayaan DSTP diaudit. Hasilnya disampaikan kepada Bapepam tanggal 22 April 1999 dan diumumkan lewat media massa. Pembayaran hasil likuidasi kepada para pemegang saham dilakukan bertahap mulai 9 Agustus hingga 15 Oktober 1999.

“Kita kembalikan duitnya (ke pemegang saham). Duit sisanya cukup banyak karena kita sebagian pembiayaannya dari dolar Amerika. Ada belasan konglomerat tiba-tiba dapat durian runtuh. Misalnya, Prajogo Pangestu kan ngasih Rp23 miliar. Waktu likuidasi dia menerima Rp30 miliar atau Rp40 miliar karena kan kursnya naik dari sekitar Rp2.300 jadi Rp8 ribu atau Rp9 ribu waktu itu. Semua dikembalikan, termasuk rakyat itu suruh ngambil sendiri-sendiri (saham) Rp5 ribuan itu,” ujar Fajar.

Praktiknya, uang pemegang saham tak semuanya kembali. Terutama para pemegang saham Rp5.000. Dilansir Tempo, walau saham kecil itu kini bernilai Rp9.500, dibandingkan dengan ongkos ambil, tentulah tak memadai. Maka, banyak pemegang saham “gurem” itu mengikhlaskan sahamnya. Apalagi banyak yang tak punya bukti kepemilikan saham. Mengapa?

Ketika itu mereka membeli saham secara kolektif. Mereka membayar saham DSTP lewat bendahara kantor atau kepala sekolah masing-masing. Dari sana kemudian disetor ke pemerintah kabupaten atau kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Ada juga yang jalurnya sampai ke kantor gubernuran. Jika bendahara setempat lupa mencatat saham kecil ini, ya, apa boleh kepemilikan hilang menguap begitu saja. Proses pengurusan yang rumit membuat orang enggan mengurus bukti saham itu.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62f614d6c962739eb5a931ac_rahardi-saat-melihat-koleksinya%20Medium.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Rahardi Ramelan saat melihat koleksinya di ruangan tempat membaca. Rahardi sempat menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan. (Fernando Randy/Historia.ID).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62f60b7ae9cdedd80ef5cc6c_RAHARDI-RAMELAN.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/iptn/PODCAST_RAHARDI_RAMELAN.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Rahardi Ramelan</b><br></span></div></div></div>

Pada 29 September 1999, bertempat di Gedung Granadi, sebagai kelanjutan keputusan likuidasi, pihak likuidator menutup RUPSLB bagi PT DSTP untuk kali terakhir dengan tiga keputusan: melimpahkan HAKI N-2130 kepada negara, mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Likuidator, serta menyelesaikan masalah pelunasan dan pelepasan tanggung-jawab kepada likuidator.

HAKI N-2130 berupa rancang bangun pesawat (preliminary design) dikelola Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

“HAKI diserahkan ke pemerintah. Saya di Deperindag kan 1998-1999. Tapi enggak ada kelanjutannya. Kan terus ganti pemerintahan berapa kali,” kata Rahardi, yang sempat memangku jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Bekerja di Luar

Banyak orang percaya syarat dari IMF berkelindan dengan kepentingan pabrikan pesawat besar, yang terancam oleh lompatan IPTN dalam mendesain N-250 dan N-2130.

Agus Pribadi Muhardjanto menilai “pembunuhan” program N-2130 tak lain karena politik. Apalagi pesawat adalah bisnis strategis global yang tak pernah lekang dari politik. Sialnya, ini tak diantisipasi Habibie. Ada faktor kebanggaan dan arogansi Habibie sehingga menolak tawaran kerjasama dari Boeing dan Airbus.

“Pak Habibie, kalau menurut saya, di mata orang Amerika dan Eropa itu arogan. Jadi pengin menunjukkan bahwa Indonesia itu bisa. Ya memang benar tapi kan kalau saya membaca Sun Tzu, Art of War, kita harus tahu kekuatan kita. Kalau kita belum selevel atau lebih sedikit dari musuh kita ya jangan koar-koar,” timpal Agus.

Syarat IMF juga membuat IPTN, yang kemudian diubah jadi PTDI, tak berdaya. IPTN harus berhadapan dengan masalah keuangan, termasuk utang dan gaji yang belum dibayar. Sampai-sampai mereka terpaksa menerima pesanan untuk membuat panci. Kondisi PTDI yang tak menentu mendorong sejumlah insinyur mengundurkan diri dan mencari pekerjaan di tempat lain. Beberapa di antara mereka bergabung dengan industri pesawat terbang di Amerika Utara dan Eropa.

Usai proyek N-2130 gagal, sejumlah produsen memproduksi pesawat jarak menengah dan regional. Bombardier Aerospace, produsen pesawat asal Kanada, meraih kesuksesan dengan pesawat CSeries. Melalui jalinan kerjasama, CSeries diambil oleh Airbus dan dijadikan A220. Embraer dari Brasil ikut bersaing dengan membuat E170. Sukhoi dari Rusia mengembangkan Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100), yang memiliki spesifikasi mirip N-2130.

Pesawat N-219 Nurtanio, produk terbaru PT Dirgantara Indonesia, mendarat setelah terbang di wilayah Batujajar dan Waduk Saguling. (Dok. LAPAN/Wikimedia Commons).

Secara desain, E170 nyaris menyerupai N-2130. Program E170 dimulai pada 1997, hampir bersamaan dengan N-2130. Pada Juli 2001 mereka menarik sampai 50 insinyur eks-IPTN untuk pengembangannya.

Agus salah satu yang ikut mengerjakan desain untuk aspek environmental system. Dia direkrut sebagai job shopper atau insinyur asing lewat perantara salah satu agency Inggris.

“Tahun 1999 sebenarnya sudah ada senior saya, (alm) Rahmat Hamdani. Dia begitu ada krisis langsung sigap mencari peluang. Saya terlibat (di E170) tahun 2001, mereka sudah berjalan. Biasanya kan merekrut expert itu agak ke tengah sampai akhir. Senior saya mungkin sejak mulai PDR. Kalau saya masuk ketika sudah mulai CDR karena saya memastikan fire safety dan airworthiness-nya,” ujar Agus.

Setelah purwarupanya rampung pada Oktober 2001, lantas fase uji terbang pada 2002, E170 mendapat sertifikasi dari otoritas Brasil, Eropa, dan Amerika pada Februari 2004. E170 kini memimpin di kelas ini.

“Jadi kita (N-2130) prediksinya sudah bagus,” tandasnya.

Kendati PT DI sudah bangkit dari keterpurukan, proyek N-2130 tetap tak dilanjutkan. Situasi sudah berubah. Pada 1990-an, mereka mempekerjakan 48 ribu karyawan, sekarang tinggal sekira 3.000. Ceruk pasar N-2130 juga sudah diisi Bombardier, Embraer, dan pabrikan lainnya.

Namun PT DI sebagai wajah industri dirgantara kebanggaan negeri ini tak mau berlama-lama terpuruk. Memasuki tahun kedua pandemi, PT DI menyelesaikan proyek pesawat turboprop multifungsi N-219 yang diberi nama Nurtanio. Pesawat ini sudah mendapat sertifikasi dari DKKPU Kementerian Perhubungan. *

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
62f235edc58a949a7d30dbdf